Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sidabutar, Merry Amelya Puspita
Abstrak :
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara ekspresi reseptor leptin endometrium dengan ekspresi reseptor αvβ3 integrin endometrium pada fase luteal madya pasien infertilitas, untuk mencari tahu salah satu penyebab kegagalan implantasi. Nilai leptin lokal endometrium dinilai melalui ekspresi leptin endometrium dan daya terima endometrium dinilai melalui ekspresi reseptor αvβ3 integrin endometrium. Penelitian ini dengan desain potong lintang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Ekspresi reseptor dinilai dari H-score pada pewarnaan imunohistokimia yang diambil dengan cara biopsi endometrium sebagai baku emas. Dari 30 sampel didapatkan ekspresi reseptor leptin endometrium baik pada 23 sampel (76,7%), ekspresi reseptor leptin endometrium buruk pada 7 sampel (23,3%), sedangkan hasil daya terima endometrium baik pada 24 sampel (80%), dan daya terima endometrium buruk pada 6 sampel (20%). Uji analisis membuktikkan kadar leptin serum berkorelasi kuat dengan ekspresi leptin endometrium (r=0,67;p<0,01) dengan ekspresi leptin endometrium, dan ekspresi leptin endometrium berkorelasi dengan daya terima endometrium (r=0,72;p<0,01). Analisis multivariat menyebutkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daya terima endometrium secara berurutan adalah progesteron, ekspresi leptin endometrium, dan kadar leptin serum. ;The aim of this study is to correlate between endometrial leptin receptor expression with endometrial integrin αvβ3 expression on mid luteal phase of infertility patients to know one of the cause of implantation failure. Leptin played important role in female neuroendocrine and endometrial implantation. Local leptin value were assessed through the expression of leptin endometrial receptor and endometrial receptivity assessed through the expression of integrin αvβ3 endometrial. This study was crosssectional design in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. The expression of the receptor rated of H-score on immunohistochemical staining were taken by endometrial biopsy as the gold standard. From 30 samples obtained, good endometrial leptin receptor expression were found in 23 samples (76.7%), poor endometrial leptin receptor expression in were found 7 samples (23.3% ), good endometrial receptivity were found in 24 samples (80%) and poor endometrial receptivity in 6 samples (20%). Result of this study show leptin serum was strongly correlated (r=0,67;p<0,01) with leptin endometrial receptor expression and endometrial leptin receptor expression was strongly correlated with endometrial integrin αvβ3 expression (r=0,72;p<0,01). Multivariate analysis show factors that correlate to endometrial receptivity sequentially are progesterone, endometrial leptin receptor, and leptin serum.
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Trisna Novika
Abstrak :
Latar belakang: Histeroskopi office merupakan sebuah alat penunjang diagnostik terbaru yang makin marak digunakan dalam praktik sehari-hari. Penggunaan alat ini memudahkan penegakkan diagnosis dan tatalaksana kasus perdarahan uterus abnormal. Namun, sering kali ditemukan perbedaan interpretasi temuan histeroskopi sehingga diperlukan keseragaman kriteria penilaian. Saat ini telah dikenal sebuah sistem skoring temuan histeroskopi yang dikenal sebagai skor hysteroscopy cancer (HYCA) untuk evaluasi patologi pada kasus perdarahan uterus abnormal, terutama kasus keganasan endometrium. Tujuan: (1) Mengetahui akurasi Skor HYCA sebagai metode skrining adanya kanker endometrium pada perdarahan uterus abnormal. (2) Mengetahui kesesuaian inter dan intraobserver dalam penilaian Skor HYCA pada evaluasi perdarahan uterus abnormal menggunakan histeroskopi office. Metode: Desain observasional cross sectional. Peneliti membandingkan skoring HYCA dengan hasil histopatologi untuk menilai keakuratan skor dalam skrining kasus karsinoma endometrium. Dilakukan uji kesesuaian intra dan inter observer dalam menentukan skor HYCA dari rekaman video histeroskopi. Hasil : Rekaman 87 video histeroskopi dengan 4 video dieksklusi karena tidak dapat dinilai. Penelitian ini tidak terdapat pasien false negative, 18 pasien false positive, dan sebelas kasus keganasan endometrium. Pasien dengan keganasan memiliki median usia 57 tahun sesuai usia pasca menopause. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu pasaien dengan keganasan dan bukan keganasan endometrium. Body mass index (BMI) pasien tidak berbeda secara bermakna pada kedua kelompok yaitu BMI 25 kg/m2 pada pasien keganasan endometrium dan IMT 24 kg/m2 pada kasus bukan keganasan. Nilai kesesuaian (Kappa) intraobserver A 0.824 dan observer B 0.837. Nilai kesesuaian interobserver 0.732. Sensitivitas 100%, spesifitas 75 %, akurasi 78.31% dan tingkat kesesuaian terhadap hasil patologi dengan nilai Kappa 0.44. Kesimpulan: Metode penapisan menggunakan skoring HYCA memiliki nilai sensitivitas yang tinggi. Angka spesifitas yang rendah ini menunjukkan skoring HYCA ini tidak dapat digunakan sebagai dasar diagnostik.
