Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gultom, Ferry P.
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian :
Talasemia adalah kelainan genetik yang diturunkan secara resesif dari orang tua kepada anaknya. Penyakit ini ditandai antara lain oleh kelainan darah berupa anemia, yang disebabkan oleh umur sel darah merah yang lebih singkat dari normal. Ini terkait dengan penurunan kelenturan membran sel darah merah sehingga mengurangi kemampuan deformabilitas yang diperlukan agar dapat melalui pembuluh darah kapiler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelainan sel darah merah talasemia ditinjau dari aktivitas enzim Ca2+-ATPase yang terdapat pada membran. Aktivitas enzim ini diukur dengan metode Fiske Subarrow, yaitu berdasarkan konsentrasi fosfat yang terbentuk sebagai hasil hidrolisis ATP. Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm. Penetapan aktivitas enzim Ca2+-ATPase dilakukan pada 21 sampel sel darah merah talasemia dan 21 sampel sel darah merah normal.
Hasil dan Kesimpulan :
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, aktivitas enzim Ca2+-ATPase pada membran sel darah merah talasemia lebih tinggi dari pada membran sel darah normal yaitu 0,195 + 0,052 μmol Pi / mg prat / jam dibandingkan dengan 0,169 + 0,045 imol Pi / mg prot 1 jam Secara statistik menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05).
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangkuti, Andre Harve
"Kromosom merupakan untai DNA yang mengalami penebalan akibat kondensasi. Kondensasi struktur kromosom sangat mempengaruhi segregasi kromosom saat fase mitotik. Penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa kondensasi kromosom sel HeLa dipengaruhi oleh ion kalsium ( ), namun pengaruh Ca2+ pada kromosom manusia normal belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terhadap struktur kromosom limfosit manusia dengan pemberian 1 mM 1, 2-bis(2-aminophenoxy)ethane-N-N,N’,N’-tetraacetic acid (BAPTA, chelator Ca2+), 1 mM ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA, chelator kation), dan PBS (kontrol) yang diamati menggunakan mikroskop cahaya. Sampel darah dikultur selama 72 jam, kemudian kromosom limfosit diisolasi dan diberi perlakuan 1 mM BAPTA, 1 mM EDTA, dan PBS. Kromosom diwarnai dengan Giemsa dan diamati dengan mikroskop cahaya. Hasil yang diperoleh menunjukkan struktur kromosom kontrol lebih pendek, padat, serta memiliki intensitas pewarna yang pekat dibandingkan dengan kromosom yang diberi perlakuan 1 mM BAPTA dan 1 mM EDTA yang memiliki struktur yang lebih panjang, lebih berongga, serta intensitas pewarna yang kurang pekat. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan panjang, lebar, dan luas rata-rata kromosom kontrol sebesar 1,73±0,73 μm, 0,55±0,43 μm, dan 3,5±2,17 μm2, sedangkan panjang, lebar, dan luas rata-rata kromosom yang diberi 1 mM BAPTA sebesar 2,91±1,3 μm, 1,43±0,43 μm, dan 4,17±2,75 μm2. Rata-rata panjang dan lebar kromosom yang diberi 1 mM EDTA sebesar 2,26±0,52 μm dan 0,93±0,29 μm. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa Ca2+ berperan penting dalam kondensasi struktur kromosom limfosit.

