Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Geneva: World Health Organization, 1980
362.198 2 PRE
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Riski Ari Fitriyani
Abstrak :
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui paparan udara dan mayoritas menyerang paru-paru. Keluhan utama yang kadang muncul pada pasien dengan TB paru di antaranya adalah dispnea. Dispnea merupakan keluhan subjektif berupa kesulitan dalam bernapas yang seringkali diabaikan petugas kesehatan namun dapat berdampak pada morbiditas dan mortalitas. Standar penanganan dispnea di rumah sakit hingga saat ini belum ditetapkan. Manajemen dispnea yang tersedia dapat diterapkan pada pasien namun hasilnya bervariasi dan belum dapat dibuktikan bahwa manajemen standar merupakan langkah yang memberikan manfaat terbaik. ACBT dapat ditambahkan sebagai penanganan dispnea secara nonfarmakologis. Latihan ACBT diterapkan pada pasien TB paru selama 15 sampai dengan 20 menit selama lima hari berturut-turut dengan tujuan untuk menurunkan keluhan dispnea dan mengeluarkan sputum dari jalan napas. Kriteria keberhasilan intervensi dilihat dari adanya penurunan frekuensi napas dan keluaran sputum setelah intervensi. Hasil penerapan latihan ACBT pada pasien menunjukan adanya dampak positif terhadap penurunan keluhan dispnea namun belum memberikan efektifitas berarti pada pengeluaran sputum. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan terhadap ACBT dengan postural drainage untuk meningkatkan pengeluaran sputum.
Pulmonary tuberculosis is an infectious disease that is transmitted through air exposure and the majority attacks the lungs. The main complaint that sometimes arises in patients with pulmonary TB including dyspnea. Dyspnea is a subjective complaint in the form of breathing difficulties that is often overlooked by health workers but can have an impact on morbidity and mortality. The standard for dyspnea intervention in hospitals has not yet been established. Available dyspnea management can be applied to patients but the results vary and it has not been proven that standard management is the step that provides the best benefits. ACBT can be added as a nonpharmacological treatment of dyspnea. ACBT exercise were applied to pulmonary TB patient for 15 to 20 minutes for five consecutive days with the aim of reducing dyspnea and removing sputum from the airway. The outcome criteria for the intervention are seen from a decrease in the frequency of breath and sputum output after intervention. The results showed a positive impact on decreasing dyspnea but did not provide significant effectiveness on sputum clearance. Further research can be done on ACBT with postural drainage to increase sputum clearance.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muria Herlina
Abstrak :
Salah satu dampak krisis ekonomi adalah obat dan pengobatan oleh dokter menjadi mahal yang menyebabkan masyarakat beralih ke pengobatan alternatif. Pada kenyataannya, ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan belum sepenuhnya mampu menangani masalah-masalah kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemilihan jenis pengobatan alternatif dan faktor-faktor yang berhubungan dengan hal tersebut di Kota Bengkulu. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional untuk menyelidiki hubungan antara umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan, keyakinan dan sikap terhadap pemilihan jenis pengobatan alternatif. Responden adalah 100 orang kepala keluarga yang berdomisili lebih dari 3 tahun dilokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel sikap dan variabel pekerjaan yang berhubungan dengan pemilihan jenis pengobatan alternatif, sementara umur, pendidikan, pendapatan, pengetahuan dan keyakinan tidak berhubungan dengan pemilihan jenis pengobatan alternatif. Dari variabel-variabel tersebut, yang paling dominan hubungannya dengan pemilihan jenis pengobatan alternatif adalah sikap dengan nilai OR = 3,2937 (CI = 1,3511-8,0297). Proporsi pengobatan alternatif yang memilih jenis keterampilan adalah 62% yang terdiri dari 49% ditolong oleh tukang pijat, 10% oleh pijat refleksi dan 3% oleh sinshe akupuntur. Sementara itu proporsi yang memilih pengobatan alternatif jenis ramuan obat adalah 38% yang terdiri dari ramuan (19%), penjual jamu (16%), tabib (2%), dan pengobatan dengan pendekatan agama yang dipadukan dengan ramuan (1%). Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pengobatan alternatif dimasa yang akan datang maka disarankan untuk melakukan pengawasan dan pelatihan disamping memberikan sertifikat khususnya kepada tukang pijat, tukang pijat refleksi, penjual jamu dan pengobatan yang menggunakan ramuan. Disamping hal ini juga disarankan untuk meningkatkan kerjasama antara pengobatan altematif dengan para dokter sesuai bidang keahlian masing-masing. ...... One of the impact of economic crisis was the medicine as well as medication by doctor became expensive therefore many of the community turn to alternative medication. In fact, the science and technology of medication couldn't fully handle all health problems. The purpose of this research to know the description choosing kind of alternative medication usage and factors related it in Bengkulu City. The design of this research was cross sectional to investigate relationship between ages, education, occupation, income, knowledge, believe and attitude with choosing kind of alternative medication. The respondents are 100 head of families who had lived more than three years in the location of the research. The result of the research showed that attitude and occupation variables had relationship with choosing kind of alternative medication while age, education, occupation, income, and knowledge have no relationship. From those variables, the most dominant variable to alternative medication choosing kind was attitude with OR = 3, 2937 (CI = 1, 3511 - 8, 0297 ). The proportion of alternative medication who choose kind skilled was 62% which consist of 49% helped by message attendant, 10% by reflection message and 3% by sinshe acupuncture (Chinese healer). Meanwhile, the proportion who choose kind of alternative medication using compounds was 38% which consist of compounds (19%), jamu seller (16%), tabib (traditional healer) 2% as well as medication by using religious approach combined with compound (1%). In order to increase the quality of alternative medication choosing kind in the future, it was suggested to hold supervision and training and giving certificate especially to message attendants, reflection messenger, jamu sellers as well as medication using herbal compound. Besides this, it was also recommended to enhance the cooperation between alternative healers with doctors according to their skill respectively.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T2741
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyanti Abriyani
Abstrak :
Intervensi sosial dengan tema: "Pendidikan kesehatan untuk mengubah tingkahlaku hidup sehat" bertujuan untuk lebih memberdayakan para ibu di komunitas desa Tegalgede, Pameungpeuk, Ganit agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam peningkatan kesehatan keluarga. Kurangnya pengetahuan tentang hidup sehat rnenyebabkan mereka kurang mampu mencegah dan mengatasi masalah kesehatan yang ada. Situasi dan keadaan ini semakin memperlemah motivasi dan aktivitas mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan pencegahan masalah atau pemecahan masalah kesehatan yang ada di dalam keluarga dan komunitas mereka. Kondisi - merasa kurang berdaya - inilah yang akan diintervensi dan diubah sehingga muncul pengetahuan dan keyakinan bahwa mereka sebagai perempuan memiliki kemampuan dan dapat lebih berdaya memperbaiki kesejahteraan keluarga dan komunitas mereka. Perubahan tingkah laku ini akan diupayakan terjadi dalam diri mereka melalui intervensi pendidikan kesehatan untuk mengubah tingkahlaku hidup sehat berlandaskan pada teori Experiential Learning, Empowerment, dan teknik intervensi reedukasi berbasiskan pada pendidikan orang dewasa, pendekatan strength-building dan pemberdayaan komunitas yang berorientasi pada pengembangan komunitas. Intervensi pendidikan kesehatan untuk mengubah tingkahlaku hidup sehat yang diterapkan di komunitas desa Tegalgede ini telah menunjukkan hasil yang positif. Khususnya, ibu-ibu yang menjadi target intervensi ini mampu mencegah dan mengatasi masalah kesehatan keluarga mereka.
