Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panah, Maryam
London: Pluto Press, 2007
955.054 PAN i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Listyarti
"Gerakan perempuan di Republik Islam Iran terbilang lebih maju dibandingkan negara-negara Islam lainnya di Timur Tengah. Meski mengalami banyak hambatan mulai dari tafsir agama maupun budaya etnis serta kebijakan pemerintah, namun kenyataannya gerakan perempuan di Iran dapat tumbuh dan berkembang, bahkan muncul banyak tokoh¬tokoh perempuan Iran yang eksistensinya diakui masyarakat internasional. Tesis ini mencoba mengungkap tumbuh dan berkembangnya gerakan Perempuan di Republik. Islam Iran dan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya gerakan Perempuan pasca revolusi Islam Iran, mulai dari tokohnya, tuntutannya, model gerakannya, dan perubahan kebijakan pemerintah yang adil terhadap perempuan.
Terdapat tiga (3) fase dalam menggambarkan gerakan perempuan di Iran pasca kemenangan revolusi Islam Fase pertama, sepuluh tahun pertama pasca revolusi Islam (1979-1989)--di era pemerintahan Ayatullah Khomeini- menghasilkan berbagai peraturan yang bias jender. Misalnya peraturan yang melarang jabatan hakim bagi perempuan, dengan alasan wanita lebih emosional dan irasional. Pada era ini, sudah mulai muncul oposisi gerakan perempuan Iran yang melakukan perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang merugikan hak-hak kaum perempuan dan korban kekerasan.
Fase 2 : Sepuluh tahun kedua (1989-1999) pasca revolusi islam terjadi perubahan terhadap berbagai peraturan yang bias jender-peraturan tersebut secara bertahap mulai direvisi. Sehingga 11 tahun setelah revolusi islam, pemerintah mencabut pelarangan hakim perempuan di Iran. Pada era ini, pemerintahan Iran juga membuat kebijakan yang menjamin hak-hak reproduksi Perempuan. Perempuan Iran sudah ada yang menjadi anggota parlemen, bahkan ada yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Hal ini tentunya dampak signifikan dari jaminan pelaksanaan hak atas pendidikan rakyat
Fase 3 : Sepuruh tahun ketiga (1999 s.d sekarang, pada fase ini, banyak perempuan --baik secara individu-maupun berkelompok terus memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi di Iran. Mereka yang kemudian menciptakan model gerakan perempuan di Iran. Model yang dikembangkan adalah: Pertama, tuntutan yang diajukan kaum perempuan didominasi oleh persamaan hak-hak perempuan dan perlindungan hak anak; kedua, tuntutan merevisi hukum keluarga di Iran karena banyak yang mengabaikan hak perempuan dan anak-anak, terutama hukum yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian dan implikasinya; ketiga, menyuarakan gagasan bahwa HAM universal tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal-hal yang sudah jelas di atur dalam Al-Quran., misalnya hak waris yang berbeda antara laki-Iaki dan perempuan, & kewajiban menggunakan jilbab, tidaklah menjadi bagian yang mereka gugat. Inilah yang membedakan gerakan perempuan barat dengan gerakan perempuan di Iran, di Iran gerakan perempuannya justru menyakini banyak pihak bahwa ajaran Islam dan hukurn Islam tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM universal.
Dalam tesis ditemukan faktor-faktor yang mendorongnya terjadi perubahan kebijakan di Iran terhadap Perempuan dan yang secara signifikan juga telah mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya gerakan Perempuan di Republik Islam Iran. Faktor pertama adalah meningkamya pendidikan; dan Faktor yang kedua adalah Perubahan politik di dalam negeri karena munculnya kesadaran dan tafsir hukum Islam yang tidak di dasari budaya patriarki. Selain itu ada temuan yang menarik, ternyata perempuan-perempuan Iran yang terusir dari negeri Iran karena menolak kebijakan pemerintah tetap bisa berhubungan dengan organisasi perempuan dalam negeri Iran, atau tetap bisa rnemberikan informasi berkaitan dengan perkembangan Iran. Faktor ketiga, Munculnya tokoh-tokoh perempuan Iran yang berani melawan kondisi sosial politik dan sosial budaya di Iran, mereka berjuang sesuai dengan latar belakang keahliannya. Toko-h¬tokoh tersebut berupaya menegakan HAM dan demokrasi di negerinya. Faktor keempat, ada faktor lain, yaitu munculnya kesadaran Para Mullah & pemimpin Iran bahwa ajaran Al Quran senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan kitab tersebutlah yang menjadi dasar islami bagi konstitusi Iran, sehingga pemerintah pun mau melakukan telaah kembali bagi kebijakan-kebijakan pemerintahan Iran yang bias jender. Faktor kelirna, Faktor sosial budaya masyarakat yang menghormati perempuan mulia dalam sejarab Islam, mis. putri Rasullah SAW - Fatimah Az Zahra- dimana kemuliaan Fatimah, perilakunya yang santun, lemah lembut, pintar, berani dan bijak, dijadikan doktrin nilai-¬nilai yang dianut masyarakat Iran dan terinternalisasi dalam budaya masyarakat. Nilai¬nilai ini berisi ajaran agar kaum laki-laki dan perempuan saling menghargai, menghormati, memahami hak dan kewajibannya masing-masing.

