Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imelda Masrin
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwinanda Aidina Fitrani
Abstrak :
Latar belakang: Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dapat menjadi infeksi oportunistik pada anak dengan HIV. Gejala infeksi EBV sulit dibedakan dengan infeksi HIV dan bersifat laten. Infeksi EBV laten dapat reaktivasi mulai dari gangguan limfoproliferatif hingga terjadinya keganasan. Di Indonesia belum ada data mengenai infeksi EBV pada anak dengan HIV. Tujuan: Mengetahui proporsi, karakteristik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Penelitian potong lintang untuk melihat karakteristik infeksi EBV pada anak dengan HIV dan faktor-faktor yang berhubungan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, periode bulan September 2020 hingga Februari 2021. Sampel darah diambil untuk dilakukan pemeriksaan PCR EBV kualitatif (whole blood), darah perifer lengkap, kadar CD4 dan viral load HIV. Hasil: Total subyek 83 anak dengan HIV. Proporsi subyek terinfeksi EBV sebesar 28,9%, dengan rerata usia 9,58 tahun. Limfadenopati merupakan gejala terbanyak, meskipun tidak dapat dibedakan dengan infeksi lain. Dua anak mengalami keganasan akibat EBV yaitu Limfoma Non Hodgkin dan leiomiosarkoma. Sebanyak 75% subyek terinfeksi EBV yang berusia di bawah 12 tahun mengalami anemia (rerata Hb 10,68 ± 2,86 g/dL), dapat disebabkan infeksi EBV atau penyebab lain. Hasil analisis bivariat menunjukkan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada subyek (OR 2,69 (1,015-7,141); P = 0,043). Simpulan: Proporsi anak dengan HIV yang terinfeksi EBV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah 28,9%, dengan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV. ......Background: Epstein-Barr virus (EBV) infection can be an opportunistic infection in HIV-infected children. EBV infection is difficult to be differentiated from HIV infection, and it can be latent. Latent EBV infection can reactivate into lymphoproliferative disorders and malignancy. There is no data on EBV infection in HIV-infected children in Indonesia. Objective: To identify the proportion, manifestations and factors associated with EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta. Methods: Cross-sectional study to examine the manifestations of EBV infection in HIV-infected children and it’s associated factors in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta, during September 2020 to February 2021. Blood samples were taken to examine qualitative EBV PCR (whole blood), complete blood count, CD4 levels and HIV viral load. Results: Total subjects were 83 HIV-infected children. The proportion of children infected with EBV was 28.9%, with mean age 9.58 years. Lymphadenopathy was the most common symptoms, although it was difficult to differentiate from other infections. Two children have malignancy due to EBV, namely Non-Hodgkin's lymphoma and leiomyosarcoma. Total 75% of EBV-infected subjects under 12 years of age were anemic (mean Hb 10.68 ± 2.86 g/dL), could be due to EBV infection or other causes. Bivariate analysis showed HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with EBV infection in subjects (OR 2.69 (1.015-7.141); P = 0.043). Conclusion: The proportion of EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta is 28.9%, with HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with the EBV infection in HIV-infected children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Handayani
Abstrak :
ABSTRAK
Perbaikan gizi merupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena erat hubungannya dengan peningkatan derajat kesehatan, pertumbuhan jasmani, dan kecerdasan. Protein hewani diketahui memiliki kelebihan dibandingkan protein nabati, karena mengandung asam-asam amino esensial yang lebih lengkap den seimbang, lebih mudah dicerna dan diabsorpsi, sehingga nilai biologisnya lebih tinggi. Widya Karya Pangan dan Gizi III tahun 1983 (1), yang membahas keadaan gizi di Indonesia, mengusulkan angka kecukupan protein hewani sebesar 10 g/kapita/hari. Namun, pada pendataan Biro Pusat Statistik (BPS) 1985 (2) didapatkan konsumsi protein hewani masyarakat sebesar 8,22 g/kapita/hari atau 11,80 % konsumsi protein total. Jumlah ini masih jauh di bawah kebutuhan yang dianjurkan, yakni 20 % konsumsi protein total. Pada Widya Karya Pangan dan Gizi 1988 (3) target konsumsi protein hewani sebesar 15 g/kapita/hari atau merupakan 30 % seluruh kebutuhan protein yaitu sebesar 50 g/kapita/hari.

