Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Prasetyo
Abstrak :
Komunitas Basis, merupakan suatu konsep yang sedang dikembangkan oleh organisasi Gereja Katolik yang diwakili oleh mereka yang berada di Konferensi Wali Gereja Katolik Indonesia. Keinginan untuk mengembangkan komunitas Basis ini sudah dicanangkan sejak konsili Vatikan II, yaitu suatu pertemuan antara Para kardinal sedunia. Kardinal adalah pimpinan tertinggi gereja Katolik dalam suatu negara. Kemudian dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2000, keinginan ini dipertegas dengan dikeluarkannya kebijakan untuk mengembangkan komunitas basis di keuskupan masing-masing. Keuskupan adalah batas wilayah administratif yang dalam pemerintahan dapat disejajarkan dengan propinsi. Namun untuk satu wilayah keuskupan tidak terbatas pada satu propinsi saja, seperti misalnya keuskupan Agung Jakarta yang meliputi juga daerah Bekasi, Tangerang, serta Banten. Awal ketertarikan peneliti untuk mengkaji komunitas basis didasarkan pada adanya antagonis, antara struktur gereja yang hirarki dengan pola yang top down dengan komunitas basis yang justru berangkat dari bawah. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana suatu organisasi yang sedemikian hirarkinya mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan suatu gerakan yang bottom up. Sejalan dengan berlangsungnya pengumpulan data dan analisa data yang ada, maka topik penelitian ini mengalami beberapa kali perubahan, yang di dalam penelitian kualitatif hal itu sangat dimungkinkan. Jika pada awalnya peneliti tertarik untuk mengkaji perkembangan komunitas basis, maka pada akhirnya penulis justru tertarik untuk mengkaji mengenai konsep komunitas basis yang berkembang. Tidak adanya batasan yang baku serta batasan operasional yang ditetapkan oleh organisasi gereja katolik membuat begitu banyaknya variasi yang berkembang bukan hanya di kalangan umat (tercatat ada 21 variasi) tetapi juga di kalangan mereka yang berada di lingkungan struktur organisasi gereja katolik. Dengan memakai kerangka pemikiran dari Coleman tentang modal sosial, Marx dan Gramsci tentang keberadaan basis di dalam dan di luar struktur, serta pemikiran Mannheim dan Berger tentang pengetahuan, maka peneliti memulai penelitian dengan mengajukan permasalahan yaitu, Apakah Komunitas Basis hanya merupakan gagasan utopis (tipe ideal) yang tidak akan mungkin terjadi? Pertanyaan mendasar ini dijabarkan lebih jauh dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah ada batasan (definisi) baku mengenai komunitas basis? Apakah ada ukuran baku yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan komunitas basis? Apakah komunitas basis merupakan suatu dasar dari struktur organisasi Gereja katolik? Apa yang disebut basis di dalam komunitas basis? Dalam menjawab pertanyaan penelitian, maka hipotesa kerja yang digunakan peneliti sebagai berikut: pertama: Tidak adanya batasan baku yang operasional di kalangan umat, bahkan di pusat hirarki membuat komunitas basis saat ini hanya merupakan gagasan utopis. Hipotesa kerja Kedua: ketika komunitas basis berada di luar struktur organisasi gereja, maka pengaruh top down dari hirarki menjadi hilang (setidaknya berkurang) dan komunitas basis dapat berkembang, serta hipotesa ketiga: komunitas basis merupakan bentuk potensial terbentuknya sekte-sekte di kalangan gereja Katolik, jika konsep komunitas basis disalahartikan sebagai gerakan kebebasan untuk melawan struktur yang ada. Dalam mengkaji hipotesa kerja ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, dan penelitian ini termasuk ke dalam grounded research. Metode utama yang digunakan adalah wawancara mendalam yang dilakukan terhadap tiga orang informan. Peneliti memutuskan hanya tiga informan, karena dari ketiganya terdapat variasi jawaban yang berbeda tentang konsep komunitas basis, dan untuk mendukung alasan peneliti ini, maka dilakukan penyebaran angket terhadap 50 responden. Dari penyebaran terhadap 50 responden, angket yang kembali sejumlah 37 buah. Metode lain yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber beberapa buku tentang komunitas basis, dokumen-dokumen, serta beberapa majalah yang terkait, serta dimasukkan pula hasil refleksi atas pengalaman peneliti yang berkait dengan komunitas basis. Hasil penelitian yang dapat disampaikan dalam hasil karya ini antara lain terdapatnya banyak variasi tentang pemahaman umat tentang komunitas basis. Hal