Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saiful Bahri
"Fromm melihat manusia adalah makhluk yang teralienasi, disebabkan oleh ketidakmampuan manusia mengontrol sosialitas kerja dan ilmu pengetahuannya. Alienasi juga terjadi karena kesadaran akan kenyataan bahwa dirinya terpisah dari alam, berbeda dengan yang lain. Meskipun manusia makhluk yang teralienasi karena keterpisahannya dengan alam, tidak berarti manusia adalah makhluk yang terlempar tanpa pencipta. Menurut Fromm, manusia adalah makhluk yang tidak hadir dengan sendirinya. Ia dicipta; hasil sebuah kreasi dan Tuhan adalah kreatornya. Bahkan, sebagai makhluk yang dicipta, manusia memiliki tingkat misteri yang hampir sama dengan Tuhan. Manusia dengan demikian adalah citra Tuhan di bumi ini yang sebaiknya membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Fromm menunjukkan bahwa secara eksistensi manusia adalah makhluk yang bersendiri, ia babas menentukan dirinya, ia sadar bahwa ia terpisah dari alam. Kesadaran ini mengharuskannya membangun relasi dengan manusia lain. Namun, secara eksistensi pula, manusia sebenarnya ada bersama, ketika lahir pun ia tidak sendiri. Oleh karena itu, sendiri yang dimaksud adalah sendiri dalam kesadaran dan kebebasan; tetapi berelasi pula dengan kesadaran, karena kesadaran mengharuskan berelasi. Melalui cinta, Fromm membuktikan bahwa kebutuhan akan relasi pada manusia merupakan kebutuhan yang tak terelakkan. Cinta menjadi hubungan yang paling mendasar. Cinta menyadarkan aku pada diriku dan aku pada engkau, bahwa aku membutuhkan engkau untuk mengaktualkan diriku. Pada relasi yang lebih tinggi, aku mewarisi kualitas Tuhan dalam diriku. Fromm juga menunjukkan bahwa cinta hanya ada pada orang yang berkepribadian matang, yakni cinta dengan modus menjadi dan produktif."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S16070
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Agustinus Baguna
"Terkesan dengan cakrawala pemahaman Baru tentang manusia yang disingkapkan oleh Marx den Freud, Fromm berusaha menjembatani jurang antara kedua pakar itu. Fromm berasumsi bahwa manusia memiliki hakekat yang dapat didefinisikan dalam pertalian dengan alam. Hakekat manusia terletak dalam kontradiksi antara berada dalam alam dan serentak mentransenden alam dengan tiadanya naluri dan dengan fakta kesadaran, yang melontar manusia dari keharmonisan dengan alam ke dalam situasi yang tak pasti. Dalam situasi kemanusiaan itu manusia tak dapat hidup secara statis. Kontradiksi eksistensialnya menciptakan ketakseimbangan yang mengharuskan manusia untuk terus-menerus menjalin pertalian dengan alam, sesama dan dirinya sendiri. Keharusan ini menjadi sumber dari nafsu-nafsunya. Nafsu-nafsu manusia terintegrasi dalam karakter, yakni suatu ciri yang relatif tetap, yang terbentuk tidak oleh perkembangan libido seperti kata Freud, tetapi oleh berbagai cara manusia menjalin pertaliannya dengan dunia. Karakter terbentuk oleh kebutuhan manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan lingkungan hidup tertentu. Karakter rata-rata manusia adalah karakter sosial. Karakter sosial terbentuk lewat sarana budaya, dan berfungsi sebagai mediasi dari transformasi energi psikis yang umum ke energi psikososial yang khusus. Pembentukan karakter terjadi dengan dua cara: dengan memperoleh dan mengasimilasi benda-benda (proses asimilasi), dan dengan menjalin pertalian dengan orang lain dan dirinya sendiri (proses sosialisasi). Karakter tertentu didasari oleh orientasi karakter. Baik dalam proses asimilasi maupun sosialisasi dapat dibedakan orientasi produktif dan orientasi tidak produktif. Orientasi karakter tidak produktif, jika pasif dan ditentukan dari luar; produktif, jika aktif dan kreatif. Orientasi karakter yang tidak produktif dan yang produktif pada akhirnya berakar pada orientasi dasar manusia: memiliki dan mengada; yang tidak produktif berakar pada memiliki dan yang produktif pada mengada. Memiliki bersifat posesif dan reifikatif, sedang mengada babas dan kreatif. Mana dari kedua orientasi dasar itu menjadi dominan, tergantung pada struktur sosial. Demikian, dengan mengacu pada dinamisme khusus manusia yang terletak pada keunikan dari situasi kemanusiaan Fromm meletakkan dasar baru bagi psikoanalisa: ia mengalihkan prinsip penjelasan nafsu-nafsu manusia dari prinsip Freud yang fisiologis ke prinsip sosiobiologis dan historis. Atas dasar itu ia mencapai sintesa antara