Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bandung: Refika Aditama, 2006
352 SEK t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Tamo Mbapa
"Pemilihan Umum Legislatif I April 2004 merupakan babak baru dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Calon anggota legislatif yang meraih suara terbanyak tidak otomatis terpilih mewakili partai untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat, kecuali perolehannya melebihi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Pemilu legislatif 2004 yang menerapkan sistem proporsional daftar terbuka yang berbeda dengan pemilu 1999 merupakan bahan penelitian yang menarik karena sebagian besar calon anggota legislatif di Daerah Pemilihan DKI Jakarta II tidak mencapai angka BPP dan hanya satu orang yang mencapai angka BPP atas nama Dr. Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera.
Calon yang tidak mencapai angka BPP akan dipilih berdasarkan nomor unit dan bukan berdasarkan perolehan suara terbanyak. Permasalahan pokoknya adalah bagaimana dampak sistem pemilu terhadap perolehan suara calon anggota legislatif untuk mendorong proses demokrasi di Indonesia serta faktor-faktor pendukung atau penghambat dalam pencapaian BPP di daerah pemilihan DKI Jakarta II.
Menurut Dieter Nohlen bahwa pemilu (sistem pemilu) mempunyai misi keterwakilan,konsentrasi, efektivitas, partisipasi, tidak rumit dan legitimasi. Keterwakilan bagi seluruh kelompok minoritas dalam lembaga perwakilan rakyat bukan didominasi oleh alit partai dan adanya keadilan (fairness) sebagai representasi kekuatan kepentingan dan politik dalam lembaga perwakilan. Sistem pemilu harus mendorong meningkatnya kualitas legitimasi sebagai syarat demokrasi yang partisipatif.
Berdasarkan permasalahan pokok penelitian tentang bagaimana dampak sistem pemilu terhadap perolehan suara calon anggota legislatif maka ditemukan hasil penelitian antara lain, calon anggota legislatif sangat sulit mencapai angka BPP karena pemilih lebih mudah mencoblos tanda partai dari pada mencoblos nama calon yang mengakibatkan perolehan suara partai lebih besar ketimbang suara calon. Kedua, penetapan angka BPP setiap daerah pemilihan yang jumlahnya sama antara BPP calon dan BPP Partai juga menjadi hambatan/menyulitkan caleg perempuan untuk mencapai angka BPP. Implikasi teori yang berkaitan misi pemilu (sistem pemilu)yang disarnpaikan Dieter Nohlen tentang perwakilan politik, tidak rumit, efektivitas, legitimasi nampaknya telah sesuai dalam pelaksanaan pemilu 2004. Teori Andrew Reynolds tentang Sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan menggunakan perhitungan BPP yang sudah diterapkan pada pemilu 2004 namun hal tersebut banyak merugikan caleg perempuan.

Legislative Election 1 April 2004 is a new phase of democracy in Indonesia. Candidate of legislative member who gets the highest voters is not automatically elected to represent his/her party in the legislative institution, except their voters are more than Voters Divide Number (Bilangan Pembagi Pemilih or BPP). The legislative election in 2004 which implements open list proportional system different from previous election is an interesting topic to be research because most of candidates in the electoral district can not achieve the number. The only candidate who achieves the number is Hidayat Nur Wahid from Prosperous Justice Party.
Candidates who cannot achieve the number will be selected based on rank on the list from the party, and the result of each candidates will not be counted. The research question of the research is how is the impact of election system on candidate's voters to endorse democratic process in Indonesia. Other problem is the stimulating and obstacle factors in achieving BPP in the electoral district of DKI Jakarta II.
According to Dieter Nohlen, election system has several missions of representative ness, concentration, effectiveness, participation, simple, and legitimate. Representative ness for all of minority groups in the representative house is not dominated by elite of political party and fairness as a power of interest and politics in the house. Election system should endorse the quality of legitimacy as a condition for democratic participation.
Based on the problems, it is found that candidates are difficult to achieve the number because the voters are easier to choose symbol of political party rather that choose the name of candidates; therefore the result for political party is higher than candidates' result. Second, in fixing the number in every electoral district that its number is similar between BPP of candidate and political party is also the obstacle for women candidates to achieve it.
