Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Guspita Arfina
Abstrak :
Proses pengisian jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu persoalan mendasar pada sistem peradilan Mahkamah Konstitusi. Seleksi yang dilakukan dapat memengaruhi kualitas, kinerja dan keputusan dari seorang hakim. Menurut, Pasal 24C ayat 3 UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Pada praktiknya, ketiga lembaga negara tersebut memiliki perbedaan dalam proses seleksi hakim konstitusi. Perbedaan terjadi karena tidak terdapat peraturan yang jelas yang mengatur standar seleksi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu aturan dan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan saat ini sehingga konsep yang ideal dapat diformulasikan khususnya untuk Presiden. Metode penelitian adalah yuridis-normatif yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Analisis berupa pembahasan mengenai kesesuaian antara penerapan prinsip transparansi, partisipasi, objektivitas dan akuntabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan praktek dilakukan oleh Presiden. Ketiadaan peraturan yang jelas mendorong perumusan peraturan agar mengatur secara jelas standar seleksi hakim konstitusi melalui undang-undang yang berlaku bagi seluruh lembaga negara atau melalui peraturan presiden yang berlaku khusus untuk Presiden sebagai salah satu lembaga negara. Penelitian akan mencoba memberikan saran pelaksanaan seleksi terbuka melalui panitia seleksi guna memenuhi penerapan empat prinsip pengisian jabatan hakim konstitusi. Proses pengisian jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu persoalan mendasar pada sistem peradilan Mahkamah Konstitusi. Seleksi yang dilakukan dapat memengaruhi kualitas, kinerja dan keputusan dari seorang hakim. Menurut, Pasal 24C ayat 3 UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan orang hakim yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Pada praktiknya, ketiga lembaga negara tersebut memiliki perbedaan dalam proses seleksi hakim konstitusi. Perbedaan terjadi karena tidak terdapat peraturan yang jelas yang mengatur standar seleksi tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu aturan dan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang dilakukan saat ini sehingga konsep yang ideal dapat diformulasikan khususnya untuk Presiden. Metode penelitian adalah yuridis-normatif yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Analisis berupa pembahasan mengenai kesesuaian antara penerapan prinsip transparansi, partisipasi, objektivitas dan akuntabilitas yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan praktek dilakukan oleh Presiden. Ketiadaan peraturan yang jelas mendorong perumusan peraturan agar mengatur secara jelas standar seleksi hakim konstitusi melalui undang-undang yang berlaku bagi seluruh lembaga negara atau melalui peraturan presiden yang berlaku khusus untuk Presiden sebagai salah satu lembaga negara. Penelitian akan mencoba memberikan saran pelaksanaan seleksi terbuka melalui panitia seleksi guna memenuhi penerapan empat prinsip pengisian jabatan hakim konstitusi. ...... The process of filling the position of constitutional court justices is one of the fundamental issues in judicial system, especially the Constitutional Court. Under the provisions of Article 24C Paragraph 3 of 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the Indonesian Constitutional Court has nine justices, nominated by Supreme Court, People 39 s Legislative Assembly, and President. The three state institutions have differences in selecting justices because of lack of clear regulation as standard for the selection. Therefore, research is conducted to find out current regulations and mechanisms of selecting justices so that later the ideal concept can be formulated, particularly for the President. The research method is juridical normative method that refers to legal norms in legislation. Analysis is conducted by discussing the conformity between the implementation of transparency, participation, objectivity and accountability principles that have been regulated in the Constitutional Court Law with practices conducted by President. The lack of clear regulation encourages the formulation of regulation that clearly regulates standard selecting justices through applicable laws for three state institutions or presidential decree specifically for President. Furthermore, the research will try to advise the implementation of open selection through selection committee to fulfill the implementation of principles in selecting the justices.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dio Ekie Ramanda
Abstrak :
Pelibatan partisipasi masyarkat dalam pembentukan undang-undang masih menjadi sekedar pemenuhan formil belaka. Partisipasi masyarakat belum benar-benar dimaknai sebagai sesuatu yang harus didengarkan dan dipertimbangkan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja kemudian melakukan suatu penemuan hukum baru. bahwasannya pemaknaan partisipasi harus dimaknai sebagai hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard),hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Sehingga penting untuk merumuskan suatu kebijakan yang tepat untuk menghadirkan partisipasi yang bermakna dalam pembentukan undang-undang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penjabaran dari amanah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dilakukan dengan menghadirkan partisipasi publik di semua tahapan. Mulai dari tahapan perencanaan, tahapan penyusunan, tahapan pembahasan dan tahapan pengesahan serta penetapan undang-undang. Pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan tersebut tentunya tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan UUD 1945. Artinya sistem yang akan dibangun dalam desain keterlibatan yang bermakna adalah memungkinkan setiap tahapan yang dilakukan pada pos-pos lembaga pembentuk undang-undang, memberikan legal standing bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan masukan tersebut dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab ......The involvement of the community's participation in the formation of laws is still a mere fulfillment for miles. Community participation has not really been interpreted as something that must be listened to and considered. Decision of the Constitutional Court Number 91/PUU-XVIII/2020 regarding the review of the law form no. 11 of 2020 concerning Job Creation and then made a new legal discovery. that the meaning of participation must be interpreted as the right to have one's opinion heard (the right to be heard), the right to have his/her opinion considered (the right to be considered) and the right to get an explanation or answer to the opinion given (the right to be explained). So it is important to formulate an appropriate policy to bring about meaningful participation in the formation of laws. The results of this study indicate that the elaboration of the mandate of the Constitutional Court's decision can be carried out by presenting public participation at all stages. Starting from the planning stage, drafting stage, discussion stage and the stage of ratification and stipulation of laws. Community involvement in each of these stages of course remains on the path that has been determined by the 1945 Constitution. That is, the system to be built in a meaningful involvement design is to allow every stage carried out at the posts of law-making institutions to provide legal standing for the community to provide input and input is considered seriously and with full responsibility
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abstrak :
The founding of a constitutional court is often an indication of a chosen path of constitutionalism and democracy. It is no coincidence that most of the constitutional courts in East and Southeast Asia were established at the same time as the transition of the countries concerned from authoritarianism to liberal constitutional democracy. This book is the first to provide systematic narratives and analysis of Asian experiences of constitutional courts and related developments, and to introduce comparative, historical and theoretical perspectives on these experiences, as well as debates on the relevant issues in countries that do not as yet have constitutional courts. This volume makes a significant contribution to the systematic and comparative study of constitutional courts, constitutional adjudication and constitutional developments in East and Southeast Asia and beyond.
United Kingdom: Cambridge University Press, 2018
e20528936
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
JK 8:5 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
Abstrak :
Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014. ...... DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Law No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the House of Representatives in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Mukthie Fadjar
Jakarta: Konstitusi Press, 2006
342.02 ABD h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>