Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Winantuningtyas Titiswasanany
Abstrak :
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan salah satu instrumen bagi penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Permasalahannya banyak daerah yang tidak merasa puas dengan implementasi kebijakan yang dilaksanakan selama ini. Daerah masih menghadapi realitas pembangunan yang tidak merata, pembangunan ekonomi yang diskriminatif dan praktek korupsi yang merajalela. Ironinya, banyak elit daerah yang melihat jalan keluarnya secara sederhana dengan menuntut kebijakan pembentukan DOB. Tuntutan masyarakat untuk membentuk DOB ini mengalir deras dan sangat sulit dibendung. Diharapkan mendekatkan locus policy formulation di pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat, pelayanan publik menjadi efisien dan efektif untuk percepatan kesejahteraan rakyat dan daya saing. Hasil studi menunjukkan sejumlah DOB mengalami kegagalan, utamanya pada 4 (empat) sektor pembangunan yaitu; kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Dari sejumlah 205 DOB (1999-2008),ternyata 70% gagal. (Kemendagri, 15 Desember 2012). Salah satunya disebabkan proses formulasi kebijakan pembentukan DOB belum transparan dan akuntabel. Daerah yang belum memiliki kesiapan dan kemampuan mandiri dibentuk menjadi DOB. Pada proses ini para perumus mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Pada tahap ini diidentifikasi berbagai problema yang terjadi, ditetapkan riil problem, memilih alternatif bagi kebijakan. Jika proses ini tidak tepat akan membawa dampak pada implementasinya. Rangkaian implikasi negatif yang timbul selama ini, menunjukkan pentingnya penelitian tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB perspektif democratic governance. Penelitian ini melalui dua tahapan. (1) peneliti mendiskripsikan potret proses formulasi kebijakan DOB selama ini; Institusi dan kualitas proses. Peneliti melakukan participant observation, wawancara dengan anggota Komisi II dan pejabat pemerintahan. Descriptive research dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi pentingnya democratic governance bagi proses kebijakan pembentukan DOB.(2) membangun model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB. Peneliti melakukan pengumpulan data primer dengan mewawancara sekitar 40 (empat puluh) orang informan; melakukan Focus Group Discussion dan seminar. Untuk data sekunder dianalisis berbagai jenis referensi sebagai strategi untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dalam perspektif democratic governance. Hasil penelitian ini diharapkan obyektif, terstruktur, mendalam, faktual dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Hasil penelitian tahap pertama dan kedua disampaikan sebagai berikut: Secara praktis proses formulasi kebijakan merupakan tahapan penting dan strategis dalam proses kebijakan secara keseluruhan. DPR dan Pemerintah berperan penting dalam proses ini, yang akhirnya menghasilkan kebijakan pembentukan DOB. 1) Mengenai Faktor-faktor pendorong usulan pembentukan DOB pada umumnya terkait masalah Administrasi dan Finansial, mengingat luasnya wilayah, penduduk yang menyebar, ketertinggalan pembangunan dan infrastruktur, masalah financial ini merupakan faktor yang cukup signifikan dan menentukan bagi DOB untuk survive. Umumnya daerah mengandalkan transfer dana dari pusat dan daerah merasa memiliki kekayaan alam yang cukup. Political: inisiatif usulan pembentukan DOB tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga dari elit yang lebih cenderung kepada tujuan bagi kepentingan politik. 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan democratic governance adalah: (a) Kepentingan Eksistensi Politik di Daerah; (b) Lemahnya penegakan hukum; (c)Kontrol yang Lemah; (d) Dorongan masyarakat; (e) Peran Kepemimpinan. 3) Faktor-faktor yang mendorong penerapan Democratic Governance adalah: (a) Tujuan yang dirumuskan secara jelas; (b) Pemerintah dalam penerapan unsureunsur Democratic Governance; (c) Akses Informasi bagi Pelayanan Publik; (d) Menyediakan dialog Publik. 