Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kim, Jin Gyong
Seoul: Muhhakdorgne, 2002
KOR 398.4 KIM g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kim, Ku-Hee
Korea, Seoul: (Ju) Bi Ryong So, 2002
KOR 398.21 KIN h (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Seoul: Hwanggeumgaji, 2003
KOR 398.206 8 SEG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kim, Jung-Mi
Seoul: Najeunsan, 2010
KOR 398.205 KIM j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Choi, Nae-ok
Seoul, Korea: (Ju) Chang jak gwa bi pyeong sa, 2001
KOR 398.21 CHO m (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Unsriana
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran dongeng dalam pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan moral mengenai on dan ongaeshi. Pendidikan ini dapat disampaikan kepada anak melalui tokoh-tokoh yang ada di dalam dongeng dengan cara mengidentifikasi perbuatan atau lakuan tokoh-tokohnya. Melalui dongeng anak-anak dapat menemukan tokoh identifikasi yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Data pustaka menunjukan bahwa dongeng dapat dipakai sebagai salah satu sarana untuk pendidikan nilai dan pendikan moral. Data ini dipakai untuk memperkuat penelitian bahwa dongeng juga dapat dipakai untuk pendidikan nilai on dan ongaeshi. On dan Ongaeshi sendiri mempunyai beberapa pengertian yang diungkapkan beberapa ahli. Dengan menganalisa lima buah dongeng anak Jepang, ditemukan arti atau makna on dan ongaeshi seperti apa yang ingin disampaikan pembuat dongeng atau kepada pendengarnya, khususnya pendengar anak-anak. Pada bagian akhir disimpulkan bahwa Dongeng adalah sarana yang efektif untuk memberikan pendidikan nilai-nilai pada anak, karena cara penyampaiannya yang tidak memaksa anak-anak untuk menerimanya. Tokoh-tokoh dalam cerita dapat memberikan teladan bagi anak-anak. Sifat atau karakter anak adalah mempunyai kecenderungan untuk meniru dan mengidentifikasikan diri dengan tokoh yang dikaguminya. Melalui dongeng, anak akan dengan mudah memahami sifat-sifat, figur-figur, dan perbuatan-perbuatan yang baik dan yang buruk.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mita Aulia Wati
Abstrak :
ABSTRAK
Dongeng merupakan prosa pendek imajinatif dan fiktif yang disampaikan secara turun-temurun. Dongeng seringkali beredar dalam versi yang berbeda-beda di berbagai negara, tetapi semua variasi tersebut memiliki struktur tema dan tindakan aksi yang sama. Penelitian ini membahas mengenai fungsi tindakan dalam dongeng Br derchen und Schwesterchen dan H nsel und Gretel dengan menggunakan teori fungsi yang dikemukakan oleh Vladimir Propp. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan agar memahami suatu permasalahan secara mendalam dan luas dengan analisis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua dongeng tersebut memiliki fungsi yang berbeda dan fungsi tersebut tidak muncul secara berurutan, seperti yang dikemukakan oleh Propp. Dalam dongeng Br derchen und Schwesterchen ada 10 fungsi, yaitu fungsi ketiadaan ? , larangan ? , pelanggaran ? , penyampaian ? , penipuan ? , kejahatan A , penerimaan unsur magis F , tokoh utama dikenali Q , penyingkapan tabir Ex , dan hukuman U , sedangkan di dalam dongeng H nsel und Gretel terdapat 11 fungsi, yaitu fungsi pengintaian ? , penipuan ? , keterlibatan ? , kejahatan A , kekurangan a , peristiwa penghubung B , fungsi pertama tokoh penolong D , reaksi tokoh pahlawan E , perpindahan tempat G , kepulangan darr; , dan penyelamatan Rs .
ABSTRACT
Tales are imaginative short prose which are fictional. They are something inheritance that is being continued since the old times. Tales often come up with different kinds but the themes and actions are still similar from one to another. This research discuss about the functions of dramatis personae in Br derchen und Schwesterchen and H nsel und Gretel based on functions of dramatis personae theory by Vladimir Propp. Qualitative method is being used in this research, in order to deeply and wholly understand a problem. The result shown that the two fairy tales have different functions and these functions do not appear chronologically as being told by Propp. In Br derchen und Schwesterchen there are 10 functions, such as the function of Absentation , Interdiction , Violation , Delivery , Trickery , Villany A , Provision or receipt of a magical agent F , Recognition Q , Exposure Ex , and Punishment U , meanwhile in H nsel und Gretel there are 11 functions, such as the function of Reconnaissance , Trickery , Complicity , Villany A , Lack a , Mediation B , The first function of donor D , The hero rsquo s reaction E , Spatial transference between two kingdoms, guidance G , Return darr , and Rescue Rs .
