Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erna Parmawati
Abstrak :
Pendahuluan: C-reactive protein CRP dan procalcitonin PCT merupakan penanda diagnostik dan pemantauan sepsis neonatorum yang paling banyak digunakan. Saat ini terdapat penanda sepsis baru yaitu Soluble CD14 subtype sCD14-ST presepsin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat pemeriksaan serial kadar presepsin, CRP dan PCT serta korelasi antara kadar presepsin dengan kadar CRP dan PCT sebagai penanda respons terapi dan prognosis pasien SNAL pada neonatus prematur. Metode: Desain penelitian kohort prospektif. Subjek penelitian terdiri dari 40 neonatus prematur sehat dan 40 pasien neonatus prematur SNAL dan dilakukan pemeriksaan kadar presepsin, CRP dan PCT, selanjutnya dilakukan pemantauan kadar presepsin, CRP dan PCT pasien neonatus prematur SNAL hari ke-3 dan ke-6 setelah diterapi. Pasien neonatus prematur SNAL dikelompokkan menjadi 20 pasien respons terapi dan 20 pasien non respons. Mortalitas pasien neonatus prematur SNAL ditentukan pada pemantauan hari ke-30. Hasil: Median kadar presepsin, CRP dan PCT pada neonatus prematur SNAL masing-masing adalah 1559 pg/mL 427 ndash; 4835 pg/mL, 16.35 mg/L 0.1 ndash; 245.6 dan 4.11 ng/mL 0.17 ndash; 54.18 lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pada neonatus prematur sehat 406 pg/mL 195 ndash; 562 pg/mL, 1.22 mg/L 0.1 ndash; 3.69 dan 0.03 0.01 ndash; 0.04 dengan nilai p. ...... Introduction: C reactive protein CRP and procalcitonin PCT are marker of neonatal sepsis diagnostics and monitoring of the most widely used. Currently there is a new marker of sepsis that is Soluble CD14 subtype sCD14 ST presepsin. This study aims to determine the benefits of serial presepsin levels, CRP and PCT as well as the correlation between presepsin with CRP and PCT as a marker of response to therapy and prognosis of patients SNAL in premature neonates. Methods. This was prospective cohort, from 20 healthy preterm neonates and 40 LOS preterm neonates patient. The concentration of presepsin, CRP and PCT were analysed. Presepsin, CRP and PCT measured in both group and in 3rd 6th day sepsis follow up after therapy. Therapeutic respons was done in 20 LOS preterm neonates patient and 20 preterm neonates patient was not. The mortality of LOS preterm neonates patient saw in 30th day observation. Results: Median of presepsin, CRP and PCT in LOS preterm neonates are 1559 pg mL 427 ndash 4835 pg mL, 16.35 mg L 0.1 ndash 245.6 and 4.11 ng mL 0.17 ndash 54.18, respectively, are significantly higher than healty preterm neonates 406 pg mL 195 ndash 562 pg mL, 1.22 mg L 0.1 ndash 3.69 and 0.03 0.01 ndash 0.04, p value
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Musrifah
Abstrak :