4) Faktor-faktor pendorong persutujuan usulan kebijakan pembentukan DOB; (a) Dorongan masyarakat dan tokoh daerah agar usulan mereka membentuk DOB diluluskan; (b) Hasil verifikasi dan klarifikasi data sudah memenuhi persyaratan; (c) Hasil penelitian Tim teknis dan evaluasi tim independen terhadap kelayakan usulan, serta rekomendasi DPOD; (d) Terdapat karakteristik masalah daerah yang harus dibantu. (e) Pada konteks yang berbeda, DPR dan Pemerintah dapat menginisiasi pembentukan DOB untuk kepentingan keamanan negara. Implkasi teoritik, Penelitian dengan tema ini masih sangat sedikit dilakukan di kalangan ilmu administrasi. Dalam konteks proses formulasi kebijakan pembentukan DOB di Indonesia yang bersifat buttom-up, di mana lingkungan kebijakannya (civil society dan market) masih lemah, faktor strong leadership harus berperan aktif membangun masyarakat, agar mampu aktif dalam penerapan democratic governance. Perlu penelitian mengenai pola penghitungan insentif dan dis-insentif bagi daerah dan DOB. Implikasi Praktis, Penelitian ini dimaksudkan agar kedepan, baik DPR maupun Pemerintah mempersiapkan institusi dan sarana publik untuk membangun masyarakat agar memahami kebijakan secara komperhensif dan sekaligus membangun mental dan kultural masyarakat. Rekomendasi penelitian ini meliputi: (a) Konsepsi model proses formulasi kebijakan pembentukan DOB disebut integrated public policy democratic governance and resource-based capacities leadership. Konsep ini mengcover berbagai problema daerah, melibatkan peran dan kontribusi multi organisasi, mengkoordinasikan seluruh sumber daya, mengintegrasikan hasil dan seluruh potensi organisasi untuk satu tujuan; (b) Menggunakan metode kolaboratif dalam prosesnya; (c) Nilai-nilai democratic governance sudah given dalam pola manajemen pemerintahan. Institusi perumus kebijakan menerapkan democratic governance melalui business processnya; (d) Diberikan insentif bagi DOB yang ingin bergabung dan dis-insentif bagi calon DOB yang tidak memenuhi persyaratan;(e) Proses formulasi kebijakan pembentukan DOB dilakukan oleh Panitia khusus DPR dan dibahas satu per-satu (RUU); (f) Sistem pengelolaan PNS terbuka secara nasional, sehingga memungkinkan kebutuhan PNSD dipenuhi dari daerah lain atau dari PNS Pusat.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1397
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fikri Cahyadi
Abstrak :
Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong sebagai perhatian Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan persoalan di Wilayah Papua. Tetapi kebijakan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah berdasarkan Undang-Undang tersebut batal dan pembentukaanya tidak terealisasi sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan membahas faktor apa saja yang membatalkan kebijakan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah. Penelitian ini menggunakan Teknik purposive untuk menentukan informan yang kompeten terhadap permasalahan, kemudian dilakukan pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan dokumentasi yang berkaitan dengan permasalahan. Penulis mencari dan mengumpulkan fakta-fakta dan data. Kemudian Penulis hubungkan dan kaitkan dengan teori-teori yang ada pada kerangka teori. Selanjutnya dilihat apakah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berkaitan dengan teori-teori dan pendapat para ahli. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang membatalkan pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah yaitu proses pembuatan kebijakan tidak sesuai prosedur, kesalahan Penjabat Gubernur yang ditunjuk, pertentangan elit di Papua, pembentukan tidak melibatkan masyarakat dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-I/2003.

Kata Kunci: Otonomi Khusus, Papua Tengah, Pembentukan DOB, Timika ......The Central Government together with the House of Representatives of the Republic of Indonesia have ratified Law Number 45 of 1999 concerning the Establishment of Central Irian Jaya Province, West Irian Jaya Province, Paniai Regency, Mimika Regency, Puncak Jaya Regency, and Sorong City as the attention of the Central Government to resolve problems in the region. Papua region. However, the policy for the formation of the new autonomous regions of the Province of Central Papua based on the law was canceled and its formation has not been realized to date. This study aims to discuss what factors invalidate the policy of establishing new autonomous regions in the province of Central Papua. This study uses a purposive technique to determine competent informants to the problem, then collect data with in-depth interviews and documentation related to the problem. The writer searches for and collects facts and data. Then the author connects and relates it to the existing theories in the theoretical framework. Furthermore, it is seen whether it is in accordance with the provisions of the legislation and is related to the theories and opinions of existing experts. The results of this study indicate that the factors that canceled the formation of the new autonomous regions of Central Papua Province, namely the policy-making process that was not in accordance with the procedures, the mistakes of the appointed Governor, elite conflicts in Papua, the formation did not involve the community and the Constitutional Court Decision Number 018/PUU-I/2003.