ini disebabkan gereja sendiri tidak memiliki batasan yang baku tentang komunitas basis. Pada akhirnya komunitas basis hanya merupakan gagasan yang utopis yang tidak akan pernah terjadi, dan hal ini juga diakui oleh ketiga informan. Komunitas basis yang (boleh dikatakan) sudah berkembang saat ini adalah komunitas basis yang berada di luar struktur gereja. Mereka dapat berkembang karena tidak adanya campur tangan organisasi gereja. Dalam melihat komunitas basis kita bisa klasifikasikan ke dalam empat tipologi, yaitu komunitas basis yang berada di dalam struktur yang sejalan dengan pemikiran Marx tentang basis, serta komunitas basis yang berada di luar struktur yang sejalan dengan pemikiran Gramsci. Baik di dalam maupun di luar struktur, komunitas basis bisa merupakan gerakan yang menopang maupun yang melawan struktur. Gerakan komunitas basis yang dijadikan sebagai perlawanan terhadap struktur merupakan gerakan yang potensial untuk menjadi sekte-sekte atau sel-sel yang ada di dalam struktur gereja. Hambatan utama terhadap perkembangan komunitas basis adalah budaya kemapanan dan budaya patriarki. Kedua faktor ini sulit untuk dihilangkan karena sudah berlangsung lama. Perlu perombakan yang menyeluruh agar kedua budaya ini dapat dihilangkan. Akhirnya Peneliti sampai kepada keinginan untuk memberikan masukan kepada Gereja Katolik agar membuat batasan yang lebih baku dan operasional tentang komunitas basis. Ketika batasan yang baku sudah ada, maka sosialisasi hingga ke tingkat bawah (umat) juga perlu dilakukan, agar terdapat kesamaan pengetahuan antara umat yang satu dengan yang lain. Dan dari semua konsep yang ada tentang komunitas basis, maka konsep yang digagas oleh Frans Magnis Suseno, menurut peneliti merupakan konsep yang paling tepat untuk dijalankan dalam konteks Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11670
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardyansyah Jintang
Abstrak :
Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman adalah sesuatu yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 juga mengatur keberadaan badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Tulisan ini membahas ruang lingkup badan-badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan bagaimana Konsep Ideal Independensi badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yakni menggunakan sumber hukum primer, sekunder dan tersier sebagai bahan penelitian. Tulisan ini menemukan ruang lingkup badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman adalah badan yang memiliki fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan, pemberian jasa hukum, dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yakni di antaranya adalah Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan, Organisasi Advokat, dan Badan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Namun tidak semua dari fungsi-fungsi tersebut telah terdapat badannya yang diatur dalam undang-undang. Tulisan ini mengusulkan idealnya dilakukan perubahan pengaturan kelembagaan dan pembentukan badan baru untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yakni perubahan pada lembaga Kejaksaan, pembentukan Organisasi Advokat oleh negara, pembentukan Badan Eksekusi Negara, dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Nasional, sehingga independensi dari badan-badan tersebut tetap terjaga sebagai yang terkait atau bagian dari kekuasaan kehakiman. ......This thesis examines the scope and concept of bodies related to the judiciary's The Independence of the Judicial Power is guaranteed by Article 24, paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945). Article 24, paragraph (3) of the UUD 1945 also regulates the existence of bodies related to Judicial Power. This thesis discusses the scope and concept of these bodies that are related to Judicial Power and the ideal concept of their independence in Indonesia. This research used legal-normative method, employing primary, secondary, and tertiary legal sources. The thesis finds that the scope of bodies related to Judicial Power includes those with functions in investigation and prosecution, execution of court decisions, provision of legal services, and dispute resolution outside the court, i.e., the Police, the Prosecutor's Office, Penitentiary Institutions, Bar Associations, and Resolution of Disputes outside of the Judicial System Bodies. However, not all of these functions have corresponding bodies established by law, thus this thesis proposes institutional arrangements should be changed, and several new bodies should be established to implement the provisions of Article 24, paragraph (3) of the UUD 1945. These changes include reforms to the Attorney General's Office, the establishment of a State Bar Association, the creation of a National Execution Body, and the formation of National Dispute Resolution Body, so that the independence of these bodies is maintained as related or part of the judicial power.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fauzi
