Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susanto Zuhdi
"Sejauh ini sejarah Indonesia mengenai kelautan masih sedikit dilakukan. Konsep bahwa negara Indonesia berbentuk kepulauan mengisyaratkan betapa pentingnya kajian mengenai aspek laut agar dapat mengimbangi kajian yang sudah lebih banyak mengenai daratan. Kajian sejarah Indonesia pun lebih banyak tertuju pada bagian barat saja. Atas dasar pertimbangan itulah maka penelitian sejarah dengan sumber lokal di Butun, yang merupakan bagian dari Indonesia timur yang potensial di bidang kelautan penting dilakukan.
Penelitian ini menganalisis sumber lokal sebagai alternatif atau sebagai bahan yang dapat melengkapi sumber yang dihasilkan oleh Barat (Eropa). Permasalahan yang diangkat adalah sejauh mana menulis sejarah masyarakat di Kepulauan Indonesia tanpa sepenuhnya bergantung pada sumber Barat. Apalagi diketahui bahwa dalam periode tertentu yakni sebelum kedatangan orang Barat, banyak ditemukan dari sumber lokal. Sumber lokal yang dikaji adalah sebuah syair yang dapat dinyanyikan kabanti (dalam bahasa Wolio) berjudul Kanturuna Mohelana (Lampunya Orang yang berlayar").
Sumber lokal ini mengungkap baik tema 1) tentang asal-usul negeri Wolio/Butun, 2) masuknya Islam, dan 3) hubungan kerajaan Butun dengan VOC/Belanda. Sumber ini mempunyai kekuatan dalam hal memberi gambaran berupa gagasan atau ide dan sistem kepercayaan masyarakat Butun. Jadi dari sumber lokal ini bukan data faktual yang diperoleh tetapi struktur pengalaman masyarakat. Kelemahannya adalah dalam hal anakronis, menempatkan sesuatu yang tidak pada zamannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Susanto Zuhdi
"Labu rope labu walla adalah ungkapan dalam bahasa Wolio (bahasa kaum penguasa di kerajaan Butun) yang berarti "berlabuh haluan, berlabuh buritan". Ungkapan ini diangkat dari historiografi tradisional berbentuk kabanti, berjudul Ajonga Inda Malusa (harfiah berarti Takaian yang tidak Luntur) karya Haji Abdul Gani, yang diperkirakan ditulis pertengahan abad ke-19.
Penyebutan nama Butun didasarkan atas pertimbangan yang berkaitan dengan asal-usulnya. Bahwa nama ilu telah lebih dahulu ada dikenal (pada rnasanya) daripada nama yang sekarang, Buton. Penduduk setempat menerima penycbulan atas pulau yang mereka diami, dari para pelaut di Kepulauan Nusantara yang sering menyinggahi di pulau itu. Banyaknya pohon Butu (Barringtania Asiatica, lihat Anceaux 1987:25) di sana, yang membuat para pelaut menyebut Butun sebagai penanda untuk pulau nu_ Penyebutan nama Butun untuk pulau itu sudah ada sebelum orang Majapahit menorehkan nama Butun di dalam Negarakartagallna (1365) dalam kerangka daerah "pembayar upeti". Sesudah masa itu, ketika telah berdiri kesultanan, penamaan Butun tetap digunakan. Dalam surat-surat perjanjian dengan VOC, sultan menyebut Butuni untuk wilayah kekuasaannya. orang Bugis/Makasar menyebut Butun dengan Butung. Nada sengau "ng" terdengar dari mulut mereka jika sebuah kata berakhir dengan konsonan. Sejajar dengan itu, orang Portugis menyebut Butun dengan Bulgur:. Orang Belandalah yang menyebut Buton, sebagai yang kita kenal sampai sckarang.
"
1999
D439
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanto Zuhdi
"ABSTRAK
"Kesultanan Butun memperlihatkan poly ""ketidakstabilan yang tetap"". Corak ini disebabkan oleh faktor ancaman balk yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Keberadaan Butun di tengah kekuatan-kekuatan besar--Gown, Ternate, dan VOC--mengakibatkan dirinya memilih secara bergantian antara sekutu dan seteru. Oleh karena ancaman Gowa, Butun bersekutu dengan VOC, pihak yang juga berlawanan kepentingan dengan Gowa. Dalam menghadapi Gowa itu pula, Butun, VOC, dan Ternate secara bersama-sama menggalang kekuatan mereka. Bahkan untuk menghadapi Gowa itu pula Butun bersekutu dengan Bone, kerajaan yang berusaha lepas dari tekanan Gowa. Dalam hubungan Butun dengan Gowa tampaknya lebih merupakan soal perluasan kekuasaan dan ekonomi. Bagi Gowa, Butun hares dikuasai atau setidaknya dipengaruhi agar dapat memudahkan orang Makasar berlayar ke Kepulauan Maluku. Beberapa kali pasukan Gowa menyerang Butun dan mengambil ""upeti"" serta merhmpas penduduknya. Bagi Butun, Gowa adalah ancaman yang datang dari arah haluan (rope). Tidak sebagaimana terhadap Gowa, dalam hubungannya dengan Ternate, Butun menempatkan dirinya secara politik dan kultural berada di bawah Ternate. Meskipun selalu ada upaya Butun untuk berdiri sejajar dengan Ternate tetapi setiap kali hal itu dilakukan setiap kali itu pula is hares mengakui hegemoni kultural Ternate. Hal itu berkaitan dengan latar belakang mitos ""dunia Maluku"" dan masuknya Islam ke Butun dari Ternate. Meskipun demikian dalam kenyataan politik, Butun mencoba beberapa kali menantang Ternate untuk mempertahankan daerahnya dari aneksasi dan perampasan warganya oleh Ternate. Bagi Butun, Ternate merupakan ancaman yang datang dari arah buritan (u.unuu). Berakhirnya dua ancaman di atas, VOC merupakan bentuk ancaman yang lain dan mempunyai karakteristik tersendiri. Pola hubungan Butun dengan VOC terlihat dalam kontrak tahun 1613 yang menunjukkan bentuk aliansi militer. Pola hubungan berikutnya tercermin dalam kontrak tahun 1667 yang memperlihatkan peneguhan kekuasaan tunggal sultan Butun terutama untuk menghadapi perebutan kekuasaan""
1999
D1823
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library