The Chromosome is a DNA strand that undergoes thickening due to condensation. Condensation of chromosomal structure affects the segregation of chromosomes during the mitotic phase. Previous studies have reported that chromosomal condensation of HeLa cells is affected by calcium ions (Ca2+). Nevertheless, the effect of Ca2+ on human normal cells has yet to be investigated. This study aims to determine the effect of Ca2+ on the chromosomal structure of human lymphocyte by the treatments of 1 mM 2-bis(2-aminophenoxy)ethane-N-N,N’,N’-tetraacetic acid (BAPTA, a Ca2+ chelator), 1 mM ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA, a cation chelator), and PBS (control), using a light microscope. The blood sample was cultured for 72 hours, followed by lymphocyte chromosomes isolation. After that, the samples were treated with PBS (control), 1 mM BAPTA, and 1 mM EDTA. Chromosomes were then stained with Giemsa and observed using a light microscope. The qualitative analysis showed that control chromosomes have shorter, and more condensed structures with a high dye intensity compared with those treated with 1 mM BAPTA and 1 mM EDTA which showed a longer and fibrous structure with low dye intensity. The quantitative analysis showed that the average length, width, and area of the control chromosome was 1.73±0.73 μm, 0.55±0.2 μm, and 3.5±2.17 μm2, respectively. while those treated with 1 mM BAPTA were 2.91±1.3 μm, 1.43±0.43 μm, and 4.17±2.75 μm2. Then, the average length and width of 1 mM EDTA chromosome was 2.26±0.52 μm and 0.93±0.29 μm. These results showed that Ca2+ plays an important role in the lymphocyte chromosome structure."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Anka Yehezkiel
"Kesadahan pada air merupakan air dengan kandungan ion Ca2+ dan CO3 2- tinggi. Kesadahan menyebabkan pendepositan kerak dan meningkatnya penggunaan deterjen. Sehingga diperlukan cara untuk mengurangi kesadahan air. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya beberapa proses yang dapat mengurangi kesadahan air. Penelitian yang kini dilakukan adalah penurunan kesadahan air dengan proses pengadukan dan magnetisasi. Penelitian dilakukan dengan membuat model air sadah, dan diberi perlakuan khusus untuk mendapat hasil berupa ppm CaCO3. Untuk analisa jumlah endapan, dilakukan titrasi EDTA dengan menghitung jumlah ion Ca2+ yang belum terpresipitasi. Dari penelitian akan didapatkan peningkatan presipitasi CaCO3 seiring peningkatan konsentrasi larutan, jumlah magnet, kecepatan dan waktu pengadukan.

Hardness in the water with a water content of high Ca2+ and CO3 2-. It cause the deposit of crust hardness and increasing use of detergents. So needed a way to reduce water hardness. Several studies have proven the existence of several processes that can reduce water hardness. Research is currently doing is lowering the water hardness with stirring and the magnetization process. The study was conducted by making models of hard water, and given special treatment to get results in the form of ppm CaCO3. To analyze the amount of sediment, EDTA titration performed by counting the number of Ca2+ ions are not precipitated. Of the study will be obtained CaCO3 precipitation increase with increases in the concentration of the solution, the number of magnets, stirring speed and time.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S52577
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nining Handayani
"Latar belakang: Pasien dengan total oosit immatur atau rendah jumlah oosit matur yang diperoleh dari proses ovum pick up OPU pada siklus berulang cenderung tidak dapat ditangani dengan kultur in-vitro atau in vitro maturasi IVM . Sejauh ini, pasien dengan riwayat rendah/kegagalan total maturasi yang kembali mengulang siklus in vitro fertilisasi, hanya ditangani dengan merubah protokol stimulasi untuk merubah respon ovarium dengan hasil yang belum memuaskan. Jalur pensinyalan Ca2 diketahui berperan penting dalam proses maturasi oosit. Karenanya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah modifikasi regulasi Ca2 intraseluler oosit yang tetap immatur paska kultur in-vitro dengan aktivasi A23187 mampu menjadi solusinya. Metode: Oosit immatur dikoleksi dengan metode diseksi ovarium dan dilanjutkan kultur maturasi secara grup selama 20-24 jam berdasarkan status sel kumulus