Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 46 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suhendiwijaya
Abstrak :
Perjalanan klinis IMA yang berupa kejadian kardiak seperti gagal jantung, angina paska infark, aritmi ventrikel dan kematian, dilaporkan cukup tinggi, termasuk yang dilaporkan di RSJHK. Banyak petanda-petanda laboratorium untuk mendeteksi dini terhadap komplikasi dari perjalanan klinis IMA diperiksa sebagai petanda prognostik. Kini ada beberapa peneliti menghubungkan petanda proses inflamasi sebagai nilai prognostik, karena mereka mempunyai pendapat bahwa patologi dari sindroma koroner akut termasuk infark miokard akut merupakan respons inflamasi dari suatu cidera sel. Akibat cidera sel ini tubuh memberikan respon sistemik dengan mengeluarkan protein-protein fase akut Dari protein-protein fase akut yang dikeluarkan tubuh yang paling terbanyak dan sensitif adalah CRP. Tujuan penelitian iní untuk mengetahui nilai CRP penderita IMA pada saat masuk di unit gawat darurat dan mengetahui hubungan peningkatan nilai CRP awal pada infark miokard akut terhadap perjalanan klinis selama perawatan rumahsakit, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai faktor prognosis terhadap perjalanan klinis IMA. Penelitian ini dikerjakan di RSJHK secara studi cross sectional terhadap 31 penderita IMA yang masuk ke unit gawat darurat berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Pemeriksaan nilai CRP dengan menggunakan metode turbidimetri alat Hitachi/BM 911, dengan nilai normal CRP < 0,5 mg/dl (Standard Internasional). Hasil penelitian didapatkan umur rerata penderita 53,2 8,64 tahun, dengan kelompok kelamin laki-laki 27 orang (87,1 %) dan perempuan 4 orang (12,9 %) dengan onset sakit dada 4,2 ± 2,7 jam. Diagnosa infark anterior 22 orang (71 %) dan diagnosa infark inferior 9 orang (29 %). Didapatkan rerata nilai CRP awal 0,7 ±0,79 mg/dl, CRPjam ke 12 rerata 1,7 ±2, 15 mg/dl dan CRP jam ke 72 rerata 6,8 ± 5,65 mg/dl. Terdapat korelasi yang kuat antara peningkatan nilai CRP awal dengan komplikasi klinis IMA (r-0,6; p-0,0004). CRP jam ke 12 dan jam ke 72 mempunyai korelasi lemah (masing-masing r0,4;p-0,03 dan r0,4; p-0,006) terhadap komplikasi klinis. Peningkatan nilai CRP mempunyai korelasi linier positif terhadap nilai puncak enzim jantung. Peningkatan nilai CRP awal mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CK/CKMB puncak (P<0,05) dan berkorelasi positif sedang (r-0,5) Demikian juga dengan nilai CRP ke 72 (CRP puncak) mempunyai hubungan linier positif dengan enzim CK puncak dan CKMB puncak. Komplikasi klinis IMA seperti gagal jantung mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CRP awal yang meningkat (87,5% vs 12,5%; p-0,009) dibandingkan nilai CRP awal normal, demikian juga dengan angina paska IMA berbeda bermakna antara nilai CRP yang meningkat dengan nilai CRP normal (85,7% vs 14,3%; p-0,02). Nilai CRP awal yang meningkat mempunyai rasio odd 30,8 (IK 95%: 3,1-303,4) terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit. Kesimpulan: Peningkatan nilai CRP pada saat masuk rumahsakit mempunyai hubungan terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit dan nilai CRP mempunyai nilai prognostik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chrispian Oktafbipian Mamudi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Angka mortalitas ARDS khususnya di RSCM masih tinggi, sebesar 75,3%. Prokalsitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP) bisa dipakai sebagai prediktor mortalitas pada ARDS. Saat ini belum didapatkan penelitian yang fokus pada peran PCT dan CRP sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS di Indonesia. Tujuan: Mengetahui peran PCT dan CRP sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS di RSCM. Metode: Penelitian ini menggunakan disain kohort prospektif yang dilakukan secara konsekutif pada pasien ARDS di RSCM pada November 2015-Januari 2016. Hasil: Dari 66 pasien ARDS, 40 (60,61%) meninggal dan 26 (39,39%) hidup. Uji normalitas PCT dan CRP didapatkan distribusi dari data-data tersebut tidak normal. Dengan uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan p<0,05. Median PCT pada yang meninggal sebesar 4,18 (0,08-343,0) dibandingkan yang hidup sebesar 3,01 (0,11-252,30) p=0,390, AUC 0,563 (IK 95% 0,423-0,703). Median CRP pada yang meninggal sebesar 130,85 (9,20-627,78) dibandingkan yang hidup sebesar 111,60 (0,10-623,77) p=0,408, AUC 0,561 (IK 95% 0,415-0,706). Simpulan: Pemeriksaan PCT dan CRP hari pertama pada penelitian ini belum dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS.
