Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dharma Setyawan Salam
Jakarta: Djambatan, 2001
352.14 DHA o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.W. Widjaja,1940-
Jakarta: Rajawali, 2009
352.14 WID o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Widjaja
Jakarta: Rajawali, 2007
352.14 WID o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Pada era sentralisasi dan diberlakukannya UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah , perluasan kota banyak terjadi pada kota-kota yang penduduknya bertambah pesat....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yana Syafriyana Hijri
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya peningkatan jumlah pembentukan DOB di Indonesia. Hanya dalam waktu setengah dekade bertambah menjadi lima kali lipat. Kurun waktu 1999-2009 menunjukkan kenaikan yang signifikan, jumlah provinsi naik 27%, kabupaten 70,1%, dan jumlah kota 57,6%. Sampai dengan bulan Juni 2009, telah terbentuk 205 DOB, yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Sehingga, total DOB saat ini berjumlah 33 Provinsi, 398 Kabupaten dan 93 Kota, ditambah 5 Kota dan 1 Kabupaten Administratif di Provinsi DKI Jakarta. Adapun kenaikan jumlah pembentukan DOB melalui hak usul inisiatif DPR, meningkat 91% (53 DOB), terdiri dari 1 provinsi, 46 kabupaten, dan 6 kota. Pemerintah sendiri hanya mengusulkan 5 DOB (8,6%), terdiri dari 4 kabupaten, dan 1 kota. Kentalnya faktor politis dalam isu pembentukan DOB masih menjadi hambatan bagi pengendaliannya. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori proses politik dari Roy C. Macridis dan Carlton Clymer Rodee, teori elit dari Vilpredo Pareto, teori pemekaran daerah dari Gabriele Ferrazzi, dan teori primordialisme dari Clifford Gertz dan Ramlan Surbakti. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik analisis deskriptif. Sedangkan teknik pengumpulan data berdasarkan dokumen tertulis, baik risalah rapat Pansus, Panja, Timus Komisi II dan Paripurna DPR RI atau dokumen terkait dari lembaga-lembaga lainnya, termasuk wawancara mendalam dengan anggota Panja Komisi II DPR RI. Temuan dilapangan menunjukkan proses pembentukan Kabupaten Mamberamo Tengah merupakan tuntutan masyarakat melalui tokoh adat, tokoh agama, elit politik dan birokrasi, menggunakan pendekatan formal dan informal untuk mendesak Anggota Komisi II DPR RI segera memprosesnya menjadi hak usul inisiatif. Oleh karena itu, pembentukan DOB merupakan tindakan politis, karena beberapa ketentuan, syarat dan mekanisme administratif seringkali diabaikan. Bahkan tuntutan tersebut juga dipengaruhi adanya kontrak politik elit, transaksi ekonomi politik, dan kepentingan pembentukan daerah pemilihan dalam pemilu. Implikasi teoritis menunjukkan aktualisasi maupun sikap atas perilaku politik seperti dijelaskan Roy C. Macridis dalam tuntutan pembentukan Kabupaten Mamberamo Tengah disampaikan kelompok masyarakat adat dan didukung organisasi agama, menjadi kepentingan bersama untuk mewujudkan keadilan, pemerataan, persamaan, kesejahteraan dan kemakmuran, diagregasikan partai politik di daerah dan pusat agar dapat dibahas melalui mekanisme sistem politik. Kepentingan tersebut terealisasi karena adanya sekelompok elit sesuai dengan pendapat Pareto seperti tokoh adat, agama dan partai politik di daerah dan pusat yang berperan mengawalnya dalam lembaga politik. ...... This research is motivated by the increasing number of the establishment of DOB in Indonesia. In just a decade it has conducted for five times. The period of 1999-2009 showed a significant increase, up to 27% for the number of provinces, 70.1% for the districts, and 57.6% for the number of cities. As June 2009, has formed 205 DOB, which consists of 7 provinces, 164 countries, and 34 cities. Thus, currently number for total DOB is 33 provinces, 398 districts and 93 cities, plus 5 and 1 District Administrative City in Jakarta. The number of initiative right proposal for DOB establishment through parliaments is increasing as well, 91% (53 DOB), consists of 1 province, 46 districts and 6 cities. The government itself is only proposed 5 DOB (8.6%), consists of 4 districts and 1 city. The strong political factor in the issue of the DOB formation is still an obstacle to its control. As a theoretical foundation, this study uses the theory of the political process from Roy C. Macridis and Carlton Clymer Rodee, elite theory of Vilpredo Pareto, the theory of area of Gabriele Ferrazzi, and primordial theory of Clifford Gertz and Ramlan Surbakti. This study used qualitative methods, the descriptive analysis techniques. While data collection techniques based on written documents, minutes of meetings with the Special Committee, Working Committee, Drafting Team, the Plenary