Background: Office hysteroscopy is one of the most frequent diagnostic tool used in diagnosing and treating women with abnormal uterine bleeding. Unfortunately, we often found interpretation findings variability that should be standardized. Therefore there is scoring system, known as HYCA score, to evaluate pathology findings in abnormal uterine bleeding, especially in endometrial malignancy. Aim: (1) To determine the accuracy of the HYCA score as a method of screening for endometrial cancer in abnormal uterine bleeding. (2) To determine the inter and intra-observer suitability in the HYCA Score assessment in the evaluation of continued abnormal bleeding using hysteroscopic office. Method: Observational cross sectional study. We compared the results of HYCA score to histopathological findings to assess the accuracy of HYCA scores for screening tool in endometrial carcinoma. Intra and inter-observer suitability tests carried out for HYCA score assessment from hysteroscopy video recordings. Result: There were 87 hysteroscopy video recordings from (bulan) to (bulan), 4 videos were excluded due to low quality videos. In this study, there weren't any patients assessed as false negative, 18 patients were assessed as false positive and 11 patients were having endometrial malignancy. Median age was 57 years old, corresponded to menopausal ages. Subjects than divided to malignant and non malignant cases. Body mass index wes not significantly different between two groups, 25 kg/m2 iand 24 kg/m2 respectively. The intraobserver (Kappa) suitability value for observer A was 0.824 and B was 0.837. The interobserver compatibility value is 0.732. Sensitivity was 100%, specificity was 75%, accuration value was 78.31% and level of conformity to histopathology with Kappa value was 0.44. Conclusion : High sensitivity finding showed HYCA score as a good screening tool rather than diagnostic tool showed by poor spesificity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Julianto Witjaksono
Abstrak :
Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) saat ini merupakan salah satu kelainan dengan keberhasilan kehamilan terendah di antara berbagai penyebab infertilitas. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ultrasonografi (USG) sebagai prediktor diagnosis reseptivitas endometrium perempuan infertil Sindrom Ovarium Polikistik. Penelitian ini merupakan studi diagnostik observasional dengan disain potong lintang. Tiga puluh empat perempuan usia reproduksi (32,5 ± 3,8 tahun), mengalami infertilitas primer 4,9 ± 3,1 tahun dengan siklus anovulasi mendapat klomifen sitrat 100 mg perhari H2?6; perkembangan folikel dan ovulasi dikonfirmasi dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) H12?17. Pemeriksaan USG yang diikuti biopsi endometrium dan hormon progesteron dilakukan pada H19?21 atau pasca ovulasi H+5?+7. USG digunakan untuk menilai Zona Vaskularisasi menurut kriteria Sonai, Volume Endometrium menurut kriteria Zollner, dan Indeks Vaskularisasi-Arus Darah menurut kriteria Wu. Biopsi endometrium dinilai berdasarkan penanggalan histopatologis menurut kriteria Noyes, dan pemeriksaan imunohistokimia VEGF dan VEGFR-1 dengan penilaian secara H-Score. Kadar VEGF serum diperiksa dengan metode Elisa. Analisis statistik menggunakan uji chi-square, uji-t dan nilai ROC. Dihasilkan titik potong komposit endometrium sebagai baku emas reseptivitas endometrium berdasarkan pemeriksaan penanggalan histopatologis endometrium. Pemeriksaan USG berdasarkan pemeriksaan komposit endometrium ini akhirnya menghasilkan baku emas USG penetapan reseptivitas endometrium. Pemeriksaan USG H19?21 menunjukkan rerata tebal endometrium 10,47 ± 1,85 mm, Volume Endometrium 3,70 ± 1,31 ml, Indeks Vaskularisasi?Arus Darah Indeks Vaskularisasi?Arus Darah 0,08 (0,00-3,21) dan Zona Vaskularisasi di lapis 1,2,3 dan 4 masing-masing 14,7%, 41,2%, 35,3% dan 8,8%. Pemeriksaan histopatologis endometrium mendapatkan 58,8% in-phase dan 41,2% out-phase. Pemeriksaan VEGF endometrium mendapatkan ekspresi tertinggi di endotel (2,34 ± 0,26), kemudian di epitel luminal (2,23 ± 0,37), sel stroma (2,1±1,9), terendah di epitel kelenjar (2,00 ± 0,68). VEGFR-1 endometrium tertinggi di epitel kelenjar (2,85 ± 0,30), diikuti di epitel luminal (2,83 ± 0,54), endotel (2,70 ± 0,42) dan terendah di sel stroma (2,58 ± 0,42). Secara statistik, ditemukan hubungan bermakna antara Zona Vaskularisasi dengan VEGF sel stroma (p = 0,018), Volume Endometrium dengan VEGF endotel (p = 0,000), epitel luminal (p = 0,029) dan total sel (0,043) serta Penanggalan Histologis Endometrium dengan VEGFR-1 sel stroma (p = 0,009). Penetapan reseptivitas endometrium hasil penilaian Komposit USG berdasarkan baku emas komposit endometrium adalah ditemukannya Zona Vaskularisasi lapis 3?4, Volume Endometrium ≥ 3,090 ml dan Indeks Vaskularisasi-Arus Darah ≥ 0,253 yang menunjukkan spesifisitas 77,4%. Ultrasonografi dapat digunakan sebagai prediktor diagnosis reseptivitas endometrium masa jendela implantasi embrio perempuan infertil SOPK. ......Polycyctic ovary syndrome has been recognized as one of the lowest successful pregnancy rates in infertile women. This studi aimed to assess ultrasound as predictor of endometrial receptivity in PCOS infertile women. Diagnostic observational study in cross sectional design was conducted. Thirty-four subjects suffered anovulatory cycles in a average 32,5 ± 3,8 years of age and primary infertility for 4,9 ± 3,1 years, receiving 100 mg/d clomiphene citrate therapy on D2?6 . Follicular development and ovulation were confirmed by tranasvaginal USG examination on D12?17 . Repeated USG procedures followed by endometrial biopsy and serum progesterone test were conducted on either D 19?21 or D+5?