Bandung : Interna Publishing (Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam), 2019
CHEST 6:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Indira Kemalasari
Abstrak :
atar Belakang: Balans energi positif pada obesitas ditandai dengan hiperadipositosis dan merangsang proses inflamasi kronik yang berdampak pada komplikasi penyakit pasien obesitas. Salah satu penatalaksaan obesitas adalah pemberian diet restriksi kalori. Diet restriksi kalori diduga menyebabkan penurunan kondisi inflamasi kronik yang salah satunya ditandai dengan kadar c-reactive protein (CRP). Namun demikian, berbagai studi memberikan hasil yang inkonsisten. Tujuan: Menilai efek diet restriksi kalori terhadap perubahan kadar CRP dan menilai pengaruh durasi diet tertentu terhadap perubahan kadar CRP pasien obesitas. Sumber Data: Pencarian utama dilakukan pada basis data PubMed, ProQuest, EBSCOhost, Embase dan Scopus hingga 30 Oktober 2020. Pencarian sekunder juga dilakukan secara snowballing, Google Scholar, Global Index Medicus, portal basis data nasional, dan perpustakaan digital 40 universitas di Indonesia. Seleksi Studi: Studi uji klinis acak melibatkan pasien dewasa obes yang menilai efek diet restriksi kalori (tanpa mengkombinasikan dengan terapi nondiet lain) terhadap kadar CRP. Tidak ada batasan tahun publikasi dan bahasa. Penilaian terhadap judul, abstrak dan studi dilakukan oleh dua peninjau independen. Dari 2087 artikel, 11 studi diantaranya memenuhi kriteria eligibilitas. Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh kedua peninjau. Korespondensi dilakukan dengan menghubungi peneliti dan tidak didapatkan adanya data tambahan. Hasil: Diet restriksi kalori memiliki efek terhadap penurunan kadar CRP pada pasien obesitas dengan nilai Mean Difference -0.22 (IK 95% -0.40 - -0.04, p 0.006). Intervensi restriksi diet ≤ 12 minggu tidak menunjukkan penurunan bermakna pada kadar CRP, sedangkan intervensi restriksi diet > 12 minggu menunjukkan penurunan bermakna pada kadar CRP. Kesimpulan Diet restriksi kalori memiliki efek menurunkan kadar CRP pada pasien obesitas. ......Background: Positive energy balance in obesity is characterized by hyperadipocytosis, which stimulates chronic inflammatory processes in obese patients. Management of obesity includes a calorie restriction diet thought to improve chronic inflammatory conditions, characterized by reduced c-reactive protein (CRP). However, studies have yielded inconsistent results. Objective: To assess the effect of a calorie-restricted diet on changes in CRP levels and the duration of a particular diet that is significant for its effect on changes in CRP levels in obese patients Data Source: We searched PubMed, ProQuest, EBSCOhost, Embase and Scopus through October 30,2020. Secondary searching was done by snowballing method including references of qualifying articles and manual searching through google scholar, global index medicus, national databases, and digital library of 40 universities in Indonesia Study Selection: A randomized controlled trial involving obese adult patients assessed the effect of a calorie-restricted diet (without combination with other nondiet therapy) on CRP levels. No restriction regarding year of publication and language. Titles, abstracts, and articles were reviewed by two independent reviewer. Of the 2087 studies identified in our original search, 11 of them met the eligibility criteria. Data Extraction: Data extraction was done by two reviewers. Correspondence was done by contacting the authors to confirm additional data. No additional data was obtained Result: The calorie restriction diet has an effect on reducing CRP levels in obese patients with a Mean Difference value of -0.22 (95% CI -0.40 - -0.04, p 0.006). Dietary restriction interventions ≤ 12 weeks did not show a significant decrease in CRP levels, while dietary restriction interventions > 12 weeks showed a significant decrease in CRP levels Conclusion: A calorie restriction diet has the effect of lowering CRP levels in obese patients