dengan atau tanpa sel kumulus . Oosit yang tetap immatur paska kultur maturasi, dibagi secara acak kedalam kelompok kontrol dan perlakukan aktivasi dengan CaI A23187 untuk mendorong maturasi. Proses aktivasi dilakukan selama 30 menit, kemudian dilanjutkan kultur maturasi kembali. Setelah 20-24 jam kultur, dilakukan evaluasi maturasi paska aktivasi dengan melihat ekstruksi badan polar I. Untuk memperoleh gambaran perubahan level Ca2 selama proses aktivasi, dilakukan pengukuran intensitas pendaran oosit immatur terlabel pewarna berfluoresen Fura-Red yang mampu berikatan dengan kalsium bebas intrasel menggunakan confocal laser scanning microscope CLSM pada panjang gelombang 405 dan 488nm. Hasil penelitian: Aktivasi oosit immatur dengan CaI A23187 secara bermakna meningkatkan jumlah maturasi dibandingkan dengan kelompok kontrol P
Background Patients with total immature or high number of immatured oocyte obtained from repeated cycles of ovum pick up OPU are unlikely to be treated only with extended in vitro culture or in vitro maturation IVM . As known, patients with high percentage of immature failure history repeating in in vitro fertilization cycle are treated only by changing the stimulation protocol to change the ovarian response with unsatisfactory results. The Ca2 signaling is known to play an important role in oocyte maturation. Therefore, the aim of this study was to determine whether the modification of intracellular Ca2 of oocytes failed to resume meiosis even following subsequent in vitro culture could reach metaphase II after Calcium Ionophore A23187 activation.Method Immature oocytes were collected by ovarian dissection method and continued with group maturation culture for 20 24 hours based on cumulus cell status intact and without cumulus cells . Oocytes shows immature resistant after in vitro culture were randomly allocated to control and treatment groups. Oocyte activation group was exposed to A23187 solution for 30 minutes and then washed extensively. Maturation was evaluated 20 24 hours after CaI A23187 exposure by observing the first polar body extrusion. To identify Ca2 response during activation, Ca2 imaging was conducted using confocal laser scanning microscope CLSM . Oocytes were loaded to 10 M L of the ratiometric Ca2 sensitive dye Fura Red acetoxymethyl AM ester. Fluorescent measurement were made with filter that provided excitation at wavelengths of 405 and 488nm. Result Activation of resistant immature oocytes with CaI A23187 significantly increased number of maturation compared with the control group p"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangkuti, Andre Harve
"Kromosom merupakan untai DNA yang mengalami penebalan akibat kondensasi. Kondensasi struktur kromosom sangat mempengaruhi segregasi kromosom saat fase mitotik. Penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa kondensasi kromosom sel HeLa dipengaruhi oleh ion kalsium (Ca2+), namun pengaruh Ca2+ pada kromosom manusia normal belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terhadap struktur kromosom limfosit manusia dengan pemberian 1 mM 1, 2-bis(2-aminophenoxy)ethane-N-N,N’,N’-tetraacetic acid (BAPTA, chelator Ca2+), 1 mM ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA, chelator kation), dan PBS (kontrol) yang diamati menggunakan mikroskop cahaya. Sampel darah dikultur selama 72 jam, kemudian kromosom limfosit diisolasi dan diberi perlakuan 1 mM BAPTA, 1 mM EDTA, dan PBS. Kromosom diwarnai dengan Giemsa dan diamati dengan mikroskop cahaya. Hasil yang diperoleh menunjukkan struktur kromosom kontrol lebih pendek, padat, serta memiliki intensitas pewarna yang pekat dibandingkan dengan kromosom yang diberi perlakuan 1 mM BAPTA dan 1 mM EDTA yang memiliki struktur yang lebih panjang, lebih berongga, serta intensitas pewarna yang kurang pekat. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan panjang, lebar, dan luas rata-rata kromosom kontrol sebesar 1,73±0,73 μm, 0,55±0,43 μm, dan 3,5±2,17 μm2, sedangkan panjang, lebar, dan luas rata-rata kromosom yang diberi 1 mM BAPTA sebesar 2,91±1,3 μm, 1,43±0,43 μm, dan 4,17±2,75 μm2. Rata-rata panjang dan lebar kromosom yang diberi 1 mM EDTA sebesar 2,26±0,52 μm dan 0,93±0,29 μm. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa Ca2+ berperan penting dalam kondensasi struktur kromosom limfosit.

