Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Formalin merupakan bahan yang berbahaya karena dapat terakumulasi dalam tubuh dan dapat mengakibatkan antara lain penyakit kanker. Namun, pemanfaatannya sebagai bahan pengawet makanan sulit dikontrol/dicegah mengingat banyaknya industri rumah tangga yang menggunakan formalin sebagai bahan pengawet. Tersedianya sensor yang sederhana dan murah dapat membantu konsumen dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi. Penelitian ini bertujuan untuk membuat bentuk polianilin (PANI)/modifikasi PANI dengan adanya gugus –SO3H yang digunakan untuk mengidentifikasi formalin. PANI bentuk emeraldin terprotonasi dibuat dari anilin-HCl dengan menggunakan ratio Anilin/APS (Ammonium Peroksodisulfat) 1,25. Selanjutnya dari bentuk ini dibuat polianilin basa yaitu pernigranilin (teroksidasi penuh) dan emeraldin basa (setengah teroksidasi) serta modifikasinya melalui reaksi substitusi aromatik elektrofilik (SO3) yang berasal dari H2SO4 pekat menjadi polianilin basa tersulfonasi. Pembuatan pernigranilin basa tersulfonasi melalui dua metode yaitu metode A (berasal dari oksidasi emeraldin basa tersulfonasi) dan metode B (berasal dari pernigranilin basa yang direaksikan dengan H2SO4 pekat). Bentuk PANI/modifikasi PANI yang paling stabil ialah emeraldin basa, emeraldin basa tersulfonasi dan pernigranilin basa tersulfonasi dengan metode A. Berdasarkan pengujian formalin dengan ketiga bentuk tersebut, iv bentuk emeraldin basa tersulfonasi yang lebih sensitif karena memberikan penurunan absorbansi yang signifikan.
Universitas Indonesia, 2009
S30457
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deriz Syahptaria Syarief
Abstrak :
Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia, yang mengalami proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dihidangkan. Penggunaan bahan tambahan makanan dimaksudkan untuk merubah karakteristik makanan dan membantu proses pembuatan makanan. Seiring dengan laju perkembangan teknologi, bahan tambahan makanan yang semula berasal dari alam, mulai banyak digantikan oleh bahan tambahan makanan sintetik melalui proses kimiawi. Dengan berkembangnya industri makanan, maka penggunaan bahan tambahan semakin diperlukan. Namun tidak semua bahan kimia diperbolehkan untuk dijadikan bahan tambahan makanan. Ada beberapa bahan-bahan kimia yang tidak diperbolehkan penggunaannya dalam makanan, karena dapat membahayakan kesehatan manusia. Yang menjadi permasalahan adalah, banyak produsen menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya ini sebagai bahan tambahan makanan, seperti boraks dan formalin. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang penggunaan bahan kimia berbahaya tersebut dalam makanan, serta faktor-faktor apa saja yang mendukung terjadinya penggunaan tersebut. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara, studi pustaka dan pengamatan kepada produsen, konsumen dan lembaga pemerintah. Ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang permasalahan. Hasil yang diperoleh adalah bahwa produsen menggunakan bahan berbahaya karena faktor ekonomi, yaitu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Bahan-bahan berbahaya tersebut harganya murah, sehingga produknya menjadi lebih kompetitif. Kondisi yang mendukung permasalahan adalah sifat konsumen yang pasif, kurang kritis. Ditambah lagi dengan kurang efektifnya penegakkan hukum oleh pemerintah akibat toleransi yang berlebihan kepada industri kecil, ketidakjelasan aturan dan kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait dengan produksi dan distribusi bahan-bahan berbahaya tersebut. Kasus penggunaan bahan berbahaya ini menggambarkan kondisi perekonomian di Indonesia, dimana tidak adanya etika bisnis yang baik, yang menghalalkan segala cara dalam mencari keuntungan. Konsumen juga belum dianggap sebagai pelaku utama perekonomian Indonesia, sehingga posisinya lemah. Berbagai hal diatas bermuara pada lemahnya hukum dan penegakkannya. Selama permasalahan hukum belum dibenahi, penggunaan bahan kimia berbahaya dalam makanan akan terus terjadi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S6280
