Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mera Nuringsih
Abstrak :
Kebijakan desentralisasi fiskal telah berjalan 3 tahun sejak diberlakukan secara efektif pada Januari 2001. Komitmen kebijakan desentralisasi fiskal tersebut dilandasi UU No. 22 Tabun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut memuat herbagai perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang Administrasi Pemerintahan maupun dalam hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dilakukan melalui Desentralisasi Piskal, dengan desentralisasi fiskal mendukung penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan Pendapatan Asli Daerah berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Propinsi NAD sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal di Propinsi NAD. Jenis data yang digunakan adalaha data sekunder dan data primer, data sekunder diperoleh dari laporan APBD Propinsi NAD dan data primer didapat dari narasumber tetpilih melalui wawancara. Teknis analisis data yang digunakan adalah dengan pengujian Hipotesis dengan menggunakan Uji Beda Dua Rata-Rata (uji t). Berdasarkan basil analisis yang dilakukan, didapatkan penerimaan rata-rata pajak daerah meningkat secara signifikan setelah desentralisasi fiskal, peningkatannya sebesar 101,53%. Jenis pajak yang mendominasi selama enam tahun adalah pajak kendaraan bermotor (PKB), kontribusi rata-rata penerimaan sebelum desentralisasi sebesar 60,72% dan setelah desentralisasi 40,48%, kontribusi tertinggi pada tahun 2000/2001 sebesar 68,29%. Pertumbuhan penerimaan jenis pajak tertinggi selama enam tahun diperoleh dari pajak bahan baker kendaraan bermotor (PBB-K13) sebesar 332%. Penerimaan pajak daerah sebelum desentralisasi maupun setelah desentralisasi didominasi oleh tiga jenis pajak yaitu pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB), dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBB-KB). Faktor-faktor yang berpengaruh terbadap penerimaan pajak kendaraan bermotor, bea batik nama kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor adalah : (a) Jumlah kendaraan bermotor, (b) Jumlah pemakaian bahan bakar minyak, (c) PDB per kapita Propinsi NAD. Penerimaan retribusi daerah di Propinsi NAD berdasarkan hasil analisis didapatkan perbedaan yang cukup signifikan antara penerimaan sebelum dan sesudah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi fiscal, di mana penerimaan setelah desentralisasi mengalami penuranan sebesar -24,52%. Pertumbuhan penerimaan obyek retribusi daerah di Propinsi NAD selama enam tahun di dominasi oleh retribusi pelayanan kesehatan. Rata-rata pertumbuhan penerimaan selama enam tahun sebesar -5,74%. Kontribusi penerimaan jenis retribusi daerah selama enam tahun di Propinsi NAD dominan dari retribusi pelayanan kesehatan, kontribusi rata-rata sebelum desentralisasi sebesar 58,46% dan setelah kebijakan desentralisasi sebesar 87,46%.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20296
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Eljipar
Abstrak :
Guna mewujudkan pertanian yang modern, tangguh, efisien dan berkelanjutan serta selaras dengan paradigma baru desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan Undang Undang No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, maka salah satu upaya yang penting dilakukan yakni melaksanakan pembinaan sumber daya aparatur melalui pengembangan diktat bagi aparat/pejabat di bidang pertanian. Sumber daya aparatur di Jajaran Depdagri dan Pemda dalam konteks melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan diharapkan dapat berperan maksimal dengan produktifitas kerja yang tinggi, efisien, cakap dan bertanggungjawab, termasuk di dalamnya memberikan pelayanan terbaik kepada publik. Namun dibalik harapan itu diakui bahwa kinerja aparatur terutama para Penyuluh Pertanian di Daerah dinilai masih rendah karena kualitasnya juga relatif masih rendah. Dalam era reformasi dewasa ini nampak ada kecenderungan di kalangan birokrat pemerintahan yang mengalihkan perhatiannya pada perumusan proses pengambilan keputusan belum mengindahkan dan menghargai unsur SDM yang secara utuh