Data BPS 1985 menunjukkan bahwa 59,65 % protein hewani yang dikonsumsi berasal dari ikan, 34,94 % nya berasal dari ikan asin {21 % dari protein hewani berasal dari ikan asin).

Ikan diketahui mengandung protein yang mempunyai kualitas setara protein daging hewan lain, mengandung asam lemak tak jenuh lebih tinggi daripada daging, berserat halus, dan mudah dicerna. Oleh karena itu untuk meningkatkan konsumsi protein hewani, ikan asin merupakan salah satu pilihan. Ikan asin selain digemari masyarakat, secara ekonomis relatif terjangkau, dan produksinya memadai.

Di Indonesia pembuatan ikan asin dilakukan secara tradisional, yang pada umumnya dibuat dari ikan segar dengan menambahkan garam dapur (NaCl) sebanyak 25-30 % berat ikan, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Di dalam proses pengolahan kadangkala ditambahkan garam sendawa sebagai pengawet (4). Garam sendawa mengandung kalium nitrat dan natrium nitrit, yang merupakan prekursor nitrosamin yang dikenal bersifat karsinogenik. Nitrosamin dapat terbentuk sebagai hasil reaksi antara nitrit dan senyawa amin pada daging ikan dan hewan lain {5-9). Reaksi nitrosasi dapat terjadi baik in vitro maupun in vivo (5-10). Hadiwiyoto dan kawan-kawan membuktikan bahwa penggunaan garam sendawa yang berlebih pada 'cured meat' menimbulkan senyawa nitrosamin dan reside nitrit (4). Christiansen dan kawan-kawan, dikutip dari Hadiwiyoto, membuktikan genggunaan 2000 'part per million' (ppm) garam nitrat pada sosis mengakibatkan terbentuknya senyawa nitrosamin (4). Penelitian Yu dan kawan-kawan (6,7) serta Tannenbaum dan kawan-kawan (11) menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish' yang juga dibuat secara tradisional dengan penggaraman dan pengeringan di bawah sinar matahari.

Beberapa penelitian menghubungkan konsumsi ikan asin dengan keganasan nasofaring (KNF). Penelitian Poirier dan kawan-kawan di 3 daerah dengan resiko tinggi KNF (Tunisia, Cina Selatan, den Greenland), menemukan adanya nitrosamin pada sampel makanan yang diawetkan, termasuk 'Cantonese-style salted fish'. Penelitian Yu den kawan-kawan menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish', dan adanya hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dengan timbulnya KNF di Hong Kong dan Guang-xi, Cina. Penelitian terhadap etnik Cina yang bermukim di California dan Malaysia juga menemukan hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dan timbulnya KNF. Pada penelitian eksperimental dengan tikus percobaan oleh Yu dan kawan-kawan yang diberi 'Cantonese-style salted fish' menimbulkan karsinoma daerah nasal atau paranasal {12). Penelitian lain {13) menyatakan adanya kaitan antara virus Epstein-Barr (VEB) dan konsumsi ikan asin merupakan penyebab utama timbulnya KNF.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoseph Adi Kristian
Abstrak :
Latar Belakang: Ekspresi PD-L1 sering ditemukan pada keganasan yang terkait dengan virus Epstein-Barr (EBV) seperti karsinoma nasofaring. Studi terbaru menunjukkan bahwa keganasan terkait EBV memiliki tingkat ekspresi PD-L1 yang tinggi. Tetapi mekanisme yang mendasari regulasi PD-L1 dan EBV terhadap ekstensi tumor masih kurang dipahami. Beberapa literatur menghubungkan parameter ini dengan tumor stadium lanjut dan prognosis buruk. Studi ini akan menilai konsentrasi PD-L1 dan DNA EBV pada jaringan tumor, pada pasien kanker nasofaring di populasi Indonesia yang dikumpulkan secara konsekutif dan dikorelasikan dengan ekstensivitas tumor.  