The Chromosome is a DNA strand that undergoes thickening due to condensation. Condensation of chromosomal structure affects the segregation of chromosomes during the mitotic phase. Previous studies have reported that chromosomal condensation of HeLa cells is affected by calcium ions (Ca2+). Nevertheless, the effect of Ca2+ on human normal cells has yet to be investigated. This study aims to determine the effect of Ca2+ on the chromosomal structure of human lymphocyte by the treatments of 1 mM 2-bis(2-aminophenoxy)ethane-N-N,N’,N’-tetraacetic acid (BAPTA, a Ca2+ chelator), 1 mM ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA, a cation chelator), and PBS (control), using a light microscope. The blood sample was cultured for 72 hours, followed by lymphocyte chromosomes isolation. After that, the samples were treated with PBS (control), 1 mM BAPTA, and 1 mM EDTA. Chromosomes were then stained with Giemsa and observed using a light microscope. The qualitative analysis showed that control chromosomes have shorter, and more condensed structures with a high dye intensity compared with those treated with 1 mM BAPTA and 1 mM EDTA which showed a longer and fibrous structure with low dye intensity. The quantitative analysis showed that the average length, width, and area of the control chromosome was 1.73±0.73 μm, 0.55±0.2 μm, and 3.5±2.17 μm2, respectively. while those treated with 1 mM BAPTA were 2.91±1.3 μm, 1.43±0.43 μm, and 4.17±2.75 μm2. Then, the average length and width of 1 mM EDTA chromosome was 2.26±0.52 μm and 0.93±0.29 μm. These results showed that Ca2+ plays an important role in the lymphocyte chromosome structure."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ersya Widya Prahesti
"Kondensasi kromosom memainkan peran penting dalam pembelahan mitosis. Ion Ca2+ diketahui berperan penting dalam proses kondensasi kromosom. Sejauh ini, studi tentang peran Ca2+ dalam kromosom sel hewan telah dilaporkan melalui penggunaan 1,2-bis (2-aminophenoxyethane-N,N,N′,N-tetraacetic acid) (BAPTA) dan Ethylenediamine-tetraacetic acid (EDTA) sebagai agen pengkelat ion Ca2+. Namun, penelitian tentang peran Ca2+ pada kromosom tanaman masih sangat terbatas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh Ca2+ terhadap kromosom gandum (Triticum aestivum) dengan pemberian 1mM BAPTA sebagai agen pengkelat ion Ca2+, 1mM EDTA sebagai agen pengkelat kation divalen umum, dan phosphate buffered saline (PBS) sebagai kontrol menggunakan mikroskop cahaya. Preparasi kromosom dilakukan dengan cara akar gandum dipotong dan diberi perlakuan colchicine sebelum dilarutkan dalam 2% Paraformaldehyde (PFA). Kemudian diinkubasi dengan 2,5% selulase dan 2,5% enzim pectoliase pada suhu 37℃ selama 1 jam. Sampel kemudian disaring dan disentrifugasi untuk memperoleh sampel yang mengandung kromosom. Sampel kemudian diberi perlakuan dengan 1 mM BAPTA, 1 mM EDTA, dan PBS, dan diwarnai dengan Aceto orcein. Kromosom kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya. Struktur dan kepadatan warna kromosom, serta panjang, lebar dan luas kromosom diamati dan diukur. Hasil pengamatan kualitatif menunjukkan bahwa struktur kromosom pada kontrol lebih rapat dan pendek sedangkan kromosom yang diberi perlakuan 1 mM BAPTA dan 1 mM EDTA mengalami dekondensasi, melebar, dan berwarna pucat. Hasil pengukuran kuantitatif menunjukkan bahwa kromosom Kontrol, BAPTA, dan EDTA masing-masing memiliki panjang 10.763 m, 14.845 m, 17.154 m, lebar 1.570 m, 1.637 m, 1.723 m, dan luas 18.172 m, 24.644 m, 29.687 M. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pengaruh BAPTA dan EDTA terhadap panjang dan luas kromosom berbeda nyata (α < 0,05). Hal ini membuktikan bahwa Ca2+ memiliki peran penting dalam menjaga struktur kromosom gandum.