Key words: Special Autonomy, Central Papua, Establishment of new autonomous regions, Timika

Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Halim
Abstrak :
ABSTRAK
Dua puluh tahun pasca reformasi menyisakan pekerjaan rumah yang berat yakni pengelolaan pemerintahan daerah dalam hal ini penataan daerah. Penataan daerah salah satunya mencakup pengembangan DOB yang perlu dilakukan dalam rangka pendidikan politik masyarakat dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan amanat dari tujuan negara dalam konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan banyaknya inisiatif dan usulan pembentukan DOB dianggap membebani keuangan negara namun pembentukan DOB provinsi merupakan jalan untuk mempersingkat rentang kendali span of control untuk mengoptimalkan pelayanan publik. Sampai dengan tahun 2014 terdapat 542 daerah otonom yang terdiri dari 34 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Dengan komposisi ini belum ideal mengingat provinsi sebagai daerah yang berperan melalukan pengawasan atas daerah kabupaten dan kota tidak memiliki jumlah yang ideal. Terdapat provinsi yang membawahi lebih dari 20 kabupaten/kota namun terdapat provinsi yang membawahi 5 daerah kabupaten/kota. Selain daerah provinsi berperan sebagai daerah yang menjalankan asas dekonsentrasi dan wakil pemerintah pusat juga terdapat pelayanan publik yang hanya terdapat pada daerah provinsi. Oleh karena itu, dalam penataan daerah sebagaimana amanat UU Pemda bahwa pemerintah harus menyusun grand strategy dan grand design penataan daerah. Salah satunya adalah dengan pengembangan atau pembentukan DOB provinsi. Namun, dengan alasan besarnya biaya ekonomi, polarisasi masyarakat dalam etnis dan pertimbangan banyak DOB tidak mampu mengoptimalkan pelayanan publik atau meningkatkan kesejahteraan rakyatnya sehingga pemerintah mengambil kebijakan penundaan pembentukan DOB. Pemerintah sejak tahun 2014 mengambil kebijakan moratorium DOB akan tetapi tidak memiliki bentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan sehingga bertentangan asas kepastian hukum. Dilain pihak, amanat UU No. 23 Tahun 2014, agar pemerintah membuat "desain besar penataan daerah" belum juga dikeluarkan. Padahal melalui desain itu, pemerintah bisa memberikan solusi atas banyaknya usulan pengembangan DOB yang tertunggak di DPR, DPD dan Mendagri.
ABSTRACT
Twenty years of post reform leaves a heavy homework i.e. management of local governance in this regional arrangement. The regional setup, one of which includes the development of DOB the new autonomous region that needs to be done in the framework of political education of the community and improving the quality of public services which in turn improves the welfare of society. This is a mandate of the destination country in the Constitution. The results showed the large number of initiatives and proposals for the establishment of the financial burden of the State considered the DOB but formation of DOB province is the way to shorten the control range span of control to optimize the public service. Up to the year 2014 there are 542 autonomies composed of 34 provincial, County and City 93 415. With this composition has not been ideal considering the province as areas that play a role placing oversight of County and city don 39 t have the ideal amount. There a province that includes more than 20 counties cities but there a province that includes 5 areas of counties cities. In addition to the provinces acted as areas that run basic deconcentration and the representative of the Central Government, there is also a public service which is only found in areas of the province. Therefore, in the area as local government act mandate that the Government should devise a grand strategy and grand design Setup area. One of them is with the development or establishment of the DOB of the province. However, by reason of the magnitude of the economic costs, the polarization of society in ethnic and consideration of many DOB is not capable of optimizing public services or improving the welfare of its people so that the Government took the policy of procrastination the formation of the DOB. The Government beginning in 2014 taking policy moratorium DOB but does not have the form of legislation as a foundation so that it goes against the principle of legal certainty. On the other hand, the mandate of law No. 23 of the year 2014, to allow the Government to make the "great design" Setup has not yet issued. Whereas through the design of it, the Government can provide solutions to the large number of proposals for the development of the DOB in DPR, DPD and Minister of the Interior.Keywords Formation of the Plan, the new autonomous region, provinces, moratorium DOB, the development of the regions.