Metode: Kami menggunakan imunohistokimia dan ELISA untuk menilai PD-L1 dan reaksi rantai polimerase (PCR) juga dilakukan untuk menilai konsentrasi DNA EBV (EBNA-1 sebagai primer). Delineasi tumor dilanjutkan dengan perhitungan volumetrik menggunakan Eclipse Treatment Planning System. Semua pemeriksaan dilakukan pra terapi. Kami memperoleh data kuantitatif dan kualitatif. Kurva korelasi didapatkan menggunakan uji korelasi Pearson.   Hasil: Tidak ada korelasi antara DNA EBV dan ekstensivitas kanker nasofaring dengan ekspresi PD-L1 positif (p = 0,371). Lebih lanjut, tidak ada korelasi antara DNA EBV dan PD-L1.   Kesimpulan: Berapapun banyaknya tumor viral load DNA EBV dan konsentrasi PD-L1 tidak akan berpengaruh pada ekstensivitas tumor. Ini adalah studi pendahuluan. ......Background: PD-L1 expression is often found in malignancies associated with Epstein-Barr virus (EBV) such as nasopharyngeal carcinoma. Recent studies shown that EBV-related malignancies have high levels of PD-L1 expression. But the mechanism underlying the regulation of PD-L1 and EBV DNA against tumor extension is still poorly understood. Some literature links this parameter with advanced tumors and poor prognosis. This study will assess tumor tissue PD-L1 and EBV DNA concentrations in nasopharyngeal cancer patients in the Indonesian population collected consecutively and correlate with tumor extensivity.  Methods: We used immunohistochemical and ELISA to assess PD-L1 and polymerase chain reaction is also performed to assess the EBV DNA concentrations (EBNA-1 as primary). Tumor volume delineation continued with volumetric calculation using Eclipse treatment planning system. All examinations were carried out pre therapy. Quantitative and qualitative data was obtained. Correlation curves were estimated using the Pearson correlation test.  Results: There was no correlation between EBV DNA and nasopharyngeal cancer extension with positive PD-L1 expression (p = 0.371). Furthermore, there is also no correlation existed between the EBV DNA copy and PD-L1.  Conclusion: No matter how much tumor EBV DNA viral load and PD-L1 concentrations had no effect on tumor extensivity. This is a preliminary study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanus Sutopo
Abstrak :
ABSTRACT
Kanker serviks adalah salah satu penyakit malignansi yang cukup berbahaya, dengan 500.000 kejadian baru dan 240.000 kematian setiap tahunnya. Walau etiologi intinya, human papillomavirus (HPV), telah diketahui sejak tahun 1990-an, sepertinya terdapat kofaktor-kofaktor yang mendorong kejadian penyakit ini. Salah satu yang menarik untuk diteliti adalah Epstein-Barr virus (EBV). Pada penelitian ini, 20 sampel swab serviks dari pasien dengan kanker serviks (positif HPV risiko tinggi), sementara 48 sampel swab serviks dari pasien dengan penyakit non-kanker serviks (negatif HPV). EBV dideteksi menggunakan uji real time PCR, sementara level DNA EBV dihitung berdasarkan persamaan Livak. Hubungan infeksi EBV sebagai kofaktor terhadap infeksi HPV dianalisis menggunakan statistik. Secara kualitatif, ditemukan bahwa populasi subyek positif EBV memiliki risiko sekitar 2,388 kali lebih mungkin menderita infeksi HPV dibandingkan populasi negatif EBV. Secara kuantitatif, jumlah DNA EBV pada populasi subyek dengan kanker serviks dan positif EBV sekitar 71 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi subyek dengan kanker serviks dan negatif EBV. Secara statistik, hubungan infeksi EBV sebagai kofaktor terhadap infeksi HPV secara kualitatif maupun kuantitatif tidak bermakna (p > 0,05). Penelitian dengan populasi yang lebih besar dan multicenter dibutuhkan untuk menyokong hasil penelitian ini.