Preeklampsia merupakan suatu sindroma yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pads wanita hamil yang sebelumnya tidak mengalami hipertensi. Sindroma ini biasanya muncul pada akhir trimester kedua sampai trimester ketiga kehamilan. Preeklampsia dapat berakibat buruk balk pada ibu maupun pada janin yang dikandungnya. Gejala preeklampsia biasanya berkurang, bahkan menghilang setelah melahirkan, sehingga terapi definitifnya adalah mengakhiri kehamilan. Kenyataan ini rnenimbulkan anggapan bahwa gangguan yang terjadi pads preeklampsia merupakan proses yang reversible. Etiologi pasti sindroma irii belum diketahui dan masih merupakan hipotesa, antara lain : iskemik plasenta, maladaptasi imun dan factor genetik. CRP (c-reactive protein ) diketahui secara luas sebagai indikator inflamasi yang rnempunyai peranan penting pada atherogenesis. Beberapa penelitian terbaru membuktikan bahwa peningkatan kadar CRP serum pada orang dewasa sehat, merupakan prediktor yang kuat terjadinya miokard infark, stroke, kematian mendadak karena penyakit jantung dan penyakit pembuluh darah perifer. Berbagai metode telah ditemukan untuk mengukur kadar CRP. Pada mass lampau, berbagai macam pemeriksaan laboratorium menggunakan semiquantitative latex agglutination assay untuk mengetahui reaksi inflamasi akut yang terjadi. Kernudian ditemukan metode yang lebih sensitif, dengan metode nephelometri atau turbidimetri. Dengan adanya pemeriksaan high sensitivity CRP, memungkinkan memeriksa kadar CRP pada individu yang sehat untuk mengetahui resiko terjadinya penyakit vaskuler. Pada preeklampsia, terdapat kerusakan endotel yang merupakan salah satu aspek respon inflamasi sistemik pada ibu. Respon inflamasi in! terdapat juga pada kehamilan normal, tetapi iebih berat. Preeklampsia terjadi bila proses inflamasi sistemik menyebabkan terjadinya dekompensasi satu atau lebih sistem pada ibu. Karena CRP adalah zat yang merupakan petanda sensitif terjadinya inflamasi sistemik, maka berkembanglah penelitian untuk mengetahui kemungkinan hubungan antara CRP dan preeklampsia. Kadar CRP meningkat pada wanita dengan preeklampsia. Penelitian oleh Teran, dkk 2001, pada wanita Andean yang hamii (n=21), wanita hamii dengan preeklampsia (n=25), dan wanita hamil dengan tekanan darah normal (n=21), menunjukkan adanya kadar CRP tinggi pada wanita dengan preeklampsia. Rerata CRP pada preeklampsia (4,11± 0,37 mg/dl) dibandingkan dengan wanita hamil normal (2,49 ± 0,26 mg/dl) dan wanita yang tidak hamil (1,33 ± 0,15 mg/di).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
John Gunawan Lusari
Abstrak :
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian utama pada sepertiga penduduk dunia. Di Indonesia, terjadi peningkatan prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah sebagai penyebab kematian peringkat ke-3. Pada tahun 2007 prevalensi PJK nasional mencapai 7,2%. C-Reactive Protein (CRP) dikenal sebagai penanda fase akut inflamasi dan berhubungan dengan peningkatan kadar plasma karena kerusakan jaringan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara periodontitis kronis dengan peningkatan kadar CRP. Peningkatan CRP sedang saja sudah meningkatkan risiko PJK. Pada sampel penelitian ini terlihat penderita periodontitis menunjukkan risiko yang tinggi terhadap PJK. Dugaan adanya kaitan efek patogen periodontal secara langsung maupun tidak langsung memicu infeksi, mekanisme ini mengaktivasi faktor? faktor inflamasi sehingga CRP sebagai marker respon fase akut dari infeksi juga akan meningkat.