Theoretical implication related to the mission of election system seems relevant with the implementation of election in 2004. The theory from Andrew Reynolds on open list proportional system using BPP has been implemented in the election; however it is unfavorable for women candidates."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situngkir, Aderson
"Di negara demokrasi modern pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat, sarana pengakuan hak asasi Manusia (HAM) sekaligus sarana partisipasi rakyat dalam polilik. Kemudian pemilu dapat berfurgsi sebagai sarana legitimasi polilik, perwakilan atau representasi politik, mekanisme pergantian kekuasaan atau sirkulasi elit dan sebagai sarana pendidikan dan sosialisasi politik yang bersifat massal, dan periodik Sistem pemilu sangat berpengaruh terhadap ketahanan nasional karena dapat mempengaruhi sistem partai, sistem kebinet pemerintahan, mekanisme hubungan kerja antara lembaga negara dan tertinggi negara, alat proses budaya polilik yang berkembang di masyarakat.
Sejak Indoneda merdeka telah 8 (delapan) kali dilaksanakan pemilihan umum sistem proporsional dengan berbagai variasinya. Pemilu 1955 relatif demokratis tetapi hasil akhir kurang mendukung upaya peningkatan ketahanan nasional Pemilu Orde Baru 1971 - 1997 relatif kurang demokratis walaupun kabinet relaif lebih stabil tetapi DPR kurang berfungsi kuat dan efektif. Pemilu 1999 relatif demokratis tetapi hasilnya sampai sekarang kurang kondusif terhadap ketahanan nasional. Mengingat besarnya pengaruh sistem pemilu terhadap upaya peningkatan ketahanan nasional maka penulis melakukan penelitian terhadap sistem proporsional versus distrik dikaitkan dengan gatra nasional.
Peneiltian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan pemilu sistem proporsional dengan sistem distrik dilihat dari ciri atau dampak positif dan negatifnya jika diterapkan di Indonesia maupun empiris dinegara lain, dan untuk mengetahui sistem pemilu mana yang dapat lebih meningkatkan ketahanan nasional. Metode penelitian bersifat komparatif deskriptif, teoritis normatif dan empiris. Kajian data dilakukan dengan studi pustaka (library research) kemudian dikonfirmasi dengan data wawancara terhadap ilmuwan, tokoh - tokoh partai politik Orde Baru dan birokrasi yang diwakili KPU. Analisa data dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan (prosperity and security approach). Setelah dilakukan penelitian ternyata bahwa pemilu sistem distrik lebih meningkatkan ketahanan nasional dengan catatan masih ada kendala atau hal - hal yang perlu di benahi. Maka penulis menyarankan agar pemilu yang akan datang memakai sistem distrik. Untuk mengurangi dampak negatifnya seperti representasi minoritas politik maka sistem yang dipakai bervariasi. Apabila jumlah penduduk lebih sedikit maka variasi yang dipakai adalah single member constituency yaitu wakil distrik minimal satu. Apabila jumlah penduduk lebih banyak maka vaiasi yang dipakai adalah multi member constituency yaitu tiap distrik terdiri beberapa wakil sesuai rasio jumlah penduduk.
Pilihan sistem pemilu hanyalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan ketahanan nasional. Faktor lain adalah pelaksanaan pemilu yang demokratis, agar legitimasi politik baik parlemen maupun kabinet tinggi, mempengaruhi kinerja legislatif dan akuntabilitas politik Maka untuk menunjang pemilu demokratis disarankan agar ketentuan pemilu dan kepartaian diatur secara jelas dan tegas dalam konstitusi negara (UUD 1945) agar mempunyai kedudukan yang kuat, perlu dibentuk badan peradilan khusus pemilu atau artartrase dengan prinsip transparan, jurdil, cepat, biaya ringan dengan putusan paralel dengan pengumuman hasil pemilu. Apabila kader partai melakukan kecurangan seperti politik uang (money politic), suap atau sogok untuk mempengaruhi putusan politik rakyat maka calon dinyatakan non aktif lalu diajukan ke pengadilan. Kemudian masyarakat umum diberikan hak untuk mengajukan gugatan (class action) apabila partai ingkar terhadap janji kampanye. Kemudian DPR perlu diberdayakan melalui komisi dan penambahan staf ahli, dibuat kode etik (code of conduct) dan dewan kehormatan agar perilaku, disiplin dan kinerja DPR dapat meningkat."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T11160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library