+7 post ovulatory. The use of USG was to assess Vascularization Zone by Sonai criteria, Endometrial Volume by Zollner criteria and Vascularization Flow Index (VFI) by Wu criteria. Endometrial biopsy was performed and dated, based on endometrial histological dating by Noyes citeria. Immunohistochemistry of VEGF and VEGFR-1 were done and counted by H-Score formula. VEGF serum was tested by Elisa method. Statistical analysis of Chi-squre test, student t-test and ROC value were used. Immunohistochemistry composite formation was based on histological dating of endometrium. Ultrasound composite based on immunohistochemistry composite was finally resulting the new cut-off of endometrial reseptivity. Ultrasound findings on D19?21 showed the average endometrial thickness 10,47± 1,85 mm, Endometrium Volume 3,70 ± 1,31 ml, Vascularization?Flow Index (VFI) 0,08 (0,00?3,21 ) and Vascularization Zone (ZV) of zone 1,2,3 and 4 were 14,7%, 41,2%, 35,3% and 8,8%. Endometrial dating was 58,8% in-phase and 41,2% out-phase. Endometrial VEGF staining showed the highest expression in endothel (2,34 ± 0,26), followed by luminal epithelium (2,23 ± 0,37), stromal cells (2,1 ± 1,9) and the lowest in glandular epithelial (2,00 ± 0,68); meanwhile the highest VEGFR-1 expression was seen in glandular epithelial (2,85 ± 0,30), followed by luminal epithelial (2,83 ± 0,54), endothelial (2,70 ± 0,42) and the lowest at the stromal cells (2,58 ± 0,42). Statistically, ZV was correlated to the VEGF stromal cells (p = 0,018) and Endometrial Volume was correlated to VEGF endothelial (p = 0,000) and VEGF luminal epithelium (p = 0,029) and VEGF total cells (p = 0,043); meanwhile Histological Dating of Endometrium was correlated to VEGFR-1 stromal cells (p = 0,009). Endometrial receptivity predictor determined by Ultrasound Composite based on immunohistochemistry composite was Vascularization Zone of layer 3?4, Endometrial Volume of ≥ 3,090 ml and endometrial VFI of 0,253 with a specificity of 77,4%. Ultrasound was the useful tools for diagnostic predictor of endometrial receptivity diagnosis during the implantation windows period of PCOS infertile female.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athyya Wulan Syafitri
Abstrak :
Gangguan reseptivitas endometrium telah diidentifikasi sebagai penyebab potensial infertilitas yang tidak dapat dijelaskan. Hewan model dapat menggambarkan patofisiologi terkait gangguan ini. Pembentukan hewan model gangguan reseptivitas endometrium sudah pernah dilakukan sebelumnya, tetapi belum pernah dilakukan di Indonesia. Konfirmasi dan validasi dibutuhkan untuk menilai reliabilitas pembentukan hewan model. Identifikasi siklus estrus penting untuk melacak fase sebagai variabel yang dapat mempengaruhi penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakter tiap fase siklus estrus untuk penentuan waktu awal pemberian perlakuan dan menganalisis pengaruh induksi hidroksiurea-adrenalin dalam pembentukan hewan model terhadap ketebalan endometrium. Tikus betina galur Wistar dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok model (hidroksiurea 450 mg/kgBB, adrenalin 0,3 mg/kgBB), kontrol normal (CMC Na 0,5%), dan kontrol positif (hidroksiurea 450 mg/kgBB, adrenalin 0,3 mg/kgBB, progesteron 0,9 mg/200gBB). Pemberian perlakuan dilakukan setelah fase statik teridentifikasi. Metode apusan vagina digunakan untuk mengidentifikasi siklus estrus. Hasil pengamatan apusan vagina menunjukkan ciri khas dari fase yang diketahui dari siklus estrus dan dapat dengan mudah diidentifikasi. Fase statik dapat diidentifikasi sebagai fase diestrus dari siklus estrus. Pemberian perlakuan dilakukan selama 10 hari, kemudian tikus betina dipasangkan dengan tikus jantan dan dikorbankan pada hari ke-8 kehamilan. Organ uterus diambil dan ketebalan endometrium dihitung dari pengukuran panjang rata-rata antara batas lumen uterus dan batas miometrium pada 4 kuadran. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada ketiga kelompok (F(2,15) = 1.584, p = 0.238). Sebagai kesimpulan, pembentukan hewan model dimulai setelah fase diestrus teridentifikasi dan pemberian hidroksiurea dan adrenalin tidak menyebabkan penurunan ketebalan endometrium. ......Impaired endometrial receptivity has been identified as potential cause of unexplained infertility. Animal models can provide depiction of the pathophysiology related to this impairment. The establishment of impaired endometrial receptivity animal models has been done previously, but has never been done in Indonesia. Confirmation and validation are required to assess the animal models reliabilities. Identification of the estrus cycle is important to track the phase as a variable that can affect the study. The present study aims to analyze the character of each estrous cycle phase to determine the initial time of treatment and analyze the effect of hydroxyurea-adrenaline induction on the animal models establishment on endometrial thickness. Female Wistar rats is divided into 3 groups, namely the model grpup (hydroxyurea 450mg/kgBW, adrenaline 0.3mg/kgBW), normal control (CMC Na 0.5%), and positive control (hydroxyurea 450mg/kgBW, adrenaline 0, 3 mg/kg, progesterone 0,9 mg/200gBW). Treatment is carried out after the static phase is identified. The vaginal smears method is used to identify the estrus cycle. The results of vaginal smears observations showed the characteristics of a known phase of the estrus cycle and can be easily identified. The static phase can be identified as the diestrus phase of the estrus cycle. The treatment was carried out for 10 days, then female rats were paired with male rats and sacrificed on the 8th day of pregnancy. Uterine organs were removed and endometrial thickness was calculated from the measurement of the average length between the inner and outer layers of the uterus in 4 quadrants. The results of analysis showed that there is no statistically significant difference in the three groups (F(2.15) = 1.584, p = 0.238). In conclusion, the animal models establishment begins after the diestrus phase is identified and administration of hydroxyurea and adrenaline did not cause a decrease on endometrial thickness.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Susanto Notosaputro
Abstrak :
ABSTRAK
Neoplasia endometrium dalam klinik muncul sebagai keluhan gangguan haid dalam berbagai bentuk. Keluhan ini merupakan kasus sehari-hari dalam klinik ginekologi. Diagnosis pasti, yang dapat berbentuk hiperplasia kistik, hiperplasia adenomatosa, hiperplasia atipik, atau adanokarsinoma berbagai derajat, hanya mungkin ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologik.