akan mengakibatkan kebijaksanaan relatif tidak akomodatif dan tepat sasaran. Sehinggga upaya peningkatan SDM aparatur membutuhkan transparansi kebijakan dan relevan dalam upaya mendukung pelaksanaan tugas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah. Atas dasar kenyataan tersebut, upaya untuk meningkatkan kualitas aparatur penyuluh pertanian melalui Pendidikan dan Pelatihan sangat dibutuhkan selain diarahkan sesuai dengan kebijakan diktat-diktat teknis yang lain dan kebijakan instansi Pembina Teknis Jabatan Fungsional tertentu, juga secara spesifik diarahkan pada kegiatan yang langsung bersentuhan dengan pelayanan masyarakat. Penelitian ini berusaha untuk mengkaji sejauhmana keberhasilan pelaksanaan program Diktat Fungsional Penyuluh Pertanian dalam rangka pembinaan aparatur di Badan Diktat Depdagri dan Otonomi Daerah serta berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan diktat bagi Penyuluh Pertanian tersebut. Selanjutnya penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yang mengungkapkan masalah-masalah yang terjadi pada saat ini dan berusaha menganalisisnya dengan didasarkan pada data dan informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian dan melakukan diskusi dengan subyek yang berkompeten (unsur pimpinan pengelola, stake holders, study user, advisor dan tenaga ahli). Berdasarkan hasil analisis tersebut permasalahan penelitian ini akan dibahas dan dianalisis sehingga dapat diambil kesimpulan dan saran bagi pelaksanaan kebijakan diktat fungsional bagi penyuluh pertanian tersebut di masa datang. Dari data hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa kebijakan pimpinan Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam mengimplementasikan program diktat bagi penyuluh pertanian adalah dengan memanfaatkan hasil pengkajian terhadap aspek kebutuhan dan manfaat program, kurikulum, peserta, penyelenggara, tenaga pengajar, sarana dan prasarana diktat dan pendanaan. Ditinjau dari aspek- aspek yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan diktat bahwa masih kurang berhasil sehingga memerlukan perhatian dari pihak pengelola dalam menetapkan kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam menjamin mutu diharapkan pengelola dapat melibatkan perguruan tinggi dan pihak swasta khususnya dalam bertindak sebagai tenaga pengajar, penyusun modul maupun pengelola program. Disamping itu perlu diupayakan pengembangan strategi kebijakan pelaksanaan diktat yaitu strategi kemitraan, pengembangan kelembagaan , pengembangan kapasitas personil diktat dan strategi swadana.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T1990
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Sujana
Abstrak :
Pada era reformasi sekarang ini dengan adanya tuntutan reformasi total disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, telah memberikan petunjuk dan arah untuk lebih memperbesar porsi pelaksanaan asas desentralisasi yang diwujudkan melalui pelaksanaan otonomi daerah, secara yuridis formal tuntutan tersebut telah diakomodasikan melalui Tap MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam penelitian ini akan dianalisis bagaimana perkiraan kapasitas pendapatan asli daerah di Cianjur Selatan dengan beriakunya undang-undang otonomi daerah seperti yang disebutkan di atas dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemudian bagaimana dukungannya terhadap rencana pemekaran daerah Kabupaten Cianjur serta bagaimana dampaknya jika dikaji dalam perspektif Ketahanan Nasional. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan diberlakukannya Undang-undang Perubahan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kabupaten Cianjur, Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur perusahaan daerah (BUMD), maka pendapatan asli daerah Cianjur bagian Selatan (rencana wilayah pemekaran) diperkirakan sebesar 4,2 milyar. Dana sebesar itu diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah (BUMD), dan lain-lain penerimaan daerah yang sah. Kebijakan pemekaran daerah Kabupaten Cianjur atau pembentukan Kabupaten Cianjur Selatan kurang didukung oleh besarnya perkiraan kapasitas PAD