Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jason Sriwijaya
Abstrak :
Dihidroartemisinin-piperakuin (DHA-PPQ) telah digunakan secara global sebagai terapi kombinasi standar pada pengobatan malaria vivaks di Indonesia. Efikasi dan keamanan obat ini banyak dilaporkan, namun data efek samping obat terhadap jantung masih sangat terbatas. Salah satu efek samping yang patut diwaspadai adalah pemanjangan repolarisasi ventrikel yang dapat menyebabkan berkembangnya aritmia ventrikuler yang dikenal sebagai Torsade de Pointes (TdP). Pengukuran interval QT telah dijadikan standar untuk mengukur waktu repolarisasi ventrikel. Interval QT juga mewakili waktu yang dibutuhkan untuk depolarisasi dan repolarisasi ventrikel sehingga tidak selalu bisa dijadikan indikator akurat pada kelainan repolarisasi. Saat ini pengukuran interval QT digunakan sebagai standar utama penilaian efek samping obat terhadap jantung, namun menurut pemikiran sebagian ahli, pengukuran interval JT lebih akurat untuk mengukur waktu repolarisasi ventrikel, karena tidak terpengaruh oleh variabilitas durasi kompleks QRS. Interval QT dan JT dipengaruhi oleh frekuensi denyut jantung, maka dalam penelitian ini digunakan dua formula yang sudah dikoreksi terhadap frekuensi denyut jantung, yaitu formula Bazett (QTcB, JTcB) dan Fridericia (QTcF, JTcF). Penelitian before-after ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai rerata interval QTc dan JTc penderita malaria vivaks sebelum dan sesudah pemberian DHA-PPQ. Penelitian ini dilakukan pada penderita malaria vivaks yang juga diberikan primakuin (PQ) untuk mencegah kekambuhan, sehingga juga dilakukan pengukuran interval QTc dan JTc sebelum dan sesudah pemberian PQ. Subyek yang masuk dalam kriteria seleksi pada pemberian DHA-PPQ berjumlah 24 subyek, sedangkan pada pemberian PQ sebanyak 14 subyek. Pengukuran interval QT dan JT dilakukan pada data rekaman EKG penelitian utama ?Safety, tolerability, and efficacy of artesunat-pyonaridine or dihydroartemisinin-piperaquine in combination with primaquine as radical cure for P. Vivax in Indonesian Soldiers? tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pemanjangan rerata interval QTcF dibandingkan baseline yang bermakna secara statistik di D3 setelah pemberian DHA-PPQ. Pemanjangan sebesar 14,42 milidetik terjadi di D3 predose dan 20,53 milidetik di D3 postdose, sedangkan rerata pemanjangan interval JTcF yang bermakna setelah pemberian DHA-PPQ, didapatkan sebesar 13,43 milidetik di D3 postdose. Hasil penelitian pada pemberian PQ terdapat perbedaan nilai rerata interval QTcB dibandingkan baseline sebesar 19,42 milidetik. Nilai median interval QTcB di D42 predose dan D42 postdose, masing-masing sebesar 402,69 milidetik dan 399,73 milidetik, sedangkan nilai median QTcB D29 predose sebagai baseline 380,31 milidetik, dan perbedaan tersebut bermakna secara statistik. Untuk rerata pemanjangan interval JTcF dibandingkan baseline diperoleh sebesar 16,50 milidetik di D42 postdose dan secara statistik bermakna.
