Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Fidiaji Hiltono Santoso
Abstrak :
Latar Belakang: Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan salah satu komplikasi progresivitas pneumonia, dengan risiko mortalitas dan kebutuhan ventilasi mekanik yang sangat tinggi. Identifikasi risiko tinggi kejadian ARDS sangat penting untuk meningkatkan kewaspadaan tenaga medis dan upaya pencegahan yang optimal. Tujuan: Mengetahui insidens ARDS pada pasien pneumonia dan mengetahui apakah hipoalbuminemia dapat memprediksi kejadian ARDS dalam 14 hari perawatan. Metode: Studi kohort prospektif pasien pneumonia yang dirawat ruang rawat inap RSPUN dr. Cipto Mangunkusumo dalam periode 1 Agustus-31 Desember 2015. Hipoalbuminemia didefinisikan sebagai kadar albumin admisi < 2,5 g/dL. Kejadian ARDS dinilai berdasarkan pemenuhan kriteria Berlin dalam 14 hari perawatan. Hasil: Subjek pada penelitian ini sebanyak 120 pasien. Insidens kumulatif ARDS sebesar 17,5% (IK95% 10,7%-24,3%). Analisis bivariat menunjukkan hipoalbuminemia dapat memprediksi peningkatan risiko ARDS dalam 14 hari perawatan (RR 3,455; IK 95% 1,658-7,200). Terdapat hubungan bermakna antara sepsis saat admisi dan keseimbangan cairan dengan kejadian ARDS dalam 14 hari perawatan. Analisis multivariat menunjukkan RR hipoalbuminemia setelah penyesuaian adalah 3,274 (IK 95% 1,495-5,528), dengan variabel perancu sepsis saat admisi. Simpulan: Insidens ARDS pasien pneumonia dalam 14 hari perawatan adalah 17,5%. Hipoalbuminemia dapat memprediksi peningkatan risiko kejadian ARDS dalam 14 hari perawatan pasien pneumonia. ...... Background: Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) is one of complication for pneumonia progression, it is associated with higher risk of mortality and increased need for mechanical ventilation. Identification of patients with high risk of developing ARDS is essential to increase physician alertness and ensure optimal prevention. Purpose: To obtained information about incidence of ARDS in pneumonia diagnosed patients, and if hypoalbuminemia can predict occurrence of ARDS in 14 days after diagnosed pneumonia. Method: Prospective cohort study in pneumonia diagnosed patients admitted in August until 31 December 2015, with 14 days of observation, all patient is being treated in medical ward unit of Cipto Mangunkusumo Hospital. Hypoalbuminemia is defined as albumin level below 2,5 g/dL and ARDS is defined by Berlin criteria. Result: The study has enrolled 120 patient. Cumulative incidence of ARDS is 17,5% (IK95% 10,7%-24,3%). Bivariate analysis showed hypoalbuminemia could predict increased risk of ARDS in 14 days after diagnosed pneumonia (RR 3,455; IK 95% 1,658-7,200). There is significant relationship between sepsis at time of admission and mean fluid balance. Multivariate analysis shows adjusted RR 3,274 (IK 95% 1,495-5,528), with sepsis at time of admission as a confounder. Conclusion: Cumulative incidence of ARDS in pneumonia diagnosed patient after 14 days is 17,5%. Hypoalbuminemia could predict increased risk of ARDS in 14 days of treatment in pneumonia diagnosed patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardeno Kristianto
Abstrak :
Latar belakang: Pemberian albumin hiperonkotik intravena lazim dilakukan pada pasien hipoalbuminemia berat (kadar albumin plasma ≤2,5 g/dl). Walaupun demikian, hingga ini, berbagai referensi menunjukkan hasil yang inkonklusif terkait manfaat "koreksi" kadar albumin pada pasien, terutama dalam menurunkan mortalitas dan morbiditas. Metode: Penelitian ini menilai karakteristik pasien hipoalbuminemia berat dan pola penggunaan albumin intravena hiperonkotik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Analisis kesintasan dilakukan dengan variabel bebas berupa pemberian albumin intravena, penyakit dasar, kadar albumin saat admisi dan sebelum pemberian, serta durasi hingga temuan hipoalbuminemia berat. Data deskriptif ditampilkan terkait pemberian albumin, yaitu mencakup jumlah yang diberikan dan respons terhadap pemberian albumin. Hasil dan Diskusi: Mayoritas pasien (79,19%) dengan kadar albumin ≤2,5 g/dl diberikan albumin hiperonkotik