Women movement in Islamic Republic of Iran admitted more developed than Islamic countries in Middle - East. Though, obtaining many obstructions starting from exegesis, ethnic culture to government policy; in fact that women movement in Iran can grow and develop, moreover many Iran female figures emerge whose existence admired by the world. This Thesis tries to uncover the growth and the development of women movement in Islamic Republic of Iran and some factors affecting its development in the post - Islamic revolution of Iran, starting from the figures, the demands, the movement form and the changes of government policy which is fair towards women.
There are three phases in describing women movement in Iran in the post - victory of Islamic revolution. In the first phase, first decade of the post . Islamic revolution (1979-1989) in the era Ayatollah Khomeini authority causing many regulations which were obscure in gender. For instance, the regulation which forbade the position of judge for women with the reason that's women admired more emotional and irrational. In the era, Iran women movement had emerged as opposing against some regulations causing disadvantages for women right and authority victim.
In the second phase: second - decade (19894999) of the post - Islamic revolution, there were many changes for several regulations which were obscure in gender- those were gradually revised. After eleven years in Islamic revolution, Iran government withdrew prohibition for women judge. In the era, Iran government also withdrew the policy protected reproduction right for women. Iran women became member in parliament; even there were some occupied strategic position in government. This matter was definitely significant effect from the guarantee of applying the right for citizen education.
In the third phase: third - decade (1999- ....) , many women both individually or in group keep on struggling the human right and democracy in Iran. And they create women movement form there. The form developed as follows; firstly, the demands they ask are dominated with the equality of women right and the protection of children right; secondly, the demand to revise family rules in Iran as they ignored more the right of women and children, mainly the rules dealing with marriage, divorce and its implications; thirdly, declaring ideas of universal human right which is not against Islamic laws. Those matters which are obviously regulated in Al- Qur'an, for example heritage right differing women and men, and the obligation for using veil are not a part to be claimed. This thing makes a difference among women movement in Iran and west countries; in Iran, the women movement believes that Islamic law is not against to the principles of universal human right.
The third factor, many women figures emerge who bravely fight social-political condition and social-culture in Iran, they fighting line with their competence background.. Those figures make an effort to uphold the human right and the democracy there.
The forth factor, the awareness of mullahs and Iran leaders raise up as they understand that Al - Qur'an continually follows the development and the holy book becomes the Islamic basic for Iran constitution, so that the government study further the Iran government policies which are obscure in gender
The fifth factor, social- cultural factor in society giving respect to magnificent women in Islamic history, e.g Fatimah Az Zahra- the daughter from Rasullah SAW , her nobility,her politeness, her gracefulness, her brilliance, her courage and wisdom, can be doctrinal values followed by Iran society and internalized into culture society. These values consist of the knowledge teaching men and women should respect each other and understand the right and the obligation.
"
2007
T20706
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Augita Putri Roadiastuty
"Penelitian ini mengangkat isu ideologi dan kajian politik film sebagai sebuah langkah baru dalam memahami dinamika politik di Republik Islam Iran. Perfilman Iran telah menjadi institusi sosial politik yang mengundang banyak perdebatan di dalam dan luar negeri. Perfilman Iran pascarevolusi terikat pada kebijakan pengelolaan sensor oleh pemerintah dan menjadi bagian dari aparatur negara untuk memproteksi ideologi dan kedaulatan Iran dari ancaman dominasi ideologi bias Barat dalam komunikasi dan politik global. Pada tahun 2007, film Persepolis karya Marjane Satrapi dirilis oleh rumah produksi di Prancis dan menceritakan sejarah Revolusi Iran dari sudut pandang autobiografis. Film Persepolis mendapat sambutan hangat di kancah internasional, namun menuai respon kecaman dari pemerintahan Ahmadinejad pada periode 2005–2009. Paradigma kritis menjadi dasar menilai objektivitas unit analisis dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Upaya pengumpulan literatur dan data primer dilakukan melalui wawancara bersama para peneliti politik di Indonesia dan Iran. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa film Persepolis telah menyalahi kebijakan sensor perfilman di Iran, menampilkan nilai-nilai yang bertentangan dengan identitas kultural masyarakat Iran serta menyebarkan penggambaran yang selektif mengenai sejarah Revolusi Islam Iran. Penelitian ini juga menemukan bahwa konsep State Apparatus dapat menjelaskan respon yang dilakukan pemerintah Iran untuk mempertahankan ideologi dan kedaulatan negaranya sebagai bagian dari peran dan fungsi negara.

