Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Debora Angela
Abstrak :
Tumpatan bonded amalgam merupakan tumpatan amalgam yang ditambahkan bahan adhesif /pelapis antara amalgam dengan struktur gigi untuk mengurangi kebocoran mikro. Tujuan : Untuk mengevaluasi kebocoran mikro pada tumpatan bonded amalgam dengan resin semen dan Glass Ionomer Cement. Metode : Sejumlah 40 gigi premolar kavitas kelas I (3x3x2cm; 4 kelompok dengan n=10)) direndam dalam methylene blue 1% selama 24 jam kemudian dipotong. Penetrasi pewarna diamati dengan stereomikroskop dan dinilai dengan skor 0-3. Hasil dievaluasi dengan uji Kruskal Wallis dan Mann-Whitney. Hasil : Perbedaan bermakna diantara tiap kelompok penelitian. Kesimpulan : Terdapat kebocoran mikro pada seluruh spesimen dengan nilai yang berbeda.
Bonded amalgam restoration is amalgam restoration bonded to tooth structure with adhesive or liner. Objective : to evaluate microleakage on bonded amalgam restorations. Methods : 40 premolar teeth with cavity class I, 3x3x2 cm, 4 groups (10 specimens in each group) were immersed in methylene blue 1% for 24 hours and cutted. Penetration of dyes were observed by stereomicroscope and measured with penetration score 0-3 and evaluated by Kruskal Wallis and Mann-Whitney. Results : there was significant differences between each groups. Conclusions : There was microleakage on every groups with different values.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Yanriko Mastur
Abstrak :
Cuti mengunjungi keluarga bertujuan untuk menghilangkan stigma terhadap narapidana, serta mencegah penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana. Cuti mengunjungi keluarga yang dilakukan melalui kunjungan narapidana kepada keluarga narapidana di tempat tinggalnya, merupakan kegiatan rutin yang dapat dilaksanakan setiap tiga bulan bagi narapidana yang memiliki masa pidana minimal 12 bulan. Kegiatan ini biasanya dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk saling tukar informasi atau menumpahkan segala keluh kesah. Dalam kegiatan ini narapidana dapat melakukan kebebasan yang seluas-luasnya selama waktu yang ditentukan. Hak Cuti Mengunjungi Keluarga dalam proses pemberiannya sangat dipengaruhi oleh pemahaman petugas, narapidana dan masyarakat terhadap keberadaan hak ini. Di samping pemberian hak ini juga sangat ditentukan dari kelancaran pelaksanaan prosedur, pengorganisasian dan fungsi koordinasi inter dan antar unit yang terkait di Lembaga Pemasyarakatan. Dari temuan hasil penelitian dan pembahasan, ternyata pemberian hak Cuti Mengunjungi Keluarga bagi narapidana telah dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, meskipun dalam pelaksanaannya masih dihadapkan dengan hambatan-hambatan; antara lain menyangkut kurangnya pemahaman terhadap prosedur, masalah pembiayaan, masih ditemukan hambatan sebagai akibat pelanggaran tata tertib dan kurang lengkapnya berkas permohonan ijin dari pihak keluarga serta masih adanya stigma negatif narapidana oleh masyarakat. Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemberian hak Cuti Mengunjungi Keluarga, diperlukan Iangkah-langkah nyata dalam bentuk peningkatan sosialisasi yang ditujukan kepada petugas dan narapidana sehingga tercipta sinergi dalam pelaksanaannya. Di samping itu pengalokasian anggaran untuk memenuhi kebutuhan administrasi dan operasional sehingga diharapkan hak Cuti Mengunjungi Keluarga dapat dirasakan manfaatnya bagi semua narapidana yang memenuhi persyaratan.