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irman
Abstrak :
Pendahuluan: COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2. Gejala klinis COVID-19 yang paling sering dialami adalah demam dan batuk. Infeksi SARS-CoV-2 ke dalam tubuh pejamu akan menimbulkan respon imun dari pejamu yang akan menyebabkan terjadinya inflamasi sistemik. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan berbagai penanda inflamasi, salah satunya adalah C-Reactive Protein (CRP). Saat ini belum ada terapi spesifik yang efektif untuk mengatasi COVID-19. Akupunktur yang merupakan modalitas terapi non-farmakologi yang telah terbukti dapat memberikan efek anti-inflamasi. Saat ini belum ada penelitian uji klinis akupunktur yang meneliti penanda inflamasi terhadap pasien COVID-19 yang telah dipublikasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana efektivitas akupunktur dalam menurunkan kadar CRP dan memperbaiki gejala batuk yang dialami pasien COVID-19 gejala ringan-sedang. Metode: Sebuah penelitian pilot dengan desain studi uji klinis acak tersamar tunggal. Dua puluh dua pasien COVID-19 terkonfirmasi melalui pemeriksaan RT-PCR yang memiliki gejala ringan-sedang yang sedang dirawat inap di rumah sakit dikelompokan dalam dua kelompok: kelompok perlakuan yang mendapat terapi standar dan intervensi akupunktur manual dan kelompok kontrol yang mendapat terapi standar. Intervensi akupunktir manual dilakukan setiap 2 hari dengan total 6 sesi terapi. Sebelum intervensi dilakukan pengukuran kadar CRP dan penentuan onset batuk dan setelah 6 sesi akupunktur dilakukan dilakukan pengukuran kadar CRP dan penentuan periode lama batuk. Hasil: Terjadi penurunan rerata kadar CRP pada kedua kelompok (p=0,397). Penurunan kadar CRP pada kelompok perlakuan lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Gejala batuk lebih singkat pada kelompok perlakuan dibandingkan pada kelompok kontrol dan perbedaan ini bermakna secara statistik (p = 0,01). Kesimpulan: Kombinasi akupunktur manual dan terapi standar menurunkan kadar CRP dan penurunannya lebih besar dibandingkan dengan terapi standar. Namun, penurunan kadar CRP tidak bermakna secara statistik. Dan mempersingkat gejala batuk yang dialami pasien COVID-19 gejala ringan-sedang secara bermakna. ......Introduction: COVID-19 is a disease that caused by infection of SARS-CoV-2. The most common clinical symptoms of COVID-19 are fever and cough. SARS-CoV-2 infection into the host's body will cause an immune response which will cause systemic inflammation. This can be seen from the increase in various inflammatory markers, one of which is C-Reactive Protein (CRP). Currently there is no specific therapy that is effective for curing COVID-19. Acupuncture is a non-pharmacological therapeutic modality that has been shown to provide anti-inflammatory effects. Currently, there are no published studies of acupuncture clinical trials examining inflammatory markers in COVID-19 patients. The purpose of this study was to determine how effective acupuncture in reducing CRP levels and improving cough symptoms experienced by COVID-19 with mild-moderate symptoms patients. Methods: A pilot study with an experimental study design single blind randomized clinical trial. Twenty-two COVID-19 patients confirmed by RT-PCR examination who had mild-moderate symptoms who were being hospitalized were divided into two groups: the treatment group who received standard therapy and manual acupuncture intervention and the control group who received standard therapy. Manual acupuncture intervention