This research focuses on the issue of ideology and the study of film politics as a new step in understanding the political dynamics in the Islamic Republic of Iran. Iranian cinema has become a social political institution that brought up a lot of debates. Since the postrevolutionary Iranian cinema is bound to strict censorship policies by the government as the part of the state apparatus to protect Iran's ideology and sovereignty from the threat of western bias ideological domination in the global politics and communication. However, in 2007, a film titled Persepolis by Marjane Satrapi was released by a production house in France recounted the history of the Iranian Revolution from autobiographical perspective. Even though Persepolis received a warm reception on the international scene, but it reaped a condemnation response from Ahmadinejad's government in the period 2005 - 2009. The critical paradigm is the basis for assessing the objectivity of the unit of analysis in this research. This research uses qualitative approach with descriptive methods, while the efforts to collect literature and primary data were conducted through interviews with political researchers in Indonesia and Iran. The results of this research found that Persepolis films had violated film censorship policies in Iran, displaying values that were contrary to the cultural identity of the Iranian and spreading selective and negatif portrayals of the history of the Iranian Islamic Revolution. The research also found that the concept of the State Apparatus could explain the response made by the Iranian government to protect the state’s ideology and sovereignty as part of the role and function of the state."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sy. Nana Raihana
"Iran, pasca Revolusi 1979, mengubah bentuk negaranya dari negara monarki menjadi bentuk Republik Islam Iran (Mazhab Syi'ah) dengan sistem Wilayah al-Faqih (kewenangan/otoritas ahli agama). Menurut Imam Khomeini, sebagai pengkonsep sistem ini, rakyat harus memutuskan wewenang mereka dengan suatu cara tertentu, kehendak orang banyak (rakyat) tersebut harus diikat oleh kehendak Ilahiyyah. Dan ikatan ini dimanifestasikan dengan pengendalian Wilayah al-Faqih atas pemerintah. Ini pula yang sering ia sebut sebagai hukum Ilahiyyah-manusia atau yang lebih sering ia sebut dengan demokrasi Islam.
Dalam mewujudkan hukum Ilahiyyah-manusia atau pemerintahan yang berdemokrasi Islam ini, suatu pemerintahan harus memenuhi dua syarat. Pertama ia harus legal, artinya ia telah mendapat restu/kelegalan dari Allah sebagai Sang pembuat hukum. Restu yang diberikan Allah ini hanya kepada orang-orang yang sudah mengenal lebih Allah dan hukumnya (Nabi/Rasul, Imam, Faqih/ahli agama). Kedua, harus legitimate. Selain diperlukannya `restu' Allah, maka untuk pelaksanaannya diperlukan pula legitimasi dan rakyat dan bisa diperoleh melalui pemilu. Kedua syarat inilah yang menjadi pilar dari demokrasi Islam.
Bahwa dalam konsep Wilayah al-Faqih yang diterapkan di Republik Islam, Iran (RII), nampaknya Imam Khomeini mencoba menggabungkan sistem politik Barat (dengan keberadaan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif) dengan sistem politik Islam (dengan keberadaan Dewan Perwalian, Dewan Kemashlahatan Nasional dan Imam/ Rahbar, yang bertugas mengawasi dan membatalkan suatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan hukum Islam, konstitusi RII dan cita-cita revolusi).
Bahwa dalam perjalanannya, konsep Wilayah al-Faqih ini mendapat kritik bahkan ditentang oleh sebagian rakyat Iran, dan ini terjadi sejak awal perjalanan negara ini pasca revolusi. Hal ini disebabkan beragamnya ideologi yang diusung kelompok-kelompok politik oposan di Iran. Kelompok-kelompok ini terdiri dari: kelompok nasionalis-liberal, kelompok kiri/Marxis, kelompok suku Kurdi (Sunni) dan kelompok Royalis (pro Shah).
Bahwa konflik atau pertarungan antara kubu reformis dan konservatif di Iran saat Ini merupakan suatu fenomena demokrasi yang sedang berjalan. Tuntutan dari kubu reformis selama ini tidak sampai pada tuntutan mengubah tatanan bangunan Republik Islam Iran. Tuntutan perubahan masih terbatas pada butir-butir dalam konstitusi, meninjau kembali kekuasaan mutlak Pemimpin/Rahbar dan sekaligus memberi kekuasaan yang lebih besar kepada Presiden.

