Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edison, F. Thomas
"Komunitas Kristen Depok asli asal-mulanya adalah para pekerja di bidang pertanian dari seorang Belanda yang bernama Cornelis Chastelein. Mereka berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia, seperti dari Bali, Makassar, Jawa, Batavia (Betawi), dan lain-lain. Mereka ini membentuk sebuah kelompok masyarakat di Depok dan merupakan sebuah komunitas yang mula-mula bersifat eksklusif Komunitas ini mempunyai pengalaman yang unik dan tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Perjalanan hidup komunitas ini mengalami masa menyenangkan dan tenteram sebelum perang kemerdekaan karena kedekatan mereka dengan orang-orang Belanda; masa sukar dan hampir punah pada masa perang mempertahankan kemerdekaan karena dianggap penghianat bangsa dan memihak penjajah; masa prihatin dan dilematis pada masa kemerdekaan karena latar belakang sejarahnya.
Terbentuknya komunitas ini adalah jasa seorang warga negara Belanda keturunan Perancis bernama Cornelis Chastelein yang memberi wasiat yang isinya menghibahkan semua lahan dan sebagian besar kekayaannya kepada para pekerjanya (budaknya) yang mau memeluk agama Kristen Protestan (Hoegenot) Dari sekitar dua ratus orang budak itu, ada seratus dua puluh orang yang mau memeluk agama Kristen Protestan. Mereka ini dibagi dalam dua belas kelompok dan diberi nama marga sebagai berikut : Banos (baca : Bakas), Jacob, Joseph, Jonathans, Laurens, Loan, Leander, Samuel, Soedira, Isakh, Tholense, dan Zadokh.
Mereka mulai menghuni wilayah Depok sejak tahun 1696 dan mulai mewarisi lahan pertanian di Depok sejak tahun 1714. Dalam kurun waktu hampir tiga ratus tahun komunitas ini menghuni wilayah Depok dan telah mengalami pergaulan sosial dengan komunitas-komunitas lain di seldtarnya sehingga terjadi proses perubahan dan kontinyuitas (change and contimdy) dalam kebudayaan mereka. Pada mulanya mereka semua memeluk agama Kristen Protestan dan beribadat di GPIB Immanuel Depok, kini sudah ada yang beribadat di luar gereja GPIB, misalnya di gereja Katolik, gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, (Gereja Pantekosta, bahkan karena perkawinan ada yang purdah agama. Mata pencaharian komunitas ini dahulu semua di bidang pertanian, kini hampir tidak ada lagi. Mereka bekerja di bidang industri, perusahaan swasta, dan ada yang menjadi wiraswasta. Ada juga yang bekerja di sektor-sektor informal. Bahasa Belanda yang menjadi ciri khas mereka, kini sudah sangat berkurang intensitasnya dan diganti dengan bahasa Indonesia. Perkawinan yang dahulu bersifat endogarni, kini sudah bersifat eksogami. Kesenian telah berubah dari gamelan dan musik keroncong menjadi paduan suara di gereja menggunakan piano dan gitar.
Namun ada usaha-usaha untuk memperkokoh eksistensi komunitas ini, terutama lima puluh tahun terakhir ini, untuk melaksanakan wasiat Cornelis Chastelein. Usaha itu adalah mendirikan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein yang bertugas mengelola semua aset yang ditinggalkan oleh Cornelis Chastelein untuk kesejahteraan anggota-anggotanya. Komunitas ini juga tetap terpelihara melalui lembaga gereja yaitu GPID Immanuel Depok. Pads kedua lembaga inilah diletakkan harapan kelangsungan hidup komunitas ini sampai waktu yang lama di masa yang akan datang.