The annual leave to visit family has objective to eliminate stigma against prisoners, as well as to prevent people refusal against ex prisoner. The annual leave to visit family that is executed through prisoner visiting to prisoner's family in their residence represents routine activity which can be conducted every three months for prisoners who has the term of punishment minimally 12 months. This activity usually is utilized by both parties for exchanging information or submitting their feeling. In this activity prisoner can conduct freedom as wide as possible during determined time. The annual leave to visit family in its granting process is really affected by officer, prisoners and people understandings against the existence of this right. Besides this right granting is also determined from the smoothness of that procedure execution, organizing and intra and inter unit coordination function related to prison institution. From the result of research and analysis, factually the granting of annual leave right to visit family for prisoner has been implemented in class 1 prison institution Cipinang, although in its execution it was still found obstacles as the cause of rule violence and the lack of permit application document from family parties as well as prison's negative stigma from people. To increase the effectivity and efficiency of annual leave granting to visit family, it is needed real steps in form of socialization increase shown by officer and prisoners so that it can create synergy in its execution. Besides of that, the allocation of budget for providing annual leave rights to visit family can be felt its benefit for all prisoners who meet requirement.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15192
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Mehdi
Abstrak :
Berbagai perubahan yang terjadi dimasyarakat berimplikasi langsung terhadap kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan, demikian juga dengan tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh lembaga pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan narapidana, perubahan yang paling mendasar terjadi pada meningkatnya jumlah pelaku tindak pidana serta semakin beraneka ragamnya jenis kejahatan yang timbul dimasyarakat. Masalah aktual yang dihadapi oleh organisasi lembaga pemasyarakatan saat ini seperti tingginya angka kematian dilapas, gangguan keamanan berupa pelarian dan kerusuhan, peredaran narkoba, lapas sebagai organisasi yang koruptif dan kolutir, over kapasitas serta permasalahan lainnya menunjukkan bahwa organisasi lapas belum dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal dalam melaksanakan pembinaan narapidana. Adapun pokok masalah yang diambil dalam tulisan ini adalah bagaimana perubahan yang dilakukan khususnya lapas cipinang, bagaimana perubahan yang ideal serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja lapas dan bagaimana alternatif model perubahan yang ideal yang dilakukan oleh lapas cipinang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yakni dengan cara menetukan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organsasi organisasi lapas cipinang baik internal maupun eksternal kemudian menganalisis faktor-faktor tersebut melalui analisis SWOT kemudian dari hasil analisis tersebut dihasilkan kombinasi faktor SWOT yang diharapkan jadi solusi permasalahan yang ada. Adapun hasil yang didapatkan dalam penelitian ini yakni bahwa pelaksanaan program pembinaan yang dilaksanakan oleh lapas cipinang saat ini masih bersifat formalitas dan dalam pelaksanaan tugasnya organisasi lapas cipinang masih lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada pendekatan pembinaan, sehingga untuk sementara stabilitas keamanan masih menjadi tujuan utama. Ada 4 alternatif strategi model perubahan yang dihasilkan dalam penelitian ini sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan perubahan organisasi untuk mencapai hasil yang optimal, yakni - Strategi Model perubahan Ekspansif - Strategi Model perubahan Diversifikasi - Strategi Model perubahan Konsolidasi - Strategi Model perubahan Survival
