Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shofiyah Adila Farhana
Abstrak :
Pada tahun 2022, pemerintah Indonesia telah mengakui bahwa dampak perubahan iklim dapat memicu potensi bencana yang dapat merugikan perekonomian, sosial, dan kesehatan di Indonesia hingga mencapai angka 544 triliun rupiah. Dengan mempertimbangkan bahwa dibutuhkan dana yang besar untuk pendanaan iklim dan adanya peningkatan target Indonesia terhadap dunia internasional untuk menurunkan emisi karbon, pemerintah Indonesia memutuskan untuk merencanakan penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon secara simultan untuk satu sektor yang sama yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara melalui Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 16 Tahun 2022. Merujuk kepada doktrin dari Gunningham dan Sinclair, apabila akan diterapkan dua atau lebih kebijakan untuk satu target yang sama,  maka perlu untuk dilihat koherensi dan urutan dari penerapan kebijakan tersebut untuk melihat apakah tujuan utama dari diterapkannya dua atau lebih kebijakan dapat tercapai tanpa menciptakan smorgasbordism. Norwegia merupakan negara Eropa yang memiliki situasi mirip dengan Indonesia. Norwegia menerapkan kewajiban untuk sektor petroleum lepas pantai berpartisipasi di perdagangan karbon Uni Eropa melalui European Union Emision Trading System (EU ETS) dan membayar pajak karbon melalui Carbon Tax Act No. 21 on Petroleum Activities. Sayangnya, hingga saat ini, tidak ada data yang menunjukkan bahwa emisi karbon di sektor petroleum lepas pantai Norwegia berhasil menurun paska diterapkannya dua kebijakan instrumen ekonomi secara simultan. Alih-alih menurun, data menunjukkan bahwa hingga kini produksi petroleum lepas pantai tetap menjadi nomor urut pertama sumber emisi karbon di Norwegia. Berkaca dari Norwegia, apabila Indonesia ingin menerapkan pajak karbon dan perdagangan karbon untuk menurunkan emisi karbon di sektor PLTU Batubara, maka Indonesia perlu untuk mempertimbangkan bahwa 1) pajak karbon tidak dapat dikenakan sebagai ‘sanksi’ yang menimbulkan efek jera agar pelaku industri PLTU Batubara di Indonesia mau berpartisipasi di perdagangan karbon;  2) pemerintah perlu memastikan bahwa terdapat insentif yang cukup untuk menarik pelaku usaha ke perdagangan karbon, baik melalui sanksi denda atau sanksi sosial, tanpa mengandalkan pajak;  3) hasil pajak karbon benar-benar dialokasikan untuk proyek lingkungan hidup. ......By 2022, the Indonesian government has recognized that the impacts of climate change could trigger a potential catastrophic economic, social, and health cost in Indonesia of up to IDR 544 trillion. Considering the large amount of money needed for climate finance and Indonesia's increasing international targets to reduce carbon emissions, the Indonesian government decided to plan the simultaneous implementation of carbon tax and carbon trading for the same sector, namely Coal Fired Power Plant through Law No.7 of 2021 on Harmonization of Taxation Regulations and Minister of Energy and Mineral Resources Regulation No. 16 of 2022. Referring to the doctrine of Gunningham and Sinclair, if two or more policies will be applied for the same target, it is necessary to look at the coherence and sequence of the application of these policies to see if the main objectives of the application of two or more policies can be achieved without creating smorgasbordism. Norway is a European country that has a similar situation to Indonesia. Norway has an obligation for the offshore petroleum sector to participate in EU carbon trading through the European Union Emission Trading System (EU ETS) and pay carbon tax through Carbon Tax Act No. 21 on Petroleum Activities. Unfortunately, to date, there is no data to suggest that carbon emissions in Norway's offshore petroleum sector have decreased following the simultaneous implementation of these two policy economic instruments. Instead of decreasing, data shows that until now offshore petroleum production remains the number one source of carbon emissions in Norway.  Reflecting on Norway, if Indonesia wants to implement carbon tax and carbon trading to reduce carbon emission in coal power plant sector, Indonesia needs to consider that 1) carbon tax cannot be imposed as a 'sanction' that creates deterrent effect so that coal power plant industry players in Indonesia want to participate in carbon trading; 2) the government needs to ensure that there are sufficient incentives to attract business actors to carbon trading, either through fines or social sanctions, without relying on taxes; 3) carbon tax proceeds are truly allocated for environmental projects.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dandy Rizky Wibowo
Abstrak :
Secara teoritis, carbon pricing – yang umumnya terdiri dari pajak karbon dan sistem perdagangan emisi – adalah kebijakan yang efektif dalam mengurangi emisi. Akan tetapi, terdapat isu apakah carbon pricing  berhasil menurunkan emisi dalam prakteknya. Isu lainnya adalah carbon pricing menyebabkan penurunan pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan memperburuk ketimpangan pendapatan. Menggunakan regresi data panel fixed effect dan menjadikan negara G20 sebagai studi kasus, studi ini menunjukkan bahwa pengimplementasian pajak karbon dan sistem perdagangan emisi secara bersamaan mengakibatkan penurunan emisi, tetapi disaat yang bersamaan menyebabkan penurunan PDB dan memperburuk distribusi pendapatan. Membedakan dan membandingkan dampak pajak karbon dan sistem perdagangan emisi secara terpisah, studi ini menemukan bahwa tidak pajak karbon maupun sistem perdagangan emisi memberikan dampak yang menguntungkan pada emisi, PDB, dan ketimpangan pendapatan secara bersamaan. Meskipun penurunan emisi dari pajak karbon lebih rendah daripada sistem perdagangan emisi dan telah terbukti bahwa pajak karbon