Chromosomal condensation plays an important role in the mitotic division. Ca2+ ions are known to play an important role in the chromosome condensation process. So far, studies on the role of Ca2+ in animal cell chromosomes have been reported using 1,2-bis (2-amino phenoxy ethane N, N, N′, N-tetraacetic acid) (BAPTA) and Ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) as Ca2+ ions chelating agents. However, research on the role of Ca2+ on plant chromosomes is still very limited. This study was conducted to determine the effect of Ca2+ on wheat chromosomes (Triticum aestivum) by administering 1mM BAPTA as a Ca2+ ion chelating agent, 1 mM EDTA as a general divalent cation chelating agent, and phosphate-buffered saline (PBS) as a control using a light microscope. For chromosome preparation, the root tips of wheat were cut and pretreated with colchicine before being dissolved in 2% Paraformaldehyde (PFA). The roots were then incubated with 2.5% cellulase and 2.5% pectoliase enzyme at 37℃ for 1hour. The sample is then filtered and centrifuged to obtain a sample containing chromosomes. Samples were then treated with 1 mM BAPTA, 1 mM EDTA, and PBS and stained with Aceto orcein. Chromosomes were then observed under a light microscope. The structure and color density of the chromosomes were observed. The length, width, and area of the chromosomes were also measured. The qualitative observations showed that the chromosome structure in control was denser and shorter while the chromosomes treated with 1 mM BAPTA and 1 mM EDTA were decondensed, widened, and had pale color. The quantitative measurement showed that length, width, and area of chromosomes for in control, BAPTA, and EDTA were 10.763 m, 14.845 m, 17.154 m; 1.570 m, 1.637 m, 1.723 m; and 18.172 m, 24.644 m, 29.687 M respectively. The statistical results showed that the effect of BAPTA and EDTA on the length and area of chromosomes were significantly different (α < 0.05). This result proves that Ca2+ has a vital role in maintaining the chromosomal structure of wheat."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfin Alexander
"Ion kalsium (Ca2+) merupakan kation yang berperan dalam kondensasi kromosom. Berbagai penelitian mengenai pengaruh Ca2+ terhadap struktur kromosom telah dilaporkan. Akan tetapi, penelitian-penelitian tersebut masih terbatas pada galur sel kanker atau sel hewan mamalia dengan pendekatan analisis ultrastruktur. Pengaruh Ca2+ terhadap struktur dan pola banding kromosom pada sel manusia non-kanker belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Ca2+ terhadap struktur dan pola banding kromosom dari sel darah manusia melalui teknik GTL-banding. Sel darah manusia dikultur, kemudian dilakukan pemanenan kromosom dan banding menggunakan pewarna Leishman. Pengaruh Ca2+ dievaluasi dengan menginkubasikan kromosom pada dua larutan berbeda, yaitu larutan 1 mM BAPTA sebagai chelator spesifik Ca2+ dan 1 mM EDTA sebagai chelator kation, dan dibandingkan dengan kontrol. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan mengamati struktur dan pola banding kromosom, serta secara kuantitatif dengan menentukan nilai kromosom berdasarkan kriteria Quality Assessment (QA) dari International System for Human Cytogenetics Nomenclature (ISCN). Hasil yang diperoleh menunjukkan kromosom kelompok perlakuan 1 mM BAPTA memiliki struktur tidak padat, membentuk struktur fibrous, dan berukuran lebih lebar dibandingkan kromosom kontrol dengan pola banding tidak jelas dan kabur. Kromosom kelompok perlakuan 1 mM EDTA membentuk struktur tidak padat dan berukuran lebih panjang dibandingkan kelompok kontrol. Rata-rata nilai kromosom pada kelompok kontrol, BAPTA, dan EDTA berturut-turut adalah 4,467 ± 0,78; 4,30 ± 0,75; dan 4,467 ± 0,86. Perbedaan struktur kromosom, pola banding, dan rata-rata nilai kromosom pada kromosom 1 mM BAPTA dan 1 mM EDTA menunjukkan bahwa kation Ca2+ merupakan faktor penting dalam kondensasi struktur kromosom.