Cianjur Selatan karena tidak cukup untuk membiayai kebutuhan pelayanan masyarakatnya, namun bila ditambah dengan sumber-sumber pendapatan daerah lainya kebutuhan dana tersebut baru dapat tercukupi. Pembentukan Kabupatan Cianjur Selatan, juga didukung oleh analisis posisi fiskal Cianjur Selatan yang dihitung berdasarkan rasio perkiraan PAD dengan jumlah PDRB kecamatan yang ada di wilayahnya masing-masing, karena nilainya lebih besar daripada nilai posisi fiskal Kabupaten Cianjur secara keseluruhan. Selanjutnya untuk mengkaji dampak pemekaran daerah dalam perspektif Ketahanan Nasional dilakukan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Untuk kasus pemekaran Kabupaten Cianjur diperkirakan akan ada peningkatan PAD Cianjur Selatan yang semula menyumbang sekitar rata-rata dua milyar pertahun terhadap PAD Kabupaten Cianjur menjadi sekitar 4,2 milyar rupiah. Dana sebesar itu, ditambah dengan sumber-sumber penerimaan daerah lainnya akan lebih meningkatkan kesejahteraan dan keamanan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan program-program pembangunan atau fungsi-fungsi pemerintahan lainnya. Berdirinya kabupaten Cianjur Selatan juga akan mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi dengan Cianjur Utara, keterisolasian dan keterbelakangan masyarakat, serta dapat memacu pertumbuhan sosial budaya dan mendorong suasana politik yang demokratis dalam menentukan pimpinan daerah. Sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan dan keamanan di daerah maka akan meningkatkan pula ketahanan daerah dan apabila gejala ini terjadi di berbagai wilayah di Indonesia maka Ketahanan Nasional akan meningkat. Namun sebaliknya apabila pemekaran daerah didasaran kepentingan yang lain, seperti kepentingan elit lokal, maka Ketahanan Nasional akan menurun, bahkan mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T7575
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyadi Santoso
Abstrak :
Studi kasus ini dilatarbelakangi oleh dimulainya pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan dasar dan menengah sejak awal 2001 pada kabupaten dan kota di Indonesia. Berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM), ternyata sektor pendidikan amat strategis dan fundamental sehingga memerlukan komitmen pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk mewujudkan peningkatannya. Data dan fakta berbicara bahwa SDM Indonesia berdasarkan Laporan HDI - UNDP (1999) masih terpuruk pada urutan ke 105, sedangkan indeks tingkat pendidikan masih tergolong rendah yaitu 0,77% dibandingkan dengan dengan Philipina (0,99); Thailand (0,81) dan Vietnam (0,81). Dengan pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan, sebenarnya merupakan momentum peluang dan tantangan daerah, yang sangat diharapkan bahwa kondisi pengelolaan pendidikan akan semakin membaik, partisipatif, demokratis dan bertanggungjawab kepada masyarakatnya. Salah satu permasalahan krusial dalam sektor pendidikan adalah masalah anggaran atau pembiayaan pendidikan, baik secara nasional yang dialokasikan dalam APBN maupun secara daerah dalam APBDnya, yang merupakan wujud nyata komitmen pembiayaan pendidikan oleh pemerintah pusat maupun daerah (kabupaten dan kota). Oleh karena itu perlu dicermati dan dianalisis seberapa besar wujud nyata komitmen dimaksud, apalagi sejak pelaksanaan desentralisasi tahun 2001. Perlu diketahui mengenai kondisi pembiayaan baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, kabupaten dan kota Bekasi. Disamping itu bagaimana kondisi anggaran sekolah untuk mengetahui pembiayaan per siswa, dan mengenai kondisi kesiapan daerah kasus dalam pembiayaan sektor pendidikanya. Studi ini sengaja mengambil kasus daerah kabupaten Bekasi dan kota Bekasi dengan berbagai pertimbangan teknis dan non teknis, juga mengingat posisi dan karakteristiknya. Untuk itu pula dengan segenap keterbatasan, penelitian ini hanya mengambil sampel secara purposive sampling, yaitu sebanyak 24 sekolah untuk kabupaten dan kota dengan jenjang SD, SLTP dan SMU berstatus negeri dan swasta. Pengambilan data sekolah sampel tersebut diperlukan untuk dasar analisis mikro, yaitu