Dalam patogenesisnya, rangkaian jejas ini umumnya berkaitan erat dengan hormon estrogen. Kadar hormon estrogen yang tinggi dan berlangsung lama tanpa diimbangi oleh hormon progesteron akan menyebabkan berlangsungnya perangsangan yang terus menerus pada sel epitel kelenjar sehingga terjadi proliferasi yang berlebihan. Untuk dapat bekerja, hormon ini membutuhkan suatu protein spesifik dalam sel sasaran yang dikenal sebagai "reseptor". Pada dasarnya receptor mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) mengenal dan mengikat hormon estrogen, dan 2) mengantar hormon estrogen dari sitoplasma ke inti sel sehingga berlangsung respons sel yang spesifik. Dalam inti sel, kompleks reseptor-estrogen ini berikatan dengan bagian kromatin yang disebut "akseptor". Dengan berlangsungnya rangkaian ikatan ini, inti sel mulai membentuk mRNA yang dikeluarkan ke sitoplasma dan sel mulai membentuk protein spesifik yang pada akhirnya menghasilkan pembelahan sel.

Pengenalan terdapatnya reseptor estrogen ini bermanfaat dalam pengobatan maupun penentuan prognosis penderita. Suatu adenokarsinoma endometrium misalnya, bila memiliki cukup reseptor dapat diberikan pengobatan hormonal yang jauh lebih menguntungkan dari pada sitostatika. Demikian juga tumor demikian menunjukkan prognosis yang lebih baik.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai manfaat pulasan imunoperoksidase dalam mengenal reseptor estrogen, sekaligus mempelajari pola distribusi dan intensitasnya dalam sel sasaran serta melihat hubungannya dengan jenis neoplasia. Diharapkan penelitian ini selanjutnya akan bermanfaat bagi ahli patologi anatomik, para ahli klinik yang menangani penderita, saerta bagi para peneliti sebagai dasar penelitian selanjutnya.
Dalam penelitian ini diperiksa sejumlah 36 kasus, 5 (=13,9%) di antaranya terdiri atas adenokarsinoma endometrium berdiferensiasi baik. Jumlah kasus ini lebih kurang sebanding dengan jumlah kasus yang telah didiagnosis sebagai neoplasia endometrium di Bagian Patologi Anatomik FKUI selama 7 tahun {1980--1986) yaitu sebanyak 1240 kasus, di antaranya 186 (=15%) kasus adalah karsinoma.