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang Formulasi Ideal Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Kebijakan Presiden dalam pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan kondisi atau parameter yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi mengenai “keadaan memaksa” yang memaksa Presiden untuk membentuk Perppu. Dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 disebutkan adanya keadaan atau kebutuhan mendesak yang harus segera diselesaikan hanya dengan undang-undang, tetapi undang-undang yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah atau kebutuhan mendesak tersebut belum ada, atau hukum tidak cukup untuk menyelesaikan masalah mendesak atau kebutuhan-kebutuhan tersebut. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang memiliki kedudukan yang sama dengan undang-undang. Dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut sistem presidensial harus tetap dipertahankan keberadaannya, yang harus ditekankan dengan memperhatikan persyaratan “Kegentingan yang memaksa” sebagai dasar dikeluarkannya Perppu. Presiden sebagai penggagas Perppu, sepintas lalu dengan mudah menerbitkannya, bermaksud untuk memenuhi tekanan kelompok kepentingan, tanpa mempertimbangkan substansi persyaratan penerbitan Perppu, bahkan sebulan sebelum undang-undang itu berlaku, karena ada tekanan, Perppu segera dikeluarkan. Untuk menjawab mmakna urgensi yang mendesak, perlu dirumuskan secara jelas baik definisi maupun syarat agar opini subjektif presiden berada dalam koridor yang jelas. Tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif karena menitikberatkan pada penelitian kepustakaan yang intinya meneliti asas- asas hukum, sistematis hukum, dan sinkronisasi hukum dengan cara menganalisanya. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. ......This thesis discusses the Ideal Formulation of the Formation of Government Regulations in Lieu of Laws. The President's policy in the formation of Perppu Number 1 of 2020 contradicts the conditions or parameters set by the Constitutional Court regarding the "forced circumstances" that forced the President to form the Perppu. In the decision of the Constitutional Court Number 138/PUU-VII/2009 it is stated that there are urgent situations or needs that must be resolved immediately only by law, but the laws needed to solve the problems or urgent needs do not yet exist, or the law is not sufficient to solve the problems urgent or those needs. Government regulations in lieu of laws have the same position as laws. In the system of the Unitary State of the Republic of Indonesia, which adheres to a presidential system, its existence must be maintained, which must be emphasized by taking into account the requirements of "Forcing urgency" as the basis for the issuance of a Perppu. The President as the initiator of the Perppu, at first glance easily issued it, intended to meet the pressure of interest groups, without considering the substance of the requirements for the issuance of the Perppu. To answer the meaning of urgent urgency, it is necessary to clearly formulate both definitions and requirements so that the president's subjective opinion is in a clear corridor. This thesis uses normative juridical research because it focuses on library research which essentially examines legal principles, legal systems, and legal synchronization by analyzing them. The data obtained were analyzed using a qualitative descriptive method
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Wulandari
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas eksperimen bahasa cinta yang dilakukan Heinrich von Kleist dalam drama Penthesilea. Eksperimen pemikiran tersebut berangkat dari pandangan skeptis Kleist terhadap bahasa, bahwa bahasa tidak dapat secara tepat merepresentasikan pikiran dan perasaan manusia.