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Gita Putri
Abstrak :
Formaldehida atau lebih dikenal dengan nama formalin adalah bahan kimia yang senng disalahgunakan oleh para produsen maupun pedagang bahan makanan. Salah satu pereaksi yang akurat untuk mendeteksi adanya formalin adalah pereaksi Schryver. Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasi dan memodifikasi pereaksi Schryver untuk dijadikan kit tester yang selanjutnya diaplikasikan terhadap sampel bakso yang beredar di Sekolah Dasar di Kota Depok. Berdasarkan keenam formula yang diuji, didapatkan bahwa formula 5 yang terdiri dan campuran fenilhidrazin HCL 2 % dalam asam kIorida 4,5 N dan kalium ferisianida 1 % adalah formula terpilih. Formula ini lebih stabil dan tidak mengalami kekeruhan selama penyimpanan. Hasil deteksi formalin terbaik diperoleh dengan batas sensitivitas 0,2 mgIL. Uji stabilitas yang dilakukan pada suhu kamar ( 28 - 30°C) dan suhu dingin (2-S°C) menunjukkan kestabilan yang cukup baik ( lebih dan 2 minggu ) sehingga cukup efisien untuk dikembangkan menjadi kit tester. Identifikasi pada sampel bakso menunjukkan bahwa sampel E, sampel G, sampel H, dan sampel I mengandung formalin dengan rentang konsentrasi 0,2-0,5 mglL.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2010
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Eka Putrianti
Abstrak :
Penggunaan formalin sebagai pengawt makanan dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan manusia, karena bersifat karsinogen (menyebabkan kanker), mutagen (menyebabkan perubanan sei, jaringan tubun), korosif dan iritatif. Untuk itu diperlukan suatu indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya formalin baik seoara kuantitatif dan kualitatif Polianilin dapat berada dalam berbagai bentuk sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sensor kimia. Penelitian ini bertujuan untuk membuat polianilin/moclifikasi polianilin dengan gugus -SO3H yang dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi adanya formalin. Polianilin bentuk emeraldin terprotonasi dibuat dari garam anilin-HCI dengan APS menggunakan rasio anilin/APS 1,25. Pembuatan emeralclin basa (bentuk polianilin setengan teroksiclasi) dilakukan dengan mereaksikan garam emeraldin dengan NaOH dan pernigranilin basa (bentuk polianilin teroksiclasi penuh) dilakukan dengan mereaksikan garam emeraldin dengan APS clan NaOH serta modifikasi kecluanya melalui reaksi substitusi aromatik elektrofilik (SO3) yang berasal dari H2SO4 pekat. Emeralclin basa tersulfonasi (111) dan (112) dibuat dengan mereaksikan emeraldin basa dengan HQSO4 pekat dengan rasio mol yang sesuai Pembuatan pernigranilin basa tersulfonasi (111) dan (112) dilakukan dari oksidasi emeraldin basa tersulfonasi dengan APS clan NaOH. Karakterisasi clan identifikasi polianilin yang terbentuk dilakukan dengan UV-Vis clan FT-IR. Hasil karakterisasi UV-Vis dari emeraldin basa dan pernigranilin basa ditunjukkan dengan adanya puncak serapan pada 300 nm, 500 nm dan 600 nm, sedangkan pada emeraldin basa tersulfonasi (111) dan (112) Serta pernigranilin basa tersulfonasi (111) dan (112) ditunjukkan dari adanya pergeseran puncak serapan ke 400 nm dan 800 nm. Karakterisasi dengan FT-IR pada emeraldin basa dan pernigranilin basa menunjukkan puncak serapan pada sekitar 1600 om'1 dan 1500 om'1, seclangkan pada emeraldin basa tersulfonasi (111) dan (112) Serta pernigranilin basa tersulfonasi (111) dan (112) pada sekitar 600 om'1 yang merupakan karakteristik dari gugus -SO3H. Reaksi polianilin yang stabil dengan formalin berada pada bentuk polianilin tersulfonasinya Hal ini disimpulkan berdasarkan uji kuantitatif dan kualitatif polianilin tersulfonasi dengan formalin yang memberikan daerah rentang kerja yang lebih luas yaitu hingga rentang konsentrasi 15 dan 20 ppm.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S30536
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Formalin is famous because of its danger. Although it has some advantages,it may give disadvatages for the layman.Figuratively,the formalin phenomena are pervasive......