was performed every 2 days for a total of 6 therapy sessions. Before the intervention, the CRP level was measured and the onset of the cough was determined and after 6 acupuncture sessions, the CRP level was measured and the period of cough was determined. Results: There was a decrease in the mean of CRP levels in both groups (p = 0.397). The decrease in CRP levels in the treatment group was greater than the control group. Cough symptoms were shorter in the treatment group than in the control group and this difference was statistically significant (p = 0.01). Conclusion: The combination of manual acupuncture and standard therapy reduced CRP levels and the decrease was greater than that of standard therapy. However, the reduction in CRP levels was not statistically significant. And shorten the cough symptoms experienced by mild-moderate COVID-19 patients significantly.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abstrak :
Aterosklerosis sebagai penyebab terjadinya PJK merupakan proses multifaktorial karena banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkannya dengan mekanisme yang saling terkait. Saat ini proses aterosklerosis dianggap sebagai proses inflamasi. Inflamasi terbukti berperan penting pada inisiasi, progresi maupun destabilisasi plak aterosklerosis. High sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) merupakan salah satu petanda inflamasi yang penting pada penyakit jantung koroner (PJK) yang berhubungan dengan tingkat keparahan aterosklerosis, iskemi miokardium dan nekrosis miokardium. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan kadar hs-CRP pada pasien sindroma koroner akut (SKA), PJK kronik dan bukan PJK, serta untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kadar hs-CRP dengan kadar enzim CKMB pada pasien infark miokard akut (IMA). Penelitian bersifat observasional deskriptif dan analitik dengan pendekatan potong lintang. Dilakukan pemeriksaan kadar hs-CRP dengan metode chemiluminescent pada 21 pasien SKA, 20 pasien PJK kronik dan 20 bukan PJK. Didapatkan kadar hs-CRP rerata pada pasien SKA, PJK kronik dan bukan PJK sebesar 8,40 (SD 5,53) mg/l, 2,81 (SD 2,09) mg/l dan 1,07 (SD 0,81) mg/l. Analisis statistik didapatkan perbedaan kadar hs-CRP yang bermakna antara pasien SKA, PJK kronik dan bukan PJK (p 0,000). Kadar hs-CRP mempunyai korelasi positif yang bermakna dengan kadar enzim CKMB pada pasien IMA (p 0,004). Sebagai kesimpulan, kadar hs-CRP pada pasien SKA secara bermakna lebih tinggi dibanding PJK kronik dan bukan PJK. Terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan kadar hs-CRP dengan peningkatan kadar enzim CKMB. (Med J Indones 2004; 13: 102-6)
Coronary heart disease (CHD) due to atherosclerosis is a multifactorial process with multiple interdependent factors. At present time, atherosclerosis is considered to be an inflammatory process. It has been proven that inflammation plays a mayor role in the initiation, progression as well as the destabilitation of the atherosclerosis plaque. High sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) is one of the most important inflammatory marker in CHD and directly related to the extent and severity of atherosclerosis, extent of myocardial ischemia and myocardial necrosis. The purpose of this study is to determine hs-CRP levels in patients with acute coronary syndrome (ACS), chronic CHD and non CHD. And, to determine the correlation between hs-CRP levels and CKMB enzyme level in patients with acute myocardial infarction (AMI). This is a descriptive observational analytic study with cross sectional design. hs-CRP levels were measured by using chemiluminescent method on 21 ACS patients, 20 chronic CHD patients and 20 non CHD patients. The mean hs-CRP level in ACS, chronic CHD and non CHD patients were respectively 8.40 (SD 5.53) mg/l, 2.81 (SD 2.09) mg/l and 1.07 (SD 0.81) mg/l. A statistically significant difference in hs-CRP level was found between ACS, chronic CHD and non CHD (p = 0.000 ). A positive correlation was found between hs-CRP level and CKMB enzyme level in AMI patients (p = 0.004). In conclusion hs-CRP level is consistently higher in patients with ACS compared to patients with chronic CHD and non CHD. A positive correlation was found between the increased level of hs-CRP and CKMB enzyme level. (Med J Indones 2004; 13: 102-6)