A social intervention with the theme: "Education of health for changing healthy-life behavior" was focused for empowering the women of Tegalgede village, Pameungpeuk, Garut. This program was also meant to enable them to participate actively in enhancing their family health. Their lack of knowledge for healthy Life had made them unable to make prevention and failures in handling their health problems. Such condition had also made their motivation and activities, in either preventing or handling the health problems, weakened - be it within their family environment or in the community. This condition - a perceived helplessness - was designated to be the object of this intervention program and meant to be changed by developing knowledge and beliefs that they, as women, possessed the capacity and empowered to improve the welfare of their family and the community. The behavior change was supposedly to materialize from within themselves by conducting an intervention program through education on health, in particular to change their health-life. The program was based upon some theories, among others: experiential learning, empowerment, re-educative intervention techniques for adults, strength-building approach, and development-oriented community empowerment. The implementation of this intervention program had brought up some positive results, particularly among the Tegalgede village women targeted for this intervention had shown some indications that they became capable to make prevention and solution of their family health problems.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18539
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasul Alim
Abstrak :
Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia, khususnya di daerah transmigrasi dan daerah endemis malaria yang didatangi penduduk baru dari daerah non-endemik. Sering terjadi letusan atau wabah yang banyak menimbulkan kematian. Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau merupakan kecamatan pemekaran dan daerah transmigrasi, sehingga sering terjadi pembukaan lahan baik oleh perusahaan maupun perorangan termasuk masyarakat tempatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lamanya tinggal di ladang berpindah dengan kejadian malaria di Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau. Rancangan penelitian adalah kasus kontrol. Kasus dan kontrol adalah subjek yang tinggal di ladang berpindah berturut-turut minimal 9 (sembilan) hari dan maksimal 3 (tiga) bulan terakhir yang berkunjung ke pelayanan kesehatan dalam wilayah Kecamatan Kemuning. Kasus disertai gejala klinis malaria (demam panas, sakit kepala dan menggigil secara berkala) dengan pemeriksaan sediaan darah plasmodium di laboratorium hasilnya positif. Kontrol tanpa gejala klinis malaria (demam panas, sakit kepala dan menggigil secara berkala) dengan pemeriksaan sediaan darah plasmodium di laboratorium hasilnya negatif, Hasil penelitian dengan alpha 5% terdapat perbedaan bermakna antara rata-rata lama tinggal di ladang berpindah dengan kejadian malaria. Nilai OR hasil analisis multivariat 14,26 (95% CI, 6,72 - 22,40), maka responden yang lebih lama tinggal di ladang berpindah lebih dari 26 hari akan terinfeksi malaria 14,26 kali dibanding yang tinggal kurang dari 26 hari setelah dikontrol variabel pemakaian repellent. Persamaan regresi logistik ganda menunjukkan peluang sebesar 19% yang lebih lama tinggal di ladang berpindah dan tidak memakai repellent terkena malaria. Disarankan kepada petugas kesehatan melakukan penyuluhan upaya pencegahan penularan penyakit malaria. Disarankan kepada masyarakat saat tidur di ladang selalu memakai kelambu dan bila keluar pada malam hari menggunakan repellent secara teratur. Bagi yang mempunyai ternak hendaknya membawa dan mengkandangkan ternaknya di ladang berpindah. Penanggung jawab program dapat kiranya membuat dan merencanakan kegiatan pemberantasan nyamuk malaria dengan program pemolesan kelambu dengan insektisida yang sesuai dan stimulan pengadaan dan penggunaan repellent.