Calcium ion (Ca2+) is a cation that has a major role in chromosome condensation. Studies about Ca2+ effect in chromosome structure have been reported. However, the studies are limited for cancer cell lines using the ultrastructure analysis approach. The effect of Ca2+ on chromosome structure and banding pattern of the human non-cancer cell line is still unknown. This study aims to determine the effect of Ca2+ on human blood cell chromosome structure and banding pattern using the GTL-banding technique. The blood cell was cultured and then the chromosome was harvested and banded with Leishman dye. The Ca2+ effect was evaluated by using 1 mM BAPTA as Ca2+ specific chelator and 1 mM EDTA as common cation chelator and then compared with the control. The data were then analysis both qualitatively by observing chromosome structure and banding pattern, as well as quantitatively by determining chromosome value based on Quality Assessment (QA) from International System for Human Cytogenetics Nomenclature (ISCN). The result showed that the BAPTA-treated chromosome structure was fuzzy, fibrous, and wider than the control group with a less clear banding pattern than the control. In addition, EDTA-treated chromosome structure was less condensed and longer than those of the control. The mean chromosome value of control, BAPTA-, and EDTA-treated chromosome are 4.467 ± 0.78; 4.30 ± 0.75; and 4.467 ± 0.86. Distinct characteristic of chromosome structure, banding pattern, and mean of chromosome value from BAPTA- and EDTA-treated chromosome further indicates that Ca2+ plays an important role in chromosome condensation."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Purwanto
"Ion Ca2+ merupakan sumber kesadahan dalam air. Kesadahan air mengakibatkan sabun sukar untuk membuih sehingga pakaian sulit untuk menjadi bersih. Kesadahan juga mengakibatkan timbulnya kerak dalam ketel. Kerak ini akan menghalangi transfer panas yang pada akhirnya akan memboroskan bahan bakar. Karena itulah ion Ca2+ harus dikurangi hingga ambang batas yang telah ditetapkan Departemen Kesehatan yaitu maksimal 500 ppm.
Pada penelitlan ini digunakan zeolit alam Lampung sebagai adsorben untuk menyerap ion Ca2+. Ukuran zeolit yang digunakan adalah 20-10 mesh dan 30-20 mesh. Sebelum digunakan zeolit terlebih dahulu direndam dalam larutan NH4Cl 1,5M selama 50 jam. Selanjutnya dipanaskan dalam tungku dengan suhu 200°C selama lebih kurang 2 jam. Pemanasan ini akan melepaskan NH dan terbentuk H-zeolit. H-zeolit digunakan sebagai unggun dalam tangki filtrasi dengan variasi tinggi 5 cm, 7,5 cm, dan 10 cm.
Tangki filtrasi yang digunakan terbuat dari kaleng cat yang berdiameter 28,5 cm dan tinggi 37,5 cm. Air baku yang telah dimasukkan garam CaCl2 masuk melalui bagian bawah tangki filtrasi dan keluar melalui saluran keluar di bagian atas tangki. Lamanya waktu sejak keran masuk dibuka hingga air filtrat keluar pertama kali kurang lebih 20 menit. Menit tersebut adalah menit ke-0. Sampel diambil setiap 1 menit kemudian diuji dengan AAS di laboratorium AAS di Jurusan Fisika FMIPA UI.
Dari hasi pengujian dengan AAS, diperoleh grafik konsentrasi ion Ca2+ terhadap waktu. Grafik tidak menunjukkan kondisi ideal adsorpsi di mana pada grafik hasil pengujian konsentrasi ion Ca2+ dalam effluent terlihat fluktuatif. Idealnya pada beberapa waktu pertama konsentrasi ion Ca2+ dalam effluent relatif konstan dalam jumlah di bawah konsentrasi awal. Kemudian setelah adsorben mulai jenuh, konsentrasi ion Ca2+ mulai naik mencapai konsentrasi awal. Kemungkinan hal ini disebabkan adanya ion-ion lain sehingga terjadi interferensi dalam embacaan AAS dan adanya ion Ca2+ dalam zeolit yang ikut terlepas masuk dalam filtrat.
Namun secara garis besar H-zeolit dengan ukuran 30-20 mesh jelas memiliki luas permukaan lebih besar daripada yang berukuran 20-10 mesh. H-zeolit dengan ukuran 30-20 mesh mampu menurunkan konsentrasi ion Ca2+ dalam effluent dengan lebih baik. Hingga menit ke-60, unggun zeolit dengan tinggi 5 cm bisa menurunkan sampai 689 ppm, ketinggian 7,5 cm bisa menurunkan sampai 496 ppm, dan ketinggian 10 cm bisa mengurangi sampai 522 ppm. Konsentrasi ion Ca2+ dalam effluent cenderung terus turun. Jika waktu operasi diperpanjang kemungkinan konsentrasi ion Ca2+ dalam effluent bisa mencapai ambang batas yang telah ditetapkan yaitu sebesar 500 ppm bahkan bisa kurang dari itu.