Abstract
Coronary heart disease (CHD) is the leading cause of death in one third of world population. In Indonesia, there is increased prevalence of cardiovascular disease as a cause of death to the rank-3. In 2007 the national prevalence of CHD reached 7.2%. C-Reactive Protein (CRP) is known as acute phase inflammatory marker and is associated with elevated levels of plasma due to tissue damage. Several studies have shown an association between chronic periodontitis with increased levels of CRP. Increased CRP was alone increases the risk of CHD. This study looks at a sample of periodontitis patients showed a high risk of CHD. Allegations have linked the effects of periodontal pathogens directly or indirectly lead to infection, this mechanism activates inflammatory factors that CRP as a marker of acute-phase response to infection will also increase.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T31423
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pudji Andayani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang Bayi baru lahir BBL sangat rentan terhadap infeksi dari dalam kandungan maupun di lingkungan luar kandungan Infeksi berat yang terjadi di 3 hari pertama kehidupan Early Onset Sepsis pada BBL dapat ditegakkan melalui penampakan klinis maupun beberapa marka infeksi seperti C reak tif protein CRP Sampel darah yang diperlukan utuk pemeriksaan CRP cukup banyak dan cukup menyulitkan untuk BBL Saliva mengandung komponen yang mirip dengan darah dalam hal mendeteksi CRP Tujuan Mengetahui apakah CRP saliva dapat digunakan seakurat darah neonatus mendeteksi infeksi dini neonatus Metode Penelitian dilakukan selama periode Oktober 2015 ndash Desember 2015 pada bayi baru lahir risiko infeksi yang memenuhi kriteria Data dianalisis dengan perangkat elektronik statistik dengan tingkat kemaknaan p0 05 terdapat hubungan yang bermakna antara CRP saliva terhadap CRP darah Nilai p 0 05 dengan r positif atau searah yang menunjukkan semakin tinggi kadar CRP saliva semakin tinggi juga kadar CRP darah Kekuatan hubungan sangat kuat 0 8 ABSTRACT
Backgound Newborns babies are very susseptible to infection from intra and extrauterine environment Severe infection within the first 3 day of life is classified as early onset sepsis EOS in the newborn baby based on clinical manifestation and same serological markers such as C reactive protein CRP Blood samples procedure to CRP examination are more volume liquid and requires highly trainned personnel for newborn Objective To know wether salivatory CRP can be used acurated as CRP from blood sample for detection early infection in neonate and to evaluated sample characteristic association with blood and CRP saliva Methods A prospective study was conducted in newborn baby at Ulin Hospital Banjarmasin period 15 october 2015 to December 15 2015 The participates are newborn babies with risk infection who enrolled inclusion criteria Statistical analyses used the software statistic electronic significant is p 0 05 Saliva CRP and blood samples were detected in each group as 8 babies with concentration ge 10mg L There was a statisticaly significant correlation between salivary CRP level to blood CRP level r 0 806 p
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Aditya Toga Sumondang
Abstrak :
Pendahuluan. Stress pembedahan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi keluaran pasca pembedahan ortopedi, khususnya pada populasi diabetes mellitus tipe dua dimana regulasi glukosa sangat penting baik sebelum maupun pasca bedah. Kadar glukosa dan C-reactive protein merupakan biomarker yang akan meningkat bila terjadi stress pembedahan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar rerata glukosa dan C-reactive protein pada subjek penelitian dengan diberikan lidokain intravena dan kontrol pada operasi ortopedi. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar yang mengikutsertakan 42 pasien yang menjalani pembedahan ortopedi. Sampel dilakukan pengelompokan dengan metode randomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah pasien yang diberikan lidokain intravena selama pembedahan dalam anestesia umum. Kelompok kedua adalah pasien dalam anestesia umum tanpa lidokain. Pada kedua kelompok dilakukan dua kali pemeriksaan sampel glukosa dan C-reactive protein pada sebelum operasi dan sesudah operasi. Kedua kelompok dilakukan uji hipotesis untuk melihat perbedaan rerata glukosa dan C-reactive protein dengan analisa statistik menggunakan software SPSS. Hasil. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata kadar glukosa dan C-reactive protein antara kelompok pasien dengan lidokain intravena dan kontrol. Rerata kadar glukosa pasca pembedahan lebih rendah pada kelompok lidokain dibandingkan kelompok kontrol, namun tidak berbeda bermakna (p>0.05). Tidak terdapat perbedaan rerata C-reactive protein pada kelompok lidokain dan kelompok kontrol (p>0.05). Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan kadar glukosa dan C-reactive protein yang bermakna antara kelompok lidokain dan kelompok kontrol pada operasi ortopedi dalam anestesia umum pada populasi dengan diabetes mellitus tipe dua. ......Introduction. Surgical stress is a factor that can influence orthopaedic postoperative outcomes, particularly in the type two diabetes mellitus population where blood sugar regulation is critical both before and after surgery. Blood sugar levels and C-reactive protein are biomarkers that will increase in the event of surgical stress. This study aimed to compare the average levels of blood sugar and C-reactive protein in study subjects with intravenous lidocaine and control in orthopaedic surgery. Methods. The study was a randomized clinical trial that included 42 patients undergoing orthopaedic surgery. Samples were grouped by randomization method into two groups. The first group were patients who were given lidocaine intravenously during surgery under general anaesthesia. The second group is patients under general anaesthesia without lidocaine. In both groups, two blood sugar and c-reactive protein samples were examined before surgery and after surgery. Both groups tested the hypothesis to see the difference in average blood sugar and C-reactive protein with statistical analysis using SPSS software. Results. There were no significant differences between mean blood sugar levels and C-reactive protein between the intravenous and control lidocaine groups. Average postoperative blood sugar levels were lower in the lidocaine group than in the control group, but not significantly different (p>0.05). There was no difference in mean C-reactive protein in the lidocaine group and the control group (p>0.05). Conclusions. There were no significant differences in blood sugar and C-reactive protein levels between the lidocaine group and the control group in orthopaedic surgery under general anaesthesia in the population with type two diabetes mellitus.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntjoro Harimurti
Abstrak :
Latar Belakang. Hipoalbuminemia sudah diketahui merupakan faktor prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia dan CRP merupakan petanda klinis yang penting pada pneumonia. Namun hubungan antara kadar CRP dengan penurunan kadar albumin, sebagai protein fase akut negatif, saat infeksi akut belum pernah diteliti sebelumnya. Tujuan. Mendapatkan: (1) perbedaan kadar CRP awal perawatan antara pasien dengan daa tanpa penurunan albumin, (2) perbedaan risiko teradinya penurunan albumin antara pasien dengan kadar CRP awal tinggi dan rendah, dan (3) korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit. Metodalogi. Stuart potong-lintang dan kohort-prospektif dilakukan pada pasien-pasien usia lanjut (>60 tahun) dengan diagnosis pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM, untuk diamati penurunan kadar albuminnya selama 5 hari perawatan. Pasien-pasien dengan keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi kadar albumin dan CRP, serta infeksi selain pn nimcnia komunitas dieksklusi dari penelitian. Penilaian kadar CRP dilakukan pada hari pertama perawatan (cut-off 20 mg/L), sementara penurunan albumin ditentukan dari perubahan kadar albumin selama 5 hari perawatan (cut-off 10%). Analisis statistik dilakukan dengan uji-t independen, uji chi-square, dan uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil Utama. Selama periode April-Juni 2005 terkumpul 26 pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang masuk perawatan di RSCM. Hanya 23 pasien yang menyelesaikan penelitian sampai 5 hari dengan 17 pasien memiliki kadar CRP awal tinggi, dan