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Yunita Permatasari
Abstrak :
Dongeng telah mengusung konsep 'Hidup Bahagia Selamanya', di mana hal itu umumnya ditandai dengan bagaimana para protagonis dalam cerita dapat menikahi pasangan hidup mereka di akhir film. Rumus seperti ini telah banyak digunakan dan dapat dengan mudah ditemukan dalam dongeng klasik. Namun, apakah itu berarti konsep 'Hidup Bahagia Selamanya' benar-benar berakhir di sana? Waralaba Shrek sebagai salah satu kisah dongeng modern telah membawa gagasan ini lebih jauh dengan menciptakan alur cerita yang tidak hanya berakhir dengan bagaimana Shrek sebagai sang protagonis menikahi Fiona yang telah ia selamatkan dari menara kastil yang dijaga oleh seekor naga. Dengan menggunakan teori adaptasi hedonis, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana karakter Shrek tidak begitu saja menggapai 'Hidup Bahagia Selamanya' begitu dia menikah dengan kekasih yang dicintainya karena film-film berikut lainnya mengungkap tantangan kehidupan setelah pernikahan yang perlu dihadapi oleh Shrek, yang mana kemudian dapat membantu dalam mengartikan arti dari konsep 'Hidup Bahagia Selamanya' yang ditawarkan oleh film Shrek. ......Fairy tales have brought the concept of having a ‘Happily Ever After’ life, where it is majorly signified by how the protagonists marry the love of their lives at the end of the movies. This same formula then has been brimmingly used and can be easily found in classic fairy tales. However, does it mean that the ‘Happily Ever After’ life truly just culminates there? One of the modern takes on a fairy tale, the Shrek franchise, has stepped this notion up by creating storylines that do not just end with how the protagonist, Shrek, marries Fiona, whom he has rescued from the Dragon's Keep. By using the hedonic adaptation theory, this research aims to explore how the character Shrek does not simply achieve his ultimate 'Happily Ever After' life once he is married to his loved one as the other following movies uncover the life after marriage challenges that the main character needs to deal with, which then can help discover the kind of ‘Happily Ever After’ life that offered by the Shrek movies. 
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kushartanti
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan memerikan bentuk-bentuk rangkaian cerita dan memerikan strategi pemertahanan topik yang diungkapkan oleh anak-anak usia prasekolah yang berbahasa Indonesia ketika berinteraksi dengan orang dewasa. Subyek penelitian ini adalah seorang anak laki-laki (usia 4,2) dan seorang anak perernpuan (usia 4,6). Keduanya berasal dari perkawinan antar suku dan dari lingkungan keluarga kelas menengah yang tinggal di Jakarta. Berdasarkan data, yaitu segmen-segmen percakapan yang memuat cerita, ditemukan adanya bentuk bentuk rangkaian ujaran berupa dialog berimbang, monolog dalam dialog, dan dialog dalam dialog. Berdasarkan isinya, terdapat jenis cerita percakapan tentang dongeng, cerita percakapan tentang pengalaman, dan cerita percakapan tentang bermain pura-pura. Terungkap pula bahwa anak-anak mampu memisahkan diri mereka sebagai pencerita dan sebagai yang diceritakan. Mereka dapat menjadi pencerita, yang diceritakan, dan bahkan menjadi tokoh dalam cerita yang mereka ungkapkan. Selain itu ditemukan pula adanya aspek-aspek khusus yang menandai setiap ketiga jenis cerita percakapan tersebut. Di dalam cerita percakapan tentang dongeng, kerangka cerita merupakan aspek yang berperan. Di dalam cerita tentang pengalaman, otoritas anak untuk mengembangkan cerita merupakan aspek yang berperan. Adapun di dalam cerita percakapan tentang bermain pura-pura, imajinasi anak memegang peranan. Anak-anak mempergunakan penanda-penanda kesinambungan topik, pengulanganpengulangan, dan pelesapan-pelesapan untuk mempertahankan topik percakapan. Setiap jenis cerita percakapan mempunyai penanda kesinambungan topik berupa anafora zero (0), pronomina, dan demonstrativa. Persamaan di antara ketiganya adalah pada bentuk anafora zero dan wujud pronomina - nya, Perbedaannya terletak pada wujud-wujud pronomina yang lain dan demonstrativa, serta pada fungsi setiap wujud penanda kesinambungan topik. Di dalam cerita percakapan tentang dongeng dan tentang pengalaman ditemukan dia dan itu, yang tidak muncul dalam cerita percakapan tentang bermain pura-pura Dalam cerita percakapan tentang pengalaman dan tentang berinain pura-pura ditemukan ini, yang tidak ditemukan dalam cerita percakapan tentang dongeng. Penanda kesinambungan topik gini hanya terdapat pada cerita percakapan tentang bermain pura-pura. Setiap pcnanda kesinambungan topik memegang peranan dalam identifikasi topik. Terungkap pula adanya pergeseran dan peralihan topik-topik dalam cerita percakapan tentang dongeng dan tentang pengalarnan. Pergeseran topik terjadi jika topik-topik itu dikembangkan oleh anak-anak, sedangkan peralihan topik terjadi jika dalam percakapan terjadi peralihan perhatian dari obyek tertentu kepada obyek yang lain. Interupsi, bentuk lain dari peralihan topik, muncul dalam cerita percakapan tentang dongeng. Bentuk ini muncul karena adanya peralihan perhatian sesaat.
