Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Safendra
"OBJECTIVE: To determine if Intravesical prostatic protrusion (IPP), total prostate volume, transition zone volume and transition zone index is correlated with the severity of clinical benign prostatic hyperplasia.
PATIENTS AND METHODS: From January to May 2005, 56 patients with symptom of BPH were enrolled in this study. All patients were requested to undergo urofiowmetry, postvoid residual urine measurement and international Prostate Symptom Score (IPSS). TRUS was used to calculate the total prostate volume, transition zone (ZT) volume and the transition zone index (TZ index = TZ volume/total prostate volume). And IPP was measured by transabdominal ultrasonography.
RESULT: There were a significant correlation between IPSS and post void residual with total prostate volume, transition zone, transition zone index and intravesical prostatic protrusion. Only transition zone and transition zone index were significant correlation with Q max. Strongest correlation in IPSS and postvoid residual was transition zone (ZT) volume (r = 0.480 and r = 0.621 ) in Q max was transition zone index (r = 0.508).
CONCLUSION : From this study there were correlation between intravesical prostatic protrusion, prostate volume, transition zone volume and transition zone index however the correlation is weak.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21262
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harun Wijanarko Kusuma Putra
"Latar Belakang: Benign prostate hyperplasia (BPH) dan Chronic Kidney Disease (CKD) adalah dua masalah urologi yang sering ditemukan bersatu pada pria yang lebih tua. Meskipun teori telah menyarankan bahwa BPH mungkin merupakan faktor risiko untuk CKD, luas asosiasi tetap tidak diketahui. Ulasan ini ingin membangun analisis sistematis, menyelidiki hubungan antara BPH dan CKD dari studi observasi yang diterbitkan.
Metode: Pencarian literatur pada studi observasional dilakukan menggunakan kombinasi operator Boolean dalam tiga database medis: MEDLINE, EMBASE, dan SCOPUS; menggunakan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang ditentukan sebelumnya. Literatur yang dipilih dinilai untuk kualitasnya menggunakan indeks kualitas Downs dan Black yang dimodifikasi. Data yang diekstrak dikumpulkan untuk analisis menggunakan model efek acak DerSimmonian dan Laird, karena desain studi yang berbeda. Heterogenitas diukur menggunakan statistik I2, analisis subgroup dilakukan untuk pengukuran hasil yang berbeda dan cut-off.
Hasil: Lima studi observasi dipilih, terdiri dari dua kohort dan tiga studi cross-sectional, dan melibatkan total 38460 peserta. Hasil penilaian kualitas pada studi tersebut mencapai skor rata-rata 80,6%. Analisis gabungan menunjukkan hubungan yang signifikan antara dua pengukuran BPH (Qmax <15 mL/s dan IPSS >7) dan CKD, dengan OR 2.05 (95%CI 1.30-3.23, I2=31%) dan OR 2.12 ( 95%CI 1.12-4.02, I2 = 72%) masing-masing. Pengukuran prostat, yaitu volume prostat dan tingkat PSA, tidak terkait secara signifikan dengan CKD. (Nilai P dari 0,89 dan 0,60 masing-masing).
Kesimpulan: BPH bertindak sebagai faktor risiko dan faktor memperburuk perkembangan CKD. Screening dan pengobatan segera untuk koeksistensi BPH dan CKD harus diterapkan dalam praktek klinis sehari-hari dan harus dimasukkan ke dalam pedoman masa depan.

Background: Benign prostate hyperplasia (BPH) and chronic kidney disease (CKD) are two urological problems commonly found coexisting in older men. Though theories have suggested that BPH might be a risk factor for CKD, the extend of the association remains unknown. This review would like to construct a systematic analysis, investigating the association between BPH and CKD from published observational studies.
Methods: Literature search on observational studies was done using combinations of Boolean operators in three medical databases: MEDLINE, EMBASE, and SCOPUS; using predetermined inclusion and exclusion criteria. Selected literatures were assessed for their quality using modified Downs and Black quality index. Extracted data was pooled for analysis using DerSimmonian and Laird random-effect model, due to varying study designs. Heterogeneity were quantified using I2 statistic, subgroup-analysis were conducted for different outcome measures and cut-offs.
Result: Five observational studies were selected, consisting of two cohorts and three cross-sectional studies, and involving a total number of 38460 participants. Results of quality assessment on the studies was in average score of 80.6 %. Pooled analysis showed significant association between two BPH measures (Qmax <15 mL/s and IPSS >7) and CKD, with OR 2.05 (95%CI 1.30-3.23, I2=31%) and OR 2.12 (95%CI 1.12-4.02, I2=72%) respectively. Prostatic measures, namely prostate volume and PSA level, were not significantly associated with CKD (P value of 0.89 and 0.60 respectively).