The change that occur in the society implicated to the prison living environment, and also with the defiance and barrier that prison institution been dealing with in implementation of prisoner treatment, the most basic change occurred in the increment number of criminal, and the variety of crime occurred in the society. The actual problem that prison institution dealing with are the high dead number happen in prison, security disturbance such as prisoner run away, drugs dealing, prison as corrupt organization, overcapasity and other problem showed that prison organization has not been optimized in carrying out the task and function in prisoner treatment. The main problems has been taken in this thesis is how the change have been made, especially by cipinang prison, what the ideal change and factors that effecting performance and what ideal alternative models done by cipinang prison. The research implements using qualitative approach, determining the factors affecting the performance of cipinang organization internally or externally and then analyzing those factor through SWOT analyst, then fro the result, combination of SWOT factors that expected to be the solution of problem yield. However, the expecting result outcome from this research is the implementation of treatment program that been doing by cipinang prison yet still formality and in doing the task and function cipinang prison still using security approach than treatment approach and stability of security still be main goal that organization. There are four alternative change model strategy result in this research : - Ekspansif change model strategy - Diversification change model strategy - Consolidation change model strategy - Survival change model strategy
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 25014
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Viktor
Abstrak :
Latar belakang pendidikan, motivasi kerja dan pelatihan dari seorang panitera pengganti sangat dituntut untuk dapat diselesaikannya suatu perkara dengan cepat dan benar. Suatu perkara yang telah diputus oleh pengadilan haruslah secepat mungkin diminutasi, apabila perkara telah mempunyai kekuatan hukum (incrachr van gewijsde) maka segera diserahkan dalam arsip sedangkan apabila masih dilakukan upaya hukum (banding atau kasasi), maka berkas perkara akan dikirim ke tingkat peradilan yang lebih tinggi (pengadilan tinggi atau mahkamah agung). Banyak berkas perkara yang telah diputus, terlambat pemberkasannya(minurasi), khususnya terhadap perkara yang telah diputus akan tetapi belum diminutasi dalam waktu setahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel latar belakang pendidikan, pelatihan dan motivasi mempunyai hubungan terhadap produktivitas kerja. Subyek penelitian adalah panitera pengganti di pengadilan negeri kelas I B Cirebon. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dengan jumlah sampel 30 orang. Pendidikan adalah usaha radar untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Pelatihan adalah tindakan untuk meningkatkan pengetahuan dan kecakapan seorang pegawai untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu" (Flippo, 1984,3). Motif adalah sesuatu yang membuat orang bertindak atau berperilaku dalam cara-cara tertentu. Motif dapat diartikan sebagai "driving force" yang menggerakan manusia untuk betingkah laku dan berbuat dengan tujuan tertentu (Hasibuan M ; 1996 : 95). Produktivitas adalah konsep universal, yang dimaksud yaitu menyediakan banyak barang dan jasa untuk kebutuhan semakin banyak orang dengan menggunakan semakin sedikit sumber - sumber daya. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data pendidikan, pelatihan motivasi dan produktivitas adalah angket / kuisioner dengan menggunakan metode Skala Likert. Teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi dan regresi yang dilanjutkan dengan uji t dan F pada taraf signifikansi 0,05. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa, terdapat hubungan yang positif antara ketiga variabel pendidikan dengan produkivitas kerja walaupun pelatihan dan motivasi kerja telah dikontrol dengan koefisien korelasi = 0,6680. Untuk variabel pelatihan dengan produktivitas kerja meskipun variabel pendidikan dan motivasi kerja telah dikontrol, koefisien korelasinya = 0,4272. Untuk variabel motivasi kerja dengan produktivitas kerja dengan variabel pendidikan dan pelatihan dikontrol, koefisien korelasi =0,2519. Secara bersama - sama ketiga variabel bebas mempunyai hubungan positif dengan variabel terikatnya, koefisien korelasi = 0,854. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar belakang pendidikan, pelatihan dan motivasi kerja turut menentukan produktivitas kerja panitera pengganti di pengadilan negeri Klas I B Cirebon.