Commission II of the parliaments, and related documents from other institutions, including in-depth interviews with members of the Working Committee. Field findings show the process of formation of the District Central Mamberamo a requirement of society through traditional leaders, religious leaders, political and bureaucratic elite, using formal and informal approaches to urge Members of Commission II of the parliaments immediately proceed to the right of initiative proposal. Therefore, formation of DOB is a political act, because some of the provisions, terms and administrative mechanism are often overlooked. Even these demands also influenced the contract by the political elite, transactions political economy, and the interests of formation of constituencies in the election. Theoretical implications indicate that the actualization of the political behavior and attitudes as explained by Roy C. Macridis shown in the demand for the District Central Mamberamo delivered and supported indigenous groups of religious organizations, to realize the common interest of justice, equity, equality, welfare and prosperity, aggregated regional and national political party in order to enter the political system mechanism. While the benefit is realized because of the elite group is in accordance with the concept of Pareto, such as the presence of traditional leaders, religious and political parties, whose role is to bring the interests and escorted into the political institutions.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T34986
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyo Handoko
Abstrak :
Upaya untuk merubah mekanisme dan persyaratan pembentukan daerah otonom baru (DOB) melalui revisi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dikategorikan sebagai proses reformulasi kebijakan. Penelitian ini berusaha untuk menganalisis berbagai alternatif mekanisme baru yang diusulkan pemerintah, DPR, dan DPD. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Yang menjadi obyek penelitian adalah sistem pembentukan DOB yang tertuang di dalam draf revisi RUU Pemda, baik yang diusulkan pemerintah ke DPR pada tahun 2012, maupun draf RUU Pemda versi DPD yang diajukan keDPR sejak 2011. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam untuk mendapatkan data primer dan studi dokumentasi untuk memperoleh data sekunder. Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah model interaktif yang dimulai dengan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini menemukan adanya tiga alternatif mekanisme pembentukan DOB. Opsi pertama, daerah yang mengusulkan pembentukan DOB, apabila memenuhi persyaratan teknis dan administratif, ditetapkan menjadi daerah persiapan dengan peraturan pemerintah (PP). Setelah 3-5 tahun dievaluasi dan dianggap layak, baru daerah persiapan itu disahkan menjadi DOB dengan UU. Alternatif ini muncul dari pemerintah. Opsi kedua, DPR dan pemerintah terlebih dulu menyepakati daerah mana saja yang akan dimekarkan dengan membuat semacam list atau daftar dalam desain besar penataan daerah (desartada). Selanjutnya, pemekaran dilakukan dengan mengacu kepada desartada tersebut. Opsi ketiga datang dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Intinya, semua usulan pemekaran dinilai oleh Kementerian Dalam Negeri. Hasil penilaian itu selanjutnya dibahas DPD untuk mendapatkan persetujuan. Bila disetujui DPD, pemerintah menyusun RUU Pembentukannya untuk dibahas bersama DPR dan DPD. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, setidaknya ada empat aspek yang harus diperbaiki dalam penyempurnaan mekanisme pemekaran agar DOB berkembang optimal. Yaitu, mengoptimalkan peran dewan pertimbangan otonomi daerah (DPOD), memperkuat fungsi pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat, memperketat persyaratan pembentukan DOB, serta mempertegas pelarangan bagi pejabat kepala daerah untuk maju ke pilkada. ...... The effort to change the mecanism and requirements of the formation of autonomous regions (DOB) through the revision of Law No. 32 of 2004 on Local Government can be categorized as a reformulation of the policy process. This research trying to analysis new mecanism alternative that proposed by government, House of Representatives (DPR), and Regional Representative Council (DPD). This study used a qualitative descriptive approach. Which is the object of research is the establishment of a system DOB contained in the draft revision of the government's proposed Local Government Bill to DPR in 2012 and the draft revision of the DPD proposed Local Government Bill to Parliament since 2011. Data collected by in-depth interviews to obtain primary data and documentation study to obtain secondary data.The data analysis technique used is