Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Rasyid Asba
"Kajian tentang perdagangan kopra Makassar hingga kini belum banyak mendapat perhatian di kalangan sejarawan Indonesia, meskipun disadari bahwa komoditas tersebut menjadi bagian yang penting dalam dunia perdagangan. Kajian ini merupakan suatu sumbangan untuk melengkapi kekurangan dalam bidang ini, yaitu menyoroti secara khusus terintegrasinya pulau-pulau di Indonesia bagian timur, baik hubungannya dengan Makassar maupun pasar dunia. Fokus kajiannya adalah ditujukan pada ekspor kopra Makassar, sedangkan jangkauan temporalnya di batasi pada periode tahun 1883-1958 Dalam kajian ini, ekspor kopra Makassar dibagi dalam dua tahap perkembangan, pertama adalah masa ekspansi dan yang kedua adalah masa kontraksi. Dalam masa ekspansi, ekspor kopra Makassar menunjukkan kemajuan yang gemilang dan mengagumkan, sedangkan masa kontraksi Ekspor kopra Makassar menunjukkan kemunduran, kesuraman dan hilangnya harapan.

The study on Macassar Copra to date has not got much concern from Indonesian Historians, though it is realized that the commodity was the urgent in the world trading. This study constitutes a contribution to complement the shortcoming in this field, that is, in special manner, by spotlighting the integration of the islands in the eastern part of Indonesia, their relation with both Macassar and the world market. The focus of this study was the export of Macassar copra while its period limit was within 1883-1958. In this study, Macassar copra export was divided into two development stages. First, the expansion period and the second was contraction period. During the expansion period, the export of Macassar copra indicated a bright and amazing progress, while the contraction period showed the decline, vague and hopeless."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Asba
"Kajian tentang perdagangan kopra Makassar hingga kini belum banyak mendapat perhatian di kalangan sejarawan
Indonesia, meskipun disadari bahwa komoditas tersebut menjadi bagian yang penting dalam dunia perdagangan. Kajian
ini merupakan suatu sumbangan untuk melengkapi kekurangan dalam bidang ini, yaitu menyoroti secara khusus
terintegrasinya pulau-pulau di Indonesia bagian timur, baik hubungannya dengan Makassar maupun pasar dunia. Fokus
kajiannya adalah ditujukan pada ekspor kopra Makassar, sedangkan jangkauan temporalnya di batasi pada periode
tahun 1883-1958 Dalam kajian ini, ekspor kopra Makassar dibagi dalam dua tahap perkembangan, pertama adalah
masa ekspansi dan yang kedua adalah masa kontraksi. Dalam masa ekspansi, ekspor kopra Makassar menunjukkan
kemajuan yang gemilang dan mengagumkan, sedangkan masa kontraksi Ekspor kopra Makassar menunjukkan
kemunduran, kesuraman dan hilangnya harapan.
The study on Macassar Copra to date has not got much concern from Indonesian Historians, though it is realized that
the commodity was the urgent in the world trading. This study constitutes a contribution to complement the
shortcoming in this field, that is, in special manner, by spotlighting the integration of the islands in the eastern part of
Indonesia, their relation with both Macassar and the world market. The focus of this study was the export of Macassar
copra while its period limit was within 1883-1958. In this study, Macassar copra export was divided into two
development stages. First, the expansion period and the second was contraction period. During the expansion period,
the export of Macassar copra indicated a bright and amazing progress, while the contraction period showed the decline,
vague and hopeless."
Makasar: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Asba
"ABSTRAK
Produksi dan kebijakan ekspor kopra di Makassar merupakan jawaban dalam rangka memenuhi kebutuhan ekspor dunia, baik pada masa Kolonial Hindia Belanda maupun pasca awal pembentukan ekonomi nasional Negara Indonesia. Harapan ini dimungkinkan setelah adanya kebijakan Makassar pada tahun 1927 sebagai satu-satunya pengekspor kopra untuk Wilayah Timur Besar.
Karena itu lahirnya kebijakan tersebut membawa transformasi bagi terbentuknya kekuatan ekonomi kolonial. Transformasi ini membuat eksportir masuk Makassar. Pada waktu itu kesadaran petani untuk berproduksi semakin meningkat, bahkan melahirkan enterpreneurship lokal dalam membentuk sistem ekonomi Kolonial. Dalam pandangan ini paradigma teori Clifford Geertz dan J.H. Boeke kiranya kurang relevan untuk diterapkan di Makassar karena masyarakat Pribumi (tradisional) telah mampu berakumulasi pada perubahan dinamis dalam kehidupan ekonomi tanpa dikotomi dualisme ekonomi antara Barat dan Timur.