Sedangkan zeolit alam Lampung ukuran 20-10 mesh dengan tinggi unggun 5 cm hanya mampu mengadsorp sampai menit ke-40 saja (kandungan ion Ca2+ dalam effluent berkurang hingga 634 ppm), ketinggian unggun 7,5 cm bisa mengadsorp sampai menit ke-50 (kandungan ion Ca2+ dalam effluent berkurang hingga 574 ppm), dan ketinggian unggun 10 cm bisa mengadsorp juga sampai menit ke-50 (kandungan ion Ca2+ dalam effluent berkurang hingga 412 ppm)."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
S50844
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusnita La Goa
"ABSTRAK
Acanthaster planci (A.planci) merupakan pemangsa karang yang sangat
berbahaya, yang dapat mengganggu ekosistem terumbu karang jika terjadi peledakan populasi. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian populasi A.planci. Duri A.planci menghasilkan racun yang menggandung fosfolipase-A2 (PLA2) (Shiomi et al., 1998) yang dapat digunakan sebagai anti bakteri, anti virus, anti koagulan dan membantu metabolisme lipid. Sehingga racun tersebut dapat dimanfaatkan untuk bidang kedokteran dan farmasi. Pemanfaatan racun duri A.planci dapat menjadi solusi bagi pengendalian populasinya. Pada penelitian ini isolasi PLA2 dilakukan sesuai dengan metode Savitri et al., 2011 dan modifikasi metode Savitri et al., 2011 yaitu tanpa teknik pemanasan crude venom. Hasil isolasi PLA2 dari duri A.planci yang berasal dari perairan Papua dengan metode Savitri diperoleh aktifitas spesifik PLA2 menurun karena adanya teknik pemanasan crude venom. Hasil isolasi dengan modifikasi metode Savitri diperoleh pada fraksionasi 20% amonium sulfat memiliki aktifitas spesifik 26,67
unit/mg protein dan tingkat kemurnian 37 kali dari aktifitas spesifik crude venom. Uji kation sebagai kofaktor terhadap aktifitas spesifik diperoleh PLA2 yang dihasilkan adalah PLA2 Ca2+ independent.

ABSTRACT
Acanthaster planci is an extremely dangerous corallivores, especially its
dramatic outbreak that disrupt the ecosystem of coral reefs. Therefore necessary to control A.planci population. A.planci spines venom contain phospholiphase- A2 (Shiomi et al., 1998), that can be used as an antibacterial, antiviral, anticoagulant and help lipid metabolism. So that venom can be used for medical and pharmaceutical fields. Utilization of A. planci spines venom can be a solution
for population control A.planci. In this study, the isolation of PL A2 is in accordance with the method of Savitri et al, 2011 and modification of Savitri method which is without heating of crude venom. Specific activity of PL A2 from
Papua's A.planci spines venom which is isolation process with method of Savitri et al., 2011 is decrease because heating technique. Result of isolation PL A2 with modification of Savitri method obtain in 20% ammonium sulfate fractination with specific activity 26,67 units/mg of protein and purity factor 37 times of crude
venom. Assay of the influence cation as a cofactor againts specific activity of PLA2 obtain Ca2 + independent characteristic."
2011
T29933
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Manggiasih Dwiayu Larasati
"LATAR BELAKANG: Salah satu tata laksana infertilitas adalah inseminasi intra uterin IIU yang menggunakan spermatozoa hasil pencucian. Ada dua metode pencucian spermatozoa yang umum digunakan yaitu swim-up SU dan density-gradient centrifugation DGC. Tingkat keunggulan metode pencucian spermatozoa terletak pada persentase spermatozoa motil yang dihasilkan. Gangguan motilitas spermatozoa dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan transport ion pada spermatozoa. Keseimbangan transpor ion untuk memelihara homeostasis spermatozoa dimediasi oleh enzim ATPase, diantaranya adalah Na ,K -ATPase dan Ca2 -ATPase. Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa isoform Na ,K -ATPase ?4 dan PMCA4 berperan penting pada motilitas spermatozoa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kembali efisiensi metode SU dan DGC dalam menghasilkan spermatozoa motil berdasarkan aktivitas spesifik Na ,K -ATPase dan Ca2 -ATPase beserta isoformnya.
