Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Ngurah Suryawan
Jakarta: Prenada Media Group, 2010
303.6 ING g (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wallensteen, Peter
Los Angeles: SAGE, 2015
327.172 WAL u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Shadeq Muttaqien
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang Mekanisme Kerja Lembaga Lokal dalam Penyelesaian Konflik Suku/Etnis yang dilakukan oleh LKKMD di Kota Dumai, Provinsi Riau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi keefektifan dalam pengelolaan konflik baik itu mencegah maupun meredam jika terjadi konflik suku/etnis, yang dikelola secara kelembagaan lokal. Keberadaannya memberikan manfaat bagi masyarakat dan Kota Dumai karena memberikan suasana yang kondusif, aman dan nyaman serta terpeliharanya nilai dan budaya lokal di masyarakat. ...... The thesis discusses about mechanism action of local institutions in ethnic conflict resolution by LKKMD at Dumai city, Riau province. The result of this study indicate that the effectiveness in managing conflict occurs either prevent or reduce the case of ethnic conflict, managed by local institution. Its presence provides benefits to the community and the City of Dumai because it provides a conducive atmosphere, safe and comfortable as well as maintaining local values and culture in the community.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35297
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malya Nova Imaduddin
Abstrak :
Penelitian bertujuan untuk menganalisis bagaimana peran pemerintah dan mantan kombatan GAM dalam penyelesaian konflik pasca konflik Aceh. Hasil penelitian menemukan bahwa pertama, pemerintah sudah menjalankan perannya dalam menjaga perdamaian setelah pasca konflik Aceh sesuai dengan isi perjanjian dalam MoU Helsinski. Peran pemerintah dalam penyelesaian konflik dengan melakukan cara kolaborasi atau kerjasama dan kompromi terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik. Namun demikian, masih ada beberapa program kegiatan dan bantuan dari pemerintah yang belum terealisasikan, masih ada beberapa pihak pemerintah yang mengunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi. Kedua, mantan kombatan juga sudah menjalankan perannya dalam menjaga perdamaian setelah pasca konflik Aceh sesuai dengan isi perjanjian dalam MoU Helsinski. Namun demikian, masih ada beberapa mantan kombatan yang menunjukkan adanya rasa ketidakpuasan akan peran pemerintah dalam hal penegakan hukum hak asasi manusia, lambang dan bendera dan ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan. Ketiga, masih terjadi konflik-konflik kecil diantara pihak pemerintah dan mantan kombatan yang disebabkan oleh konflik internal dalam demokrasi pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh perlu menerjemahkan secara operasional kerangka penyelesaian konflik dalam menjaga perdamaian dengan skema yang dipahami oleh seluruh stakeholder melalui workshop dan pelatihan-pelatihan guna memudahkan sinergi dan kolaborasi pada seluruh level pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota. ...... The study aims to analyze how the role of government and GAM ex combatants in conflict resolution post conflict Aceh. The results of the study found that firstly, the government has performed its role in maintaining peace after the post Aceh conflict in accordance with the content of the agreement in the Helsinski MoU. The role of government in resolving conflicts by way of collaboration or cooperation and compromise on the parties to the conflict. However, there are still some programs of activity and assistance from the government that have not been realized, there are still some government parties that use the authority for personal interests. Secondly, ex combatants have also exercised their role in maintaining peace after the post Aceh conflict in accordance with the content of the agreement in the Helsinski MoU. Nevertheless, there are still some ex combatants demonstrating a sense of dissatisfaction with the role of the government in terms of human rights law enforcement, symbols and flags and injustices in the equitable distribution of development. Third, there are still small conflicts between the government and ex combatants caused by internal conflicts in Aceh 39 s democratic government. Therefore, the Aceh Government needs to translate operational conflict resolution framework in keeping peace with a scheme understood by all stakeholders through workshops and trainings to facilitate synergy and collaboration at all levels of government in provinces and districts.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Esensi, 2007