ABSTRACT
Cervical cancer is one of the most dangerous malignant diseases, with around 500,000 new cases and 240,000 deaths each year. Although its main etiology, HPV, has been associated clearly with it since the 1990s, there appears to be various cofactors driving the pathophysiology of this disease, with one of the most interesting ones being EBV. In this study, 68 cervical swab samples with known HPV DNA content is analysed for the presence of EBV DNA. 2-by-2 table analytic statistics with various methods are then conducted to understand the connections between these two pathogens and the patients disease. It is found that in this sample population, patients with HPV are around 2.388 times more likely to be infected by EBV. The amount of EBV DNA in the case population is also found to be around 71 times more than in the control population. However, both results are statistically insignificant (p > 0.05). In conclusion, the results found shows interesting proof for the complicicity of EBV in the pathophysiology of cervical cancer, although statistically insignificant. Studies with a larger population and multicentered approach are needed to support the findings of this study.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abstrak :
Limfoma sinonasal merupakan kelainan yang jarang dijumpai yang mencakup jenis sel NK/T atau sel B. Penelitian2 terdahulu menunjukkan adanya perbedaan angka kejadian limfoma NK/T (LNKT) yang sesuai daerah geografis serta kaitan yang sangat tinggi dengan infeksi virus Epstein Barr. Penelitian yang dilakukan terhadap 4l kasus penyakit limfoproliferatif sinonasal yang tersimpan di arsip Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam kurun waktu 1994-2002 menunjukkan 35 kasus merupakan limfoma sinonasal. Pulasan imunohistokimia membuktikan 20 kasus (57%) sebagai LNKT dan 15 kasus (43%) limfoma sel B jenis sel besar. LNKT menunjukkan laki2 lebih banyak dari wanita (L:W=4:1) serta usia yng lebih muda (median 37 tahun); sedangkan limfoma sel B lebih banyak pada wanita (1:1.5) serta usia yang lebih tua (median 49 tahun). Hasil pemeriksaan genom virus Epstein Barr dengan cara hibridisasi in situ menggunakan pelacak EBER-1 menunjukkan 90% LNKT positif dan negatif pada semua limfoma sel B. Tulisan ini merupakan laporan limfoma sinonasal yang pertama dari Indonesia yang menunjukkan predominasi relatif limfoma sel B dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya. Tidak adanya kaitan dengan virus Epstein Barr pada limfoma sel B juga berbeda dengan penemuan di negara Asia lain (positivitas 25-4l%) . Predominasi limfoma sel B tanpa kaitan dengan virus Epstein Barr mengarah pada kemungkinan adanya faktor etiologik yang spesifik untuk Indonesia. (Med J Indones 2004; 13: 71-6)
Sinonasal lymphoma is a rare disease with NK/T-cell (NKTC) or B-cell immunophenotype. Previous study revealed the geographic difference in frequency of NKTC lymphoma (NKTCL) and almost constant association with Epstein-Barr virus (EBV) infection. Through review of 41 cases with sinonasal lymphoproliferative diseases registered in the Department of Anatomical Pathology, University of Indonesia during the period 1994 to 2002, thirty-five were accepted as sinonasal lymphoma. Immunohistochemistry revealed that 20 cases (57%) were NK/T-cell type and 15 (43%) B-cell type with large cell morphology, i.e.,diffuse large B-cell lymphoma. NKTCL showed a marked male preponderance (M/F= 4:1) and younger onset of disease (median age, 37 years), and B-cell lymphoma showed a relative female preponderance (1:1.5) and older disease onset (median age, 49 years). In situ hybridization using EBER-1 probe revealed that 90 % of NKTCL were EBV-positive, but none of B-cell lymphoma were EBV-positive. This is the first report on sinonasal lymphoma in Indonesia showing relative predominance of B-cell lymphoma compared to other Asian countries and Peru (14-24 %). Lack of EBV-association in Indonesian sinonasal B-cell lymphoma showed a marked contrast to that in other Asian countries (EBV positive rate, 25-41 %). Predominance of sinonasal B-cell lymphoma without EBV genome might suggest presence of specific etiologic factors in Indonesia. (Med J Indones 2004; 13: 71-6)
Medical Journal of Indonesia, 13 (2) April June 2004: 71-76, 2004
MJIN-13-2-AprilJune2004-71
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yosep Bambang Margono S.