Dihydroartemisinin-piperaquin (DHA-PPQ) has been used globally as standard combination therapies for vivax malaria treatment in Indonesia. There are accumulating reports of efficacy and safety for these drugs. However, data on cardiotoxicity are limited. One of the side effects that must be put into caution is the prolongation of ventricular repolarization which can lead to the development of ventricular arrhythmia known as Torsade de Pointes (TdP). QT interval has been the standard measurement of ventricular repolarization. However, it includes both depolarization and repolarization time, and may not always be an accurate indicator for repolarization abnormalities. Recently, many experts suggest that JT interval could be a more accurate measurement of ventricular repolarization since the variability of QRS complex duration does not affect it. QT and JT intervals are affected by heart rate, so both of them have to be corrected for the heart rate using two formulas, i.e.: Bazett (QTcB, JTcB) and Fridericia (QTcF, JTcF) formulas. This study used ?before and after? design and was aimed to find out whether there was a significant difference of QTc and JTc interval of vivax malaria patients pre and post DHA-PPQ dose. Since our patients were also given primaquine (PQ) the differences of QTc and JTc interval of vivax malaria patients pre and post PQ were also explored. The ECG record of 24 DHA-PPQ and 14 PQ treated subjects taken from ?Safety, tolerability, and efficacy of artesunat-pyonaridine or dihydroartemisinin-piperaquine in combination with Primaquine as radical cure for P. Vivax in Indonesian Soldiers? study in the 2010 year, were analyzed. The results showed significant QTcF prolongations of 14.42 ms predose and 20.53 ms postdose on D3 DHA-PPQ treatment compared to the baseline value, D1, whereas prolongations of JT interval were 13.43 ms found on D3 postdose. The results after given PQ showed mean difference of QTcB compared to the baseline value was 19.42 ms and the values of QTcB interval median were 402.69 ms and 399.73 ms for D42 predose and D42 postdose, respectively, compared to the baseline value 380.31 ms for D29 predose, and which was statistically significant. The result for JTcF interval after given PQ, showed mean difference of prolongations compared to the baseline value was 16.50 ms, statistically significant.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kalumpiu, Joice Viladelvia
Abstrak :
ABSTRAK Kombinasi dihidroartemisinin-piperakuin (DHP) merupakan salah satu rejimen lini pertama untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi di Indonesia. Dihidroartemisinin (DHA) adalah obat anti malaria derivat artemisinin yang dimetabolisme oleh uridin difosfat glukuronosiltransferase (UGT) 1A9 dan 2B7. Hingga saat ini telah ditemukan 3 SNP (single nucleotide polymorphisms) nonsinonimus pada UGT2B7, yang terdapat pada ekson 1, 2 dan 5. SNP tersebut berkontribusi pada perubahan aktivitas glukuronidasi UGT2B7. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari distribusi dan frekuensi varian alel dari gen UGT2B7 pada daerah endemik malaria di Indonesia. Metode Bahan penelitian sejumlah 240 sampel berasal dari bahan biologis tersimpan anonim yang diambil dari dua belas daerah endemik malaria di Indonesia. Analisis dilakukan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), yang dilanjutkan dengan metode sekuensing untuk melihat varian alel UGT2B7 yaitu 211T, 802T, dan 1192A. Hasil Diperoleh varian alel UGT2B7 yaitu 211T (10,4%) dan 802T (9,4%) di Indonesia. Frekuensi dan distribusi varian alel 211T dan 802T hampir sama pada daerah hipoendemik (masing-masing 11% dan 10,6%) dan di daerah hiperendemik (masing-masing 10% dan 8,75%). Pada penelitian ini tidak ditemukan alel 1192A. Kesimpulan Varian alel 211T merupakan varian alel dengan frekuensi tertinggi dibandingkan dengan kedua alel lainnya. Tidak terdapat perbedaan frekuensi dan pola distribusi varian alel 211T dan 802T pada daerah hipoendemik dan hiperendemik malaria di Indonesia.
ABSTRACT The combination of dihydroartemisinin-piperaquine (DHP) is one of the first-line treatment regimens for uncomplicated malaria in Indonesia. Dihydroartemisinin (DHA) is a derivative of artemisinin antimalarial drugs metabolized by uridine diphosphate (UDP)- glucuronosiltransferase (UGT) 1A9 and 2B7. To date, 3 SNPs (single nucleotide polymorphisms) has been found in UGT2B7 nonsynonimus, which is located in exon 1, 2 and 5. These SNPs contributes to the changes in glucuronidation activity of UGT2B7. This study was aimed to determine the distribution and frequency of the variant alleles UGT2B7 in malaria endemic areas in Indonesia. Methods Two hundred and forty samples used in this study were taken from anonymous stored biological materials from twelve malaria endemic areas in Indonesia. Samples were analyzed using Polymerase Chain Reaction (PCR) followed by sequencing methods to see UGT2B7 variant allele, 211T, 802T, and 1192A. Results We found variant alleles of 211T (10.4%) and 802T (9.4%) from twelve malaria endemic areas in Indonesia. Frequencies and distribution variant alleles 211T and 802T were similar at hypoendemic areas (11% and 10.6%, respectively) compared with hyperendemic areas (10% and 8.75%, respectively). Variant allele 1192A was not found in this study. Conclusion Variant allele 211T is the highest in frequencies compared with the other alleles. There was no difference in frequencies and distribution pattern variant allele 211T and 802T at hypoendemic and hyperendemic area in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library