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Filbert Kurnia Liwang
Abstrak :
ABSTRACT
Pembelajaran neuronatomi sangat membutuhkan kadaver terutama organ otak sebagai sarana pembelajaran. Hingga saat ini, pengawet paling umum yang digunakan adalah menggunakan cairan berbahan dasar formalin. Akan tetapi, kandungan formalin pada kadaver dapat menimbulkan berbagai efek yang merugikan bagi kesehatan manusia maupun lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan dekomposisi otak mencit yang diawetkan dengan cairan fiksatif formalin 4% dengan dan tanpa penambahan penetral formalin berbahan dasar gliserin. Penelitian ini menggunakan 18 ekor mencit (Mus musculus) yang dibagi secara acak menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol (tanpa pengawetan), kelompok yang hanya diawetkan dengan formalin 4%, dan kelompok yang diawetkan dengan formalin 4% ditambah dengan penetral gliserin. Penilaian tahapan dekomposisi dilakukan dengan skoring serta pengukuran massa total dan massa otak mencit yang dilakukan setiap minggu. Pada selisih massa otak mencit, didapatkan hasil berbeda bermakna pada minggu ke-2 pengukuran. Pada persentase selisih massa otak, didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok formalin 4% dan gliserin dari seluruh waktu pengukuran. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dekomposisi antara otak mencit yang diawetkan dengan formalin 4% dengan dan tanpa penambahan cairan penetral formalin berbahan dasar gliserin dimana kelompok gliserin terdekomposisi lebih cepat.
ABSTRACT
Neuroanatomy learning requires cadaver, especially the brain, as a learning tool. Until now, the most common preservertive used was using formalin-based fixative liquids. However, formalin can cause various adverse effects to human health and to the environment. Therefore, we will compare the brain decomposition rate the mice preserved with of 4% formalin fixative liquid with and without addition of glycerin-based formalin neutralizer. This study used 18 mice (Mus musculus) which were randomly divided into 3 groups: control group with no additional fixative, group preserved with 4% formalin, and group preserved with 4% formalin, then neutralized with glycerin. Assessment of the stages of decomposition is done by scoring as well as measuring the total mass and brain mass of mice that are carried out every week. Difference in brain mass of mice only obtain significantly different results on the second week of measurement. In the percentage difference in brain mass, there were significant differences between the 4% formalin and glycerin in all measurement times. Therefore, there is a difference in the level of decomposition between the brains of mice preserved with 4% formalin with and without additional formalin neutralizer with glycerin content, whereas decomposition in glycerin group is faster.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Jordan Nehemiah Fiady
Abstrak :
Formalin adalah zat yang umum digunakan untuk mengawetkan jenazah dalam pendidikan kedokteran Mayat (mayat) yang diawetkan dengan formalin tidak mudah terurai sehingga dapat menimbulkan masalah antara lain mencemari tanah jika dikubur. Sebagai tindakan preventif, hal itu perlu dilakukan proses penetralan formaldehida pada mayat sebelum dimakamkan. Natrium bisulfit diketahui mampu menetralkan formaldehida dalam cairan limbah. Namun, belum saatnya diketahui apakah natrium bisulfit mampu menetralkan formaldehida dalam jaringan. Untuk mengetahui apakah natrium bisulfit dapat menetralkan formaldehida dalam jaringan dan meningkatkan proses dekomposisi, studi telah dilakukan percobaan menggunakan tikus percobaan (Mus musculus, n = 18). Ada tiga kelompok mencit pada penelitian ini yaitu: tanpa pengawetan (n = 6, kelompok kontrol), dengan pengawetan formalin tanpa netralisasi (n = 6, kelompok formalin, konsentrasi primer 10% - konsentrasi sekunder 4%) dengan pengawetan dan netralisasi natrium bisulfit (n = 6, gugus natrium bisulfit, konsentrasi 12%). Tikus tersebut kemudian dikubur dan diamati setiap satu minggu selama enam minggu. Hasil observasi menunjukkan tidak ada perbedaan skor dekomposisi kelompok formalin dengan kelompok natrium bisulfit sedangkan kelompok kontrol mengalami dekomposisi lengkap seperti yang diperkirakan. Hasil ini menunjukkan bahwa natrium bisulfit belum mampu menetralkan formalin jaringan tikus dan meningkatkan proses dekomposisi tikus yang diawetkan dengan formalin. ...... Formalin is a substance commonly used to preserve internal bodies medical education. The corpse (cadaver) preserved with formalin was not easily decomposed so that it can cause problems, among others pollutes the soil if it is buried. As a preventive measure, it needs to be done the process of neutralizing formaldehyde in cadavers before burial. Sodium bisulfite known to be able to neutralize formaldehyde in waste fluids. However, not yet it is known whether sodium bisulfite is able to neutralize formaldehyde in tissues. To find out whether sodium bisulfite can neutralize formaldehyde in network and improve its decomposition process, studies have been carried out