The Relationship of Living in The Shifting Cultivation Lands and Malaria Infected in The Sub District of Kemuning Indragiri Hilir Regency in The Province of Riau In 2002Malaria still acts as one of crucial public health problems in Indonesia, especially in transmigration areas and other endemic areas malaria, which or inhabited by the new comers from non-endemic areas which often suffer this disaster. That has caused much mortality. Kemuning is a new sub-district and a transmigration area. The opening of new lands either by the company or individuals including by the local people often occurred here. This study aimed to measure the relation of living period in the shifting cultivation lands and malaria incidents in The Sub District of Kemuning Indragiri Hilir Regency in The Province of Riau. The design of the study was a case control design. The cases and control were subjects living in the shilling cultivation lands recently and continuously for at least 4 (four) days, and at length 3 (three) months who visited the Kemuning sub-district's area health services. Cases with malaria clinical symptoms (high fever, headache and periodic cold), and whose availability of plasmodium blood were positive after the checking up at the laboratory. The controls without malaria clinical symptoms (high fever, headache and periodic cold), and whose availability of plasmodium blood were negative after the checking up at the laboratory. The result of the study by using alpha was 5% of significant difference between average living lengths in the shifting cultivation lands to be infected by the malaria. The OR value result of multivariate analysis showed that was 14.26 (95% CI, 6,72 - 22,40), therefore the respondent with length of living ? 26 days in the shifting cultivation lands could be infected by the malaria for 14.26 times in the comparison with the one whose length period of living < 26 days with the malaria incidents after being would controlled by the variable of using repellent. The equation of multiple logistic regression showed that the probabilities was 19% in the shifting cultivation lands and not using repellent would be infected by malaria, in contrast only 1.85% would be infected by malaria and using repellent. It is suggested to the health personal to provide guidance to the people about the importance of malaria preventive. It is suggested that as steeping to use mosquito bed net during night staying in the land, if going out at night use the repellent routinely. To this people who owned livestock could take their animals with them and encage in the land. The program coordinator should make and plan the activities of malaria mosquito controls by of the polishing the mosquito bed net with the appropriate insecticides and the stimulant using repellent programs.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T 11360
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tita Supartini
Abstrak :
Di Kabupaten Ciamis sampai saat ini penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 1991 sampai dengan tahun 1995 terjadi KLB diare di wilayah Ciamis. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan angka kejadian penyakit diare, cakupan sanitasi dasar, iklim dan kondisi demografi berdasarkan perbedaan spatial di Kabupaten Ciamis tahun 1999-2002. Penelitian ini adalah penelitian ekologi dengan rancang bangun studi eksplorasi, menggunakan data sekunder tahun 1999-2002 yang terdiri atas data angka kejadian penyakit diare, cakupan air bersih, cakupan jamban, curah hujan, hari hujan dan kepadatan penduduk. Penelitian dan pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2003 di Kabupaten Ciamis. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh wilayah Kabupaten Ciamis tingkat kecamatan, yang kemudian dikelompokkan menjadi dua wilayah berdasarkan perbedaan spatial, yaitu wilayah yang mempunyai kerapatan kasus penyakit diare yang tinggi yaitu kecamatan-kecamatan yang berada si sekitar ibu kota kabupaten (Panumbangan, Cihaurbeuti, Cikoneng, Sadananya, Ciamis, Cipaku, Kawali, Jatinagara) dan kecamatan-kecamatan yang berada dekat dengan ibu kota kotif Banjar (Purwaharja, Banjar, Pataruman, Langensari). Wlayah yang mempunyai kerapatan kasus penyakit diare yang rendah, yaitu kecamatan-kecamatan yang tidak berada di sekitar ibu kota kabupaten dan ibu kota Kotip Banjar. Analisa dilakukan dengan menggunakan analisis spatial. Menurut hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari dua belas kecamatan yang mempunyai jumlah kasus yang tinggi, 66,7% - 75% merupakan kecamatan yang mempunyai cakupan air bersih rendah (≤75%) , seluruhnya merupakan kecamatan yang mempunyai cakupan jamban yang rendah (≤75%) dan sebanyak 66,7% kecamatan mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi (>950 jiwa/km2). Bulan Mei ketika curah hujan dan hari hujan mulai mengalami penurunan, jumlah kasus diare mengalami kenaikan sampai mencapai puncaknya pada bulan Juli ketika curah hujan dan hari hujan sangat rendah. Bulan Oktober-Nopember merupakan awal musim hujan, tetapi jumlah kasus diare masih tinggi. Pada wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi, perlu diperhatikan kondisi sanitasi lingkungan, sehingga tidak akan terjadi penularan lebih luas bila terdapat penderita diare, ditunjang dengan penyuluhan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat.
