Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Coutrier, Farah Novita
"ABSTRAK
Diantara anggota famili Cervidae, genus Muntiacus
terbukti memiliki variasi kromosom yang sangat tinggi/
juga pada tingkat spesies. Telah dilakukan penelitian
terhadap kromosom subspesies Muntiacus muntjak dari
Pulau Jawa, yaitu M. muntjak muntjak (Zimmermann) yang
dipelihara di Kebun Binatang Jakarta dan Surabaya.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah kromosom 2n = 8$/9d.
Telah dilakukan deskripsi kariotipe M. m. muntjak,
presentasi pola G-banding dalam bentuk idiogram, serta
penyajian letak daerah heterokromatin hasil pewarnaan C-banding.
Kesimpulan yang dapat dirumuskan dari hasil
penelitian ini adalah: (1) Adanya homologi antara pola
G-banding kromosom nomor 1 dan 3 M. m. muntjak dengan
pola G-banding kromosom nomor 1 M. m. vaginalis Boddaert
menyatakan bahwa peristiwa fusi kromosom merupakan
mekanisme yang menyebabkan perbedaan jumlah kromosom
antara kedua subspesies tersebut; (2) Pewarnaan Cbanding
menghasilkan pita gelap yang menandai daerah
heterokromatin seluruh set kromosom dengan intensitas
yang berbeda-beda; paling lebar pada sentromer kromosom
X dan paling sempit pada sentromer kromosom nomor 1.
Pewarnaan C-banding mengkonfirmasikan teori bahwa
hilangnya urutan DNA repetitif pada heterokromatin
autosom menunjukkan telah terjadi peristiwa fusi sentrik
yang berulang-ulang.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1994
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Metode "QBC" (Quantitative Buffy Coat) malaria adalah suatu metode untuk mendeteksi adanya parasit malaria berdasarkan stratifikasi Plasmodium oleh gaya sentrifugal. Dasar sistim ini adalah pewarnaan DNA dan RNA parasit dengan zat warna jingga akridin (Acridine Orange) yang dengan cahaya ultraviolet (UV Light) inti parasit malaria tampak berfluoresensi hijau dengan sitoplasma berwarna merah.
Pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan diagnosis malaria dengan membandingkan metode baru "QBC" (Quantitative Buffy Coat) dengan metode konvensional (pulasan Giemsa) pada penduduk daerah endemi malaria di desa Berakit, Kecamatan Bintan Utara, Riau Kepulauan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode "QBC".
Dari 495 sampel darah yang diperiksa, sebanyak 430 (66,86%) sampel memberikan hasil: 104 {21,03%) sampel positif malaria dan 326 (65,86%) sampel negatif baik pada "QBC" maupun pada sediaan darah tebal, sedangkan sisanya 65 (13,13%) menunjukkan hasil yang tidak sama : 56 (11,31%) sampel positif pada "QBC" tetapi negatif pada sediaan darah tebal dan 9 (1,82%) sampel negatif pada "QBC" tetapi positif pada sediaan darah tebal. Angka sensitivitas pada metode "QBC" menunjukkan 92,03% dan angka spesifisitasnya 85,34%. Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa metode "QBC" hasilnya cukup sensitif dan spesifik untuk diagnosis malaria."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Wildawati Nurdin
"ABSTRAK
Latar belakang : Gastritis merupakan suatu peradangan pada mukosa lambung
sebagai respon terhadap infeksi atau iritasi lambung. Penyebab gastritis kronik
yang paling sering adalah infeksi Helicobacter pylori. Adanya Helicobacter pylori
berkaitan dengan terjadinya inflamasi, atropi, serta metaplasia intestinal. Bakteri
Helicobacter pylori secara morfologi dikenal dengan 2 bentuk yaitu berupa batang
dan coccoid. Bakteri yang berbentuk coccoid sulit terdeteksi dengan pewarnaan
Giemsa. Untuk itu diperlukan pewarnaan imunohistokimia Helicobacter pylori
dan mengukur sensitivitas Helicobacter pylori berbentuk coccoid.
