Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Antonius Surjanto Ariotedjo
Abstrak :
Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di awal hingga pertengahan dekade 1990-an sesungguhnya dibayangi oleh semakin tertekannya neraca pembayaran dan bahkan mengalami defisit neraca berjalan. Namun demikian, hal ini terkesan tidak dianggap sebagai hal yang penting oleh pemerintah, para pakar ekonomi dan pelaku-pelaku usaha hingga periode 1995-1996. Bahkan perusahaan-perusahaan tetap melakukan investasi dan ekspansi secara besar-besaran dengan pendanaan dari sektor perbankan dan lembaga-lembaga keuangan di dalam serta luar negeri. Di masa tersebut, dimana nilai tukar rupiah cenderung overvalued dan tingginya tingkat suku bunga perbankan dalam negeri, para pelaku usaha cenderung lebih menyukai hutang dalam denominasi mala uang asing. Ditambah lagi maraknya praktek konglomerasi, pemberian hak-hak istimewa kepada pihak tertentu yang mengakibatkan iklim persaingan usaha yang kurang sehat, serta meluasnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, ketika krisis mulai melanda kawasan Asia, yang dimulai dari Thailand, dengan cepat dampaknya terasa di Indonesia dan terjadilah krisis multidimensi yang belum jelas prospek pemulihannya hingga kini. Dalam kondisi seperti ini, industri rokok terutama yang berskala besar, merupakan salah satu sektor yang tidak mengalami kendala yang berarti dalam meningkatkan penjualannya karena kekuatan merk (brand equity) dan loyalitas para konsumen. Ternyata, permintaan akan rokok kurang elastis terhadap perubahan harga jual, terutama bagi kalangan berpenghasilan menengah ke atas. PT H.M. Sampoerna, Tbk. (HMSP) sebagai produsen rokok terbesar kedua di Indonesia setelah PT Gudang Garam, Tbk. juga mengalami kondisi yang serupa. Namun demikian, setelah sempat mencapai peningkatan penjualan bersih rata-rata 39,4% per tahun dan taba operasional rata-rata 67,2% per tahun dalam kurun waktu 1991 - 1995, HMSP mengalami kerugian pada tahun 1998 terutama karena peningkatan beban pembiayaan dan kerugian selisih kurs yang sangat signifikan. Hal tersebut terjadi karena HMSP memiliki kewajiban dalam denominasi mata uang as ing sebesar $AS 328,5 juta dan DEM 40,6 juta pada tahun 1998, serta rasio hutang berbanding ekuitas yang mencapai 186,48%. Depresiasi dan volatilitas nilai tukar rupiah dengan sendirinya menggelembungkan kewajiban Perusahaan, menurunkan tingkat profitabilitas dan memberikan tekanan serta ketidakpastian dalam pengelolaan arus kas. Untuk mengatasi hal ini, manajemen HMSP telah menerapkan strategi keuangan melalui restrukturisasi kewajiban antara lain dengan cara penjadwalan ulang hutang, penerbitan saham baru, melakukan buy-back atas instrumen hutang dalam denominasi mata uang asing dan mengkonversinya menjadi instrumen jangka menengah (obligasi) dalam denominasi rupiah. Langkah ini terbukti cukup jitu dan tepat waktu, serta berhasil menciptakan imunisasi terhadap pengaruh nilai tukar mata uang. Hasil restrukturisasi telah mulai terlihat pada tahun 1999 dan 2000, dimana terjadi peningkatan ROE dan rasio hutang dibandingkan ekuitas telah menurun hingga 71,54%. Demikian pula indikator profitabilitas, likuiditas dan solvabilitas turut menunjukkan perbaikan. Dari sudut pandang investor, kondisi ini merupakan hal yang positif karena dengan demikian meningkatkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pembayaran kupon dan nominal obligasi pada saat jatuh temponya. Kinerja keuangan HMSP pasca restrukturisasi terutama dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah mengenai tarif cukai dan batasan harga jual eceran (H|E), selain terjaminnya jumlah pasokan dan berlakunya tata niaga bahan baku tembakau dan cengkeh yang mampu menjaga stabilitas harga komoditas tersebut. Mengingat target yang harus dicapai oleh pemerintah dari penerimaan cukai untuk meringankan defisit anggaran periode 2001 - 2002 adalah sebesar Rp 17,6 trilyun, maka dapat diperkirakan bahwa tarif cukai dan HjE akan terus ditingkatkan secara bertahap. Dalam hal ini pemerintah perlu mengkaji efektifitas kebijakan ini dengan memperhltungkan dampak kenaikan harga jual terhadap penurunan permintaan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi penerimaan cukai secara keseluruhan. Di pihak perusahaan, kenaikan kedua komponen yang memiliki proporsi utama dalam struktur beban pokok penjualan ini merupakan faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan dan akan menekan tingkat profitabilitas. Oleh karena itu manajemen perlu menentukan strategi dan kebijakan yang inovatif dan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas internal perusahaan