menemukan biaya rata-rata per siswa untuk periode tahun 1999 - 2002 berdasarkan pendekatan budgeter (APBS). Sedangkan data untuk memperkuat analisis makro, berupa data APBN dan APBD serta PDB dan PDRB untuk daerah kasus. Cross-check data dengan berbagai data statistik daerah dan nasional juga ditempuh sesuai dengan kebutuhan studi. Berdasarkan tinjauan teoritis semakin menyakinkan bahwa pendidikan merupakan bidang garap analisis kebijakan publik yang bersifat lintas disiplin. Disamping itu pendidikan merupakan persoalan kebutuhan pokok (dasar) yang berarti pula termasuk kajian ekonomi pembangunan ataupun ekonomi publik, dan oleh karenanya pendidikan memerlukan campur tangan pemerintah agar tidak terjadi kegagalan pasar (market failure). Diketahui pula bahwa pembiayaan pendidikan merupakan suatu kajian penting dalam bidang ekonomi pendidikan. Hasil studi analisis ini menggambarkan bahwa kondisi pembiayaan pendidikan pada kedua daerah kasus (kabupaten Bekasi dan kota Bekasi) telah ada antisipasi dan komitmen alokasi anggaran sektor pendidikan terhadap total APBDnya (> 20%), terutama diperkuat alokasi anggaran rutin, kab. 36 % - 43 % dan kota 32 % - 42 %. Kota Bekasi nampak lebih dinamis dalam perkembangan alokasi anggaran baik rutin maupun pembangunan. Namun untuk alokasi anggaran pembangunan pada kedua daerah dimaksud masih timpang dibanding alokasi rutinnya. Sedangkan dilihat dari kontribusi pembiayaan sektor pendidikan terhadap PDRBnya, untuk kedua daerah tersebut masih di bawah 1 %. Selanjutnya hasil analisis data APBN dan PDB Indonesia selama periode 1999-2002, menunjukkan bahwa secara keseluruhan alokasi pembiayaan pendidikan masih konservatif terhadap total APBN, apalagi yang terjadi pada alokasi anggaran rutin yang menurun hingga 1,88 % (2002). Sedangkan untuk alokasi anggaran pembangunan kondisinya membaik hingga 30 % (2002), namun karena kecilnya porsi anggaran pembangunan terhadap total APBN menjadikan besaran anggaran pembangunan menjadi kurang memadai. Penyediaan anggaran sektor pendidikan untuk periode 2001-2002 terhadap total APBN sebesar 4,42 % dan 5,87 %. Apabila diperhatikan terhadap besaran PDB maka rata-rata hanya 1,13 %. Dibalik itu kondisi APBN sedang mengaiami berbagai kendala dan dilemma yang kompleks, termasuk beban defisit dan cicilan utang. Hasil perhitungan pendekatan mikro menunjukkan bahwa biaya rata-rata per siswa untuk Kota Bekasi dibanding dengan Kabupaten Bekasi secara umum lebih mahal, rata-rata biaya di kota, SDN Rp.467 ribu sedangkan di kabupaten Rp. 387 ribu per tahun. Namun biaya rata-rata per siswa SLTPN di Kabupaten nampak sedikit lebih mahal dibanding SLTPN di Kota Bekasi dan juga terhadap SLTPSnya. Diketahui pula bahwa biaya rata-rata per siswa SMUN Rp. 786 ribu dan SMUS Rp. 887 ribu di kabupaten masih lebih murah dibanding SMU di Kota SMUN Rp.981 ribu dan SMUS Rp.923 ribu. Selanjutnya perhitungan alokasi APBS berdasarkan unsur-unsur biaya didapatkan bahwa pengeluaran untuk gaji menyedot pembiayaaan 60-80%; kesejahteraan 10 %; PBM 6 -12 %, dan sisanya terbagi untuk TUS, SPS, adm, data dan PTE yang rata-rata kurang dari 5 %. Mengenai kondisi kesiapan pembiayaan daerah yang terjadi pada kedua daerah nampak telah ada antisipasi dan komitmen atas pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Hal itu terbukti pada besaran alokasi anggaran sektor pendidikan terhadap total APBDnya maupun dalam alokasi anggaran rutinnya yang nampak cukup besar (35,61 % - 43,35 %). Sedangkan pada alokasi anggaran pembangunan komitmen yang tinggi untuk menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas strategis masih nampak kurang terjadi. Diantara kedua daerah kasus, Kota Bekasi nampak lebih maju dalam perkembangan alokasi pembiayaan baik pada rutin maupun pembangunan, yang ditunjukkan dalam derajat yang selalu meningkat. Sedangkan kabupaten juga meningkat namun fluktuatif perkembangan pembiayaannya, yang di tahun 2001 mencapai 13,32 %, pada tahun 2002 turun menjadi 9,77 %.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T8014
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mokoginta, Lukman F.