The background of education, working motivation and training of a substitution clerk of the court is required strongly to complete a case fast and accurately. A case that has been decided by judicial should be filed directly. If the case has a strength of law (inkracht van gewijsde), it must straight be given in field, but if it is still on the air with law (appeal) so the case should be sent to a higher court level (High Court or Supreme Court), Many cases that have been decided are late to be organized, particularly for the cases that have the permanent strength of law. Even there are cases that have been decided for years but have not been filed yet. This research aims to know weather there is educational variable, training and motivation that has relationship with working productivity. The subject of research is a clerk of the Court at Judicial of Government Class I B in Cirebon. The research done by the methodical survey of 30 people is the samples. Education is the exertion to provide educated learners through guidance, teaching and or training with its role in the future. Training is an action to develop employee's knowledge and his ability to do certain job (Flippo, 1984,3). Motif is something that makes people act and behave with certain ways. Motif also can be defined as "driving force" which motivates human to behave and act with certain purpose. Productivity is a universal concept which is meant to provide plenty of items and services for more people's necessity and use a fewer resources. Instrument that is used for educational data collection, training, motivation and productivity is questionnaire with using Likert scale method. Data analysis technique that is applied are correlation and regression which is continued with t and F test at 0.05 of significant standard. The result of research says that there's positive connection among the three independent variables with the dependent training and working motivation had been controlled with coefficient correlation of (ryx-x2x3)=0.6680, training variable with working productivity in spite of that education variable and working motivation had been controlled with coefficient correlation of (ryx2-xlx3/0 = 0.4272, working motivation variable with working productivity in spite of that education and training variable had been controlled with coefficient correlation of (ryx3-xlx2) = 0.2519 Those three independent variables have positive connection with the dependent variable with coefficient correlation of ryx l x2x3 = 0.854. So, it can be concluded that education, training, and working motivation can determine working productivity of substitution clerk of the Court in Judicial of The Government Class I B in Cirebon.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T 13922
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Arifin
Abstrak :
Secara umum tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran tentang pelaksanaan pembimbingan pemasyarakatan oleh Pembimbing Kemasyarakatan terhadap Klien Terpidana Bersyarat pada Balai Pemasyarakatan dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan bimbingan pemasyarakatan bagi terpidana bersyarat di Balai Pemasyarakatan. Proses pembinaan terhadap klien Terpidana Bersyarat pada Balai Pemasyarakatan adalah tidak terlepas dari program pembinaan. Pada tahap pembinaan ini petugas mengadakan penelitian secermat mungkin pada sebab timbulnya masalah, baik menjadi penyebab pokok atau sampingan yang mendukung sebab pokok tersebut. Hasil data tersebut diolah, sehingga akan terlihat faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Agar pembinaan yang dilakukan efektif dan mencapai hasil yang disarankan maka pembimbing kemasyarakatan mengadakan evaluasi pelaksanaan pembinaan sehingga dapat diketahui sampai sejauh mana perkembangan dan hasil yang dicapai dalam pembinaan ini. Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembimbingan Klien Terpidana Bersyarat yang dilakukan oleh petugas pembimbing kemasyarakatan (PK) pada Balai Pemasyarakatan adalah meliputi: 1. Faktor internal (keadaan petugas dan sarana prasarana); 2. Faktor eksternal (ldien, masyarakat, peraturan yang mengatur pelaksanaan tugas Bapas, dan koordinasi dengan instansi/pihak luar). Pelaksanaan pembimbingan terhadap klien terpidana bersyarat belumlah sesuai antara teori yang ada dengan praktek lapangan, terutama dalam penerapan metode dan tehnik yang ada, oleh karena itu disarankan dalam pelaksanaan tugasnya, pembimbing kemasyarakatan (PK) harus mampu mengetahui tentang teori-teori yang ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas. Kurangnya partisipasi masyarakat terhadap upaya pembinaan Ianjutan bagi terpidana bersyarat maka disarankan bagi para petugas PK agar mengadakan sosialisasi di lingkungan masyarakat tentang peranan BAPAS dalam membimbing dan membina para klien terpidana bersyarat.