Diperiksa pula 10 sediaan endometrium normal masa proliferasi den sekresi dan 2 sediaan endometrium dalam gangguan keseimbangan horman. Diagnosis histopatologik ditegakkan berdasarkan hasil pulasan rutin hematoksilineosin. Untuk mengenal reseptor estrogen dipergunakan pulasan imunoperoksidase dengan memakai antibodi anti-estradiol, dikerjakan pada jaringan yang telah difiksasi dan dibuat blok parafin. Hasil pulasan umumnya memuaskan karena 1) antibodi yang digunakan memiliki spesifisitas yang cukup tinggi, 2) kromogen memberikan warna merah-coklat yang kontras terhadap latar belakang yang kebiruan, dan 3) pulasan tending dengan hematoksilin Mayer tidak menghalangi pembacaan warna kromogen. Spesifisitas pulasan dikontrol dengan sediaan yang sama tetapi tidak diberikan antibodi anti-estradiol, melainkan diberikan serum non-imun. Pulasan non-spesifik berlangsung juga pada jaringan ikat kolagen den sel granulosit, namun secara morfologik mudah dibedakan dari sel epitel kelenjar.
Pembacaan dilakukan.dengan pembesaran 450 kali pada 10 lapangan, hanya sel epitel kelenjar yang dinilai serta dirinci atas inti dan sitoplasma. Dilakukan pengukuran semikuantitatif atas distribusi reseptor estrogen maupun intensitas pulasannya.

