Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Mohammad Nasih
"Dinamika antara Islam dan nasionalisme di Turki dan Indonesia terjadi karena adanya perspektif yang mendikotomikan antara Islam dengan nasionalisme. Islam dianggap sebagai nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan yang bersifat sakral. Sedangkan nasionalisme dianggap sebagai konsensus dan karena itu bersifat profan/sekuler, terlebih kelahirannya dipicu oleh perlawanan terhadap praktik sistem religio-politik integralisme Katholik di abad pertengahan. Pertentangan tersebut kemudian juga diberlakulam kepada seluruh agama, termasuk Islam.
Penelitian ini menggunakan pijakan teori hubungan entara agama (Islam) dengan negara yang teruraikan dalam konsepsi negara-Islam, nasionalisme-sekuler, dan nasionalisme-religius. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisis deskriptifanalitis. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data dari sumber pustaka dan wawancara dengan bebrapa tokoh politik. Data- data tersebut kemudian dideskripsikan, sehingga menunjukkan dinamika antara Islam dan nasionalisme.
Penelitian ini menemukan bahwa dinamika antara Islam dan nasionalisme di Turki dan Indonesia terjadi dalam organisasi-organisasi masyarakat sipil, partai- partai politik, dan lembaga-lembaga negara/pemerintahan. Dinamika di dalam salah satu institusi berpengaruh Inepada yang lain. Karakter nasionalisme Turki awalnya terbangun berdasarkan prinsip sekularisme laicisme. Dinamika antara Islam dan nasionalisme menyebabkan konvergensi antara keduanya tanpa mengubah konstitusi negara dan melahirkan paradigma baru nasionalisme dengan karakter sekularisme non-laicisme dalam praktik. Bentuk konvergensi antara Islam dan nasionalisme di Turki belum stabil karena sikap politik kalangan Islam belum didasarkan pada landasan teologis (theological statement), melainkan karena penimbangan-penimbangan politik (political statement) untuk menghindari tekanan kekuatan pro-sekularisme.
Sedangkan karakter nasionalisme di Indonesia adalah nasionalisme-religius, karena konstitusi dan dasar negara (Pancasila) secara tegas memberikan ruang yang cukup kepada agama. Hanya saja, praktik politik represif rezim Orde Baru dalam periode politik dekade 1980-an terhadap kalangan Islam menghidupkan paradigma politik yang mendikotomikan antara Islam dengan nasionalisme. Umat Islam dicurigai memiliki cita-cita untuk mengembalikan Islam sebagai dasar formal dalam praktik politik-keagamaan. Tekanan rezim menyebabkan sebagian kalangan Islam mengkonstruksi pandangan teologis baru tentang konvergensi antara Islam dan nasionalisme yang berpengaruh kepada penerimaan mayoritas kalangan politik Islam di Indonesia kepada Pancasila berdasarkan pada pandangan teologis (theological statement), bukan sekedar politis (political statement).
Implikasi teoritis penelitian ini adalah hubungan antara Islam dengan negara terjadi, negara-Islam dan nasionaIisme-sekuIer tidak berlaku, dan nasionalisme religius semakin menguat. Konsepsi nasionalisme-religius menempatkan agama (Islam) sebagai landasan moral dan etika dalam kehidupan politik kenegaraan.

The dynamics between Islam and nationalism in Turkey and Indonesia is due to a dispute between the Islamic view with nationalism. Islam is considered as the values that stem lion: God that is sacred. While nationalism is considered as a consensus and because it is profane / secular, first birth was triggered by the opposition to the practice of integralisrn religio-political system in the medieval Catholic. Conflicts are then also applied to all religions, including Islam.
This research uses theoretical framework of the relation between religion (Islam) with the state described in the conception of state-Islam, nationalism, secular, and nationalist-religious. This study uses qualitative methode with analytical descriptive analysis techniques. Data collection was conducted by collecting data from literature sources and interviews with some political figures. These data are then described, thus showing the dynamics between Islam and Nationalism.