Medical Journal of Indonesia, 13 (2) April June 2004: 102-106, 2004
MJIN-13-2-AprilJune2004-102
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Ariane
Abstrak :
Latar Belakang: Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit inflamasi kronik progresif, yang selain menyebabkan peningkatan morbiditas akibat kecacatan sendi, juga menyebabkan peningkatan mortalitas terkait kejadian kardiovaskular. Salah satu prediktor peningkatan risiko mortalitas kardiovaskular adalah kekakuan arteri (KA) lokal. Proses inflamasi pada AR yang dicerminkan oleh derajat aktivitas penyakit berupa disease activity score (DAS) 28, baik yang dinilai dengan c reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED) diduga memiliki hubungan terhadap KA. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui korelasi antara derajat aktivitas penyakit dengan kekakuan arteri pada penderita AR. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada penderita AR yang berobat di poliklinik Reumatologi RSCM dalam periode April-Mei 2014. Dilakukan pengukuran KA lokal dengan USG arteri karotis komunis menggunakan teknik rf-echotracking untuk mendapatkan nilai pulse wave velocity (PWV) serta penilaian DAS 28-CRP dan DAS 28-LED. Data penyerta yang juga dikumpulkan adalah data demografis, durasi dan jenis pengobatan, glukosa darah sewaktu, profil lemak darah, kreatinin, dan faktor risiko tradisional kejadian kardiovaskular. Hasil: Sebanyak 74 subjek diikutsertakan pada penelitian ini, dengan 68 (91,9%) adalah wanita. Rerata nilai KA (PWV) yaitu 7,89 (SB 1,92) m/detik yang termasuk dalam kategori kaku. Rerata nilai DAS 28-CRP 2,46 (SB 0,82) dan DAS 28-LED 3,49 (SB 0,91) yang masing-masing termasuk dalam kelompok aktivitas penyakit rendah dan sedang. Pada analisis bivariat didapatkan korelasi DAS 28-CRP dan DAS 28-LED terhadap KA, masing-masing dengan nilai r = 0,529 (p = 0,001) dan r = 0,493 (p = 0,001). Simpulan: Terdapat korelasi positif sedang yang bermakna antara derajat aktivitas penyakit (DAS 28-CRP dan DAS 28-LED) dengan kekakuan arteri (PWV). ......Background: Rheumatoid arthritis (RA) is a chronic progressive inflammatory disease related to increase in morbidity due to joint deformity and increase in mortality due to cardiovascular event. One of cardiovascular event predictor is local arterial stiffness (AS). Inflammatory process in RA that is reflected on disease activity score (DAS) 28 calculated by c-reactive protein (CRP) and erythrocyte sedimentation rate (ESR) suspect to be related with AS. This study was aimed to find correlation between disease activity score and arterial stiffness in RA patients. Methods: a cross sectional study was conducted in Rheumatology outpatient clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital between April-May 2014. Arterial stiffness was measured by carotid artery ultrasound using echotracking technic to get pulse wave velocity (PWV) value, also DAS 28-CRP and DAS 28-ESR measurement was done in every subject. Others data which also collected in this study are demographic profile, duration and drugs of treatment, random blood glucose, lipid profile, creatinin, and others cardiovascular risk factors. Results: 74 subjects met the inclusion criteria, with 68 (91,9%) are women. Mean of AS (PWV) 7,89 (SD 1,92) m/second, which categorized in stiff artery. Mean of DAS 28-CRP 2,46 (SD 0,82) and DAS 28-ESR 3,49 (SD 0,91), each of them was categorized in low and moderate disease activity. In bivariate analysis we found correlation of DAS 28-CRP and DAS 28 ESR to AS (PWV) r = 0,529 (p= 0,001) and r = 0,493 (p = 0,001). Conclusion: There was positive and significant correlation between disease activity score (DAS 28-CRP and DAS 28-ESR) with arterial stiffness (PWV).