Conclusion: BPH act as both risk factor and aggravating factor for progression of CKD. Screening and prompt treatment for coexistence of BPH and CKD should be applied in daily clinical practice and should be included in future guidelines.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
ST Cahyo Ariwicaksono
"Pendahuluan dan tujuan: Skor IPSS (International Prostate Symptom Score)
direkomendasikan sebagai instrumen skoring yang ideal untuk digunakan sebagai
pendeteksi terhadap derajat keparahan gejala pada pasien dengan LUTS, respon terapi,
dan perbaikan gejala. Terapi medikamentosa umumnya diberikan pada pasien dengan
gejala LUTS sedang dan berat, dengan menggunakan α-1 adrenoceptor antagonist
(blocker). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan skor IPSS dan QoL pada
pasien Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) yang menerima terapi Silodosin atau
Tamsulosin dalam waktu 12 minggu.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis buta ganda. Subjek penelitian adalah pasien
laki-laki berumur 50 tahun atau lebih yang didiagnosis BPH dengan Skor IPSS ≥8 di
RSPAD Gatot Soebroto. Pasien mendapatkan terapi Silodosin atau Tamsulosin lalu di
follow up perubahan nilai IPSS dan QOL (Quality of Life) dalam 12 minggu.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 50 subjek, dengan rata-rata IPSS 16.74 dan QoL 3.64
pada awal penelitian. Kami menemukan penurunan rata-rata IPSS menjadi 10,5 dan ratarata
QOL menjadi 2,56 dalam 12 minggu setelah subjek menerima Silodosin atau Tamsulosin. Namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara subjek yang menerima Silodosin atau Tamsulosin (p>0,05).
Kesimpulan: Terdapat penurunan signifikan skor IPSS dan QoL dalam waktu 12 minggu pengamatan. Hasil ini sesuai dengan tinjauan pustaka, yaitu alpha blocker baik untuk menurunkan skor IPSS pada pasien BPH. Namun tidak ditemukan perbedaan antara pasien yang menerima Silodosin atau Tamsulosin.

Introduction and objectives: IPSS score (International Prostate Symptom Score) is
recommended as an ideal scoring instrument to be used as a detector of symptom severity
in patients with LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms), therapeutic response, and
symptom improvement. Medical therapy is generally given in patients with moderate and
severe LUTS symptoms, using α-1 adrenoceptor antagonists (blockers). We aimed to
determine whether there is difference between IPSS & QoL in patience with BPH who
received either Silodosin or Tamsulosin within 12 weeks.
Methods: This study was a double blind clinical trial. Subjects were male patient age 50
or more diagnosed with BPH with IPSS Score ≥8 at Indonesian Army Hospital RSPAD
Gatot Soebroto. Patient Received whether Silodosin or Tamsulosin and we followed up
the change in IPSS and QOL (Quality of Life) to 12 weeks.
Results: This study included 50 patients, with mean IPSS 16.74 and QOL 3.64 at the
beginning of the study. We Found decreasing the IPSS mean 10.5 and QoL mean 2.56 in
the 12 weeks after they received whether Silodosin or Tamsulosin. However, there are
statistically not significant difference whether they received Silodosin or Tamsulosin
(P>0.05)
Conclusion: There are significant decrease IPSS score and QoL within 12 weeks
observation. As literature review that alpha blocker are good for patience with BPH
decrease IPSS. But there are no differences between patience received Silodosin and
Tamsulosin.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Sholichin
"Tujuan: Penelitian ini akan mencari korelasi antara pemeriksaan dengan sistim skoring (IPSS) dan hasil pemeriksaan uroflowmetri (Qmax) serta hasil pemeriksaan urodinamik ( BOOI ). Diharapkan akan diketahui sejauh mana data subyektif pasien berkorelasi dengan data obyektif.
Bahan dan Cara: Data dikumpulkan dari pasien yang dilakukan pemeriksaan di Poliklinik Khusus Urologi sejak bulan Oktober 2005 sampai dengan Mei 2006 dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
HasiI Penelitian: Terdapat 89 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Umur rata-rata 65,56 ±7,2 tahun. IPSS rata-rata 20,57+7,0. Pancaran kencing maksimal (Qmax) rata-rata 5,94 ±3,5 ml/detik. BOOI kategori obstruksi sebanyak 56 (65,1%) pasien, ekuivokal 20 (23,3%) dan tidak obstruksi sebanyak 10 (11,6%). Koefisien korelasi antara IPSS dan Qmax adalah r = - 0,32 (sangat lemah) signifikansi p = 0,002. Koefisien korelasi antara IPSS dengan BOOI adalah r = 0,28 p = 0,008. Koefisien korelasi antara Qmax dan BOOI adalah r = - 0,45 p = 0,00. Hasil uji Anova didapatkan adanya perbedaaan Qmax yang bermakna p=0,041 (p<0,05) diantara derajat LUTS. Pada penelitian ini tidak ada perbedaan BOOT yang bermakna (p=0,093) diantara derajat LOTS. Tidak ada perbedaan Qmax yang bermakna (p = 0,12 ) diantara BOOT.
Kesimpulan: Keluhan LUTS yang diukur dengan IPSS mempunyai korelasi sangat lemah tetapi signifikan dengan pemeriksaan obyektif yang diukur dengan uroflowmetri dan urodinamik. Pemeriksaan uroflowmetri mempunyai korelasi sangat lemah tetapi signifikan dengan pemeriksaan urodinamik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library