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50570
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Desentralisasi & otonomi daerah adalah perubahan besar (big-bang) bagi Indonesia. Sejak diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah , kebijakan pemekaran daerah mengalami perubahan yg signifikan. Selama pemerintahan orde baru , pemekaran relatif stagnan dan cenderung top - down policy. Saat ini pemekaran daerah adalah Bottom - Up Policy. Sejak 1999 hingga Januari 2008 telah terbentuk 164 daerah baru yg terdiri dari 7 provinsi baru,, 134 kab. baru, & 23 kota baru. Permasalahan timbul ketika pemekaran daerah lebih dilihat sebagai fenomena politik tanpa melihat persyaratan teknis proseduralnya. Akibatnya banyak daerah yg tdk berkinerja secara optimal . oleh karena itu evaluasi terhadap kinerja/ dampak dr kebijakan pemekaran sangat diperlukan. Tujuan dr studi ini adalah pertama, mengevaluasi perkembangan & dampak pelaksanaan pemekaran daerah di tingkat kab.-kota utamanya dlm. hal perkembangan ekonomi, keuangan pemerintah , pelayanan publik, & kapasitas aparatur & rentang kendali . Kedua mengidentifikasi permasalahan yg muncul atas dilaksanakannya pemekaran daerah. Keempat menyusun & merumuskan rekomendasi kebijakabn berkaitan dengan pemekaran daerah beserta usulan-usulannya yg masih & akan diajukan oleh beberapa daerah. Ada beberapa metode evaluasi yg digunakan dlm studi ini . Pertama metode indeksasi dengan terlebih dahulu membentuk kelompok control - treatment untuk melakukan komparasi apple to antara daerah otonom baru dengan daerah bukan DOB 9Induk & kontrol) ,kedua evaluasi akan dilakukan dengan menggunakan metode metode propensity score matching untuk mencarai rerata dampak (Average Treatment Effect) dari suatu kebijakanpemekaran. Studi ini mengindikasikan bahwa kebijakan pemekaran belum berhasil mensejahterakan masyarakat di daerah pemekaran. beberapa rekomendasi untuk kebijakan pemekaran ini diantara pembenahan dlm proses pengusulan. kedua, pemerintah DOB harus memiliki syarat kapasitas minimal tertentu . ketiga, perlunya alternatif kebijakan selain pemekaran pd level kab./kota yati pemekaran di level kec./desa, kemudian tdk memberikan insentif fiskal utk memekarkan diri. Terakhir pengelolaan & pengaturan penyediaan layanan publik hendaknya memperhatikan keberagaman konidisi geografis daerah & bukan pd populasi saja.
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yatiman
Abstrak :
Pelaksanaan otonomi seluas-luasnya pasca reformasi berdampak pada meningkatkan keinginan daerah untuk melakukan pemekaran daerah. Pemekaran daerah di Indonesia menjadi fenomena yang tidak dapat dibendung. Pembentukan DOB di Kabupaten Paser merupakan salah satu upaya untuk mensejahterakan rakyat melalui pemerataan pembangunan dan mendekatkan pelayanan publik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang ditujukan untuk menganalisis dinamika pembentukan DOB Kabupaten Paser Tengah dan Kabupaten Paser Selatan di Kabupaten Paser. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa proses pembentukan DOB di Kabupaten Paser memiliki banyak hambatan karena adanya perebutan daerah yang menjadi wilayah cakupan terhadap dua calon DOB dan adanya konflik penetapan ibukota. Konflik dalam pembentukan DOB di Kabupaten Paser mempengaruhi ketahanan daerah di bidang keamanan. ...... The implementation of autonomy after the reform impact on proliferation of administrative regions. The formation of new autonomous region in Paser Municipal is one of efforts of people welfare provision through equitable development and public service. This study used qualitative to analyze the dynamic of new autonomous region of Central Paser Municipal and South Paser Municipal in Paser Municipal. The result of the study showed the process of forming the new autonomous region in Paser Municipal had many obstacles caused by the struggle for territory within the new two autonomous regions and also the conflict in deciding the capital. The conflict of the formation new autonomous region in Paser Municipal affects the security in regional resilience.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Procurement of public goods/services is a routine of government activity which has most prone to corruption, however with minimum control. It is essential to prioritize the agenda of governance reforms of procurement of public goods/services. Up to now, government has not yet found a proper formulation. Although the regulation outlining this subject is always updated. This paper attempts to examine some elements of the procutement of publics goods/service as an alternative solution to improve the process of procurement of public goods/services in Indonesia. The most important reform is in the pre-procurement cycle (stages of planning). Planning on budget and procurement as well as aspects of integrity and accountability are elements that must be better conducted in the procurement of public goods/services in Indonesia
Surakarta: Jurusan Ilmu Administrasi FSIP Universitas Sebelas Maret,
351 SPJ
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library