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Mayasari
Abstrak :
Latar belakang: Prevalens obesitas pada anak dan remaja di seluruh dunia meningkat secara dramatis. Obesitas pada anak menjadi masalah karena merupakan predisposisi terjadinya obesitas saat dewasa yang berhubungan dengan timbulnya penyakit komorbiditas metabolik. Obesitas ditandai dengan penimbunan jaringan adiposa tubuh secara berlebihan, dan jaringan adiposa tersebut menghasilkan sitokin dan mediator inflamasi yang berperan dalam terjadinya inflamasi subklinis. Tujuan: Untuk mengetahui profil penanda inflamasi subklinis pada anak obes usia 9-12 tahun melalui pemeriksaan sitokin inflamasi (IL-6) dan protein fase akut (CRP dan AGP). Metode: Penelitian deskriptif potong lintang yang dilakukan pada siswa SD yang obes dan non-obes usia 9-12 tahun di Jakarta Selatan yang diizinkan oleh orangtua untuk mengikuti penelitian ini dan bersedia diukur antropometri serta diperiksa laboratorium Interleukin-6 (IL-6), C-reactive protein (CRP), dan alpha-1-acid glycoprotein (AGP). Hasil: Dari 30 anak obes dan 30 anak non-obes didapatkan kadar median IL-6 anak obes lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak non-obes dengan nilai 3,09 (1,16-6,49) vs 1,27 (0,51-3,86), kadar median CRP pada kelompok obes lebih tinggi dibandingkan kelompok non-obes dengan nilai 2,25 (0,4-64) vs 0,2 (<0,2- 2,6) dan kadar rerata AGP kelompok obes lebih tinggi dibandingkan kelompok non-obes dengan nilai rerata 93,13 ± 18,29 vs 71 ± 18,89. Simpulan: Inflamasi subklinis telah terjadi pada anak obes berusia 9-12 tahun. Kadar sitokin inflamasi IL-6 lebih tinggi pada anak obes dibandingkan anak non- obes, kadar protein fase akut CRP lebih tinggi pada anak obes dibandingkan anak non-obes, dan kadar penanda AGP lebih tinggi pada anak obes dibandingkan anak non-obes.
Background: Prevalence of obesity in children and adolescence is dramatically increasing. Obesity in children is an important predisposing factor of adult obesity and correlates with metabolic comorbidities. Obesity is basically an overt body adipose tissue which resulting cytokine and inflammatory mediators. The cytokine and inflammatory mediators play important role in subclinical inflammation. Objective: To describe subclinical inflammatory marker of obese children age 9- 12 years old by examining inflammatory cytokine (Interleukine 6) and acute phase protein (C-reactive protein and Alpha-1-acid glycoprotein). Methods: Cross sectional descriptive study was conducted in elementary school students of obese and non-obese age 9-12 years old in South Jakarta. Antropometric measurements and examination of IL-6, CRP, and AGP were taken from all subjects. Results: Thirty obese and thirty non-obese children were recruited in this study. Obese children showed higher median IL-6 compared to non-obese (3,09 (1,16- 6,49) vs 1,27 (0,51-3,86)), higher median CRP in obese children compared to non-obese (2,25 (0,4-64) vs 0,2 (<0,2-2,6)). Obese children also showed higher mean AGP compared to non-obese (93,13 ± 18,29 vs 71 ± 18,89). Conclusions: Obese children age 9-12 years old have evidence of subclinical inflammation. The subclinical inflammation was based on higher IL-6, CRP, and AGP in obese children compared to non-obese children.