didapatkan penurunan albumin >10% pada 7 pasien setelah 5 hari perawatan. Terdapat perbedaan rerata kadar CRP hari-1 diantara kedua kelompok (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 1K95% 13,25-186,13 mgfL). Namun tidak didapatkan perbedaan risiko bermakna antara pasien dengan kadar CRP tinggi dengan pasien dengan kadar CRP rendah scat awal dengan terjadinya penurunan albumin saat awal perawatan (RR = 2,12; P = 0,621; 11(95% 0,256-29,07). Tidak didapatkan pula korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan (r = 0,205, P = 0,314) Kesimpulan. Tingginya kadar CRP awal perawatan berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar albumin selama perawatan, namun tidak ada perbedaan risiko terjadinya penurunan albumin selama perawatan antara pasien dengan CRP awal tinggi dan CRP awal rendah, serta tidak ada korelasi antara kadar CRP dan albumin scat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit. ...... Backgrounds. Hypoalbuminemia widely known as a predictive factor for increasing morbidity and mortality in elderly patients, including with pneumonia; while CRP has known as a clinical marker for pneumonia. But relationship between CRP level with decrease of serum albumin level, as a negative acute-phase protein, during acute infection has never been studied before. Objectives. To found: (1) CRP level difference between patient with and without decreased of serum albumin level, (2) risk for developing decreased of serum albumin level in patients with high CRP compared to patients with low CRP level, and (3) correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia. Methods. Cross-sectional and prospective-cohort studies was conducted in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia that admitted to RSCM, to observed the decreased of serum albumin level in five days of hospitalization. Conditions that known could influence CRP and albumin consentration have been excluded, and other infections as well. CRP level was determined on admission (cut-off 20 mgfL), while decreased of serum albumin was observed for 5 days of hospitalization (cu[-off 10%). Statistical analysis was done by using independent t-test, chi-square test, and correlation test appropriately accord-ing to the objectives of the study. Main Results. During study period (April to June, 2005) 26 hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia had been included into study, but only 23 of them that finished the study for 5 days. There were 17 patients that have high level of CRP on admission, and 7 patiens that developing decreased of serum albumin level more than 10% in fifth day compared to their serum albumin level on admission. There was significant mean CRP difference among 2 groups (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 95%CI 13,25-186,13 mgfL), but there was no risk difference between patients with high and low CRP level on admission for developing decreased albumin level on fifth day of hospitalization (RR = 2,12; P = 0,621; 95%CI 0,256-29,07). And there was no correlation between CRP and albumin level on admission (r = 0,205, P = 0,314) Conclusions. Patients with high CRP level on admission tend to have decreased of serum albumin level during hospitalization, but there was no risk difference for developing decreased of serum albumin level between patients with high and low CRP level, and there was no correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Anastasya
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara penilaian risiko malnutrisi menggunakan skor PG-SGA dengan kadar CRP serum sehingga dapat digunakan untuk memprediksi tingkat inflamasi pada pasien kanker kepala dan leher stadium I_IV guna mencegah terjadinya kaheksia. Malnutrisi hingga kaheksia pada kanker terjadi karena interaksi faktor tumor, faktor pejamu dan faktor-faktor lainnya. Faktor tumor berupa sitokin pro-inflamasi akan memicu respons pejamu untuk memproduksi protein fase akut seperti CRP. Protein fase akut memerlukan sejumlah substrat yaitu asam amino yang berasal dari otot rangka. Otot rangka akan mengalami degradasi sehingga menyebabkan wasting otot rangka. Oleh karena itu, CRP selain dapat digunakan sebagai marker inflamasi sistemik juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator faktor risiko yang berperan dalam terjadinya malnutrisi dan kaheksia. Efek wasting otot rangka yang ditimbulkan secara tidak langsung oleh CRP dapat dinilai dengan terdapatnya penurunan BB maupun berkurangnya massa otot yang juga merupakan komponen dalam penilaian PG-SGA. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan consecutive sampling yang melibatkan 51 subjek kanker kepala dan leher stadium I_IV yang belum mendapatkan terapi. Hasil penelitian didapatkan rerata usia 46,6 13,9 tahun, sebanyak 76,5 berjenis kelamin laki-laki. Kanker nasofaring merupakan kanker terbanyak 80,4 , dan stadium terbanyak yaitu stadium IVA. Rerata indeks massa tubuh IMT yaitu 20,6 4,0 kg/m2, dan sebanyak 37,3 subjek berada pada IMT normal. Berdasarkan skor PG-SGA sebanyak 64,7 subjek berisiko tinggi malnutrisi dengan rerata skor PG-SGA 11,7 6,2. Nilai median CRP yaitu 6,4 0,4_170,4 . Penelitian ini memperoleh korelasi positif yang signifikan antara skor PG-SGA dengan kadar CRP serum dengan kekuatan korelasi lemah r = 0,372; p = 0,007. ......The purpose of this study was to determine the correlation between the malnutrition risk assessment using PG SGA score with serum CRP levels so that it can be used to predict the levels of inflammation in head and neck cancer patients stage I IV to prevent cachexia. Malnutrition and cancer cachexia occurs due to the interaction of tumor factors, host factors and other factors. Tumor factors such as pro inflammatory cytokines will trigger a response of the host to produce acute phase proteins such as CRP. Acute phase protein which require a number of amino acids derived from skeletal muscle. Skeletal muscles will be degraded, causing skeletal muscle wasting. Therefore, CRP can be used as a marker of systemic inflammation and can be used as one indicator of the risk factors also that contribute to malnutrition and cachexia. Effect of skeletal muscle wasting which caused indirectly by the CRP can be assessed by the weight loss and reduced muscle mass which is a component in the assessment of PG SGA also. This study is a cross sectional study using consecutive sampling, 51 subjects head and neck cancer stage I IV who had not received treatment participated in this study. Data showed the mean age of subjects was 46.6 13,9 years, and 76 were male. Most cancer sites were as nasopharyngeal 80,4, and mostly in stage IVA. The mean body mass index BMI is 20,6 40 kg m2, with most of the BMI is normal 37,3. Based on PG SGA score 64,7 of the subjects at high risk of malnutrition, and the PG SGA mean score is 11,7 6,2. The median value of CRP is 6,4 0,4 170,4. The result of this study showed a significant positive correlation between PG SGA score with serum CRP levels with the strength of correlation is weak r 0,372 p 0,007.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Yulianti
Abstrak :
Latar Belakang : Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan virus Sars Cov 2 yang baru diidentifikasi dan saat ini telah ditetapkan sebagai pandemi. Manifestasi klinis bervariasi dan progresivitas kondisi pasien COVID-19 dapat terjadi setelah satu minggu atau dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Dalam kondisi pandemi COVID-19, tenaga medis perlu untuk menentukan pasien yang harus ditatalaksana terlebih dahulu berdasarkan pertimbangan klinis serta prognosis pasien. Dibutuhkan parameter objektif yang dapat memperkirakan risiko mortalitas untuk memilah prioritas perawatan pasien. Hitung limfosit absolut dan C-reactive protein selama ini digunakan sebagai prediktor mortalitas berbagai penyakit, termasuk infeksi. Perlu ditentukan titik potong dan peran hitung limfosit absolut dan CRP kuantitatif saat admisi sebagai prediktor mortalitas pasien COVID19. Tujuan : Mengetahui titik potong dan peran hitung limfosit absolut dan CRP kuantitatif untuk memprediksi mortalitas pasien COVID 19. Metode : Penelitian kohort retrospektif terhadap 235 pasien probable dan terkonfirmasi COVID-19 di RSCM sejak Maret hingga Juni 2020 dengan metode consecutive sampling. Data yang digunakan adalah data sekunder. Hasil: Sebanyak 235 subjek dianalisis dan didapatkan mortalitas sebesar 27,7%. Titik potong hitung limfosit absolut yang bermakna adalah 977,67 sel/µL dengan nilai AUC sebesar 0.704 (p <0.001 dengan IK 95% 0,624-0,785), sensitivitas 