Abstrak :
Judul Tesis "Peran Dewan Kelurahan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di DKI Jakarta", dengan meneliti peran Dewan Kelurahan Cikini dan Dewan Kelurahan Serdang Jakarta Pusat, sengaja di kedepankan dengan harapan dapat memicu dan memacu Dewan Kelurahan untuk memperkuat pelaksanaan desentralisasi pemerintahan dalam era otonomi daerah sesuai semangat reformasi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan derah. Sejalan dengan semangat itu pula, Propinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara republik Indonesia yang lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999, merupakan cermin kiblat provinsi lain di Indonesia maupun dunia international, perlu mendapat perhatian khusus dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Berdasarkan pendapat para ahli, faktor-faktor yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan maupun pemberdayaan masyarakat antara lain faktor akuntabilitas, transparansi, responsi, demokrasi maupun bukti langsung yang dapat ditunjukan. Dipahami bahwa aspek yang mengemuka dalam era otonomi daerah sekarang ini antara lain, aspek demokrasi, pelayanan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu Dewan kelurahan sebagai lini terdepan dalam penyelenggaraan otonomi daerah perlu mendapatkan perhatian agar semakin mampu berperan. Penelitian ini memfokuskan perhatian pada aspek-aspek yang berkaitan dengan peran Dewan Kelurahan dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah; peran Dewan Kelurahan dalam pelayanan masyarakat serta peran Dewan Kelurahan dalam pemberdayaan masyarakat. Dengan mempertimbangkan bahan pustaka dan sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan metode eksplanatif. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (in depth interview) dan Focus Group Discussion (FGD) terhadap informan kunci (key informan). Harapan rakyat dan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 maupun Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000, dalam kenyataan saat penelitian belum mampu diemban oleh dewan Kelurahan secara optimal. Berbagai kendala yang dihadapi, baik itu dari sisi anggota Dewan Kelurahan, pemerintah kelurahan maupun dari masyarakat kelurahan itu sendiri. Oleh karena itu diharapkan adanya penguatan peran Dewan Kelurahan yang ditandai pengembangan demokrasi lokal, penguatan SDM, akuntabilitas yang cukup memadai, transparansi dan daya tanggap yang tinggi. Untuk mewujudkan itu semua diperlukan sinergi berbagai stakeholder. Disamping itu sebagai lembaga baru yang berada di lini terdepan proses penyelenggaraan otonomi daerah, diperlukan perhatian pemerintah propinsi untuk mendorong terlaksananya tugas pokok dan fungsi Dewan Kelurahan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12008
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Tri Haryanto
Abstrak :
Sejak tahun 2001 telah terjadi perubahan yang cukup signifikan di dalam pola hubungan pemerintahan pusat dan daerah. Hal ini ditandai dengan telah dilaksanakannya secara resmi desentralisasi fiskal atau yang lebih dikenal sebagai otonomi daerah. Desentralisasi fiskal dijalankan di Indonesia dengan harapan membawa banyak perubahan khususnya dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan tujuan menganalisis bagaimana hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan. Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal dapat membawa dampak negatif dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk itulah kemudian penelitian ini dilakukan dengan tujuan melakukan analisis hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi daerah khususnya provinsi di Indonesia dengan tahun pengamatan mulai 2001 hingga 2004. Di dalam analisis digunakan model yang telah dipakai oleh beberapa peneliti lainnya yaitu ∆GSPi = a0+ a, Decentralization, +β1X1+ ε i =1??.30 dengan metode estimasi panel data sebanyak 30 provinsi di Indonesia mulai tahun 2001 hingga 2004. Di dalam analisis nantinya dipilih beberapa variabel kontrol yang terdiri dad pendidikan, pengangguran, ketimpangan daerah, infrastruktur, jumlah penduduk dan keterbukaan daerah. Dari hasil analisis di dapat beberapa kesimpulan bahwa variabel pendidikan signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara psoitif. Sedangkan variabel pengangguran terbukti signifikan negatif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hasil yang berbeda didapatkan oleh variabel ketimpangan daerah, jumlah penduduk dan infrastrutur yang temyata signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara positif. Sedangkan variabel keterbukaan daerah signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi namun kadang positif kadang negatif tergantung keberadaan variabel tersebut. Dilihat dad indikator desentralisasi fiskal, maka indikator belanja daerah terbutki signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara negatif. Sedangkan indikator penerimaan terbukti signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara positif. Indikator gabungan temyata tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sedangkan indikator PAD terbukti signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara positif.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20299