658.409 2 LEA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Mariani Rahayu
Abstrak :
ABSTRAK Kayau (headhunting) merupakan skrip budaya yang bersumber dari arketipe budaya masyakat Dayak di Kalimantan yang telah ditinggalkan sejak Rapat Damai Tumbang Anoi tahun 1894. Mulai saat itu, kayau dalam arti perburuan kepala manusia tidak lagi dipraktekkan. Berdasarkan kesepakatan yang diambil, hakayau (saling potong kepala), habunu (saling membunuh), dan hajipen (saling memperbudak) dihentikan. Penyelesaian konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat dilakukan dengan mengacu pada hukum adat dan hukum negara. Setelah lebih dari 100 tahun praktek kayau tidak lagi diajarkan dari generasi ke generasi, pada tragedi nasional kerusuhan Sampit tahun 2001, praktek kayau bangkit kembali. Fenomena ini menjadi penting untuk dikaji, karena praktek kayau yang mengandung ide jahat (evil), dalam konteks budaya masa kini termasuk ke dalam perilaku di luar batas kemanusiaan, dilakukan oleh mereka yang sehari-hari adalah masyarakat kebanyakan (ordinary people). Mereka bukan pelaku kejahatan atau tindak kriminal, dan tidak pernah melakukan pembunuhan dan cenderung tergolong orang baik (good people). Bagaimana proses yang terjadi sehingga sebuah skrip budaya yang sudah tidak digunakan lebih dari dua generasi dapat bangkit kembali dan dilakukan oleh para pelaku dari generasi yang berbeda, yang tidak pernah melakukan kayau sebelumnya, menjadi pertanyaan yang mendasari penelitian ini. Untuk memahami gejala yang terjadi, penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Tesis yang diajukan adalah, dalam situasi konflik, di saat identitas kolektif dan kolektif emosi lokal diaktivasi, maka sebuah arketipe budaya yang mengandung ide jahat, yang telah ―tidur‖ (dormant) lebih dari satu abad, dapat bangkit kembali, dan membatasi pilihan alternatif tindakan dalam pemecahan masalah. Meskipun tidak dipraktekkan lagi, skrip budaya kayau yang bersumber dari arketipe budaya, masih tersimpan dalam ketidaksadaran kolektif. Skrip budaya tersebut dapat diaktivasi kembali pada situasi tertentu. Diduga, sebuah proses narasi dalam reproduksi serial masih terus terjadi dari generasi ke generasi. Tampaknya, kayau adalah sebuah ekspresi budaya kehormatan untuk manyalamat utus yang perlu menemukan bentuk alternatif pengekspresian positif pada masa sekarang ini.
ABSTRACT Kayau (headhunting) is a cultural script that based on cultural archetype Dayak society in Kalimantan or known as Borneo island in Indonesia that no more conducted since ?Rapat Damai Tumbang Anoi? (the peace agreement Tumbang Anoi) in the year 1894. To commit the agreement, the tribe‟s activities such as hakayau (headhunting), habunu (killing each other), and hajipen (slavery) have been stopped. Conflict resolution in the society is nowadays solved based on ?Adat Law‟or State Law. Over one hundred years mengayau has been left and not being taught to the next generation, but in the ethnic conflict called as national tragedy in Sampit in 2001, mengayau tradition has emerged. It is interesting to study this phenomenon because mengayau activity includes the idea of evil and in the modern cultural context mengayau activity is categorized as extraordinary evil behavior, and conducted by ordinary man or good people in their daily life. It is interesting to study how the process of a dormant cultural script that have been run over the two generations can be achieved by people from different cohort and they have never been taught mengayau before. The study is conducted using qualitative and quantitative approaches to understand the phenomenon. Thesis statement being developed is in a conflict situation which is the collective identity and collective indigenous emotion are being activated a dormant cultural script or cultural archetype over one hundred years is emerged and ignoring the concept of good and evil in individual decision making process. Although mengayau activity has been deactivated over one hundred years, the mengayau cultural script that based on cultural archetype is still kept as collective unconsciousness and can be activated in a certain situation. A narrative process in the term of serial reproduction is running over generations simultaneously. It is hypothesized that mengayau is a kind of culture of honor named ?manyalamat utus‟ that should be expressed in positive behaviour in modern life.