67,69% , spesifisitas 70,0%, NDP 46,32% dan NDN 85,0%. Pada analisis untuk kadar CRP kuantitatif didapatkan nilai AUC sebesar 0.656 (p <0.001 dengan 95%CI 0,578-0,733). Didapatkan nilai titik potong untuk kadar CRP kuantitatif sebesar 88.5 mg/L dengan sensitivitas 52,3% , spesifisitas 68,2%, NDP39,33%, NDN 79,45%. Penggabungan kedua variabel tersebut menghasilkan nilai AUC sebesar 0.737. Keduanya bersifat signifikan meningkatkan risiko mortalitas 4.70 dan 2.34 kali lipat pada pasien COVID-19. Simpulan:Hitung limfosit absolut dan/atau kadar CRP saat admisi dapat digunakan untuk menilai risiko mortalitas pasien COVID-19. ......Background: Coronavirus disease 2019 (COVID-19), an infectious disease caused by severe acute respiratory syndrome-coronavirus-2 (SARS-CoV2), has been declared as pandemic world wide. Various clinical manifestation and rapid deterioration from mild to severe symptoms , acute respiratory distress syndrome and deaths could occur in the first week of disease. In pandemic setting, physicians need rapid assessment and objective parameters to make clinical decisions to the patient. Absolute lymphocyte count (ALC) and C-reactive protein (CRP) have been used as mortality predictors in various disease. We need to determine cut off and the role of ALC and CRP in predicting mortality risk in COVID-19. Objective : To determine the cut off and role of ALC and CRP as mortality predictors in COVID-19 patients. Methods : A cohort retrospective study with consecutive sampling method. Subjects were adults that fulfilled criteria of probable and confirmed COVID-19 in WHO criteria in RSCM from March to June 2020. Data were obtained from medical record and electronic health record. Analysis was done by using SPSS Statitstic 20.0. Results : A total of 235 subjects were analysed. The cut off of ALC was 977,67 cell/µL (Sn 68.2% ; Sp 70.4%; PPV 46,32%; NPV 85%) with AUC 0.704 (p<0,001 ; 95% CI [0.627—0.786]) and CRP was 88,5 mg/L (Sn 52,3% ; Sp 68,2%; PPV 39,33%; NPV 79,45%) with AUC 0.656 (p<0,001 ; 95% CI [0.572-0.728]). ROC analysis of ALC and CRP showed AUC 0.737 (p<0,001 ; 95% CI [648—0.792]). Adjusted OR of ALC and CRP showed that mortality risk increased 4.70 and 2.34 times by using the cut off. Conclusions : ALC and CRP at admission could be used to determine mortality risk in COVID-19 patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Livia Kurniati Saputra
Abstrak :
Inflamasi derajat rendah diduga terlibat dalam patogenesis penyakit kronis yang terjadi secara global. Salah satu penanda inflamasi yang kerap digunakan adalah high sensitivity C-reactive protein (hsCRP). Asupan serat pangan yang lebih rendah diduga berperan terhadap kadar hsCRP serum, akan tetapi hasil penelitian sebelumnya masih bervariasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara asupan serat pangan dengan kadar hsCRP serum pada pekerja sedentari usia 19-49 tahun di Jakarta Timur, Indonesia. Studi ini merupakan studi potong lintang pada 58 pekerja sedentari yang dilaksanakan pada Bulan Agustus hingga Oktober 2020. Data dasar dikumpulkan memakai kuesioner. Asupan makanan dicatat dengan 3- day food record dan dilakukan pengukuran antropometri untuk mengetahui indeks massa tubuh (IMT) dan ukuran lingkar pinggang. Pemeriksaan hsCRP serum memakai metode imunoturbidimetri. Analisis untuk menilai korelasi antara asupan serat pangan dan kadar hsCRP serum dilakukan menggunakan uji Spearman jika nilai p<0,05 dianggap bermakna. Mayoritas subjek adalah perempuan, tidak merokok, dengan aktivitas fisik kurang dan memiliki status gizi normal serta tidak obesitas abdominal. Berdasarkan data asupan makanan didapatkan asupan energi, karbohidrat total, dan serat pangan total berada dibawah rekomendasi AKG. Hanya asupan lemak total yang sesuai dengan rekomendasi AKG. Asupan serat pangan total didapatkan sebesar 7,45 g/hari. Nilai hsCRP serum masih dalam batasan normal, yaitu sebesar 0,4 mg/L. Pada analisis bivariat tidak didapatkan korelasi antara asupan serat pangan dengan kadar hsCRP serum (r=0,003, p=0,981). Hasil penelitian ini tidak mendapatkan adanya korelasi antara asupan serat pangan dengan kadar hsCRP serum, namun diketahui asupan serat pangan masih sangat rendah sehingga perlu dilakukan promosi kesehatan untuk meningkatkan asupan