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caecilia Swasti Indrati
Abstrak :
Latar belakang: Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik yang diperantarai sistem imun, dengan etiologi multifaktor. Stres telah diidentifikasi sebagai penyebab maupun faktor eksaserbasi psoriasis. High sensitivity c-reactive protein hs-CRP merupakan penanda sensitif untuk inflamasi. Stres maupun psoriasis dapat meningkatkan kadar hs-CRP serum. Data tingkat stres dan kadar hs-CRP serum pada pasien psoriasis terbatas dan belum ada penelitian mengenai korelasi antara stres dengan kadar hs-CRP serum pasien psoriasis Indonesia. Tujuan: Mengetahui hubungan korelasi antara stres dengan derajat keparahan psoriasis dan high sensitivity c-reactive protein. Metode: Pada studi potong lintang ini, pemilihan sampel dilakukan secara consecutive sampling dengan jumlah sampel 33 pasien. Derajat keparahan psoriasis diukur dengan metode Psoriasis Area and Severity Index PASI , penilaian stres dengan kuesioner Perceived Stress Scale PSS , dan kadar hs-CRP serum sebagai penanda inflamasi. Hasil: Didapatkan rerata usia 40,12 13,04 tahun dengan median skor PASI sebesar 4,7 0,9-22,4 . Didapatkan median skor kuesioner PSS sebesar 22 8-30 dan median kadar hs-CRP pada SP sebesar 2,38 0,53-12,06 mg/L. Ditemukan nilai korelasi antara stres dengan derajat keparahan psoriasis r= 0,30;p=0,046 , derajat keparahan psoriasis dengan kadar hs-CRP serum r = 0,363; p = 0,019 , dan stres dengan kadar hs-CRP serum r= 0,236; p= 0,093 . Simpulan: Ditemukan korelasi bermakna antara stres dengan derajat keparahan psoriasis dan derajat keparahan psoriasis dengan kadar hs-CRP serum. Namun tidak didapatkan korelasi bermakna secara statistik antara stres dengan kadar hs-CRP serum. Hasil ini mungkin dikarenakan faktor perancu yang dapat memengaruhi stres maupun kadar hs-CRP serum. Identifikasi dan tatalaksana stres dapat bermanfaat bagi terapi psoriasis.
Background Psoriasis is a multifactorial immune mediated chronic inflammatory skin disease. Stress is identified as a trigger and precipitating factor for psoriasis. High sensitivity c reactive protein hs CRP is a sensitive marker for inflammation. Stress and psoriasis may cause an increase in hs CRP serum. There are limited studies on stress and hs CRP levels in Indonesian psoriatic patients and there are no reported studies on the correlation between stress and hs CRP levels in Indonesian psoriatic patients. Objective To determine the correlation between stress and psoriasis disease severity and high sensitivity c reative protein levels. Method Sample selection for this cross sectional study was done by consecutive sampling. The Psoriasis Area and Severity Index PASI was used to measure disease severity, the self reporting Perceived Stress Scale PSS was used as a measure for stress, and hs CRP serum was used as a marker for inflammation. Results A total 33 subjects were enrolled to the study, with the median age of 40, 12 13, 04 years old and median PASI score of 4,7 range 0,9 22,4 . The median PSS score was 22 range 8 30 with a median hs CRP serum level of 2,38 range 0,53 12,06 mg L. We found correlation coefficients between stress and psoriasis severity r 0,30 p 0,046 , psoriasis severity and hs CRP serum levels r 0,363 p 0,019 , and stress and hs CRP serum levels r 0,236 p 0,093 . Conclusion We found a statistically significant correlation between stress and psoriasis severity and between psoriasis severity and hs CRP serum levels. However, no statistically significant correlation was found between stress and hs CRP serum levels. This may be caused by confounding factors influencing stress or hs CRP levels. However, identification and management of stres maybe beneficial for psoriatic patients.
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>