interactive model that starts with data reduction, data display, and conclusion. This study found that there are three alternative the mechanism of formation new autonomous regions (DOB). The first option, which proposed the establishment of regional DOB, if found to comply with the technical and administrative requirements, set to be areas of preparation by government regulation (PP). After 3-5 years were evaluated and deemed feasible, the preparation of a new area with the DOB passed into law. This option arises from the government. The second option, the Parliament and the government first agreed which areas will be expanded to make some sort of list or lists in the design of structuring large area (desartada). Furthermore, the division is done with reference to the desartada. The third option comes from the DPD. In essence, the proposed expansion are assessed by the Ministry of the Interior. The assessment results are then discussed DPD for approval. If approved by Council, the government drafting Formation for further discussion with the DPR and DPD. Based on the analysis that has been done, there are at least four aspects that should be improved in the refinement of the expansion mechanism that DOB develops optimally. Ie, optimizing the role of the consultative council of regional autonomy (DPOD), strengthening the guidance and supervision functions of the central government, tighten the requirements for the formation of new regions, as well as reinforce attack for officials to advance to the regional head election of the head of the area.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42019
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Megawati
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses usulan pembentukan Kabupaten Bogor Barat beserta faktor-faktor pendorongnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist melalui teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya kebijakan publik, desentralisasi dan otonomi daerah, daerah otonom dan pemekaran wilayah. Hasil penelitian menunjukan bahwa proses usulan pembentukan Kabupaten Bogor Barat telah mengalami berbagai dinamika yang di pengaruhi oleh perubahan kebijakan mengenai pembentukan daerah otonom baru di Indonesia. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa faktor kebutuhan/urgensi berupa efiensi dan efektifitas pelayanan, percepatan pembangunan, kebutuhan demokrasi, serta dorongan para elit menjadi pendorong adanya usulan pembentukan Kabupaten Bogor Barat. ......The purpose of this research is to describe the process of establishing Bogor Barat Regency's proposal and its driving factors. This research uses post-positivist approach through in-depth interview and document study as the collecting data techniques. The theories which are used in this research are public policy, decentralization and autonomy region, autonomous region and catchment area. The result of this research shows that the establishment of Bogor Barat Regency's proposal has some dynamics which are influenced by the changing of policy about establishing the new autonomous region in Indonesia. The result of this research also shows that its driving factors/urgency are efficiency and effectiveness of public services, accelerating the development, democracy's need and role of elits as the driving factors of establishing Bogor Barat Regency's proposal.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S64147
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Guwanda
Abstrak :
Penyediaan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau. Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengubah tugas dan wewenang Pemerintah Daerah yang berakibat terhadap pelaksanaan tanggung jawab Pemerintah tersebut. Penelitian ini membahas kewenangan Pemerintah Daerah sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 serta bentuk pelaksanaan oleh Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang disempurnakan dengan perbandingan contoh Badan/Lembaga yang ada di negara lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perubahan kewenangan Pemerintah Daerah akibat pembagian urusan kewenangan konkuren yang dapat menghambat penyediaan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Maka dari itu, perlu ada bentuk pelaksanaan untuk melengkapi peran Pemerintah Daerah dalam penyediaan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Bentuk pelaksanaan tersebut adalah dengan pembentukan dan/atau penunjukan Badan Pelaksana di tingkat Pusat dan Daerah. Tingkat Pusat dilakukan dengan melakukan penunjukan Perum Perumnas oleh Pemerintah Pusat dan di daerah dilakukan pembentukan atau penugasan Badan Pelaksana oleh pemerintah daerah dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah.