Abstrak :
ABSTRAK Kaum wanita Yahudi Amerika memiliki peran dan posisi yang berbeda dari kaum wanita Yahudi Eropa. Di Fropa, kaum wanita Yahudi sepenuhnya berada di bawah kekuasaan kaum laki-laki. Tetapi di Amerika mereka memiliki posisi yang lebih baik. Benar bahwa mereka belum sepenuhnya terbebas dari kekuasaan laki-laki, namun mereka telah mengalami perubahan-perubahan besar berkaitan dengan peran dan posisi mereka Perubahan-perubahan tersebut tidak otomatis terjadi, melainkan karena mereka perjuangkan. Proses Amerikanisasi dan gerakan feminisme kaum wanita kulit putih Amerika memiliki pengaruh yang besar terhadap perjuangan kaum wanita Yahudi Amerika untuk bisa memiliki peran dan posisi yang sejajar dengan kaum prianya. Perubahan-perubahan yang terjadi di kalangan kaum wanita Yahudi Amerika bisa dilihat dalam sikap mereka terhadap hubungan percintaan, terhadap orang tua, maupun terhadap agama. Perubahan-perubahan ini bisa kita lihat proyeksinya di dalam karya satra, yakni dalam karya Bernard Malamud ("The Magic Barrel" dan The Assistant) den Philip Roth ("Epstein" dan Goodbye, CoIumbus). Oleh karena itu tujuan penulisan tesis ini adalah untuk menunjukkan adanya perubahan sikap tokoh-tokoh wanita Yahudi Amerika terhadap hubungan percintaan, terhadap orangtua, dan terhadap agama di dalam karya-karya Bernard Malamud dan Philip Roth yang sudah di sebut di atas. Di dalam menganalisis keempat karya dari dua pengarang tersebut, penulis menggunakan tiga teori., yakni (1) teori hubungan antara pengarang, karya sastra dan realitas, (2) teori asimilasi, dan (3) teori gender. Ketiga teori ini merupakan landaaan pembicaraan atau analisis keempat karya di atas. Dari hasil analisis karya karya di atas, terjadi perubahan-perubahan sikap yang signifikan dari tokoh-tokoh wanita Yahudi Amerika yang merupakan proyeksi dari realitas kehidupan sehari-hari. Proses asimilasi dan gerakan feminisme kaum wanita kulit putih memberikan pengaruh yang besar di dalam perubahan-perubahan tersebut, sehingga Bernard Malamud dan Philip Roth menciptakan tokoh-tokoh wanita mereka sebagai pribadi yang kuat, yang berhak menentukan kehidupan mereka sendiri. Di dalam proses untuk menjadi wanita yang mendiri, tokoh-tokoh wanita Yahudi Amerika di dalam keempat karya tersebut terlibat di dalam konflik dengan orangtua mereka yang masih ingin mempertahankan nilai-nilai budaya Yahudi tradisional.
ABSTRACT American Jewish Women Characters In Bernard Malamud's "The Magic Barrel" And The Assistant And Philip Roth's "Epstein" And Goodbye, Columbus.American Jewish women have a different role and position from European Jewish women. In Europe, Jewish women were completely under the domination of the men. In the United States of America, however, they have a better position. It is true that they haven't completely freed from the men domination, but they have undergone significant changes in accordance with their role and position. Those changes do not automatically happen, but they struggle for them. The Americanization process and feminism movement of the American white women have great influence on the struggle of American Jewish women to be equal to men. Changes happening to the American Jewish women can be seen in their attitude toward romantic love, toward their parents, and toward religion. These changes are reflected in Bernard Malamud's "The Magic Barrel" and The Assistant and in Philip Roth's "Epstein" and Goodbye, Columbus. The purpose of the writing of this thesis, therefore, is to pinpoint the changes of attitude of the American Jewish women toward romantic love, toward their parents, and toward religion in Bernard Malamud's and Philip Roth's works mentioned above. In analyzing Bernard Malamud's and Philip Roth's works, the writer uses three theories, i.e. (1) the theory of relationship among the author, his work, and reality, (2) the theory of assimilation, and (3) the theory of gender. From the analysis of the previously mentioned works, the writer is able to prove that American Jewish women characters undergo significant changes in their attitude toward romantic love, toward their parents, and toward religion. More or less, these changes are closely related with the factual reality. In other words, their attitude changes in Malamud's and Philip Roth's works are the projection of the changes of the American Jewish women's attitude in general. The Americanization process and feminism movement of the American white women have great influence on them, so that Bernard Malamud and Philip Roth create their women characters as possessing strong personality and insisting on determining their own life. In process of becoming independent women, the American Jewish women characters in Bernard Malamud's and Philip Roth's works often conflict with their parents who still want to maintain traditional values of Jewish culture.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Masrin