Islam and Democracy: Institutional Format of Democracy in Islamic Republic of Iran After Islamic revolution of 1979, Iran reshapes its political system from monarchy into Islamic Republic (Shi'a sect) based on the principle of velayat-e-faqih (guardianship of the supreme jurist-theologian). To supreme leader Ayatollah Khomeini, the originator of that concept, the people have to stipulate their authority through a certain way, namely the desire of majority (people) must be bind by God's rule and legislation. This bind is manifested in form of velayat-e-faqih control over government. This is indeed what he calls man-deity legislation or what is often termed Islamic democracy.
To implement this man-deity legislation or government based on the Islamic democracy, two requirements must meet. Firstly, it shall be legal, namely obtaining approval from God as the Legislator. The approval of God is only given to ones who know God as well as His legislation much better (namely Prophet/Messenger, Leader, jurist-theologian). Secondly, it shall be legitimate. For the sake of implementation, in addition to obtaining God' approval, it is necessary to get legitimacy from the people, and this can be reached through election.
Based on principle of velayat-e-faqih as implemented in the Islamic Republic of Iran, in addition to clergy institutions themselves, there are also democratic institutions whose functions and tasks are exactly the same as democratic institutions in other countries. However, their authority is limited to the power of clergy institutions, (such as the Guardian Council, Expediency Discernment Council of the System, and the Supreme Leader/Rahbar) whose functions are to oversee and annul a legislation that is in contravention Islamic order, Iran's constitution, and revolutionary goal.
During the course of its implementation, this concept of velayat-e-faqih has gotten criticism and even opposition from some walks of life in Iran, and this truly has been taking place since the beginning of the country's course in the post-revolutionary period. This happens because the varieties of ideology that are put forward by some political opposition groups in Iran. These groups consist of nationalist-liberal group, left/Marxist group, Kurd group (Sunni), and Royalist group (pro-Shah).
Actually, conflict or struggle for power between reformist and conservative party in Iran must be deemed as a normal phenomenon in on-going democracy. The reformist's demand so far doesn't exceed to reshape structural pillar of the Islamic Republic of Iran. It is only limited to some articles included in Iran's constitution, to reconsider absolute power of the Supreme Leader (Rahbar), and to share more authority to the president as executive power. As a matter of fact, these demands were ever voiced and fought by moderate group during Ayatollah Khomeini in power.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11936
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jodi Salahuddin Akbar
"Skripsi ini membahas tentang perkembangan dinamika politik kontemporer organisasi Mujahiddin E-Khalq di Republik Islam Iran pasca revolusi Islam tahun 1979 dengan studi kasus mengenai Analisis perubahan ideologi dan strategi politik kekuatan politik organisasi Mujahiddin E-Khalq (MEK) periode tahun 1981-2012 di Republik Islam Iran. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sejarah dan perihal yang menjadi pembahasan penelitian ini adalah perbudahan ideologi dan strategi politik organisasi Mujahiddin E-Khalq dalam meraih dukungan sebagai kekuatam oposisi untuk melawan pemerintahan para Mullah di Republik Islam Iran periode tahun 1981-2012. Dengan menggunakan kerangka konsep kekuatan dan keseimbangan politik, konsep pola oposisi dan teori moderasi dapat dikatakan bahwa terdapat beberapa faktor internal dan eksternal yang menyebabkan MEK menjadi sebuah kekuatan oposisi utama di dalam dan luar Republik Islam Iran yang terus berkembang dan bekerja sama dengan negara-negara lain yang menjadi lawan politik Pemerintahan Khomeini di Iran seperti Perancis, Irak dan Amerika Serikat. MEK memiliki ciri pola oposisi klik faksional yang membuat mereka lebih terstruktur dan terorganisasi apabila dibandingkan dengan kekuatan oposisi lainnya di Republik Islam Iran.

The thesis is describes about the contemporary politics in Islamic Republic or Iran after the White Revolution 1979, with case studies about the analysis of Ideological Change and Political Strategy of Mojaheddin E-Khalq organization year period 1981 to 2012. The research used the qualitative methods with historical approach. The focus of the research is about the ideological change and political strategy of MEK political power in Islamic Republic of Iran during year 1981 to 2012. The concept for the research are power and balance of power, pattern of opposition concept and moderation theory to show the evidence that the MEK has many supporting internal and external factor to being an opposition and resistance outside and inside Iran against the Wilayat Al-Faqih regime. The external MEK`s supporting factor such as France, President Saddam Hussein in Iraq, and United States of America during 1981 to 2012. MEK has click factional opposition characteristic based on Robert Dahl classification that made the organization well organized in structure."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S53167
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library