Peniiaian distribusi reseptor estrogen dinyatakan dalam % positif polpulasi sel kelenjar. Jumlah nilai yang diperoleh dikonversikan dalam bentuk derajat distribusi, dinyatakan dalan derajat 1 {20 - 40% positif) sampai dengan derajat 3 ' (> 60% positif) dan basil yang negatif (< 20% positif).Penilaian intensitas pulasan dirinci atas +, ++, dan +++ berdasarkan kepadatan granula yang terpulas.

Pada endometrium normal, sebaran reseptor estrogen dalam inti sel kelenjar memperlihatkan keterkaitan dengan periode siklus haid. Derajat terendah didapatkan pada masa proliferasi awal, menoapai nilai tertinggi dalam masa proliferasi lanjut, menetap selama masa sekresi awal, kemudian menurun menoapai nilai minimal dalam masa sekresi lanjut.

Guna melihat hubungan antara status reseptor dengan derajat perubahan histopatologik, dilakukan pengujian statistik menurut Kendall dengan 2 variabel kategori berderajat. Bila didapatkan hubungan bermakna, kemaknaan hubungan itu ditentukan dengan menggunakan koefisien kemaknaan dari Kendall pula.

Analisis status reseptor dalam hubungannya dengan perubahan histopatologik dari normal hingga karsinoma tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Sebaran reseptor estrogen dalam inti sel kelenjar yang mencapai derajat III didapatkan pada 40% kasus dari kelompok endometrium normal, namun hanya 11,11% kasus dari kelompok neoplasia. Rendahnya jumlah kasus dalam kelompok yang terakhir ini menunjukkan perbedaan perilaku biologik antara kedua kelompok. Selanjutnya dari kelompok neoplasia dilakukan analisis tersendiri.

Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa distribusi reseptor dalam inti sel kelenjar mempunyai hubungan yang bermakna dengan jenis neoplasia (0,001 < p < 0,01; r = 0,29). Makin keras neoplasia, makin luas sebaran reseptor 'estrogen dalam inti sel kelenjar. Meskipun demikian, beberapa kasus menunjukkan sebaran yang menyimpang dari pola umum.