This study found that the dynamic between Islam and nationalism in turkey and Indonesia occurred in in the civil society organizations, political parties, and the institutions of stare / government. Dynamics in one institution inlluent to another. Turkish nationalism awoke Erst character based on the principle of laicisme secularism. The dynamics between Islam and nationalism lcd to convergence between the two withoutchanging the state constitution andgave birth to anew paradigm of nationalism with the character of non-laicisrn secularism in practice. Form of convergence between Islam and nationalism in Turkey is not stable because of political attitudes among muslims are not based on theological foundation (theological statement), but because of political considerations (political statement) to avoid the pressureoftlre pro-secular forces.
While the character of nationalism in Indonesia is a religious nationalism, because the constitution and the basic state (Pancasila) expressly provides enough space for religion. Only, a repressive political practices ofthe New Order regime in the period of the 1980s politics of Islamic political paradigm that contradict switch between Islam and nationalism. Muslims suspected of having to mtore the ideals of lslam as a formal basis in-state political practices. Pressure caused some of the Islamic regime to construct a new theological view about the convergence between Islam and nationalism, which had affected the acceptance among the majority of political Islam in Indonesia to Pancasila are based on theological view (theological statement), not merely political (political statement).
Theoretical implications of this research is the relationship between Islam and the state occurs, the state-Islamic and secular-nationalism does not apply, and religious nationalism intensified. The conception of religious nationalism puts religion (Islam) as the foundation of morals and ethics in the political life of state.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
D915
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fadloon Katoppo Talib
"ABSTRAK
Tesis ini berjudul Kedudukan, Peran, Kewajiban, dan Hak Perempuan dalam Ajaran Islam. Manusia sebagai hamba Allah adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa di antara semua makhluk-Nya yang lain. Di samping dikaruniai akal dan pikiran, manusia ternyata adalah makhluk yang penuh misteri dan rahasia-rahasia yang menarik untuk dikaji. Misteri ini sengaja dibuat Allah agar manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk menguak dan mendalami kebenaran dirinya sebagai ciptaan Allah, dan untuk mengenali siapa penciptanya Nabi Muhammad saw. membangkitkan
perempuan (dimulai dengan perempuan Arab) pada waktu ibu dan mengantarkannya dari kegelapan kepada cahaya Islam melalui firman Allah swt dalam Surat Ar-Ruum: 21. Dalam menjelaskan ayat tersebut, Rasulullah saw. bersabda: 'Perempuan adalah penghulu di
rumahnya, perempuan adalah pengembala di rumah suaminya, dan ia diminta pertanggungjawabannya atas gembalaannya'. Memuliakan perempuan bagi masyafakat Islam merupakan sebuah perintah, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Assahir dari Ali r_a, bahwa Rasulullah bersabda: 'Yang memuliakan perempuan hanyalah orang-orang yang mulia dan yang menghinakan perempuan adalah orang-orang yang hina'. Selain itu juga, ajaran Islam mengatakan, 'Peliharalah olehmu akan perempuan-perempuan di dunia ini, niscaya Allah memelihara perempuanmu pula'.
Jadi tidak beralasan bagi perempuan-perempuan dari kaum Muslimin yang mempercayai slogan-slogan dan seruan emansipasi dari feminisme yang datangnya dari Barat. Karena sesungguhnya Islam diturunkan untuk mengatasi problema hidup dan kehidupan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Islam memandang perempuan sama dengan laki-laki dari segi kemanusiaannya. Perempuan adalah manusia sebagaimana laki-laki. Rasulullah saw. telah memuliakan perempuan dengan seruannya : 'Perempuan adalah saudara laki-laki'. [HR. Bukhari]. Islam memberi hak-hak kepada perempuan seperti yang dibelikan kepada laki-laki dan membebankan kewajiban yang sama kepada keduanya, kecuali beberapa hal yang khas bagi perempuan atau laki-laki karena adanya dalil syara?. Dalil syara? bukan diciptakan khusus unluk perempuan atau khusus untuk laki-laki, melainkan untuk keduanya sebagai insan (Q.S. 49:13, 53:45, dan 75:39). Allah
menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) adalah untuk saling mengenal, saling melengkapi untuk terciptanya keseimbangan yang adil.