Marx dan Freud antara materialisme historis dan psikoanalisa. Demikian, ia menjadikan psikoanalisa strategi untuk mengubah dunia. Fromm mengutarakan bahwa perkembangan manusia menuntut kemampuan manusia untuk menjawab eksistensinya secara otentik bukan dalam memiliki tetapi dalam mengada; prasyarat untuk mengada adalah transendensi diri. Transendensi-diri adalah transendensi ego, yakni aktivitas mengatasi egoisme dan egosentrisitas; berarti proses transformasi diri dari segala bentuk ketergantungan, pendambaan dan perbudakan nafsu-nafsu irasional ke dalam orientasi-diri yang produktif. Transendensi-diri sebagai orientasi diri yang produktif mencakup lingkup kehidupan manusia seluruh-seutuhnya. Dalam lingkup pikiran orientasi produktif ini terungkap dalam pemahaman dunia dengan nalar; dalam lingkup tindakan terungkap dalam karya yang produktif; dalam lingkup perasaan tercermin dalam cinta sebagai pengalaman kesatuan dengan pribadi lain, dengan semua manusia dan dengan alam. Fromm memberi gambaran lengkap tentang kualitas Manusia Baru dan Masyarakat Baru, karena ia sangat prihatin dengan keadaan yang tak merguntungkan dari situasi kemanusiaan dewasa ini, yang diwarnai utama oleh fenomen alienasi-diri. Dengan alienasi dimaksudkan modus pengalaman di mana manusia mengalami dirinya sebagai sesuatu yang asing."
Depok: Universitas Indonesia, 1989
S15993
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Architectural Association, 1998
720.924 RUI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Aliya Shahnnaz
"Simile merupakan jenis kiasan yang membandingkan dua hal melalui satu kata penghubung. Kata penghubung yang digunakan untuk karya berbahasa Jerman merupakan wie Penelitian ini bertujuan untuk mengalisis perbandingan bentuk simile bahasa Jerman dan bahasa Indonesia di dalam novel anak karya Erich Kästner berjudul Emil und Die Detektive yang diterjemahkan oleh Ny. M Saleh Saad. Penulis ingin mengetahui simile yang terdapat di novel anak ini dan bagaimana perbedaan bentuk simile dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, dan apakah terdapat perbedaan makna ketika simile tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan dari enam simile Polare Vergleiche, empat di antaranya diterjemahkan secara sepadan dan dua diterjemahkan secara tidak sepadan.

A Simile is a figure of speech that directly compares two things through some connective words. The connective word that is being used in the german literatures is wie. This research aims to analyze the structure of german simile in a children book written by Erich Kästner under the title Emil und Die Detektive, which has been translated to Indonesian as Emil dan Polisi-polisi Rahasia. Furthermore, the author wants to find out whether there is a change of the structure or meaning in between the German simile and Indonesian simile in the translated version of the book by Mrs. M. Saleh Saad. The result of this research shows that among six Polare Vergleiche similes, four of which are translated evenly and two of which arent translated evenly by the translator.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Zubaedah Hamid
"ABSTRAK
Erich Kastner adalah seorang pengarang yang diealis. Ia ingin memperbaiki keadaan dan situasi dunia yang buruk. Maka sesuai dengan inti ajaran moral Aufklarung yang dianutnya, Erich Kastner bermaksud menciptakan dunia yang harmonis dan tentram di bawah naungan akal budi (Vernanft). Dasar pemikiran Aufklarung ini pula yang membawa Erich Kastner pada pemahaman bahwa manuisa dan masyarakat dapat diperbaiki melalui ratio. Erich Kastner memang berhasrat memperbaiki dunia ini dan memulainya dengan anak-anak, sedangkan pada orang dewasa ia bersikap skeptis karena orang dewasa dianggapnya sebagai makhluk yang sulit dinasehati dan tidak mau belajar dari pengalaman buruk. Oleh karena itu ia lalu memilih bentuk satire dalam penulisan karya-karyanya. Berdasarkan pertimbangan di atas maka saya berpendapat bahwa buku anak-anak yang ditulis Erick Kastner mengandung satire. Untuk membuktikan hal tersebut saya lalu mengajukan 4 (empat) buku cerita anak-anak sebagai bahan penelitian dalam skripsi ini, yaitu: Punktchen und Anton. Der 35 Mai, Das fliegende Klassenzimmer dan Die Konferens der Tiere.
Oleh karena itu masalah yang saya ajukan adalah mengapa buku anak-anak karya Erich Kastner

"
1990
S14720
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library