2016
D2171
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M.Ya’kub Aiyub Kadir
Abstrak :
Indonesia is a former Dutch colony which declared its independence on August 17, 1945. However, it was not internationally recognised until December 27, 1949, when the Netherlands formally transferred the sovereignty of the Dutch East Indies to a new political entity called ‘Indonesia’ at the Round Table Conference in the Hague. This occasion marked the political union of all diverse kingdoms and regional communities spread over the Indonesian archipelago. This step has been frequently associated with the global spirit of many other countries around the world to gain independence from Western colonisers and with the international principle of self-determination. However, the relationship between the central government in Java and some regional communities has been fluctuating for decades after the independence. This paper examines three conflicts over the rights of self-determination in in three areas in Indonesia by reflecting on the historical background of Indonesia’s struggle for self-determination. Besides that, it also seeks to demonstrate the way Indonesia’s integrity has been negotiated to accommodate internal and external forces to achieve self-determination from international law perspective. Furthermore, this paper also contributes to the scholarly discussion on the concept of self-determination and the conflicts that it caused in Indonesian context, while also proposing some insights into the efforts to preserve Indonesia’s unity and integrity for years to come.

Indonesia adalah sebuah negara bekas jajahan Belanda yang memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, Indonesia baru diakui secara internasional pada tanggal 27 Desember 1949 ketika Belanda secara formal menyerahkan kedaulatan negeri Hindia- Belanda kepada entitas politik baru yang disebut ‘Indonesia’ di dalam Perundingan Meja Bundar yang diadakan di Den Haag. Peristiwa ini menyatukan secara politis berbagai kerajaan dan komunitas lokal di seantero nusantara. Peristiwa ini pun dianggap sebagai implementasi dari semangat global anti penjajahan asing dalam bingkai hukum self-determination. Namun demikian, hubungan antara pemerintah pusat di Jawa dengan wilayah-wilayah tertentu mengalami dinamika dalam bentuk konflik yang terjadi selama beberapa dekade. Tulisan ini ditujukan untuk mengkaji latar belakang dari tiga konflik yang berhubungan dengan hak selfdetermination dan cara Indonesia bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan self-determination, baik internal maupun ekternal, ditinjau dari sudut padang hukum internasional. Kajian ini diharapkan dapat menambah pemahaman teoritis tentang konflik terkait self-determination dan upaya penyelesaiannya dalam rangka mempererat persatuan dan integritas bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
University of Indonesia, Faculty of Law, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Lestari Pitaloka
Abstrak :
Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pengadilan atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bergantung pada pilihan pihak-pihak yang bersengketa. BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Terdapat tiga cara penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK, yaitu dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase. Ketiga-tiganya merupakan lembaga dalam alternatif penyelesaian sengketa yang intinya adalah dialog, musyawarah serta usaha pengakomodasian terhadap kepentingan para pihak. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang dapat diidentitikasi dalam peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian sengketa konsumen, dengan objek penelitian BPSK Kota Bandung. Sebagai badan yang masih tergolong baru, BPSK mempunyai banyak kendala dalam implementasinya. Pertama dari segi peraturan perundangan-undangan yaitu terjadi ketidakkonsistenan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan belum adanya beberapa peraturan pelaksana yang mendukung, kedua dari segi prosedural dimana terdapat beberapa kelemahan pengaturan mengenai prosedur beracara di BPSK yang juga didukung oleh belum dibakukannya formulir-formulir standar untuk beracara di BPSK, ketiga dari segi kelembagaan BPSK yaitu mengenai pembiayaan dan sosialisasi keberadaan BPSK yang sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah daerah. Berbagai permasalahan yang melingkupi BPSK diharapkan dapat diatasi dengan segera, baik dengan cara melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun dengan menerbitkan beberapa ketentuan pelaksana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena BPSK diharapkan dapat menjadi ujung tombak dari upaya perlindungan konsumen di Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Wicaksono
Abstrak :
Tesis ini berangkat dari penyelesaian konflik sosial yang terjadi di masyarakat melalui jalur hukum tidak dapat menyelesaikan semua masalah yang ada. Sehingga muncul cara non hukum yang ditempuh untuk menyelesaikan konflik sosial yang terjadi. Dalam penyelesaian secara non hukum terkait dengan dua konsep yang berlangsung di masyarakat, yakni community policing yang dijiwai restorative justice. Berkaitan dengan itu tesis ini membahas kesesuaian konsep community policing dengan restorative justice dalam resolusi konflik. Metode penelitian dilakukan dengan menganalisa terhadap laporan penelitian tentang community policing dan restorative justice secara pendekatan kualitatif dengan mempelajari literature dan menggunakan discourse analysis sebagai piranti analisisnya. Penelitian ini mencari hubungan yang terdapat dari penelitianpenelitian tentang community policing dan restorative justice yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Penelitian ini mendapatkan dalam pelaksanaan community policing terdapat semangat restorative justice,baik secara teoritik maupun aplikasinya di lapangan. Discourse analysis mengantarkan pada makna yang terkandung dibalik community policing dengan semangat restorative justice diharapkan terjadi perubahan cara pandang para penegak hukum, untuk menerapkan upaya-upaya pencegahan daripada penanganan suatu konflik yang terjadi.