experimental using experimental mice (Mus musculus, n = 18). There are three groups of mice in this study, namely: without preservation (n = 6, control group), with formalin preservation without neutralization (n = 6, group formalin, primary concentration 10% - secondary concentration 4%) with preservation and neutralization of sodium bisulfite (n = 6, sodium bisulfite group, concentration 12%). The mice were then buried and observed every one week for six weeks. The observation results showed that there was no difference in the decomposition score the formalin group with the sodium bisulfite group while the control group underwent complete decomposition as predicted. This result indicates that sodium bisulfite has not been able to neutralize formalin mice tissue and enhance the decomposition process of preserved mice with formalin.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galih Prima Arumsari
Abstrak :
Tesis ini membahas analisis perilaku pedagang dan produsen dalam penggunaan formalin dalam mie basah dan tahu Propinsi DKI Jakarta Tahun 2015. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, desain studi deskriptif, pengumpulan data melalui studi literatur, pengujian Rapid Test Kit, wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan, sikap, persepsi tentang formalin; sarana prasarana, metode produksi, ketersediaan pengawet; sanksi, penyuluhan, dukungan sosial, faktor pendapatan, dan strategi komunikasi merupakan faktor yang berperan pada perilaku penggunaan formalin dalam tahu dan mie basah. Penyuluhan dan pembinaan masyarakat, pedagang, produsen masih terbatas. Pengawasan sarana distribusi formalin belum optimal. Peneliti menyarankan pada sejumlah pihak untuk melakukan riset bahan pengawet yang aman, intensifikasi pembinaan pedagang dan produsen serta pemberdayaan konsumen. ......This thesis discusses the analysis of the behavior of traders and producers of tofu and wet noodle in the use of formalin in its products in DKI Jakarta in 2015. This study uses qualitative, descriptive study design, with data collection through literature study, Rapid Test Kit, interview and observation. The results show that knowledge, attitudes, perceptions of formalin; facilities and infrastructure, methods of production and availability of preservative; punishments, counseling, social support, income factor, and communication strategy are the factors that play the of the behavior of the use of formalin in tofu and wet noodle production. Communication and supervisory for public, traders, manufacturers are still limited. Facilities of formalin distributions which is conducted by the government has not run optimally yet. Researcher suggests the number of parties to research safe preservatives, intensification of coaching traders and producers as well as consumer empowerment. Counseling and development to the community, traders and manufacturers are still limited. Supervision of distribution of formalin has not been optimal yet. As recomendation to the number of parties to do research on safe preservatives, intensification of coaching traders and manufacturers as well as consumer empowerment should be done.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benedictus Krisna
Abstrak :
ABSTRAK
Jenazah untuk pendidikan anatomi kedokteran (kadaver) umumnya diawetkan dengan formalin untuk mencegah proses pembusukan selama rentang waktu penggunaannya. Namun, karena formalin merupakan pengawet yang poten, tanpa netralisasi, setelah dikebumikan, kadaver akan sulit diuraikan sehingga berpotensi menjadi polutan. Larutan amonium karbonat telah diketahui dapat menetralkan larutan formalin, tetapi belum pernah dilaporkan apakah amonium karbonat dapat digunakan untuk menetralkan formalin dalam tubuh kadaver sehingga jasad dapat mengalami dekomposisi sempurna. Oleh karena itu, dilakukan percobaan dengan hewan coba mencit (Mus musculus) untuk mengetahui apakah berbagai organ mencit berformalin dapat dinetralkan dengan amonium karbonat dan mengalami dekomposisi setara dengan organ-organ mencit tanpa formalin. Pada penelitian eksperimental ini mencit (n=18) dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu tidak diawetkan (tanpa formalin; n=6), diawetkan dengan formalin (konsentrasi awal 10%, konsentrasi lanjut 4%; n=6), dan diawetkan formalin lalu dinetralkan dengan amonium karbonat (konsentrasi 25%; n=6). Agar menyerupai proses pemakaman pada manusia, sebelum dikebumikan mencit beserta organnya dimandikan dengan air dan dibungkus kain kafan. Pengamatan proses dekomposisi, yaitu skor tahapan dekomposisi dan persentase penurunan berat organ (usus, hati, otot, jantung, paru, dan otak) dilakukan setiap minggu. Dari total enam minggu pengamatan, diketahui bahwa skor tahapan dekomposisi dan persentase penurunan berat organ-organ mencit kelompok amonium karbonat lebih besar dari kelompok formalin, tetapi lebih kecil dari kelompok tanpa formalin. Disimpulkan bahwa penetralan berbagai organ mencit berformalin dengan 25% amonium karbonat mampu meningkatkan proses dekomposisi organ-organ tersebut, walaupun belum setara dengan jasad mencit tanpa formalin (tanpa diawetkan).