Diarrhea disease is a public health problem in Ciamis until now. There was diarrhea outbreak in 1991 to 1995. The purpose of this research is to know the difference of incidence rate of diarrhea, based sanitation coverage, climate and demographic condition based on spatial difference area in Ciamis, 1999-2002. This is the ecology research with exploration study, which using secondary data from 1999 to 2002. The secondary data consist of incidence rate of diarrhea disease, water coverage, toilet coverage, rainfall, rains day, and population density. Data collecting has conducted on January until March 2003. The population are whole subdistrict, which it has been grouped in two region based on spatial difference, 'has is region with high diarrhea cases density and low diarrhea cases density. Data analysis is using spatial analysis. According to the research result, from 12 subdistrict which had high diarrhea cases density, 66,7%-75% had low water coverage, all of subdistrict had low toilet coverage, 66,7% subdistrict had high population density. On May, when rainfall and rains day descend, sum of diarrhea cases ascended until July when rainfall and rains day minimum. Diarrhea cases still high when rainy season was started on Oktober-Nopember. In high density population, need more attention about environmental health.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T12934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Yuwono
Abstrak :
Ruang lingkup dan Cara penelitian: Resistensi obat pada Salmonella merupakan masalah kesehatan yang menarik dan perlu selalu dilakukan pemantauan mengenai pola resistensi Salmonella terhadap antibiotik yang digunakan pada masyarakat. Di berbagai negara telah banyak dilaporkan adanya resitensi obat terhadap Salmonella non typhi maupun Salmonella typhi. Resistensi tersebut sebagian disebabkan oleh adanya plasmid dengan BM 40,0kb-95,0kb, akibatnya terjadilah kuman Salmonella yang multiresisten obat. Penelitian ini merupakan suatu studi awal mengenai pola resistensi terhadap koleksi isolat Salmonella dari beberapa daerah: Jakarta, Tangerang dan Palembang selama th. 1994-1996. Diteliti sebanyak 86 isolat Salmonella yang merupakan koleksi dari Jakarta: Pel. Mas. Bag. Mikrobiologi FKUI dan NAMRU-2 Jakarta, dari Tangerang: RSUD Tangerang dan dari Palembang koleksi Puslit. Penyakit Menular Badan Litbang. Kesehatan. Telah dilakukan pemeriksaan sensitivitas obat dengan metode mikrodilusi terhadap antibiotik yang biasa digunakan yaitu: ampisilin dan kloramfenikol. Untuk mengetahui apakah ada peranan plasmid sebagai penyebab terjadinya resistensi dan kemungkinan penyebarannya di alam, dilakukan isolasi plasmid dan uji konjugasi terhadap kuman Escherichia coli JM 109 (lac+, F-, Pen+) serta transformasi plasmid ke sel kompeten E. coli JM 109. Hasil dan kesimpulan: Dengan uji mikrodilusi dari 86 isolat Salmonella ditemukan 11 (12,8%) isolat yang resisten, yaitu 11,5% terhadap ampisilin dan 10,0% terhadap kloramfenikol. Titer KHM/MIC terhadap ampisilin ditemukan titer terendah sebesar 3,12 μg/ml dan tertinggi 25,0 μg/ml, sedangkan terhadap kloramfenikol titer terendah 6,2 μg/ml dan tertinggi 50,0 μg/ml. Hasil identifikasi isolat menunjukkan bahwa 5 (5,6%) adalah S. typhi dan 6 (6,9%) S. non typhi. Pada S. typhi ditemukan 4 (5,7%) telah resisten terhadap ampisilin atau 3 (4,6%) terhadap kloramfenikol. Isolasi plasmid dari kuman yang resisten obat ditemukan 3(tiga) jenis plasmid, satu plasmid dengan BM 23,0kb dan dua plasmid kecil dengan BM 0,Skb-2,0kb. Hasil konjugasi kuman dengan E.coli JM 109 menunjukkan bahwa plasmid dengan BM 23,0kb dan 0,5-2,0kb dapat ditransfer ke kuman resipien, sehingga tidak dapat diketahui plasmid mana yang membawa gen resisten terhadap antibiotik. Dengan transformasi dapat diketahui bahwa plasmid dengan BM 23,0 kb pada koloni Tf-6b merupakan plasmid yang membawa gen determinan r, antara lain terhadap kloramfenikol. Sedangkan plasmid 0,5-2,0 kb pada koloni transforman Tf-4k, Tf-6k dan Tf-7k merupakan plasmid yang membawa gen resisten bukan kloramfenikol. Plasmid 23,0 kb tidak dapat dipotong oleh ensim Hind III, sebaliknya plasmid 0,5-2,0 kb terpotong oleh ensin Hind III menjadi 2 pita. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui determinan r yang terdapat di dalam suatu DNA plasmid, penggunaan transformasi lebih spesifik dibanding cara konjugasi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clark, Mary Jo
Stamford: Appleton & Lange, 1999
610.734 3 CLA n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Devianty Moeshar
Abstrak :
ABSTRAK Lingkungan mempunyai peran yang besar dalam menimbulkan gangguan kesehatan. Dari berbagai komponen lingkungan yang potensial menyebabkan gangguan kesehatan diantaranya golongan kimia seperti logam berat kadmium dalam sumber air minum. Di DKI Jakarta masih 54 % penduduknya menggunakan air tanah dangkal sebagai sumber air minum. Dari pemantauan Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta terhadap air sumur penduduk baik sumur biasa atau sumur pompa, di 12 kelurahan ,tahun 1995 tampak bahwa konsentrasi kadmium diatas baku mutu yang ditetapkan dalam Permenkes No.416 tahun 1990. Karena kadmium dapat menimbulkan gangguan fungsi ginjal yang indikatornya adalah konsentrasi kadmium dalam urine dan kadmium bersifat kumulatif maka dirasakan perlu untuk melakukan penelitian di 12 kelurahan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan rancangan cross sectional dengan sampel adalah masayarakat yang menggunakan sumber air minum yang konsentrasinya diatas baku mutu (kelompok terpajan). Sebagai kelompok pembanding diambil masyarakat yang menggunakan sumber air minum yang konsentrasinya dibawah baku mutu. Dilakukan pengambilan spesimen biologis urine baik dari kelompok terpajan maupun kelompok pembanding. Selain itu dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden rata-rata minum (dirumah) sebanyak 4 gelas (--l liter) setiap hari dan telah mengkonsumsi air tersebut rata-rata 21 tahun serta sebagian besar responder tidak mempunyai kebiasaan merokok Dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan oleh DFG yaitu 15 µg / l maka konsentrasi kadmium dalam urine pada penelitian ini masih dibawah ambang batas. Dari faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan konsentrasi kadmium dalam urine, hanya faktor konsentrasi kadmium dalam air (dibawah atau diatas baku mutu), banyaknya minum, jenis kelamin, dan usia, yang masing-masing secara statistik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan konsentrasi kadmium dalam urine. Sedang lamanya minum dan merokok masing-masing tidak berhubungan dengan konsentrasi kadmium dalam urine. Jika dilihat secara bersama-sama, konsentrasi kadmium dalam air minum (dibawah atau diatas baku mutu), banyaknya minum dan jenis kelamin dapat memprediksi konsentrasi kadmium dalam urine. Walaupun konsentrasi kadmium dalam urine masih dalam batas normal namun karena kadmium bersifat kumulatif maka penggima air tersebut tetap mempunyai risiko mendapat gangguan kesehatan. Karena itu sebaiknya jaringan air minum yang memenuhi ketentuan (PDAM) dapat menjangkau daerah ini. Selain itu perlu peningkatan kualitas petugas terutama petugas lapangan agar pemantauan lingkungan dapat terlaksana dengan baik. Disamping itu perlu diciptakan suatu sistem pemantauan kualitas lingkungan yang sederhana dan tepat guna. Penelitan lebih lanjut atau penelitian tentang insidens gangguan atau penyakit ginjal pada komunitas ini perlu dilakukan.