Karena pengalaman sejarah, komunitas ini pernah mengalami hidup dalam keadaan apatis terhadap lingkungannya dan merasa frustrasi karena tidak dapat lagi mengembalikan kejayaan masa lampaunya, dan mengalami dilema identitas, bahkan dapat dikatakan mengalami krisis identitas, terutama pada generasi tua. Sedangkan pada generasi mudanya juga masih trauma atas sejarah masa lalu nenek-moyang dan orang-tua mereka. Namun keadaan apatis dan frustrasi masa lalu itu tidak lagi dialami oleh komunitas ini pada masa kini. Sudan tumbuh kesadaran bahwa mereka adalah memiliki Depok dan juga hams berperan dalam pembangunan Depok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T1632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Hasdianti
"Gereja GPIB Immanuel adalah salah satu gereja tua peninggalan Belanda di Jakarta. Gereja ini dibangun pada 1834 dan masih aktif digunakan untuk ibadah. Gereja GPIB Immanuel menyediakan beberapa pilihan bahasa sebagai bahasa untuk ibadah, salah satunya adalah bahasa Belanda. Keberadaan bahasa Belanda menjadi ciri khas Gereja ini, yang tidak hanya berfungsi sebagai bahasa pengantar ibadah melainkan juga sebagai media bagi pihak gereja untuk mempertahankan warisan peninggalan Belanda di Indonesia khususnya Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan alasan yang menjadi dasar penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pilihan dalam ibadah di Gereja GPIB Immanuel. Penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara menggunakan teori etnografi komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan penggunaan bahasa Belanda dalam ibadah di gereja GPIB Immanuel Jakarta adalah alasan historis, alasan emosional, dan alasan mempertahankan relasi.

GPIB Immanuel Church is one of the oldest Dutch churches in Jakarta. This church was built in 1834 and is still actively used for worship. GPIB Immanuel Church provides several language choices as a language for worship, one of them is Dutch. The existence of Dutch is a characteristic of this Church, which not only serves as the language of worship but also as a medium for the church to maintain the Dutch heritage in Indonesia, especially Jakarta.
This study aims to explain the reasons for the use of Dutch as the language of choice in worship at GPIB Immanuel Church. This research was conducted by interview method using ethnographic theory of communication. The results showed that the reasons for using Dutch in GPIB Immanuel Jakarta church services are historical reasons, emotional reasons, and reasons for maintaining the relationship.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Ari Respati
"Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel, Jakarta Pusat adalah salah satu gereja bersejarah dari awal abad ke-20 di Batavia yang memiliki kekayaan ornamen atau ragam hias yang khas dan bervariasi. Ragam hias tersebut membentuk pola atau motif yang diaplikasikan pada berbagai elemen arsitektur gereja, seperti dinding, langitlangit, pilar, altar, dan sebagainya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna simbolik dari ragam hias yang terdapat di Gereja GPIB Immanuel, Jakarta Pusat, baik berdasarkan bentuk dan konteks dari ragam hias tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis melalui tahap formulasi, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, dan interpretasi. Melalui analisis bentuk dan kontekstual diketahui bahwa ragam hias yang terdapat pada Gereja Immanuel terdiri dari ragam hias geometris, floral, figuratif, dan lambang suci. Bentuk simbolis tesebut pun memiliki makna secara khusus berdasarkan ajaran Protestan yang didalamnya terdapat aliran Lutheran, Evangelis, dan Calvinisme serta pengaruh arsitektur kolonial yang berkembang di awal abad ke-19 di Batavia. Representasi kepercayaan, kesejarahan, maupun media dakwah tercermin lewat berbagai ragam hias. Adapun ragam hias yang tidak memiliki makna secara khusus menjadi bagian dari elemen estetika dari pengaruh arsitektur kolonial.

Protestant Church in Western Indonesia (GPIB) Immanuel, Central Jakarta is one of the historic churches from the early 20th century in Batavia which has a wealth of unique and varied ornaments or decorations. These decorations form patterns or motifs that are applied to various elements of church architecture, such as walls, ceilings, pillars, altars, and so on. This study aims to analyze the symbolic meaning of the decorations found in the GPIB Immanuel Church, Central Jakarta, both based on the shape and organizational structure in the room. This study used a descriptive analysis method through the stages of formulation, data collection, data processing, analysis, and interpretation. Through form and contextual analysis it is known that the decoration found in Immanuel Church consists of geometric, floral, figurative, and sacred symbols. These forms have special meaning based on the teachings of Protestant, Lutheran, Evangelical, and Calvinism as well as the influence of colonial architecture that developed in the early 19th century in Batavia. Representation of beliefs dan history is reflected through various decorations of the ornaments. As for decoration that has no special meaning, it becomes part of the aesthetic elements of the influence of colonial architecture."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library