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herri
Abstrak :
Asumsi yang mendasari penelitian ini adalah penerapan sistem sentralisasi pemerintahan terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah telah mengakibatkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan tidak berkembangnya kreativitas masyarakat lokal. Sehingga tidak tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kondisi ini diiringi oleh melemahnya kemampuan masyarakat lokal ( baik melalui lembaga perwakilan legislatif daerah ) dalam membuat pilihan - pilihan yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik setempat. Melalui kebijakan desentralisasi dengan lebih memberikan kewenanganan kepada unit pemerintah yang langsung berhadapan dengan masyarakat, yaitu kabupaten dan kota dengan harapan akan mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu yang paling penting menurut Thomas Jefferson adalah pemerintah lokal akan Iebih responsif kepada kepentingan masyarakat. Pemerintah hendaknya dibentuk sedekat mungkin dengan masyarakat agar masyarakat dapat aktif berpartisipasi didalamnya. Dalam mengkaji hal tersebut di atas, studi ini difokuskan pada peranan Lembaga Legislatif Daerah ( DPRD ) sebagai unsur pemerintahan di daerah. Dalam pemerintahan modern yang berlandaskan demokrasi maka keberadaan lembaga legislatif termasuk di daerah menjadi mutlak. Dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi maka representasi dari DPRD dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi-fungsi yang diembannya. Pentingnya peranan DPRD ini disebabkan oleh kedudukan dan fungsinya yang menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memiliki kewenangan, hak dan kewajiban yang cukup luas bila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya yaitu UU No. 5 Tahun 1974. Data-data yang berkaitan dengan tujuan penelitian dimaksud didapat melalui metode penelitian Kualitatif. Sumber data, yaitu informan dengan penentuan bertujuan (purposive ). Tentunya didukung dengan dukumen yang sesuai dengan setting dan field penelitian. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, dengan melalui prosedur pengumpulan data yang meliputi pengamatan, wawancara, dokumentasi dan visual terutama dari media lokal. Dari keseluruhan data yang terkumpul, diuji keabsahannya dengan teknik triangulasi yang selanjutnya diberikan penafsiran. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan tugas dan kewajiban DPRD Kota Pontianak belumlah menunjukkan peranan sesungguhnya yang diharapkan oleh masyarakat. Sehingga sebagaimana maksud dari UU No. 22 Tahun 1999 yang memberikan otonomi daerah dengan prinsip-prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah belum menampakkan wajah yang sesungguhnya. Kinerja yang dihasilkan oleh DPRD Kota Pontianak, terutama dalam pelaksanaan fungsi legislasi, dari segi kualitas dan jumlah produk perundangundangan Peraturan Daerah (Perda) masih minim bila dikaitkan dengan besamya kewenangan yang dimiliki ( anggota Dewan belum pernah menggunakan hak inisiatif) ; dan fungsi kontrol, yang walaupun nuansa penguatannya telah nampak perlu untuk diimbangi dengan penguasaan data dan informasi yang cukup. Padahal dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya anggota DPRD didukung oleh fasilitas yang sangat memadai. Belum terwujudnya tujuan dimaksud, dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti : kewenangan yang dimiliki oleh DPRD tidak diimbangi dengan kemampuan para wakil rakyat, serta tidak adanya mekanisme yang jelas pertanggungjawaban (accountability) DPRD. Hal yang paling mendasar dalam otonomi daerah yang seharusnya menjadi milik masyarakat setempat bukan pada elite lokal ( pemerintah daerah dan DPRD ) belumlah terwujud sehingga peran serta masyarakat belumlah optimal.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T2335
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library