The aims of this research are to describe Indonesian preschoolers' forms of story-telling and their strategies on maintaining topics when they interact with an adult. The subjects, a boy (aged 4,2) and a girl (aged 4,6), both speak Indonesian as their first language. They are children from inter ethnic marriages and from middle class families. They live in Jakarta. Based on the data, conversational segments containing stories, there are balanced dialogues, monologue in dialogues, and dialogs in dialogues. The contents of those kinds of dialogue can be distinguished into three kinds of conversational stories: conversational stories of fairy tale, conversational stories of experience, and conversational stories of imaginary play. The children could make role separations. They could be the teller, or the experience, or even the characters of their fairy tale stories. There are specific aspects which signify each kind of story: children's frame of story awareness plays important role in conversational stories of fairy tale; children's authority in conversational stories of experience; and children's imagination in conversational stories of imaginary play. Using repetitions, ellipses, and topic continuity markers are the children's strategies to maintain conversational topic. Each topic continuity marker plays important role in topic identification. Each kind of story has zero anaphora, pronouns, and demonstratives. There are zero anaphora and pronoun in each kind of conversational story. The difference is on the forms of other pronouns and demonstratives, and on the function of each topic continuity marker. In conversational stories of fairy tale and of experience there are dia and itu. Those markers are not found in conversational stories of imaginary play. In conversational stories of experience and of imaginary play there is ini, which is not found in the stories of fairy tale ini, a kind of demonstrative, found only in conversational stories of imaginary play. Topics in conversational stories of fairy tale and of experience can be shifted or changed, since there are objects which can be developed. Topic shift occurs when the children develop an object, whereas topic change occurs when attention changes. A kind of topic change, the interruption, only occurs in conversational stories of fairy tale when a temporary change of attention happens.
2000
T3681
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranggi Marsetti Layyinanti
Abstrak :
ABSTRAK
Cerita cinta dalam dongeng adalah suatu cerita yang memiliki berbagai kisah dan jenis cinta di dalamnya. Kisah percintaan ini memiliki sesuatu yang sama antara cerita yang satu dengan yang lainnya, dimana terdapatnya konflik dan akhir yang bahagia. Karena persamaan tersebut, muncullah konsep cinta dongeng sebagai penyatuan persamaan. Cinta dongeng adalah suatu konsep cinta yang mengadukaduk emosi yang berujung pada kebahagiaan. Cinta dongeng ini memberikan suatu kenikmatan, seperti membayangkan cerita cinta tersebut ke kehidupan nyata (pseudo love). Dari konsep dan dampak tersebut yang memunculkan suatu pernyataan bahwa adanya catharsis di dalam cinta dongeng. Catharsis menurut Aristoteles adalah pembersihan jiwa terhadap sesuatu yang kita nikmati.
ABSTRACT
Love stories in fairy tales are stories that have various things to tell and content various kinds of love in them. Those love stories have a same content between one and another, which content conflict and a happy ending. Because of those similiarities, the concept of fairy tale love appears as a unity of the similiarities. Fairy tale love is a love concept which mix someone?s emotion and ended in happiness. Fairy tale love also give a pleasure, as if someone imagines that love story in a real life (pseudo love). From the concept and impact, which stimulate a statement of the existence of catharsis in a fairy tale love. Catharsis according to Aristoteles is purification of emotion of something we consider it as a pleasure.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42187
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library