Analisis dilakukan terhadap komunikasi yang terjalin antara kedua tokoh utama drama ini, Penthesilea dan Achill yang saling mencintai. Komunikasi itu sendiri ditinjau dari dua dimensi komunikasi yang dihadirkan oleh Kleist, yakni komunikasi verbal dan non verbal. Hasil analisis menunjukkan bahwa dimensi komunikasi tersebut mempengaruhi sifat hubungan asmara antara Penthesilea dan Achill. Berbeda dengan hubungan cinta mereka yang identik dengan kekerasan tatkala mereka tidak berbincang-bincang, pada saat keduanya menggunakan bahasa, hubungan cinta mereka berdua sekilas tampak harmonis. Namun sesungguhnya justru pada permainan bahasa yang dilakukan oleh Achill inilah terletak unsur tragis dari drama Penthesilea. Bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan cinta dengan harapan dapat membuat hubungan asmara mereka semakin mesra justru mengakhiri hubungan cinta mereka. Penthesilea salah paham terhadap permainan bahasa yang dilakukan dengan semena-mena oleh Achill, sehingga ia membunuh Achill. Kematian Achill menandakan kegagalan eksperimen bahasa cinta Heinrich von Kleist.

Kegagalan eksperimen bahasa cinta Heinrich von Kleist tersebut menunjukkan bahwa usaha pencarian bentuk bahasa ideal yang dilakukan Kleist merupakan usaha filosofis yang pada kanyataannya memang tidak pernah selesai dalam menemukan jawaban atas masalah kehidupan.
1999
S14763
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Khalimah
Abstrak :
Tesis ini menganalisis karakteristik layanan rehabilitasi psikososial yang ideal untuk diajukan menjadi layanan unggulan. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatis dengan analisis konten melalui wawancara mendalam, telaah dokumen, dan CDMG (Consensus Decision Making Group). Kerangka konsep menggunakan teori sistem dengan menganalisis karakteristik input yang terdiri dari karakteristik petugas, pasien, biaya, sarana prasarana, metode pelayanan, karakteristik proses yaitu proses pelayanan rehabilitasi psikososial, karakteristik output yaitu indikator layanan rehabilitasi psikososial dan karakteristik feedback yaitu sistem monitoring dan evaluasi. Hasil penelitian didapatkan jumlah dan kualitas petugas belum ideal, jumlah pasien yang mengikuti rehabilitasi belum sesuai kriteria ideal, sarana prasarana masih perlu dilengkapi, proses pelayanan sudah sesuai dengan karakteristik ideal, indikator pelayanan menggunakan GAF dan selama ini belum dilaksanakan, sistem monitoring dan evaluasi masih perlu ditingkatkan kualitasnya. ...... This thesis discussed the analysis of psychosocial rehabilitation service characteristic that is considered ideal to be proposed as the top seeded service. The research design is qualitative study with content analysis using in-depth interview, document search and CDMG (Consensus Decision Making Group). The concept framework used the system theory to analize input characteristics such as the characteristics of officer, patient, cost, facilities and infrastructure, method of services; process characteristic i.e., the process of psychosocial rehabilitation service; and output characteristic, i.e., indicator of psychosocial rehabilitation service and feedback characteristics that comprised of monitoring and evaluation system. Results obtained from this research are as follows: the amount and quality of officer is not ideal, the amount of patients enrolled in rehabilitation has not yet fulfilled the ideal criteria, facilities and infrastructure still in need to be completed, service process is already in accordance to the ideal characteristic, service indicator using GAF is yet to be conducted, and the monitoring and evaluation system still needs to be improved in quality.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagas Martyo Ashari
Abstrak :