Distribusi reseptor estrogen dalam sitoplasma sel kelenjar maupun intensitasnya dalam inti dan sitoplasma tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan jenis neoplasia.
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Widiawati
Abstrak :
Kondisi infertilitas yang dialami oleh Wanita memiliki prevalensi yang tinggi. Kegagalan implantasi salah satu penyebab rendahnya keberhasilan IVF sebagai teknologi reproduksi berbantuan. Defek pada reseptivitas endometrium menyebabkan perkembangan kurang adekuat untuk proses implantasi. Progesteron berperan dalam peningkatan reseptivitas endometrium sehingga perlu dilakukan eksplorasi potensi senyawa bahan alam sebagai dasar pengembangan alternatif terapi alternatif infertilitas. Tujuan dari penelitian ini yaitu melakukan penapisan dan evaluasi senyawa bahan alam yang berpotensi sebagai kandidat modulator reseptor progesteron. Metode yang digunakan adalah penapisan virtual berbasis literatur secara sistematis, simulasi penambatan molekuler; analisis prediksi absorbsi, distribusi, metabolism, ekskresi dan toksisitas (ADMET), simulasi dinamika molekuler dan uji ikatan kompetitif reseptor progesteron secara in vitro. Berdasarkan hasil skrinig literatur informasi terkait 12 senyawa yang memiliki kemampuan modulasi reseptor progesteron. Hasil simulasi penambatan molekuler, analisis ADMET dan simulasi dinamika molekuler diperoleh kandidat 6 senyawa potensial dalam hal pengikatan dengan reseptor progesteron pada situs aktif dan stabil dengan reseptor progesteron serta memiliki profil farmakokinetika yang baik. Senyawa tersebut yaitu apigenin, kaempferol, naringenin, baicalein, paeoniflorin dan e-Guggulsterone. Uji konfirmasi ikatan dengan reseptor progesteron manusia secara in vitro menunjukkan senyawa yang memiliki nilai IC50 paling mendekati dengan kontrol progesteron yaitu apigenin (1,10 μM) dan e-guggulsterone (1,35 μM). Selanjutnya yaitu senyawa Baicalein (13,85 μM), Kaempferol (16 μM) dan Naringenin (47,97 μM). Paeoniflorin (0,98 μM) memiliki nilai IC 50 paling rendah dibandingkan dengan senyawa lainnya akan tetapi grafik menunjukkan tidak adanya perubahan nilai polarisasi terhadap perubahan konsentrasi senyawa sehingga data dianggap tidak valid (R= 0,18). Dapat ditarik kesimpulan kandidat senyawa yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai fitoprogestin untuk alternatif terapi pada infertilitas melalui reseptor progesteron yaitu apigenin dan e-guggulsterone. ......The prevalence of infertility conditions is high in women. Implantation failure is one of the causes of the low success of IVF as an assisted reproductive technology. Defects in endometrial receptivity result in inadequate development for the implantation process. Progesterone plays a role in increasing endometrial receptivity, therefore it is necessary to explore the potential of natural compounds as a basis for developing alternative infertility therapies. The aim of this study is to screen and evaluate natural compounds that potentially to be candidates for progesterone receptor modulators. The methods used are systematic literature screening, molecular docking, absorption, distribution, metabolism, excretion, and toxicity (ADMET) prediction analysis, molecular dynamics simulation, and competitive binding assay of progesterone receptors. Based on the results of the literature screening, information related to 12 compounds that have the ability to modulate progesterone receptors. The results of molecular docking simulations, ADMET analysis, and molecular dynamics simulations obtained six potential candidate compounds in terms of binding to the progesterone receptor in the active site, being stable with the progesterone receptor, and having a good pharmacokinetic profile. These compounds are apigenin, kaempferol, naringenin, baicalein, paeoniflorin and e-guggulsterone. The result of assay in confirming the binding to the human progesterone receptor showed that the compound with an IC50 value closest to the control progesterone was apigenin (1.10 μM) and e-guggulsterone (1.35 μM). The next compounds are Baicalein (13.85 μM), Kaempferol (16 μM) and Naringenin (47.97 μM). Paeoniflorin (0.98 μM) has the lowest IC50 value compared to other compounds, but the graph shows no change in polarization value to changes in compound concentration so that the data is considered invalid (R = 0.18). In conclusion, the candidate compounds which have the potential to be developed as a phytoprogestin for alternative therapy for infinfertility via the progesterone receptor are apigenin and e-guggulsterone.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Rahayu Ratri
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh ekstrak rimpang Curcuma domestica Val. (kunyit) dengan dosis 230 mg/kg bb, 310 mg/kg bb, dan 390 mg/kg bb, terhadap endometrium Mus musculus L. (mencit) galur DDY yang diovariektomi. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Perkembangan Departemen Biologi FMIPA-UI. Dua puluh lima ekor mencit betina galur DDY yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok perlakuan KP1, KP2, KP3, yang masing-masing diberi ekstrak rimpang C. domestica dengan dosis 230 mg/kg bb, 310 mg/kg bb, dan 390 mg/kg bb per hari, kontrol negatif (KK1) yang diberi akuades, dan kelompok kontrol positif (KK2) yang diberi etinil estradiol. Seluruh bahan uji diberikan secara oral selama 8 hari berturut-turut. Rerata ketebalan endometrium setelah 8 hari untuk KP1, KP2, KP3, KK1, dan KK2 berturut-turut adalah (13,57 ± 1,76) μm; (24,14 ± 2,33) μm; (31,03 ± 3,76) μm; (9,85 ± 1,04) μm; dan (27,59 ± 2,56) μm. Uji analisis variansi (anava) 1-faktor menunjukkan bahwa ekstrak rimpang C. domestica dosis 310 mg/kg bb, dan 390 mg/kg bb dapat meningkatkan ketebalan endometrium, namun pada dosis 230 mg/kg bb belum dapat meningkatkan ketebalan endometrium.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S31447
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Wolters Kluwer, 2012
616.994 ADV
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lydia Olivia
Abstrak :
Latar Belakang: Endometriosis menjadi penyakit dengan teka-teki yang memerlukan penyelesaian. Prevalensinya bervariasi dengan rentang yang luas. 0,7-44% pada populasi umum. 26,5% pada kelompok 40-44 tahun, namun 52,7% pada usia 18-29 tahun. Ilmu, tehnologi dan penelitian yang ada belum menghasilkan terapi terkini menurunkan prevalensinya. Anti inflamasi non-steroid terapi non-hormonal penghilang nyeri mempunyai efek samping pada pemakaian jangka panjang, terapi hormonal mempengaruhi siklus menstruasi dan fertilitas. Modalitas terapi perlu dikembangkan mengatasi endometriosis. Peroxisome Proliferator Activated Receptor gamma merupakan faktor transkripsi terikat pada membran nukleus sebagai anti inflamasi potensial. Aktivasi PPAR gamma oleh ligan menghambat faktor transkripsi nuclear factor-κB menurunkan ekspresi gen sitokin inflamasi, menurunkan TNF α, menginduksi sekresi IL-8 menghambat proliferasi sel. Agonis selektif PPARγ diharapkan menjadi pilihan terapi non-hormonal jangka panjang endometriosis masa mendatang. Belum ada penelitian mengevaluasi ekpresi PPARγ pada jaringan endometrium endometriosis dan tidak endometriosis. Tujuan: Penelitian ini membandingkan ekpresi mRNA PPARγ endometrium subjek endometriosis dan tidak endometriosis. Metode: Penelitian potong lintang pada Desember 2016-Oktober 2017 di Kamar Operasi RS Ciptomangunkusumo. Dua puluh lima pasien endometriosis yang menjalani laparoskopi atau laparotomi yang memenuhi syarat penelitian direkrut consecutive sampling diperiksa tampilan PPAR Gamma pada dinding endometrium endometriosis dan tidak endometriosis; jaringan endometriosis dari dinding kista endometriosis. Ekspresi PPAR Gamma diperiksa menggunakan two step real time PCR. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik dan Penelitian tahun 2016. Hasil: Ekspresi PPARγ endometrium subjek endometriosis dan tidak endometriosis tidak berbeda bermakna (p 0,58). Ekspresi mRNA PPARγ jaringan endometrium dan endometriosis subjek endometriosis tidak berbeda bermakna (p 0,89). Ekspresi PPARγ jaringan endometriosis dan endometrium subjek tidak endometriosis tidak berbeda bermakna (p 0,68). Kesimpulan: Penilaian ekspresi mRNA PPARγ belum dapat digunakan sebagai dasar target terapi endometriosis. Penelitian lanjutan memisahkan jaringan epitel dan stromanya dapat dilakukan untuk membuktikan peran PPARγ pada patogenesis endometriosis.
Background: Endometriosis becomes a disease with a puzzle that requires completion. Prevalence varies with wide ranges. 0.7-44% in the general population. 26.5% in the 40 to 44 years group, but 52.7% at the age of 18-29 years. Existing science and research have not resulted in current therapy reducing its prevalence. Non-steroidal antiinflammatory non-hormonal pain relief therapy has side effects on long-term use, hormonal therapy affects the menstrual cycle and fertility. Therapeutic modalities need to be developed to overcome endometriosis. Peroxisome Proliferator Activated Receptor gamma is a transcription factor bound to the nuclear membrane as a potential anti-inflammatory. Activation of gamma PPAR by ligand inhibits nuclear factor-κB transcription factor decreases expression of inflammatory cytokine gene, decreases TNF α, inducing IL-8 secretion inhibiting cell proliferation. PPAR sel-selective agonists are expected to be the preferred long-term non-hormonal therapy of future endometriosis. Objective: This study compared PPAR expression in endometriosis and endometrial subjects of endometriosis and not endometriosis. Method: Cross-sectional study in December 2016-October 2017 at Operation Room of RS Ciptomangunkusumo. Twenty-five endometriosis patients undergoing laparoscopy or laparotomy who qualified for the study were recruited consecutive sampling examined PPAR Gamma display on the endometrial wall of endometriosis and not endometriosis; endometriosis of the cervical wall of endometriosis. The PPARγ expression was examined using two step real time PCR. The study was approved by the Ethics and Research Committee of 2016. Result: The PPAR expression of the endometrium of endometriosis and nonendometriosis did not differ significantly (p 0.58). Expression of PPAR gamma endometrial and endometriosis tissue subject of endometriosis was not significantly different (p 0.89). PPAR expression of endometriosis and endometrial tissue of the subjects not endometriosis was not significantly different (p 0.68). Conclusion: PPAR expressivity assessment has not been used as a target for endometriosis therapy. Further studies separating epithelial tissue and stroma can be performed to prove the role of PPARγ in the pathogenesis of endometriosis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Bekti Subakir
Abstrak :
ABSTRAK
KB susuk (kontrasepsi implantasi levonorgestrel/ Norplant) adalah alat kontrasepsi yang efektif, dapat digunakan jangka panjang dan dapat diterima oleh wanita Indonesia. Efek samping yang berupa pendarahan tak teratur, sering dan lama merupakan alasan utama akseptor KB susuk untuk putus metoda.