Bahan dan metode: Studi potong lintang terhadap 90 jaringan biopsi pasien
gastritis kronik pada tahun 2015 dan 2014 yang meliputi 30 kasus Giemsa
dengan Helicobacter pylori positif, 30 kasus gastritis kronik aktif dengan
Helicobacter pylori negatif tapi ditemukan bentuk coccoid, dan 30 kasus gastritis
kronik non aktif, kemudian dilakukan pewarnaan imunohistokimia Helicobacter
pylori.
Hasil: Ekspresi Helicobacter pylori bentuk coccoid pada kronik aktif memiliki
perbedaan yang bermakna (p<0,05) pada pulasan imunohistokimia. Terdapat
perbedaan yang bermakna antara gastritis kronik aktif H.pylori positif dan
H.pylori negatif pada pulasan IHK dengan derajat inflamasi. Uji sensitivitas dan
spesifisitas antara pemeriksaan Giemsa dan pulasan imunohistokimia, hasil
sensitivitas 65% dan spesifisitasnya 100% .
Kesimpulan: Pewarnaan imunohistokimia pada gastritis kronik aktif lebih sensitif
dibandingkan dengan pewarnaan Giemsa untuk mendeteksi Helicobacter pylori
terutama jenis coccoid .
Kata kunci: gastritis kronik aktif, Giemsa, imunohistokimia Helicobacter pylori

ABSTRACT
Background: Gastritis is a mucosal inflammation response against infection or
gastric irritation. Chronic gastritis most frequently was caused by Helicobacter
pylori infection. The presence of Helicobacter pylori was associated with
inflammation, atrophy, as well as intestinal metaplasia. Helicobacter pylori
bacteria has two morphological form consist of rods and coccoid. Bacteria
coccoid shaped was hard to detect with Giemsa staining. It is necessary to
perform immunohistochemical staining to increase the diagnosis sensitivity of
Helicobacter pylori and Helicobacter pylori in coccoid.
Materials and Methods: This was a cross sectional study against 90 biopsy of
chronic gastritis years 2015 and 2014 which covers 30 cases of Giemsa staining
with Helicobacter pylori positive, 30 cases chronic gastritis active with
Helicobacter pylori negative but with coccoid form of Helicobacter pylori, and 30
cases discovered form coccoid, and 30 cases chronic gastritis non active , then
performed immunohistochemical staining for Helicobacter pylori.
Results: Expression of Helicobacter pylori in active chronic coccoid form has a
significant difference ( p < 0.05 ) on immunohistochemical staining . There is a
significant difference between active chronic gastritis H. pylori- positive and H.
pylori- negative staining Immunohistochemistry with the degree of inflammation .
The sensitivity and specificity test result between Giemsa examination and
immunohistochemical staining was sensitivity of 65% and specificity of 100 % .
Conclusions : Immunohistochemical Staining in active chronic gastritis is more
sensitive than Giemsa staining to detect Helicobacter pylori especially in coccoid
form.
Keywords: Active chronic gastritis, Giemsa, immunohistochemistry Helicobacter
pylori"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Conny Riana Tjampakasari
"Latar belakang. Meningkatnya kasus HIV-AIDS human immunodeficiency virus-acquired immunodeficiency syndrome secara global memicu kewaspadaan akan peningkatan infeksi oportunistik, salah satunya infeksi Pneumocystis jirovecii yang mengakibatkan pneumonia PjP. Infeksi PjP merupakan kasus yang sulit ditangani terkait rendahnya sensitivitas uji diagnostik diiringi dengan peningkatan kasus resistensi terhadap antibiotik. Di Indonesia belum terdapat data demografis, epidemiologi molekuler maupun data resistensi mengenai kasus infeksi PjP. Mengantisipasi masalah tersebut, dalam penelitian ini dikembangkan uji diagnostik PjP pada ODHA Orang Dengan HIV-AIDS terduga pneumonia melalui pendekatan molekular terhadap gen MSG Major Surface Glycoprotein disertai dengan karakterisasi gen DHPS dihidropteroat sintase dan gen mtLSU mitochondrial large subunit yang berkorelasi dengan genotipe resisten dan virulensi P. jirovecii.
Tujuan penelitian. Memperoleh suatu uji deteksi infeksi PjP, data genotipe resistensi dan virulensi PjP melalui pendekatan secara molekuler yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar data demografi dan epidemiologi molekuler PjP di Indonesia.