This thesis stems from the notion that the resolution of social conflicts in communities through legal means cannot solve all existing problems. Non-legal means have therefore emerged to resolve social conflict. Non-legal resolution, is connected to two conceps within the community, community policing and the spirit of restorative justice. Related to this, this thesis discusses the appropriateness of the concept of community policing with restorative justice in conflict resolution. Research methods involved analyzing research reports on community policing and restorative justice with a qualitative approach, by studying the literature and conducting discourse analysis. This research looks for connections between community policing and restorative justice found in previous research. This research finds that in the carrying out of community policing lies the spirit of restorative justice, both theoretically as well as in applications in the field. Discourse analysis bring us to the meaning behind community policing with a spirit of restorative justice, which is that there will hopefully be a change in law enforcers perspectives, in order to apply efforts to prevent conflict from occurring.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25233
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Layyina Humaira
Abstrak :
Perawat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan proses pemulihan pasien. Memperhatikan dan meningkatkan kepuasan kerja sangat penting demi meningkatkan kualitas perawat. Salah satu hal yang dapat menghambat kepuasan adalah timbulnya konflik. Oleh karena itu setiap individu perlu untuk menggunakan strategi yang tepat dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Ada lima macam gaya penyelesaian konflik yang dapat digunakan oleh individu, yaitu kompetisi, kolaborasi, kompromi, menghindar, dan akomodasi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti adanya hubungan antara gaya penyelesaian konflik dan kepuasan kerja pada perawat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan desain non-experimental dan tipe field study. Partisipan penelitian ini berjumlah 87 perawat yang bekerja di dalam sebuah rumah sakit. Kepuasan kerja diukur dengan menggunakan Minnesota Staisfaction Questionnare, sedangkan gaya penyelesaian konflik dengan menggunakan Thomas-Kilmann MODE Instrument yang telah diubah menjadi bentuk skala. Hasil yang di dapat dari perhitungan One Way Anova adalah bahwa gaya penyelesaian konflik tidak berhubungan dengan kepuasan kerja. Sementara itu gaya penyelesaian konflik yang paling banyak dipilih oleh partisipan adalah gaya kolaborasi.
Nurses are unseparated part of the entire patient?s recovery process. To increase the quality of nurses, it is important to pay attention to job satisfaction among them. Conflict can become a block of job satisfaction. That?s why it is important for individual to use the right strategy to solve the conflict. There are five conflict resolution styles that can be used by individual; competition, collaboration, compromise, avoidance, and accommodation. The aim of this study is to seek the correlation between conflict resolution style and job satisfaction of nurses. This research is using quantitative method, nonexperimental design, and field study. The participants of this research were 87 nurses whose work in a hospital. Job satisfaction was measured by Minnesota Satisfaction Questionnaire, meanwhile conflict resolution style was measured by Thomas-Kilmann MODE Instrument which had been change in to scale. By using One Way Anova, the result show that conflict resolution style was not correlated with job satisfaction. In the meantime, the conflict resolution style which has been most chosen by participant is collaboration style.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
303.69 HUM h
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>