Provision of Houses for Low-Income Communities is the responsibility of the Central Government and Regional Governments so that people are able to live and inhabit decent and affordable homes. The enactment of Law Number 23 Year 2014 concerning Regional Government changed the duties and authority of the Regional Government which resulted in the implementation of the Government's responsibilities. This study discusses the authority of the Regional Government before and after the enactment of Law Number 23 Year 2014 and the form of implementation by the Regional Government to carry out its responsibilities. The research method used is a normative legal research method that is refined by comparing examples of agencies/institutions in other countries. The results of this study indicate that there is a change in the authority of the Regional Government due to the distribution of concurrent authority functions that can hinder the provision of housing for Low-Income Communities. Therefore, there needs to be a form of implementation to complement the role of the Regional Government in providing housing for Low-Income Communities. The form of implementation is the establishment and/or appointment of Implementing Agency at the Central and Regional levels. The Central Level is carried out by the appointment of Perum Perumnas by the Central Government and in the regions the establishment or assignment of the Implementing Agency by the regional government in the form of Regional Owned Enterprises.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52857
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurasni
Abstrak :
ABSTRAK
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dibagi ke dalam daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang bersifat otonom. Berdasarkan Undang-Undang tersebut maka seluruh wilayah Indonesia telah terbagi habis ke dalam wilayah-wilayah dengan memiliki kewenangan-kewenangan tertentu. Sebagai bentuk pelaksanaan otonomi daerah, Pulau Batam ditetapkan menjadi Kota Batam sesuai Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999. Pembentukan Kota Batam menuai polemik karena sebelum lahir sebagai daerah otonom, segala urusan pemerintahan yang ada dilaksanakan oleh Otorita Batam. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun. Namun peralihan dari Otorita Batam menjadi BP Batam terkesan hanya sekedar mengganti baju karena Pemerintah tidak secara tegas membagi kewenangan antara kedua lembaga tersebut. Bahkan Pemerintah mencampuradukkan praktek penyelenggaraan pemerintahan desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional, dan dekonsentrasi dalam satu wilayah Kota Batam. Penelitian ini menggunakan data sekunder berdasarkan peraturan perundang-undangan (yuridis normatif). Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyelenggaraan tata kelola Pemerintah Kota Batam dengan BP Batam, Pemerintah Pusat menerapkan dekonsentrasi dan desentralisasi fungsional secara bersamaan. BP Batam dengan dekonsentrasi memiliki kewenangan yang lebih dominan dalam mengelola urusan strategis di Kota Batam daripada Pemerintah Kota Batam selaku daerah otonom.
ABSTRACT
ABSTRAK
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dibagi ke dalam daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang bersifat otonom. Berdasarkan Undang-Undang tersebut maka seluruh wilayah Indonesia telah terbagi habis ke dalam wilayah-wilayah dengan memiliki kewenangan-kewenangan tertentu. Sebagai bentuk pelaksanaan otonomi daerah, Pulau Batam ditetapkan menjadi Kota Batam sesuai Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999. Pembentukan Kota Batam menuai polemik karena sebelum lahir sebagai daerah otonom, segala urusan pemerintahan yang ada dilaksanakan oleh Otorita Batam. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun. Namun peralihan dari Otorita Batam menjadi BP Batam terkesan hanya sekedar mengganti baju karena Pemerintah tidak secara tegas membagi kewenangan antara kedua lembaga tersebut. Bahkan Pemerintah mencampuradukkan praktek penyelenggaraan pemerintahan desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional, dan dekonsentrasi dalam satu wilayah Kota Batam. Penelitian ini menggunakan data sekunder berdasarkan peraturan perundang-undangan (yuridis normatif). Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyelenggaraan tata kelola Pemerintah Kota Batam dengan BP Batam, Pemerintah Pusat menerapkan dekonsentrasi dan desentralisasi fungsional secara bersamaan. BP Batam dengan dekonsentrasi memiliki kewenangan yang lebih dominan dalam mengelola urusan strategis di Kota Batam daripada Pemerintah Kota Batam selaku daerah otonom.