Metode penelitian. Pengembangan uji diagnosis molekuler PjP terhadap gen MSG dilakukan dengan metode real- time PCR yang diujikan terhadap 100 sampel sputum. Pola genotipe resistensi dilakukan melalui amplifikasi gen DHPS dilanjutkan dengan restriction fragment length polymorphism RFLP . Virulensi daerah hot spot gen mtLSU dianalisis dengan metode PCR dan sekuensing DNA.
Hasil. Secara demografi, diketahui prevalensi PjP pada ODHA terduga pneumonia di Jakarta mencapai 20,0, laki-laki 75, rentang usia terbanyak 31-40 tahun 35, dominan 80 pada kisaran sel limfosit T CD4 200-349 sel/L. Sebanyak 12 pasien menunjukkan gen DHPS positif, lima pasien 41,66 merupakan genotipe wild type WT dan 7 pasien lainnya 58,32 merupakan genotipe resisten, terdiri dari 16,67 genotipe-3 dan 41,66 genotipe campuran WT dan genotipe 1. Analisis virulensi berdasarkan gen mtLSU diperoleh 30 strain PjP positif yang didominasi oleh variasi-3. Status imun pasien lebih berkaitan dengan genotipe resistensi dibandingkan dengan jenis varian.
Kesimpulan. Uji real-time PCR yang dikembangkan mampu memberikan nilai diagnostik yang lebih baik dibandingkan pewarnaan Giemsa. Terdapat 3 genotipe gen resistensi WT, genotipe 1 dan 3 dan 7 varian P. jirovecii yang bersirkulasi di Jakarta. Genotipe resistensi lebih berkaitan terhadap kondisi klinis pasien dibandingkan dengan jenis varian.

Background. The global rise of HIV-AIDS cases increase the alertness against oportunistic infections, one of them is Pneumocystic jirovecii pneumonia PjP. PjP infection is a one of a tough infection to be cured due to low sensitivity of its diagnostic method following the escalation of PjP resistance against antibiotics. There is no demografic, molecular epidemiology nor antibiotics resistance data were available related to PjP infection in Indonesia. Thus, this study was conducted to develop a molecular test to diagnose PjP infection in HIV-AIDS suspected pneumonia patients based on MSG Major Surface Glycoprotein gene detection, followed by characterization of DHPS dihydropteroat syinthetase and mtLSU mitochondrial large subunit genes represent genoype resistance and P. jirovecii virulence.
Research objective. To obtain a molecular test in diagnosing PjP infection and information of P. jirovecii genotype resistance and virulence based on molecular characteristics, which can be used further as demographic and molecular epidemiology basis data of PjP in Indonesia. Research methods. Molecular diagnostic test aimed for MSG gene of P. jirovecii detection was done through real-time PCR against 100 sputum samples. Genotype resistance and P. jirovecii polymorphism patterns was done through DHPS and mtLSU genes amplification followed by restriction fragment length polymorphism RFLP and DNA sequencing analysis. Virulence of the hot spot area are of the mtLSU gene was analyzed by PCR method and DNA sequencing.
Results. The prevalence of PjP infection in HIV-AIDS suspected pneumonia patients in Jakarta was 20.0, male 75 within 31-40 y.o 35, dominant 80 from patients with CD4 T-lymphocytes of 200-349 cells/L. Molecular real-time PCR methods give five times sensitivity higher than Giemsa stain. Twelve patients showed positive DHPS gene, five patients 41.67 were wild type WT genotypes and 7 other patients 58.32 were resistant genotypes, with 16.66 was genotype-3 and other 41.66 was mixed genotypes WT and genotype 1. Virulence analysis based on mtLSU gene show 30 positive strains which dominated by variant-3. The patients immune status is more related to the resistance genotype compared to the variant type.
Conclusion. The developed real-time PCR method is proven to able to give better diagnostic value than Giemsa stain. There are 3 genotypes of resistance genes WT, genotypes 1 and 3 and 7 variants of P. jirovecii circulating in Jakarta. Resistance genotypes are more related to the clinical condition of patients compared to variant types. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library