In general the target of this research is to give a descriptions of concerning technique and method used by Counselor of Sociological in execution of Counseling for Conditional Prisoner Client at `Balai Pemasyarakatan' and factors that influence of execution sociological for conditional. Guidance process to client of Conditional Prisoner at Balai Pemasyarakatan' is not quit of guidance program. At this guidance phase, officer perform a research as accurate as possibly in emerge of problems -neither fundamental nor peripheral problem- which supporting fundamental problem. After the data result processed, will seen factors which become the cause. To reach effective guidance and reach good result, Counselor of Sociological perform an evaluation of guidance execution, so that can know until how far reached result and growth in this guidance. The Factors which become problems in execution of counseling of Conditional Prisoner Client which done by officer of Sociological Counselor (Pembimbing Kemasyarakatan) at `Balai Pemasyarakatan' (Bapas) are : 1. Internal factor (officer condition and accomodation); 2. External factor (client, society, regulation arranging execution of duty of `Balai Pemasyarakatan' and coordination with other institutions). Execution of guidance to client of Conditional Prisoner not yet according between existing theory with field practice, especially in applying of method and existing techniques, therefore Counselor of Sociological (PAC) have to know about the theories which bearing of with execution of duty. In the case of lack of society participation to effort continuing guidance for Conditional Prisoner, hence suggested officers at Sociological Counselor are performing a socialization in society environment concerning `Balai Pemasyarakatan' activities in counseling and guiding the Conditional Prisoner Clients.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15196
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yesi Octavia
Abstrak :
Tujuan: Menganalisis hubungan antara ukuran saluran pernapasan faring pada maloklusi kelas I dan II dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Metode : Penelitian potong lintang ini melibatkan 126 sampel dengan usia 20-40 tahun yang dipilih secara konsekutif dan dibagi menjadi 2 grup berdasarkan sudut ANB yaitu : maloklusi kelas I dan II, kemudian dikelompokkan lagi menjadi 6 kelompok uji berdasarkan pola pertumbuhan skeletal vertikal (hipo-, normo-, dan hiperdivergen). Saluran pernapasan faring atas dan bawah diukur menggunakan analisis McNamara, sementara panjang saluran pernapasan faring diukur dari titik PNS-Eb. Uji hubungan ukuran saluran pernapasan faring dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal dilakukan menggunakan uji Pearson’s Chi-Square dan dilanjutkan dengan uji korelasi Gamma untuk melihat arah hubungannya. Hasil: Analisa statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara lebar saluran pernapasan faring atas dan bawah pada maloklusi kelas I dan II dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Panjang saluran pernapasan faring pada maloklusi kelas II juga menunjukkan tidak ada hubungan dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal, berbeda dengan maloklusi kelas I yang menunjukkan adanya hubungan antara panjang saluran pernapasan faring dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal. Kesimpulan: Meskipun hasil analisa statistik menunjukkan tidak ada hubungan, akan tetapi lebar saluran pernapasan faring atas pada maloklusi kelas II menunjukkan pola yang unik yaitu saluran pernapasan faring atas menyempit pada pola pertumbuhan skeletal vertikal yang semakin divergen. Temuan unik lainnya dari penelitian ini adalah panjang saluran pernapasan faring berkorelasi positif dengan pola pertumbuhan skeletal vertikal pada maloklusi kelas I, yaitu semakin panjang saluran pernapasan faring dengan meningkatnya pola pertumbuhan skeletal vertikal. ......Objective: To analyse the correlation between the pharyngeal airway morphology in class I and II malocclusions with vertical skeletal growth patterns. Methods: This cross-sectional study was involved 126 samples aged 20-40 years who were selected by consecutive sampling and divided into 2 groups; class I and class II malocclusions according to ANB angle. This group will be further be divided into 6 test groups based on the vertical skeletal growth patterns (hypodivergent, norm divergent, and hyperdivergent). Upper and lower pharyngeal airway width were measured using McNamara analysis, while pharyngeal airway length was measured from the PNS-Eb point. Pearson's Chi-Square test was used to test the correlation between pharyngeal airway morphology and vertical skeletal growth