ABSTRACT
Corpse for medical anatomy education (cadaver) is generally preserved by formalin to prevent the decay process during the period of its use. However, because formalin is a potent preservative, without neutralization, after being buried, cadavers will be difficult to decompose and potentially become pollutants. Ammoniumcarbonate solutions have been known to neutralize formalin solutions, but it has never beenreported whether ammoniumcarbonate can be used to neutralize formalin in cadaveric bodies so that the body can experience perfect decomposition. Therefore, experiments with mice (Mus musculus) were conducted to determine whether the organ of formalin mice can be neutralized with ammoniumcarbonate and experience decomposition equivalent to the organs of mice without formalin. In this experimental study mice (n = 18) were divided into three groups, namely not preserved (without formalin n = 6), preserved with formalin (initial concentration 10%, following concentration 4%; n = 6), and preserved formalin then neutralized with ammoniumcarbonate (25% concentration; n = 6). In order to resemble the process of funeral in humans, before being buried miceswith their organs are bathed with water and wrapped in kafan cloth. Observation of the decomposition process, which is decomposition stage score and weight loss percentageof organs(intestine, liver, muscle, heart, lung, and brain) is carried out every week. From a total of six weeks ofobservation, it was found that the decomposition stage scores and the weight losspercentage of the ammoniumcarbonate group were greater than the formalin group, but smaller than the formalin-free group. It was concluded that neutralizing the organs of formalin mice with 25% ammoniumcarbonate was able to improve the decomposition process of those organs, although not equivalent to the organsof mice without formalin (without preserving).
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nike Christine
Abstrak :
Formalin sering disalahgunakan sebagai pengawet produk makanan, oleh karena itu kebutuhan akan suatu pereaksi kimia untuk pengujian formalin dalam makanan sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasi pereaksi Schryver untuk dijadikan pereaksi kit. Dalam penelitian ini, dibuat 5 macam formula pereaksi Schryver yang masingmasing diamati intensitas warna dan sensitivitasnya. Formula terpilih terdiri dari fenilhidrazin hidroklorida 5% dalam asam klorida 4,5 N (1 : 4) dan kalium ferisianida 5% diuji stabilitasnya, setelah disimpan pada suhu 2°-8°C; 28°-30°C; dan diatas 40°C, lalu direaksikan dengan formaldehida diukur serapannya pada λ 515,5 nm dengan menggunakan spektrofotometer UVVis. Hasil optimasi menunjukkan bahwa formula ini merupakan pereaksi terbaik untuk dijadikan pereaksi kit karena bersifat praktis dan memiliki stabilitas yang baik dengan sensitivitas yang tinggi dengan batas deteksi 0,2 mg/L. Uji identifikasi dari sampel, menghasilkan 2 sampel positif yaitu sampel A dan B. Formalin is often misused as food product preserver, therefore the need of chemistry reagent for identification formalin in food is hardly required. The aim of this research is to optimize Schryver reagent for used as a reagent kit. The study research of 5 kinds of Schryver reagent formula has been made and observed for their sensitivity and color intensity. The Formula consist of phenylhydrazine hydrocloride 5% in hydrocloride acid 4,5 N (1 : 4) and potassium ferricyanida 5% was tested for its stability, after keeping at 2°-8°C; 28°-30°C; and over 40°C, and reacting with sample formaldehyde and measured by the absorption λ 515,5 nm using spectrophotometer UV-Vis. Formula with optimation is the best reagent to be made as reagent kit because it is practice, having good stability with high sensitivity with detection limit of 0,2 mg/L. The samples identification test produce for 2 positive samples A and B.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2007
S33005
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>