intravena. Insidens mortalitas 30 hari pada pasien hipoalbuminemia berat adalah 47,20%. Pemberian albumin intravena didapatkan tidak memiliki hubungan bermakna dengan kesintasan 30 hari (HR 0,902; IK 95% 0,598-1,361; p=0,624). Faktor yang berhubungan bermakna dengan kesintasan 30 pada pasien hipoalbuminemia berat adalah sepsis, syok hipovolemik, keganasan padat, serta temuan kadar albumin sebelum pemberian ≤2,0 g/dl. Kesimpulan: Pemberian albumin hiperonkotik intravena pada pasien rawat inap tidak berhubungan dengan kesintasan 30 hari. ......Introduction: Intravenous hyperoncotic albumin administration is a common practice to be done to patients with severe hypoalbuminemia (plasma albumin level ≤2.5 g/dl). However, until now, many references has shown inconclusive results associated with "correction" of albumin level in patients, especially in reducing mortality and morbidity. Method: This study assessed severe hypoalbuminemia patients' characteristics and pattern of use from hyperoncotic albumin intravenously in Cipto Mangunkusumo National Hospital. Survival analysis was done with independent variables including: intravenous albumin administration, underlying diseases, albumin level during admission and before albumin administration, as well as time duration from admission to severa hypoalbuminemia detection. Descriptive data was also shown associated with albumin administration consisted of amount of albumin given and response after albumin administration. Result and Discussion: Majority of subjects (79.19%) with albumin level ≤2.5 g/dl was given hyperoncotic albumin intravenously. Incidences of 30-day mortality in severe hypoalbuminemia patients is 47.20%. There as no association between intravenous albumin administration and 30-day survival (HR 0.902; 95 CI% 0,598-1.361; p=0.624). Factors which were found associated with 30-day mortality are sepsis, hypovolemic shock, solid malignancy, and findings of albumin level ≤2.0 g/dl before albumin administration. Conclusion: Hyperoncotic intravenous albumin administration didn't associate with 30-days survival.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhendro Suwarto
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan. Salah satu petanda demam berdarah dengue adalah kebocoran plasma dan aktivasi sistem koagulasi yang menyebabkan peningkatan konsentrasi D dimer akibat degradasi bekuan fibrin. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan D dimer dengan parameter laboratorium kebocoran plasma yaitu: trombositopenia, hipoalbuminemia, hemokonsentrasi, dan peningkatan serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT). Metode. Penelitian retrospektif dilakukan di rumah sakit swasta di Jakarta pada bulan Desember 2016 sampai dengan Maret 2018. Penderita berusia >14 tahun dengan infeksi dengue dan NS 1 positif diikutsertakan ke dalam penelitian ini dan dibagi menjadi kelompok demam dengue (DD) atau demam berdarah dengue (DBD). Uji Mann Whitney digunakan untuk variabel non parametrik, sedangkan uji Spearman digunakan untuk korelasi antara variabel numerik yang tidak terdistribusi normal. Hasil. Tujuh puluh tiga penderita infeksi dengue yang terdiri atas 29 (39,7%) wanita dan 44 (60,3%) pria ikut dalam penelitian ini. Sebanyak 43 (58,9%) merupakan kelompok penderita DD, sedangkan 30 (41,1%) kelompok penderita DBD. Konsentrasi D dimer fase demam kelompok DBD lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok DD (p = 0,004). Didapatkan korelasi lemah antara konsentrasi D dimer fase demam dengan derajat penurunan trombosit (r = 0,35; p = 0,003) dan korelasi terbalik lemah antara konsentrasi D dimer fase demam dengan konsentrasi albumin (r = -0,34; p = 0,049). Didapatkan korelasi lemah antara konsentrasi D dimer fase kritis dengan derajat penurunan trombosit (r = 0,39; p = 0,034) dan korelasi terbalik sedang antara konsentrasi D dimer fase kritis dengan konsentrasi albumin (r = -0,43; p = 0,032). Simpulan. Konsentrasi D dimer pada penderita DBD pada fase demam lebih tinggi dibandingkan penderita DD. Konsentrasi D dimer berkorelasi dengan derajat penurunan trombosit dan hipoalbuminemia.