Antara laki-laki dan perempuan (yang sudah terikat dengan tali perkawinan) ibarat pakaian sam dengan lainnya (Q.S. 2:187). Perempuan memang tidak sama dengan laki-laki, satu sama lain mempunyai peran yang berbeda, tetapi saling melengkapi. Allah
memberikan satu kelebihan pada laki-laki (Q.S. 4:34 dan 2:228). Allah telah berkehendak, Dialah yang paling tahu maknanya, dan kita tidak punya alasan untuk mengubah pakem yang telah digariskan oleh-Nya. Mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam, baik keluarga maupun masyarakat, sesungguhnya Islam telah
memberikan aturan yang rinci, tegas, dan mulia. Dijelaskan dalam hukum Islam, bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga bukanlah aqad al syirkah (akad perusahaan) maupun ijarah (sewa-menyewa/upah-mengupah) sehingga istri ibarat budak bagi suami untuk dipekerjakan. Bukan pula hubungan yang bersifat seperti polisi dan pencuri bahwa istri selalu terancam dan diteror sementara suami selalu/hampir selalu merasa super.Hubungan di antara mereka adalah hubungan cinta kasih yang penuh
persahabatan; artinya ada hubungan harmonis di antara mereka dalam bekerja sama mengarungi kehidupan rumah tangga.
Perempuan mempunyai kelembutan, kesabaran, dan kehangatan; yang merupakan modal utama untuk mendidik anak-anak mereka (al ummi madrasatun), juga kasih sayang pada suami. Sedangkan laki-laki mempunyai ketegasan dan sedikit lebih realistis, yang merupakan modalnya untuk memimpin rumah tangga, adalah baik jika diimbangi dengan pengetahuan dan pemahaman keislaman. Suami merupakan mitra satu-satunya dalam menghasilkan keturunan. Ini merupakan hakikat perkawinan, keluarga dan demi keberlangsungan kehidupan manusia di bumi ini atau khalifahtul fil ardhi (Q.S. 2:30). Untuk
itu syari?ah Islam telah menetapkan fungsi untuk keduanya dalam kehidupan suami istri yang harmonis, dalam hal ini fungsi dan pengadaan rumah tangga ini berkenaan dengan pentingnya keberlangsungan jenis manusia, kesenangan, dan ketentraman (Q.S. 16:72, 30:21, dan 411). Jadi, tidak relevan ide feminisme tentang superioritas laki-laki atas perempuan ditimpakan/ditujukan terhadap masyarakat Islam. Allah telah mempersiapkan laki-laki dan perempuan untuk terjun ke arena kehidupan sebagai insan dan menjadikan
keduanya hidup berdampingan secara pasti dan saling bekerja sama dalam suatu masyarakat (Q.S. 4:7,32,34, dan 155). Allah juga menetapkan pola ketergantungan kelangsungan hidup laki-laki dan perempuan pada perpaduan dan keberadaan mereka di setiap masa dan generasi masyarakat (Q.S. 4:1 dan 7:189), sehingga tidak benar jika ada pandangan yang hanya memperhatikan salah satu di antara mereka, apalagi mengatasnamakan Islam dan ajarannya merupakan suatu kekeliruan jika para perempuan muslim pun ikut-ikutan menuntut persamaan dengan laki-laki, sebagaimana dilakukan
kaum perempuan feminis di Barat. Hal itu tidak dibutuhkan Islam, yang telah mendudukkan perempuan muslim pada posisi yang sejajar dengan laki-laki muslim di bawah naungan syariah lslam.
Sejarah telah membuktikan bahwa kehadiran Islam merupakan awal dari gerakan kemerdekaan dan emansipasi kaum perempuan, yang dipelopori oleh Nabi Muhammad, dimulai dari keluarganya (istri-istrinya, putri-putrinya, dan sanak keluarganya) dan kemudian diteruskan kepada keluarga sahabatnya. Dalam konsep Islam, zaman dan realitas adalah sesuatu yang berubah-ubah, sehingga jlka dijadikan pedoman, maka seseorang akan plin-plan seiring perubahan keduanya. Karena itu, realitas dan zaman tidak logis dijadikan sebagai sumber hukum sebab sifatnya relatif. Lain dengan watak syariah Islam yang a priori dengan fakta, namun ia justru mengikuti perjalanan realitas,
kemudian hukumnya tetap diambil dari syariah Islam, bukan dari fakta yang justru mengubah hukum."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library