Pengertian, pemahaman, bentuk, serta segala pengetahuan tentang tubuh dewasa ini dibentuk oleh pemiliknya serta institusi sosial pula. Hal-hal itu mendorong seseorang memilki keinginan untuk membentuk tubuhnya dengan lebih baik. Kehadiran gym dan fitness center dijadikan sarana untuk mencapai hal itu. Konsep demikian dikenal pula dengan ideal man yang dapat dibentuk di dalam gym dan fitness center. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai gym dan fitness center yang membentuk gym culture dan pembentukan maskulinitas diri melalui perwujudan ideal man. Penelitian ini juga menjelaskan alasan perolehan identitas ideal man yang berakar dari pembentukkan ideal body. Untuk mencapai tujuan-tujuan itu, penelitian ini menggunakan metode etnografi dan dilakukan di Junior GYM yang terletak di Cibubur dan Pabrik Otot (PO-FC) yang terletak di daerah Bintara, Bekasi Barat. Penelitian ini menunjukkan proses latihan di dalam gym membentuk seseorang menjadi ideal man berdasarkan tiga indikator, yaitu visual, pengetahuan, dan kekuatan. ......The understanding, comprehension, form and all knowledge of the body nowadays is shaped by its owners and social institutions as well. These things encourage a person to have the desire to better shape their body. The presence of a gym and a fitness center is used to achieve that goals. This concept is also known as the ideal man that can be trained in gyms and fitness centers. This study aims to provide an understanding of the gym and fitness center that forms a gym culture and the formation of self-masculinity through the realization of the ideal man concept. This study also explains the reasons for obtaining the ideal human identity which is rooted in the formation of the ideal body. To achieve these goals, this research uses ethnographic methods and is conducted at the Junior GYM which is located in Cibubur and Pabrik Otot (PO-FC) which is located in the region of Bintara, West Bekasi. This study shows that the process of training in the gym forms an ideal man based on three indicators; visual, knowledge, and strength.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feby Fariska Savira
Abstrak :
Latar belakang: Ribonucleic acid RNA adalah molekul yang tidak stabil secara termodinamik. Cara penyimpanan RNA sangat kritis untuk menjaga kuantitas dan kualitasnya agar dapat digunakan untuk analisis molekuler seperti real time-PCR. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui suhu ideal penyimpanan RNA di antara -80°C, -20°C dan 4°C dengan melihat perubahan pada konsentrasi RNA selama dua minggu masa penyimpanan. Metode: Delapan hati tikus dibagi menjadi 3 untuk setiap grup dengan berat masing-masing sampel 25-26 ug. Sampel hati dihomogenisasi dan diisolasi untuk mendapatkan RNA murni, lalu disimpan pada tiga suhu berbeda yakni -80°C, -20°C and 4°C. Absorbasi diukur dengan alat Varioskan Flash pada gelombang cahaya 260 dan 280 nm untuk mendapatkan konsentrasi dan kemurnian sampel. Hasil: Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara konsentrasi RNA dengan suhu penyimpanaan selama dua minggu, baik secara eksperimental dan secara statistik Kruskal-Wallis, -80°C p = 0.949; -20°C p = 0.885; 4°C p = 0.935 . Dapat disimpulkan bahwa suhu ideal untuk penyimpanan RNA tidak dapat ditetapkan. RNA dengan konsentrasi yang tinggi memiliki kemurnian yang tinggi juga. Kesimpulan: RNA dapat disimpan di suhu -80°C, -20°C dan 4°C selama dua minggu tanpa perubahan kuantitas. Tetapi, durasi studi sebaiknya diperpanjang paling tidak selama satu bulan untuk melihat penurunan pada konsentrasi RNA di suhu penyimpanan yang terkait. Walaupun konsentrasi pada sampel tidak berubah signifikan, kualitas pita RNA tidak dapat dievaluasi untuk analisis molekuler. Analisis kualitas RNA dapat dilakukan untuk melihat terjadinya degradasi.