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Leovinna
Abstrak :
Protein energy wasting (PEW) merupakan sindrom gangguan nutrisi yang sering terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) dengan hemodialisis rutin sekitar 28-80%. Proses hemodialisis dapat meyebabkan hilangnya nutrien seperti asama amino, meningkatkan proses inflamasi yang kemudian dapat meningkatkan katabolisme protein, dan dapat menghambat utilisasi asam amino dalam sintesis protein. Jika tidak ditangani, PEW dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien PGK. Tujuan utama penelitian adalah untuk mengetahui profil asam amino pasien PGK dengan hemodialisis rutin. Desain penelitian adalah potong lintang dengan 60 subjek pasien PGK usia >18 tahun dengan hemodialisis rutin di RS. Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangukusumo. Sampel berupa dried blood spot (DBS) dan pemeriksaan asam amino menggunakan metode Liquid Chromatography Tandem Mass Spectrometry (LC-MS/MS). Asam amino yang diperiksa adalah asam amino nonesensial (alanin, arginin, asam aspartat, asam glutamat, asparagin, glisin, glutamin, prolin, serin, tirosin), esensial (histidin, fenilalanin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, treonin, triptofan, valin), dan khusus (ornitin, sitrulin). Hasil penelitian didapatkan hampir semua kadar asam amino pada subjek lebih rendah terutama alanin, tirosin, histidin, dan valin; sebaliknya asam aspartat dan serin ditemukan lebih tinggi kadarnya dibandingkan nilai rujukan Mayo dan data internal dewasa sehat. Didapatkan adanya hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan fenilalanin, isoleusin, leusin; hipoalbuminemia (albumin <4 g/dL) dengan glisin; hipoalbuminemia (<3,5 g/dL) dengan arginin, asam aspartat, asparagin, histidin, lisin, metionin, dan ornitin. Didapatkan korelasi yang bermakna antara usia dengan BCAA (isoleusin, leusin, valin), dan metionin; dan hemoglobin dengan isoleusin. Penelitian ini merupakan penilitian pertama tentang profil asam amino pada pasien PGK dengan hemodialisis di Indonesia dan penelitian pertama kali yang menggunakan sampel DBS pada orang dewasa. Dengan diketahuinya profil asam amino pada PGK dapat dimanfaatkan sebagai dasar pemberian jenis suplementasi asam amino yang sesuai dengan populasi pasien PGK dengan hemodialisis di Indonesia. ......Protein energy wasting (PEW) is a nutritional disorder syndrome that often occurs in patients with chronic kidney disease (CKD) on routine hemodialysis around 28-80%. The process of hemodialysis can cause the loss of nutrients such as amino acids, increase the inflammatory process which can increase protein catabolism, and be able to inhibit the utilization of amino acids in protein synthesis. If untreated, PEW can increase the morbidity and mortality of CKD patients. The main objective of the study was to determine the amino acid profile of CKD patients on routine hemodialysis. The study design was cross sectional with 60 subjects of CKD patients aged >18 years on routine hemodialysis at Dr. Cipto Mangunkusumo National Public Hospital. Samples in the form of dried blood spot (DBS) and amino acid examination using the Liquid Chromatography Tandem Mass Spectrometry (LC-MS/MS) method. Amino acids examined were nonessential amino acids (alanine, arginine, aspartic acid, glutamic acid, asparagine, glycine, glutamine, proline, serine, tyrosine), essential (histidine, phenylalanine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, glycine, glutamine, proline, serine, tyrosine), special (ornithine, citrulline). The results showed that almost all amino acid levels in the subjects were lower especially alanine, tyrosine, histidine, and valine; in contrast, aspartic acid and serine were found to be higher than Mayo reference value and internal data of healthy adults. A significant relationship was found between gender and phenylalanine, isoleucine, leucine; hypoalbuminemia (albumin <4g/dL) with glycine; hypoalbuminemia (<3.5 g/dL) with arginine, aspartate acid, asparagine, histidine, lysine, methionine, and ornithine. Significant correlation was obtained between age with BCAA (isoleucine, leucine, valine), and methionine; and hemoglobin with isoleucine. This study is the first study of the amino acid profile in CKD patients with hemodialysis in Indonesia and the first study using DBS samples in adults. Knowing the amino acid profile in CKD can be used as a basis for the of amino acid supplementation that is suitable for the population of CKD patients with hemodialysis in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Albumin mempunyai fungsi perlindungan terhadap fisiologi tubuh manusia. Pada penurunan kadar albumin fungsi homeostasis dapat terganggu, sehingga dapat menyebabkan terjadinya proses-proses patologis pada tubuh. Hipoalbuminemia dapat terjadi segera pascaoperasi. Penggunaan albumin untuk tatalaksana hipoalbuminemia masih diragukan manfaat dan keamanannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah pemberian albumin bermanfaat secara signifikan terhadap menurunya angka mortalitas dan lama rawat di rumah sakit pada pasien hipoalbuminemia pascaoperasi. Metode : Penelitian ini merupakan observasional, dengan mengambil 224 data pasien hipoalbuminemia pascaoperasi usia 18-65 tahun yang menjalani perawatan di UPI periode 1 Januari 2012 ? 31 Desember 2013. Pasien dengan gangguan fungsi jantung, hepar, ginjal dan sepsis dieksklusi. 112 pasien ditransfusi albumin 20% 48 jam pascaoperasi di UPI dan 112 pasien tidak ditransfusi albumin. Kemudian diobservasi apakah pasien meninggal dalam 28 hari pascaoperasi dan lama rawat di rumah sakit. Hasil : Hubungan transfusi albumin pasien hipoalbuminemia pascaoperasi dengan mortalitas 28 hari secara statistik bermakna, dimana risiko kematian kelompok yang ditransfusi albumin 0,309 kali dibandingkan dengan tidak ditransfusi albumin. Lama rawat di rumah sakit antara kelompok yang ditransfusi albumin dengan tidak ditransfusi albumin secara statistik tidak berbeda. Kesimpulan : Transfusi albumin pada pasien hipoalbuminemia 48 jam pascaoperasi dapat mengurangi risiko kematian dan transfusi albumin pada pasien hipoalbuminemia 48 jam pascaoperasi tidak mempengaruhi lama perawatan di rumah sakit.
ABSTRACT
Background : Albumin has a protective function against the physiology of the human body. A decrease in albumin homeostasis function can be disrupted, which can result in pathological processes in the body. Hypoalbuminemia may occur immediately postoperatively. The use of albumin for the treatment of hypoalbuminemia is doubtful efficacy and safety. This study was conducted to determine whether the beneficial albumin administration significantly to the decline in mortality and length of stay in hospital in patients with postoperative hypoalbuminemia. Method : This is an observational study, taking 224 postoperative patient data hypoalbuminemia aged 18-65 years who underwent treatment at UPI period of 1 January 2012-31 December 2013. Patients with impaired function of the heart, liver, kidney and sepsis were excluded. 112 patients transfused albumin 20% 48 hours postoperatively in the UPI and 112 patients not transfused albumin. Then observed whether patients died within 28 days postoperatively and length of stay in the hospital. Result : Relations albumin transfusion in postoperative hypoalbuminemia patients with 28 days mortality were statistically significant, where the risk of death transfused group albumin 0.309 times than not transfused albumin. Long hospital stay between groups transfused albumin with albumin transfusion was not statistically different. Conclusion : Albumin transfusion in patients with hypoalbuminemia 48 hours postoperatively may reduce the risk of death and albumin transfusion in patients with hypoalbuminemia 48 hours postoperatively did not affect the length of stay in hospital.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library