patterns and proceed with the Gamma correlation test to see the direction of the correlation. Results: Statistical analysis showed that there was no correlation between the upper and lower pharyngeal airway width in Class I and II malocclusions with vertical skeletal growth pattern. The length of the pharyngeal airway in class II malocclusion also showed no correlation with the vertical skeletal growth pattern, in contrast to the class I malocclusion which showed a statistical correlation between the pharyngeal airway length and the vertical skeletal growth pattern. Conclusion: Although the results of statistical analysis showed no statistical correlation, the upper pharyngeal airway width in class II malocclusion showed a unique trend, that the upper pharyngeal airway width narrowed with an increasingly vertical skeletal growth pattern. Another trend finding from this study is that the length of the pharyngeal airway is positively correlated with the vertical skeletal growth pattern in class I malocclusion i.e., the longer the pharyngeal airway, the greater were the vertical skeletal growth pattern.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hery Anggara
Abstrak :
Implementasi Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS berfokus di Rutan Klas I Jakarta Pusat, bertujuan memberikan Implementasi Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV-AIDS di Rutan Klas I Jakarta Pusat menurut model Implementasi George C. Edward III, Gambaran pencapaian program Rencana Aksi Nasional HIV-AIDS dalam hal layanan kesehatan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan di Rutan Klas I Jakarta Pusat. Pendekatan penelitian dilakukan melalui metode penelitian kualitatif. Penggalian informasi yang relevan dengan topik yang diteliti dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam kepada informan seperti pejabat Rutan Klas I Jakarta Pusat yang memahami permasalahan yang sedang diteliti ataupun informan seperti tahanan dan narapidana yang mengalami layanan kesehatan HIV dan AIDS di Rutan Klas I Jakarta Pusat. Dari hasil temuan lapangan dapat disimpulkan bahwa Implementasi Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS di Rutan Klas I Jakarta Pusat saat ini masih belum dapat dilaksanakan secara optimal yaitu belum terbentuknya komunikasi yang efektif antara pelaksana program yaitu petugas dengan para warga binaan, keterbatasan sumberdaya manusia yang bekerja di poliklinik Rutan baik kuantitas yaitu jumlah petugas yang minim dan kualitas yaitu belum terlatihnya petugas poliklinik dalam penanggulangan HIV-AIDS secara konfrehensif, belum terbentuknya disposisi yang kuat dalam bentuk sikap dan komitmen yang tinggi diantara petugas dalam melakukan pelayanan penanggulangan HIV-AIDS, belum adanya struktur birokrasi yang berwenang mengenai jabatan khusus yang membidangi pelayanan penanggulangan HIV-AIDS. Berdasarkan temuan dan analisis disarankan kepada Rutan Klas I Jakarta Pusat perlu Peningkatan komunikasi yang efektif antara pelaksana program yaitu petugas dengan para warga binaan, Peningkatan sumberdaya manusia yang bekerja di poliklinik Rutan baik kuantitas yaitu jumlah petugas dan kualitas yaitu mengadakan pelatihan dan pendidikan, Meningkatkan sikap dan komitmen yang tinggi diantara petugas dalam melakukan pelayanan, Membentuk struktur birokrasi yang berwenang mengenai jabatan khusus yang membidangi pelayanan penanggulangan HIV-AIDS ......The implementation of the National Action Plan for HIV and AIDS countermeasures focuses in prisons in the Class I State Prison in Central Jakarta. The use of George C. Edward III implementation model for the implementation of the National Action Plan for HIV and AIDS in the Class I State Prison in Central Jakarta, Overview of the National Action Plan for program achievement HIV-AIDS in terms of health care for inmates in correctional detention Class I Central-Jakarta. Approach to research conducted through qualitative research methods. Extracting information relevant to the subject under study is done through the study of literature and in-depth interviews to the informant as detention officers in the Central Jakarta Class I understand the issue being studied or informants such as prisoners and prisoners who have HIV and AIDS health services.. From the results it can be concluded that the findings of the field implementation of the National Action Plan on HIV and AIDS in Central Jakarta is still yet to be implemented optimally is not the formation of effective communication between the program managers are officers with the prisoners, limited human resources that work the clinic Rutan both quantity is minimal and the number of officers who are not well trained quality personnel polyclinic