Background Ribonucleic acid RNA is a thermodynamically unstable molecule. The way RNA samples are preserved is critical to maintain maximum yield and quality therefore it is useful for molecular analysis such as real time PCR. There are many contradictions and variations regarding the ideal temperature for RNA storage. The aim of this study was to find the ideal temperature for RNA storage among 80°C, 20°C and 4°C by observing for alteration in concentration over two weeks of storage time. Methods Eight mouse liver were each divided into 3 groups, weighed to 25 26 ug. Samples were homogenized and isolated for pure RNA, and were subsequently stored in temperatures of 80o C, 20°C and 4°C. Absorbance was measured with Varioskan Flash photometric tool, at wavelength of 260 and 280 nm. Concentration and purity of RNA samples were then calculated. Results There was no significant difference between concentrations of RNA samples stored in all temperatures across the duration of two weeks storage time, both experimentally and statistically Kruskal Wallis, 80o C p 0.949 20o C p 0.885 4o C p 0.935 . We conclude that the ideal temperature for RNA storage cannot be defined. Higher concentration of RNA coincides with higher RNA purity. Conclusion RNA can be stored in 80o C, 20o C and 4o C for two weeks without quantity reduction. However, longer duration of study, at least one month, is needed to observe whether RNA concentration will be reduced overtime in any of temperatures of storage. Despite the concentration that stayed constant over the duration of storage two weeks , we are unable to determine whether the quality is appropriate for use in molecular assays. Further RNA quality analysis is recommended to check for degradation.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
S7469
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Firdaus
Abstrak :
Makalah ilmiah akhir ini membahas situasi kerja yang tidak ideal dalam praktik magang yang saya alami di Galeri Seni. Tidak naif untuk diungkapkan bahwa praktik magang di Galeri Seni telah memberikan saya pengalaman berharga, khususnya dalam Bidang Kurasi Karya Seni—misalnya mampu mengembangkan keterampilan menulis, melatih menginterpretasikan makna dalam suatu karya seni, dan mengasah kemampuan riset. Pendekatan apprenticeship menjadi basis sentral dalam menggambarkan posisi pemagang sebagai pendatang baru yang hendak melakukan pembelajaran dengan menjadi bagian dari Galeri Seni. Namun, berdasarkan temuan dan analisis yang dilakukan, praktik magang tidak hanya tertuju pada pemerolehan keuntungan dengan mengeksplorasi berbagai hal. Tanpa disadari, praktik magang juga berpotensi membawa pada fenomena eksploitasi sehingga menyudutkan pemagang pada situasi kerja yang tidak ideal—seperti ketidaksesuaian kesepakatan kerja, kontrol berlebihan, ketimpangan relasi, dan lain sebagainya. Pendekatan apprenticeship menjadi kerangka antropologis yang mampu memproyeksikan fenomena eksplorasi dan eksploitasi yang berkelindan dan mampu menjangkau lebih detail dalam melihat fenomena persimpangan serta ketegangan dalam praktik magang di Galeri Seni. ......This final scientific paper discusses the non-ideal working situation in the apprenticeship I experienced at the Art Gallery. It would not be naive to say that my apprenticeship at an art gallery has given me valuable experience, especially in the field of curating works of art—for example, being able to develop my writing skills, practice interpreting meaning in works of art, and hone my research skills. The “apprenticeship approach” is the central basis for describing the position of apprentices as newcomers who want to do learning by becoming part of the Art Gallery. However, based on the findings and analysis conducted, apprenticeship practices are not only aimed at gaining profits by exploring various things. Unknowingly, the practice of apprenticeship also has the potential to lead to the phenomenon of exploitation, thereby cornering apprentices in non-ideal work situations—such as discrepancies in work agreements, excessive control, unequal relations, and so on. The “apprenticeship approach” becomes an anthropological framework that is able to project the intertwined phenomena of exploration and exploitation and is able to reach in more detail in viewing the phenomena of intersection and tension in the practice of apprenticeship at the Art Gallery.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Perpustakaan di era kekinian dimana kehidupan demokrasi semakin menggejala sudah semestinya memiliki tuntutan yang lebih dalam segala hal. Perpustakaan seharusnya dapat menjadi perpustakaan ideal bagi semua lapisan masyarakat, bukan saja masyarakat penggunanya. Perpustakaan umum yang ada di setiap daerah dapat mengambil peran dalam hal ini. Mengapa? Karena ia memungkinkan untuk diakses oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Berbeda dengan perpustakaan nasional yang berada di satu titik saja. Peran perpustakaan yang sudah menjalankan fungsi-fungsi utamanya (menghimpun dan mengelola informasi) sudah harus dikuasai dengan baik. Kini, perpustakaan dapat mengambil peran menjadi penyedia akses setara dalam hal pengetahuan dan ide-ide setiap individu sebagai seorang warga negara, serta dapat 'mendemokratisasi' pengetahuanyang dimiliki.
020 VIS 12:2 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>