Abstrak :
Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas kepala dan leher terbanyak dan berada di peringkat ke empat dari seluruh keganasan pada tubuh manusia setelah tumor ganas serviks, tumor payudara dan tumor kulit. Kemajuan ilnmu pengetahuan dan teknologi dalam menegakkan diagnosis keganasan pada umumnya dan karsinoma nasofaring khususnya adalah dengan pemeriksaan histopatologik atau sitologik. Pemeriksaan penunjang lainnya, antara lain pemeriksaan radio diagnostik seperti Tomografi komputer (CT Scan), Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI), pemeriksaan serologi, imunohistokimia dan patologi molekuler. Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang melapisi daerah nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama-tama diperkenalkan oleh Regaud dan Schmineke pada tahun 1921. Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor ganas yang relatif jarang ditemukan pada beberapa tempat seperti Amerika Utara dan Eropa dengan insidens penyakit 1 per 100.000 penduduk. Penyakit ini lebih sating terdapat di Asia Tenggara termasuk Cina, Hong Kong, Singapura, Malaysia dan Taiwan dengan insidens antara 10 - 53 kasus per 100.000 penduduk. Di daerah India Timur Laut, insidens pada daerah endemis antara 25 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian terhadap penyakit karsinoma nasofaring ini mendapat banyak perhatian. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi yang cukup kompleks dari etiologi penyakit seperti faktor genetika, virus (Epstein-Barr) dan faktor lingkungan (nitrosamin di dalam ikan asin). Pada tahun 1985 Ho menyatakan sebuah hipotesis bahwa sebagai etiologi dari karsinoma nasofaring adalah infeksi dari virus Epstein-Barr. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang dapat menginfeksi lebih dari 90% populasi manusia di seluruh dunia. Virus Epstein-Barr merupakan salah satu penyebab dari infeksi mononukieosis. Karsinoma nasofaring adalah neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan bersifat asimptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan virus persisten dimana virus memasuki periode laten di dalam Iimfosit B. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik, yaitu terjadi replikasi DNA EBV, dilanjutkan dengan pembentukan virion baru dalam jumlah besar, sehingga sel pejamu menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik . EBV mempunyai potensi onkogenik untuk mengubah sel yang terinfeksi menjadi sel gangs seperti KNF, retikulosis polimorfik dan limfoma Burkitt. Virus Epstein-Barr memegang peranan penting dalam terjadinya keganasan, tetapi virus ini bukan satu-satunya penyebab dari timbulnya karsinoma nasofaring. Transmisi dari virus Epstein-Barr membutuhkan kontak yang erat dengan saliva sesenrang yang terinfeksi dengan virus ini. Banyak orang sehat dapat membawa dan menyebarkan virus secara intermiten di dalam kehidupannya, sehingga transmisi virus ini pada sebagian manusia tidak mungkin untuk dicegah.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaerita Maulani
Abstrak :
Periodontitis merupakan penyakit inflamasi kronis dengan etiologi umum yaitu plak dan bakteri. Virus merupakan mikroorganisme yang diduga turut berperan dalam etiologi periodontitis. Faktor genetik yaitu polimorfisme IFN-γ +874T/A (rs2430561) juga dapat mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap periodontitis. Kadar IFN-γ sebagai salah satu respon host terhadap virus, dapat meningkat pada subjek dengan periodontitis. Faktor prediksi periodontitis yang telah dikenal berperan dalam etiologi periodontitis adalah faktor sosiodemografis (usia, jenis kelamin), parameter klinis (body mass index (BMI), merokok dan kebersihan mulut). Polimorfisme +874T/A (rs2430561) diduga mempengaruhi kadar IFN-γ. Tujuan: menganalisis hubungan antara virus Epstein-Barr (VEB), polimorfisme gen interferon gamma (IFN-γ +874T/A (rs2430561), kadar IFN-γ, sosiodemografis dan parameter klinis dengan periodontitis dan mendapatkan indeks prediksi periodontitis. Tujuan kedua adalah mengetahui hubungan antara polimorfisme IFN-γ dengan kadar IFN-γ. Metode: Evaluasi dilakukan pada 136 subjek yang dilakukan pemeriksaan