Pada awal kemerdekaan proses perkopraan terus berlangsung, kepentingan lokal maupun pusat mulai melibatkan diri dalam tata-niaga perkopraan. Eksportir dan produsen yang terbentuk sebelum perang dielakkan. Pemerintah mulai mengambil alih secara langsung dalam politik perkopraan. Di ujung sistem kebijakanaan itu Militer dan para Veteran mulai mengatur tata-niaga perkopraan. Akibatnya berbagai wilayah produsen kopra mengeluh bahkan terhimpit hutang, karena militer dan veteran pelaku ekonomi itu mengutamakan kekuasaan (keamanan) tanpa modal. Kopra yang telah diambil banyak yang tidak terbayar, akibatnya melahirkan keresahan bahkan sebuah pemberontakan. Landasan teoretis ini memberikan gambaran bahwa pada pasca awal kemerdekaan betapa dominannya pemerintah mengatur prekonomian dan itulah sebabnya perekonomian kita hingga kini masih merupakan sebuah masalah yang belum terselesaikan.

ABSTRACT
Production and the policy of copra ex/port in Makassar were the answer to fulfill the needs of world export, in Dutch Colonial era and early formation of National Economy of Indonesia. This hope was possible after Makassar policy in 1927 as the one of copra export for Region Timur Besar.
The birth of policy brought transformation for economy development of the Dutch Colonial. At that time, the peasants consciousness to make the production more increased, even gave birth of lokal entrepreneurial in Dutch economy. In this point Clifford Geertz and J.H. Boeke theory are not relevant to implement in Makassar, because the natives have ability to adopt changes in economy without dualism-dichotomy between West and East World.
In the early of Indonesia independence (1945) the importance of local and center government began involved in copra trade. Exporter and producer which formatted before the war, was avoided. Government began to take over directly copra trade. Finally some regions of copra production were complaint, even wedged in debt, because both, Military and Veterans gave priority to power and security without capital . Copra which had been taken a lot were not paid, and it caused chaos and revolt. This paradigme, gives the answer that in the early of independence government had power to arrange economy structure.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Wahyono
"ABSTRAK
Kopra merupakan produksi rakyat Minahasa dan menjadi mata pencarian utama masyarakat petani daerah tersebut selama periode 1870-1942.
Penelitian tentang pembudidayaan dan perdagangan kopra di Minahasa dalam kurun waktu 1870-1942 ini secara khusus menyoroti struktur pertanian dan pola pembudidayaan serta sistem perdagangan kopra, dengan menggunakan bahan-bahan arsip, laporan-laporan sezaman baik yang diterbitkan maupun tidak, serta literatur yang berkaitan dengan tema tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan pola pertanian di Minahasa karena adanya tuntutan pasar. Minahasa pada abad ke-17 sampai ke-18 merupakan lumbung padi bagi daerah Sulawesi dan Maluku. Adanya tanaman wajib kopi pada pertengahan abad ke-19 membuat sebagian petani Minahasa beralih menjadi penanam kopi. Kemudian setelah terjadi boom kopra sejak akhir abad ke-19 sebagian petani Minahasa beralih menanam kelapa.
Pola perdagangan kopra dilakukan melalui tiga golongan,yaitu produsen, perdagang perantara, dan pedagang besar/ekspor. Pola jual-belinya tidak dilakukan di dalam pasar (dalam arti fisik) secara terbuka tetapi melalui sistem kontrak.
Jual beli dengan sistem kontrak ini lebih merugikan petani. Untuk melindungi petani dari jeratan pedagang perantara yang sebagian besar dikuasai pedagang Cina, berbagai upaya dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah, misalnya dengan mendirikan volksbauk Taa rsea Producferr Verkoop Central,dan yayasan Kopra.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T10190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Rudyansjah
"
ABSTRACT
In discussions on exchange, money is often seen as a medium of exchange and a universal equivalent in the circulation of commodities, as well as an object in gift exchange. Yet, in the case of the management of copra that we researched on the island of Seram, money becomes a factor in shaping a dynamic of gift continuity and transformation in the realm of the copra economy (in this context of masohi custom). It is money that promotes both the use and erosion of masohi custom. Masohi is a tradition of community work on the island of Seram and is based on non-capitalist social relations and the principal of reciprocal exchange. This article seeks to describe how money,originally a capitalist medium, serves to simultaneously preserve and transform masohi custom, which, at its essence, is a non-capitalist institution."
Depok: University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2019
909 UI-WACANA 20:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid A. Ambo Sakka
"ABSTRAK
"Lahan saya adalah lahan dunia!" demikian ungkapan para eksportir kopra Makassar, ketika perkapalan internasional Rotterdamsche Lloyd tiba di Makassar untuk mengangkut kopra. Ungkapan itu sebenarnya memberikan gambaran bahwa kopra dari Makassar telah terintegrasi dengan pasaran dunia. Para eksportir yang berdiam di Makassar menampung kopra dalam gudang-gudang penimbunan, sehingga merupakan suatu hal yang wajar bila seorang eksportir memiliki lebih dari dua gudang ekspor kopra. Laporan perdagangan Makassar menunjukkan bahwa pada tahun 1895 Makassar memiliki tujuh tempat tujuan ekspor kopra, kemudian naik menjadi dua puluh tempat tujuan ekspor kopra pada tahun 1920.