serat pangan pada pekerja sedentari. ......Low grade inflammation has previously been linked to the global development of chronic disease. High sensitivity C-reactive protein (hsCRP) is commonly used to detect inflammation. Low dietary fiber intake was hypothesized to have an effect on serum hsCRP concentration. To this day, studies on the relationship between dietary fiber and serum hsCRP have shown inconclusive result. In this study, we aimed to find a correlation between dietary fiber intake and serum hsCRP on sedentary worker age 19-49 years old at East Jakarta, Indonesia. This was a cross sectional study on 58 sedentary workers. This study was conducted in August- October 2020. Subject’s characteristics was obtained using a questionnaire. Dietary assessment was conducted using 3-day food record. Anthropometic measurements included body mass index (BMI) and waist circumference. Serum hsCRP concentrations were measured using immune turbidimetry. Spearman test was used to determine correlation between dietary fiber intake and serum hsCRP, with p<0,05 being significant. Subjects were mostly female, non-smoker, with inadequate physical activity. A majority of subjects had normal BMI and waist circumference. Dietary assessment showed subject has inadequate intake of energy, carbohydrate, and dietary fiber. Only fat intake was adequate in the present study. Total dietary fiber intake was 7,45 g/day. Median value of serum hsCRP was 0,4 mg/L. There was no correlation between dietary fiber intake and serum hsCRP (r=0,003, p=0,981). However, this study found that dietary fiber intake was very low. Thus, education on increasing dietary fiber intake is necessary for sedentary workers.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Djunet
Abstrak :
Latar belakang. Bedah kanker kolorektal (KKR) adalah kasus terbany1k di Divisi Bedah Digestif RSUPNCM, di mana 46% di antaranya adalah karena kanker rektum I (K.R). Trauma pembedahan menimbulkan inflamasi, respon fase akut (RFA), dan stres metabolik. C- reactive protein (CRP) adalah protein fuse akut (PFA) dengan peningkatan tertinggi di antara PFA lainnya dan telah digunakan secara luas sebagai penanda inflamasi. Stres metabolik menyebabkan perubahan metabolisme zat gizi yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah sewaktu (GDS) plasma. Secara tidak langsung, pemberian terapi gizi adekuat dapat menekan laju inflamasi dan mempercepat proses penyembuhan pasca bedah. Tujuan. Untuk mengetahui peran terapi gizi adekuat selama tujuh hari terhadap perubahan kadar CRP serum dan GDS plasma pasien pasca bedah KR pada hari ke satu dan ke tujuh pengamatan. Metode. Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan desain paralel, acak, dan tidak tersamar. Penelitian dilaksanakan di ruang rawat bedah kelas Ill RSUPNCM, pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April- Agustus 2009. .9erdasarkan kriteria penelitian didapatkan 24 subyek yang dibagi menjadi dua, kelompok perlakuan (P) dan kontrol (K). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan laboratorium. Hasil. Karakteristik awal kedua kelompok adalah sebanding pada HI. Rerata asupan energi kelompok P adalah 1 211 ,23 ± 161 ,95 kkallh ari (82,86 ± 9,91 % kebutuhan energi total atau KET), adekuat, dan lebih tinggi bermakna (p< 0,001) dibandingkan kelompok K yaitu 831,93 ± 129,58 kkal/hari (55,75 ± 9,48% KET). Rerata asupan protein subyek tidak adekuat meskipun asupan protein kelompok P lebih tinggi bennakna (p< 0,001). Kelompok P mengalami peningkatan berat badan (BB) 0,71 ± 0,79 kg sedangkan kelompok K mengalami penurunan BB 0,85 ± 1,06 kg. Penurunan kadar CRP serum kelompok P (7,13 ± 1,43 mg/L) berbeda bermakna (p=0,005) dengan kelompok K (5,20 ± 1,58 mg/L). Peningkatan kadar GDS plasma kelompok P (26,00 ± 29,67 mg/dL) cenderung lebih tinggi dari kelompok K (10,00 ± 24,40 mg/dL), sejalan dengan peningkatan asupan energi yang lebih tinggi. Kadar CRP serum memiliki korelasi positif derajat rendah (r-0,266) dan tidak bennakna (p=0,358) dengan kadar ODS plasma. Kesimpulan. Pemberian terapi gizi adekuat selama tujuh hari berperan untuk mempercepat penurunan kadar CRP serum pasien pasca bedah KR.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T20988
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>