METODE: Pada sampel dilakukan analisis semen, isolasi sel spermatozoa, isolasi protein dan preparasi fraksi membran. Analisis semen dilakukan berdasarkan rujukan dari WHO 2010 , sebelum dan setelah pencucian spermatozoa dengan metode DGC dan SU. Aktivitas enzim diukur berdasarkan kemampuan ATPase melepaskan fosfat organik dari ATP. Deteksi protein Na ,K -ATPase ?4 dan PMCA4 dilakukan dengan metode western blot, sedangkan distribusi proteinnya digunakan metode imunositokimia.
HASIL: Terjadi peningkatan rerata konsentrasi, motilitas, morfologi dan kecepatan spermatozoa antara kelompok sebelum dan setelah DGC serta antara sebelum dan setelah SU. Demikian halnya dengan hasil aktivitas spesifik Na ,K -ATPase dan Ca2 -ATPase juga mengalami peningkatan bila dibandingkan antara kelompok sebelum dan setelah pencucian. Terdapat perbedaan bermakna terhadap aktivitas spesifik Na ,K -ATPase pada kelompok sebelum dan setelah DGC serta antara sebelum dan setelah SU. Selain itu, aktivitas spesifik Ca2 -ATPase berbeda tidak bermakna antara sebelum dan setelah DGC dan antara sebelum dan setelah SU. Distribusi protein Na ,K -ATPase ?4 dan PMCA4 tidak mengalami perubahan setelah dilakukan pencucian dengan DGC maupun SU.
KESIMPULAN: Aktivitas Na ,K -ATPase dan Ca2 -ATPase yang diperlukan untuk mendukung homeostasis sel spermatozoa meningkat setelah dilakukan pencucian dengan metode DGC dan SU sehingga spermatozoa mempunyai kemampuan motilitas yang lebih baik.

BACKGROUND: One of the management of infertility is Intra Uterine Insemination IIU by using sperm preparation. There are two methods of sperm preparation that commonly used swim up and density gradient centrifugation. The superiority of sperm preparation method based on the percentage of motile spermatozoa produced. The disorder of sperm motility may caused by the imbalance of ions transport on sperm. The balance of ionic transport to maintain spermatozoa homeostasis is mediated by ATPase, such as Na .K ATPase and Ca2 ATPase enzym. Study has shown that 4 Na ,K ATPase and PMCA4 isoform plays an important role in the sperm motility. Therefore, this study was aimed to evaluate the efficiency of SU and DGC methods in selecting spermatozoa based on the Na ,K ATPase and Ca2 ATPase activity and the isoforms as well.
METHODS: The semen analysis, spermatozoa isolation, protein isolation and membrane fraction preparation were performed. The study analysis was conducted based on WHO 2010, before and after SU and DGC sperm preparation. Enzyme activity was measured by ATPase 39 s ability to release organic phosphate from ATP. The expression of Na ,K ATPase 4 and PMCA4 was done by western blot method, while the protein distribution was used immunocytochemistry method.
RESULT: There was an increase of concentration, motility, morphology and velocity of spermatozoa between normozoospermia group before and after DGC and between before and after SU. Similarly, the specific activity of Na ,K ATPase and Ca2 ATPase also increased when compared to before and after washing. There were significant differences in the specific activity of Na ,K ATPase in the normozoospermia group before and after DGC and between before and after SU. In contrast, the specific activity of Ca2 ATPase not significantly different between before and after DGC and between before and after SU methods. Distribution of Na ,K ATPase 4 and PMCA4 did not change after washing with DGC or SU methods.
CONCLUSIONS: Specific activities of Na ,K ATPase and Ca2 ATPase are needed to support ion homeostasis, so that spermatozoa have better motility abilities after being prepared with DGC and SU methods.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>