serta meningkatkan penjualan, antara lain dengan mengedepankan produk-produk rendah tar dan nikotin. Untuk menjaga kesinambungan peningkatan ROE, perusahaan harus mampu mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi ROA dan tingkat leverage. Kasus ini memberikan masukan yang berguna bagi kalangan akademisi, dunia usaha dan pemerintahan agar penyebab dan dampak negatif dari krisis tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Lebih penting lag! adalah agar pihak-pihak terkait memperoleh inspirasi dan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi dan kebijakan yang dapat menghasilkan percepatan pemulihan perekonomian untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain di kawasan ini.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T718
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edward Budiman
Abstrak :
Krisis perekonomian yang terjadi tidaklah menyurutkan pertumbuhan industri rokok. Pertumbuhan tersebut terjadi karena pasar untuk produk rokok relatif tetap berkembang, karena disadari atau tidak rokok mengandung salah satu zat adiktif yang terkuat yang membuat pemakaìnya kecanduan Industri rokok di Indonesia punya berbagai keunikan produk dan pasar yang cukup kuat. Dan sisi produknya misalnya, jenis rokok yang diproduksi di Indonesia unik, dimana produksi rokok kreteknya jauh Iebih besar dibandingkan dengan rokok putih Rokok dengan paduan tembakau dan cengkeh ini mampu mendominasi selera konsurnen atau menguasai pasar dalam negeri. Terlebih jika ditambah dengan konsumen rokok putih, maka industri rokok Indonesia makin penting keberadaannya bagi perekonomian negara. la tidak hanya mampu menghasilkan cukai dan devisa, tapi juga mampu menyerap tenaga kerja dan menjadi sumber penghasilan bagi petani, distributor dan pedagang eceran. Karya akhir ini bertujuan untuk mengctahui penciptaan nilai oleh PT. HM Sampoerna, Thk terhadap shareholdemya yang tercermin pada nilai wajar saham yang didapat dari hasil valuasi, sehingga investor dapat menjadikannya sebagal bahan pertimbangan dalam berinvestasi.. Teknik valuasi perusahaan yang digunakan adalah dengan pendekatan Economic Value Added (EVA) yang diperkenalkan oleh G. Bennet Stewart III, dalarn bukunya "Tite Quest For Value" (Harper Business 1991). Dalam perhitungan nilai EVA tersebut didukung oleh data-data kondisi rnakroekonomi Nasional seperti inflasi, PDB, kurs rupiah, suku bunga SBI. serta membuat proyeksi laporan keuangan untuk lima tahun kedepan berdasarkan laporan keuangan historis (tahun 1994-2001). Dalam penelitian ini proyeksi laporan keuangan dilakukan dalam 3 skenario. Skenario pertama adalah skenano dasar, dalam skenario ini pemerintah tetap menaikkan cukai, tetapi kenaikan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap penjualan perusahaan disebabkan mereknya yang kuat dipasar serta loyalitas konsumen sudah terbentuk. EVA pada skenarlo ini diproyeksikan akan memilikì trend yang meningkat yang mencermînkan kinerja perusahaan yang semakin membaik. Nilai wajar saham berada diatas pasar yang menunjukkan kondisi undervalue. Skenario yang kedua adalah skenario optimis. Pada skenario ini kondisi perekonomian di proyeksikan akan membaik. Pemerintah tidak menaikkan cukai, HIE maupun PPn. Akibatnya EVA lima tahun kedepan akan melonjak naik. Daya beli masyarakat yang membaik perlu diantisipasi oleh perusahaan dengan menaikkan kapasitas produksinya. Harga wajar saham pada skenarlo ini sangat jauh di atas harga pasarnya sehingga kondisi saham perusahaan berada dalam posisi undervalued. Skenario ketiga adalah skenario pesimis. Kondisi perekonomian pada skenario ini diproyeksikan akan sangat memburuk yang mengarah pada krisis moneter. Pemenintah menaikkan cukai, HJE maupun PPn untuk mengurarigi defisit anggaran belanja. HPP perusahaan meningkat harga tidak dapat dinaikkan karena daya masyarakat turun akibatnya marjin perusahaan mengecil. Niai yang dihasilkan oleh perusahan menurun, EVA lima tahun kedepan diproyeksikan turun, akibatnya harga wajar perusahaan berada dibawah harga pasarnya (overvalued). Dengan tiga skenario ini maka diharapkan investor dapat mempunyai gambaran dengan membaca pola yang terjadi sehingga dapat diambil keputusan yang bijaksana dalam membeli saham PT. H.M. Sampoema. Sebagai perbandingan dalam penelitian ini juga disajikan val uasi secara sederhana menggunakan Price to Earning Ratio sebagai perbandingan dengan pertimbangan bahwa dengan lebih dan satu valuasi akan memperkaya bahan kajian bagi investor dalam mengambil keputusan investasi.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T1082
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library