in HIV - AIDS in konfrehensif , the lack of a strong disposition in the form of attitude and commitment among workers in the services, HIV - AIDS , the lack of structure bureaucracy in charge of the office in charge of special services to combat HIV - AIDS . Based on the findings and analysis suggested to the detention center in Central Jakarta need Improved effective communication between the program managers are officers with the prisoners, Improvement of human resources working in the clinic Rutan both quantity and quality, namely the number of officers that conduct training and education , Improve posture and high commitment among workers in the services, Forming a bureaucratic structure which authorized a special office in charge of the response to HIV and AIDS services
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Rachma Gullianne
Abstrak :
Tujuan: Mengetahui hubungan antara polimorfisme gen Myosin 1H dan P561T dengan pertumbuhan dan perkembangan mandibula pada kasus maloklusi kelas I, II dan III. Metode penelitian: Subjek merupakan pasien dengan dengan kasus maloklusi skeletal kelas I, II dan III berusia 17 - 45 tahun yang sedang dan akan melakukan perawatan ortodonti di klinik ortodonti RSGM-FKGUI, yaitu 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas I sebagai kontrol, 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas II dan 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas III. Penentuan maloklusi kelas I, II dan III berdasarkan analisis radiografis sefalometri awal dengan metode Stainer. Sampel DNA diekstraksi dari potongan kuku dan folikel rambut pada kasus maloklusi skeletal kelas III dan menggunakan sampel yang sudah diekstraksi dari usapan bukal dan sel darah pada pada kasus maloklusi skeletal kelas I dan II. Amplifikasi sekuens DNA dilakukan dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). Analisis Polimorfisme Genetik gen Myosin 1H dan P561T dengan teknik RLFP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Pearson Chi-Square dilakukan untuk menganalisis hubungan antara polimorfisme dan pengukuran kraniofasial pada gen Myosin 1H dan Fisher Exact Test untuk menganalisis hubungan antara polimorfisme dan pengukuran kraniofasial pada gen P561T. Hasil: Terdapat hubungan polimorfisme gen Myosin 1H dengan maloklusi skeletal kelas I, II dan III. Tidak terdapat hubungan polimorfisme gen P561T dengan maloklusi skeletal kelas I, II dan III. Kesimpulan: Polimorfisme gen Myosin 1H merupakan salah satu faktor resiko dari maloklusi kelas I, kelas II dan kelas III. Ekstraksi DNA dari folikel rambut memberikan hasil yang cukup baik dalam hal kualitas DNA dan cara pengambilan sampel yang relatif lebih mudah dibandingkan purifikasi sel darah dan usapan bukal. ......Objectives: To determine the relationship between polymorphisms of Myosin 1H and P561T genes and the growth and development of the mandible in Class I, II, and III malocclusion cases. Methods: Subjects were patients aged 17-45 years old with Class I, II, and III skeletal malocclusion cases who were undergoing and/ or would undergo orthodontic treatment at the orthodontic clinic at RSGM-FKG UI, namely 50 people with Class I skeletal malocclusion, 50 people with Class II skeletal malocclusion, and 50 people with Class III skeletal malocclusion. Class I skeletal malocclusion was used as control group. Class I, II and III malocclusion were determined based on radiographic analysis of the initial cephalometry using the Stainer method. DNA samples were extracted from buccal swabs and blood cells in Class I and II malocclusion while nail clippings and hair follicles extracts were used in Class III malocclusion. DNA sequence amplification was carried out using the PCR (Polymerase Chain Reaction), while Genetic Polymorphism Analysis of Myosin 1H and P561T genes was performed with RLFP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Pearson Chi-Square was used to analyze the relationship between polymorphism and craniofacial measurements in the Myosin 1H gene, while the Fisher Exact Test was used to analyze the relationship between polymorphism and craniofacial measurements in the P561T gene. Results: There is a relationship between Myosin 1H gene polymorphism and Class I, II, and III skeletal malocclusion. There was no correlation between P561T gene polymorphism and Class I, II, and III skeletal malocclusion. Conclusions: Myosin 1H gene polymorphism is one of the risk factors for Class I, II, and III malocclusion. Extraction of DNA from hair follicles gave good results in terms of DNA quality and was a relatively easier sampling method compared to blood cell purification and buccal swabs.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library