menyebabkan penurunan PDB, akan tetapi pengimplementasian pajak karbon menurunkan ketimpangan pendapatan. Sebaliknya, sistem perdagangan emisi yang penurunan emisinya lebih besar dibandingkan dengan pajak karbon justru malah meningkatkan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian, pengimplementasian carbon pricing memberikan tantangan bagi pengambil kebijakan untuk bagaimana dampak negatif dari pengimplementasian carbon pricing dapat diminimalisir. ......Theoretically, carbon pricing – which in general consists of carbon tax and Emissions Trading System (ETS) – is an effective policy in reducing emissions. However, there is an issue whether in practice carbon pricing has been successful in reducing emissions. Another issue is carbon pricing would induce a decrease in GDP and worsen income inequality. Using fixed effect panel data regression and utilized G20 countries as the case study, this study revealed that the implementation of carbon tax and ETS simultaneously has been effective in reducing emissions, while at the same time induced decrease in GDP and worsening income inequality. Differentiating and comparing the impact of carbon tax and ETS separately, this study found neither carbon tax nor ETS provide favorable outcomes on emissions, GDP, and income inequality simultaneously. Although the emissions reduction from carbon tax is lower than the ETS and it is proven that carbon tax implementation reduces GDP, but the implementation decreases income inequality. In contrast, ETS which provide larger emissions reduction compared to the carbon tax result in higher income inequality. Thus, the carbon pricing implementation leaves policymakers the challenges on how to reduce the adverse impact due to the implementation.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Moses
Abstrak :
Pola hidup WFH (Work From Home) sebagai dampak pandemi Covid-19 menyebabkan konsumsi listrik yang tadinya berasal dari gedung perkantoran menjadi terdistribusi pada perumahan sebagai tempat masyarakat bekerja. Hal tersebut menyebabkan konsumsi listrik di perumahan meningkat dan dibutuhkan cara untuk mengontrolnya. Prediksi penggunaan listrik pada jangka waktu pendek dapat digunakan sebagai solusi, sehingga dapat dibuat perencanaan biaya listrik yang lebih awal serta mendeteksi anomali ketika hasil prediksi berbeda jauh ketika dibandingkan dengan penggunaan secara aktual. Agar pendeteksian anomali dan prediksi konsumsi dapat dilakukan secara maksimal, diperlukan suatu model dengan akurasi yang tinggi. Penelitian ini menggunakan hybrid model sebagai forecasting model yang belakangan ini terus berkembang. Penggunaan hybrid model dipertimbangkan untuk digunakan karena dapat menciptakan suatu model yang komprehensif. Implementasi hybrid model menggabungkan ETS (Error, Trend, and Seasonality) sebagai model untuk memprediksi komponen linear dan ANN (Artificial Neural Network) sebagai untuk komponen non-linear dari dataset. ANN menggunakan SCA (Sine-Cosine Algorithm) sebagai algoritma optimasinya untuk mempercepat konvergensi dari pelatihan model dengan akurasi yang tetap terjaga. Hybrid model digunakan untuk memprediksi konsumsi listrik AC dan penerangan pada gedung S FTUI (Fakultas Teknik Universitas Indonesia) dengan kuantisasi data per hari dan per jam. Pada kuantisasi data per hari hybrid model dibandingkan dengan model individu yaitu ETS, ANN, dan SCA-ANN, dan juga dibandingkan dengan hybrid model dengan GA (Genetic Algorithm) sebagai algoritma metaheuristiknya dan hybrid model tanpa algoritma metaheuristik (backpropagation menggunakan Adam). Pada perbandingan tersebut hybrid model menjadi model terbaik dengan MSE sebesar 43,494 dan SMAPE 51.6 pada data AC, dan MSE sebesar 5,928 dan SMAPE sebesar 44.5 pada data penerangan. Pada kuantisasi data per jam, hybrid model tidak dapat memprediksi konsumsi listrik dengan baik ......WFH (Work From Home) is a new lifestyle that is developed due to the Covid-19 pandemic, and resulted to the distribution of electricity consumption from office buildings to residential area where people lives. That increases residential area’s electricity consumption, and something is needed to control the increase. Shortterm electricity consumption can be used as a solution, so electricity cost can be planned earlier, and anomaly can be detected when there is an unusual pattern in the consumption. To maximize the performance of anomaly detection and consumption prediction, a specific model with high accuracy is needed. This research uses the recently much developed hybrid model as the forecasting model. The use of hybrid model is considered because it can create a comprehensive model. The implementation of hybrid model combines ETS (Error, Trend, and Seasonality) to predict the linear components and ANN (Artificial Neural Network) to predict the non-linear components from the dataset. ANN uses SCA (Sine-Cosine Algorithm) as an optimization algorithm to speed the convergence process while maintaining the accuracy of the prediction. Hybrid model is used to predict the electricity consumption of FTUI (Fakultas Teknik Universitas Indonesia) S building’s air conditioning and lighting which is quantized to daily and hourly data. When quantized as daily data, the hybrid model is compared to ETS, ANN, and SCA-ANN as an individual model, and compared to a hybrid model with GA (Genetic Algorithm) as its metaheuristic algorithm, and hybrid model without any metaheuristic algorithm (backpropagation using Adam). In the comparison, hybrid model is the best model with MSE value of 43,494 and SMAPE value of 51.6 when used in air conditioning data, and MSE value of 5,928 and SMAPE value of 44.5 when used in lighting data. When quantized as hourly data, hybrid model cannot predict the electricity consumption well.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library