Selama kurang lebih "delapan dasawarsa" (1883-1958), komoditas ekspor Makassar banyak tergantung dari kopra (Bugis: kaloko) yang berasal dari "emas hijau". Bagaimana pun penduduk Indonesia bagian timur, khususnya Sulawesi Selatan, kopra telah menjadi komoditi dagang yang penting, sejak tahun 1880-an yaitu, ketika bangsa-bangsa Eropa menggunakan kopra sebagai bahan dasar yang penting dalam pembuatan sabun dan mentega. Sekitar 60 persen jumlah ekspor kopra Timur Besar berasal dari kopra yang pada umumnya diekspor melalui pelabuhan Makassar.5 Karena itu bukannya tidak beralasan jika J.C. Westermann dan W.C. Houck mengatakan bahwa pada dekade kedua abad ke-20 Makassar tampil sebagai kekuatan perdagangan di Asia Pasifik, bahkan pada fase tersebut Makassar dapat mengurangi laju perkembangan Singapura sebagai kota dagang karena menghasilkan kopra.
Di sejumlah daerah di luar Makassar, kopra juga mempunyai arti penting sebagai komoditi ekspor bagi penduduknya. Di Pulau Toedjoeh Riau pada tahun 1908, sekitar 24 ribu orang mata pencahariannya tergantung dari kopra. Pada umumnya kopra didominasi oleh para keluarga bangsawan. Beberapa keluarga bangsawan memiliki pohon kelapa hingga mencapai 20 ribu pohon. Itulah sebabnya para bangsawan Pulau Toedjoeh, mendatangkan buruh dari Singapura untuk bekerja di kebun mereka. Untuk membatasi lonjakan buruh masuk ke Pulau Toedjoeh, maka Pemerintah Belanda menerapkan biaya imigrasi tinggi yaitu sekitar f 25 setiap orang. Dalam tahun 1919 ekspor kopra dari Pulau Toedjoeh mencapai 12.283 ton dengan nilai f 3,8 juta. Dari ekspor tersebut dapat diperoleh pajak senilai f. 207.000. Tiga puluh lima persen dari hasil itu (f 60.000) digunakan untuk membangun daerah Pulau Toedjoeh.
Mata pencaharian utama penduduk Kalimantan Barat adalah kopra. Kopra di daerah itu banyak dikuasai oleh pedagang-pedagang Cina. Para petani mendapat kredit dari pedagang-pedagang Cina. Di Singkawang, petani kelapa pada umumnya pendatang. Mereka menyewa tanah pada suku-suku Dayak dan Banjar untuk membuka?."
Depok: 2003
D479
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanus Wisnu Nusantoro
"ABSTRAK
Kabupaten Kepulauan Selayar sangat mengandalkan kelapa sebagai salah
satu komoditas utama sektor perkebunan. Banyak industri pengolahan kelapa yang
berkembang di Selayar, salah satunya adalah industri kopra. Masih banyak
pengolahan kopra yang dilakukan secara tradisional dengan mutu yang rendah dan
proses produksi yang lama hingga 7 hari. Limbah industri kopra berupa tempurung
dan sabut kelapa yang hanya ditumpuk dan tidak dikelola dengan baik dapat
mengakibatkan timbul permasalahan lingkungan. Oleh karenanya, limbah kopra
yang tidak ada nilainya perlu dimanfaatkan untuk menjadi sesuatu yang mempunyai
nilai tambah bagi produktivitas industri kopra. Limbah kopra digunakan sebagai
bahan bakar pembangkit listrik tenaga biomassa dengan cara gasifikasi sehingga
dapat menghasilkan energi listrik. Disamping itu panas buang dari pembangkit
digunakan untuk proses pengeringan kopra dalam rangka meningkatkan mutu dan
produksi kopra. Pada industri kopra skala kecil dengan kapasitas produksi 2.000 kg
didapatkan limbah kopra sebesar 857,14 kg tempurung dan 2.500 kg sabut.
Kapasitas daya pembangkit yang diperoleh adalah sebesar 53,07 kW dan daya
pengeringan kopra sebesar 48,51 kW dengan waktu beroperasi selama 14 jam.
Mampu dihasilkan kopra sebanyak 293.504,51 kg dan produksi listrik sebesar
173.560,30 kWh dalam setahun.

ABSTRACT
Kepulauan Selayar Regency relies on coconut as one of the main
commodities in the plantation sector. Many coconut processing industries are
growing in Selayar, one of which is the copra mill. There is still a lot of copra
processing done traditionally with low quality and long production process up to
7 days. The copra waste, coconut shell and husk, which is only stacked and not
managed properly can cause environmental problems. Therefore, unnecessary
copra wastes need to be utilized to be something of added value to the
productivity of the copra. Copra waste is used as a fuel for biomass power
generation by means of gasification so that it can generate electrical energy.
Besides, the exhaust heat from the plant is used for copra drying process in order
to improve the quality and production of copra. In the small-scale copra industry
with a production capacity of 2,000 kg obtained copra waste of 857.14 kg shell
and 2,500 kg of husk. The generated power capacity is 53.07 kW and copra
drying capacity is 48.51 kW with 14 hours operating time. Able to produce copra
as much as 293,504.51 kg and electricity production of 173,560.30 kWh in a year."
2017
T45122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library