Pada penelitian tahap I dan II telah diperoleh hasil bahwa aktivitas angiogenesis endometrium peserta KB susuk lebih rendah dari kontrol. Aktivitas angiogenesis ini tidak ada hubungannya dengan kadar hormon estradiol ,progesteron, levonorgestrel dan indeks levonorgestrel bebas. Kadar serum peroksida lipid peserta KB susuk dengan perdarahan endometrium lebih tinggi dari kontrol. Inkubasi endometrium dengan vitamin E (in vitro) dapat meningkatkan aktivitas angiogenik endometrium peserta KB susuk dengan pendarahan.

Penelitian tahap ke III ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian vitamin E pada peserta KB susuk yang mengalami perdarahan endometrium yang lama, sering dan tak teratur terhadap keluhan perdarahan endometriumnya.

Naracoba adalah peserta KB susuk yang minimal telah menggunakan, kontrasepsi tersebut selama 3 bulan, mengalami perdarahan endometrium yang lama/sering/tak teratur (menurut definisi WHO), umur 18-40 tahun, sehat, bersedia menjadi naracoba dan menandatangani 'informed consent.

Pemberian vitamin E diberikan secara acak, tersamar berganda. Dosis pemberian vitamin E adalah 200 mg/hari, selama 10 hari. Hasil sementara menunjukkan, pemberian vitamin E mengurangi keluhan perdarahan endometrium sebesar 69,7% , sedangkan pemberian plasebo mengurangi keluhan perdarahan sebesar 37,5%

Walaupun hasil pemberian vitamin E ini belum dapat dianalisa sempurna karena jumlah naracoba belum mencukupi, namun kiranya pemberian vitamin E memberikan kesan akan dapat mengurangi keluhan perdarahan endometrium pada pemakai kontrasepsi susuk.
ABSTRACT
The levonorgestrel subdermal implant contraceptive (Norplant) as a highly method for long acting contraception. The method is well accepted among Indonesian users, despite the problem with irregular and prolonged menstrual bleeding. The bleeding problem can be the major reason for acceptors to discontinue the use of Norplant. The cause of endometrial bleeding may include disturbances in endometrial regeneration and angiogenesis.

The study consists of 3 stages. The results of the first and the second study showed that the endometrial angiogenic activity in Norplant users were significantly lower than control group. There was no correlation between endothelial angiogenic activity and peripheral hormonal levels (progesterone, oestradiol, levonorgestrel) and free levonorgestrel index. The plasma lipid peroxyde in Norplant users with bleeding were significantly higher than control group. Vitamin E could increase the response of endometrial angiogenic (in vitro) in Norplant users with bleeding problems.

The aim of the third study is to investigate the effect of vitamin E in the Norplant users with bleeding problems.

The subjects were selected from Norplat users with an exposure of 3 months or more, with frequent, prolonged and irregular menstrual bleeding, 18-40 years old and recruited to the study on the basis of fully informed consent.

Vitamin E were given by double blind randomization. Subject received vitamin E 200 mg daily for ten days every month. The temporary results showed that vitamin E was better than placebo to reduce the endometrial bleeding (69.7% versus 37.5%) in Norplant users. However, the study has not finished yet, it is suggested that vitamin E can reduce the bleeding problem in Norplant users.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>