ABSTRACT
The enactment of Law Number 22 Year 1999 concerning Regional Government, the territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia has been divided into autonomous provincial, district, and urban areas. Based on the Act, all regions of Indonesia have been divided into regions by having certain authorities. As a form of implementation of regional autonomy, Batam Island was established as Batam City according to Law Number 53 of 1999. The establishment of Batam City was polemic because before it was born as an autonomous region, all existing government affairs were carried out by the Batam Authority Agency. Through Government Regulation Number 46 of 2007 Batam is designated as a Free Trade and Free Port Zone for a period of 70 (seventy) years. But the transition from the Batam Authority to BP Batam seemed to be merely changing clothes because the Government did not expressly divide the authority between the two institutions. Even the Government confuses the practice of administering territorial decentralization, functional decentralization, and deconcentration in one area of Batam City. This study uses secondary data based on legislation (normative juridical). Conclusion of the research has known that the Central Government implements deconcentration and functional decentralization simultaneously in terms of governancing Batam. BP Batam with deconcentration has more dominant authority in managing strategic affairs in Batam City than the Batam City Government as an autonomous region.
2019
T53770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munawwaroh
Abstrak :
ABSTRAK
Pemekaran daerah yang menghasilkan daerah-daerah otonom baru menjadi fenomena yang menarik di Indonesia saat ini. Dalam 10 tahun desentralisasi, yaitu dari tahun 1999 sampai dengan 2009, daerah otonom di Indonesia sudah bertambah mencapai 205, yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Kini, hingga akhir tahun 2013 tercatat jumlah daerah yang ada di Indonesia sebanyak 539 daerah otonom, terdiri dari 34 provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota. Demokrasi pasca reformasi memang memberi ruang yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke melalui munculnya daerah-daerah otonom baru. Tapi di sisi lain, kinerja daerah hasil pemekaran tersebut tidak berjalan secara maksimal. Sejumlah evaluasi yang dilakukan pemerintah maupun lembaga kredibel lainnya membuktikan bahwa pemerintahan daerah otonom baru tidak berjalan secara efektif dan efisien. Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi yang mengalami penambahan daerah otonom baru yang jumlahnya cukup siginifikan juga layak untuk dievaluasi. Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah daerah otonom baru menggunakan skala indeks dan ketimpangan dengan menyertakan daerah otonom lama sebagai pembanding. Hasilnya, kinerja pemerintah daerah otonom baru di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2008- 2012 masih berada di bawah kinerja pemerintah daerah otonom lama. Namun demikian, pembangunan di daerah otonom baru sudah berjalan cukup baik yang dibuktikan dengan sejumlah indeks kinerja yang selisih angkanya tidak begitu jauh berbeda dengan daerah otonom lama.
ABSTRACT
Rapid proliferation of regional administrations has resulted new autonomous regions becomes an interesting phenomena in Indonesia nowadays. In 10 years of decentralization, from 1999 to 2009, the autonomous region in Indonesia has increased to reach 205, which consists of 7 provinces, 164 regencies, and 34 cities. Now, until the end of 2013 there are 539 autonomous regions, consists of 34 provinces, 412 regencies, and 93 cities. Democracy in the post reform does give a large space to improve the welfare of Indonesian people from Sabang to Merauke through the emergence of new autonomous regions. But on the other hand, the performances were not running optimally. A number of evaluations by government or other credible institutions proved that the new autonomous regional governments do not run effectively and efficiently. South Sumatra province as one of province having new autonomous regions should be evaluated. This study evaluated the government performance of the new autonomous regions using the index scale and imbalance by including old autonomous regions as a comparison. As a result, the performance of the new autonomous regions in South Sumatra Province in 2008-2012 is still under the old autonomous regions performance. However, the development of new autonomous regions has been running quite well, as proved by index numbers, is not really different from the old autonomous regions.
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42795
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>