klinis jaringan periodontal yang telah memenuhi kriteria inklusi. Cairan krevikular gingiva (CGK) diperiksa dengan paper point kemudian dilakukan analisis kadar IFN-γ dengan metode ELISA dan dilakukan ekstraksi DNA dan diperiksa DNA VEB dengan metode qRT-PCR. Ekstraksi DNA dari darah perifer subjek kemudian dianalisis genotipnya dengan menggunakan teknik RFLP. Data sosiodemografis (usia, jenis kelamin) dan parameter klinis (BMI, merokok dan kebersihan mulut) diperiksa dan dianalisis. Uji multivariat regresi logistik dilakukan untuk memperoleh faktor yang paling berperan pada periodontitis. Hasil: Tidak ditemukan hubungan bermakna antara VEB dengan periodontitis (p>0,05), namun deteksi VEB lebih banyak ditemukan pada periodontitis sedang-berat dibanding periodontitis ringan. Polimorfisme IFN-γ +874T/A (rs2430561) genotip AT atau TT mempunyai hubungan bermakna dengan periodontitis (OR=2,70; p=0,036) dibandingkan dengan genotip AA. Hubungan bermakna ditemukan pada kadar IFN-γ (OR=2,87; p=0,034), jenis kelamin (OR=0,04; p< 0,001) dan kebersihan mulut (OR 9,03, p=0,002) dengan periodontitis. Hubungan polimorfisme IFN-γ +874T/A (rs2430561) dengan kadar IFN-γ ditemukan tidak bermakna (p>0,05). Kesimpulan: Indeks prediksi periodontitis model satu didapatkan faktor prediksi jenis kelamin, kebersihan mulut, kadar IFN-γ dan polimorfisme +874T/A (rs2430561) yang mempengaruhi periodontitis. Indeks prediksi model dua didapatkan faktor prediksi jenis kelamin, kebersihan mulut dan kadar IFN-γ sebagai indeks prediksi periodontitis yang lebih aplikatif. Polimorfisme IFN-γ +874T/A (rs2430561) tidak mempengaruhi kadar IFN-γ pada subjek periodontitis. ......Periodontitis is a chronic inflammatory disease of periodontium that has a multifactorial origin. Dental plaque and bacteria widely known as the main etiology in periodontitis Viruses are microorganisms that are thought to play a role in the etiology of periodontitis. The IFN-γ genetic polymorphisms may cause an alteration in host immune response. IFN-γ cytokine has important roles toward virus and intracellular bacteria and the level of IFN- γ increased in periodontitis patients. Sociodemographic factors (age, gender), clinical parameters (body mass index (BMI), smoking, and oral hygiene) are associated with the increased risk and severity of periodontitis. The polymorphisms of IFN-γ +874T/A (rs2430561) may affect the production of IFN-γ. Objective: to analyze the relationship between Epstein-Barr virus (EBV), interferon-gamma (IFN-γ) gene polymorphism +874T/A (rs2430561), IFN-γ levels, sociodemographic and clinical parameters with periodontitis and obtain a predictive index of periodontitis. The second objective was to determine the relationship between IFN-γ polymorphisms and IFN-γ levels. Methods: A total of 136 subjects who met the inclusion criteria were invited to participate in the study. Periodontal status was assessed by pocket depth, clinical attachment loss, and number of teeth. The IFN-γ level obtained from gingival crevicular fluid were measured using Human IFN-γ ELISA kit. EBV DNA positivity was determined in GCF samples using quantitative real-time PCR. DNA for single-nucleotide polymorphism (SNP) genotyping was extracted from the peripheral blood and the genotype was analyzed using the RFLP technique. Sociodemographic data and clinical parameters were examined and analyzed. Multivariate logistic regression analysis was performed to identify predictors associated with periodontitis. Results: The association between EBV and periodontitis was not significant (p>0,05), but the positive EBV detection was found higher in moderate-severe periodontitis than mild periodontitis. Statistically significant differences were found in IFN-γ +874T/A (rs2430561) polymorphism between genotype AA, AT, TT, and the protein expressions of severe and mild periodontitis samples (OR 2.70, p=0.036; OR 2.87, p=0.034, respectively). Gender and oral hygiene were showed significantly difference (OR 0.04, p < 0.001; OR 9.03, p = 0.002, respectively). The +874T/A (rs2430561) polymorphism association with IFN-γ levels was not significant (p>0.05). Conclusion: The final predictive index of periodontitis consists of gender, oral hygiene, IFN-γ levels, and polymorphism +874T/A (rs2430561). The second model consists of gender, oral hygiene and IFN-γ levels which were more applicable in less lab facility. The +874T/A (rs2430561) polymorphism did not affect IFN-γ levels in periodontitis subjects.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>