ABSTRACT Cadmium Excretion In The Urine Of The Community Consuming Cadmium Exposed Drinking Water In DKI Jakarta, In 1997. Environment plays an important role in causing health problems. Among the environmental components potentially causing those problems are chemical substances, such as heavy mineral cadmium contained in consumed water resources. In Jakarta Metropolitan city, 54 % of the population still consume shallow (ground) well pump water for their daily drinking and cooking purposes. A survey by the Kantor Pengkajian Perkotaan and Lingkungan (Office for environmental surveillance and control) on the drinking water, obtained either from ground open well or pump well sources, in 12 subdistricts, in 1955, showed that cadmium concentration was above the threshold allowed in the government related regulation called Permenkes No. 416 of 1995. Since cadmium can cause renal impairments, the indicator of which is the cumulative cadmium concentration in the urine, a study to determine that possibility was conducted at those 12 subdistricts. The study was cross sectionally designed, using those exposed people whose drinking water sources contained cadmium concentration above the allowed threshold as its sample. This was then compared to those unexposed, whose drinking water was within the allowed threshold, as the second group. The specimens studied were the urine collected from both the exposed and unexposed groups. Beside that, each respondent was asked to f I I in a related questioners and a follow-up interview was also performed, respectively. The study showed that respondents consumed an average of four liters of water daily, and used to consume it for an average of 21 years. Most of them did not smoking. Compared to the permissible limit by DFG, that is 15 microgram/liter, the cadmium concentration detected in the sample urine were below that limit. Statistically, cadmium concentration in urine is significantly related to concentration of cadmium in water (either below or above the standard limit), amount of water drunk, sex, and age, compared to other factors suspected of determining urine cadmium concentration. While duration of consuming drinking water and smoking was not related to cadmium concentration in urine, respectively. In other word, the cadmium concentration in drinking water (either below or above the standard limit), the amount of drinking water consumed, and sex, will predict the cadmium concentration in the urine. Nevertheless, given that cadmium can cause a cumulative effect to the human body, those people consuming such drinking water still confront possible health risk, even the concentration of cadmium contained in the drinking water they consumed is still within normal range, as the study showed. One best way to reduce such possible risk, is the availability of good water supply by PDAM. In addition, an improvement of the system and technology, as well the skill and knowledge of the related personnel in environmental surveillance and control, especially regarding drinking water, is a deemed necessity.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saifuddin Suhri
Abstrak :
Penulisan ini selain mencoba untuk mengamati pola ketimpangan kesehatan yang terus menerus terjadi di Indonesia, juga bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor mempengaruhi Infant Mortality Rate (IMR) dan Life Expectancy (LE). Penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh beberapa penemuan empiris sebelumnya baik yang dilakukan dengan data di Indonesia maupun negara-negara lainnya di dunia seperti yang dilakukan oleh Purwanto, Kuncoro, Filmier, Hammer dan Pritchett serta beberapa peneliti lainnya. Pengamatan yang dilakukan penulis mencakup seluruh data propinsi-propinsi di Indonesia pada tahun 1996, 1999 dan 2002. Dengan menggunakan Theil Index untuk melihat ketimpangan kesehatan dan multiple regression dengan metode Ordinary Least Squared (OLS), dapat ditemukan beberapa hal, antara lain: pertama, pola ketimpangan kesehatan di Indonesia yang diukur dari Infant Mortality Rate (IMR), Life Expectancy (LE), Angka Balita Kurang Gizi (AKG), Penduduk Tanpa Akses Terhadap Sanitasi (PWAS) dan Penduduk Tanpa Akses Terhadap Fasilitas Kesehatan (PWAHF), diperoleh hasil bahwa kontribusi (share) ketimpangan antar pulau untuk seluruh variabel tersebut relatif lebih besar terhadap ketimpangan total. Hal ini berarti bahwa ketimpangan kesehatan antar pulau relatif Iebih tinggi (parah) dibandingkan dengan ketimpangan yang terjadi di dalam pulau sendiri; kedua, terdapat hubungan positif yang signifikan antara Angka Kurang Gizi Pada Balita (AKG), penduduk tanpa akses terhadap sanitasi (PWAS) terhadap IMR, serta hubungan negatif yang signifikan terhadap LE, jika diuji pada tingkat signifikansi 5%, ceteris paribus. Pengaruh AKG dan PWAS terhadap IMR masing-masing 0.68 (t-stat=3.44) dan 0.56 (t-stat=6.02), dengan Adjusted R-Squared sebesar 0.87. Sedangkan pengaruh AKG dan PWAS terhadap LE masing-masing -0.14 (t-stat=-3.35) dan -0.11 (t-stat = -4.79), dengan Adjusted R2 sebesar 0.86. Berdasarkan temuan diatas, maka dapat direkomendasikan beberapa kebijakan yang perlu untuk mengatasi permasalahan kesehatan di Indonesia, diantaranya: pertama, intervensi program kesehatan yang intensif bagi pulau-pulau yang relatif terbelakang dibandingkan pulau lainnya, terutama untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar; kedua, serangkaian program yang bersifat holistik untuk perhaikan status gizi masyarakat, seperti penyuluhan gizi, yang diiringi dengan penanggulangan segera permasalahan gizi serta melakukan pemantapan pelaksanaan sistem kewaspadaan Pangan dan Gizi; ketiga, program yang berkaitan dengan sanitasi yaitu Program Hygiene dan Sanitasi tempat-tempat umum.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>