Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Artanto Salmoen Wargadinata
"Apabila kita akan mengadakan pengamatan apa dan bagaimana peranan Lobi Yahudi (Jewish Lobby) di dalam sistim politik Amerika Serikat (AS), maka hal tersebut dapat dilakukan dengan memfokuskan pada peranannya di Kongres (Congress) AS.
Hubungan keduanya merupakan salah satu contoh dari realisasi dari kehidupan demokrasi di Amerika yang tercantum di dalam konstitusinya, yaitu menjamin setiap hak individu dan kelompok untuk mengajukan petisi yang secara tidak langsung juga menggambarkan bentuk pluralisme kebudayaan dan demokrasi di antara warga AS.
Landasan konstitusi AS yang terutama menjamin munculnya peranan kelompok Pelobi (lobbyists) adalah pada Amandemen ke-I. Tetapi meskipun demikian, keberadaan pelobi di AS mempunyai sejarah panjang sampai di terimanya mereka secara resmi di dalam sistim politik negara itu. Istilah Lobbyists itu sendini baru muncul pada tahun 1832, sebelumnya lebih sexing disebut sebagai lobby agent.
Pada awal kemunculan dari Para lobbyists tersebut banyak mendapat tanggapan yang kurang positif dari sebagian warga AS, karena dianggap bisa menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat, sebagai mana yang ditengarai oleh Madison di dalam the Federalist Nola, yang disebutnya dengan istilah faction.
Meskipun banyak tantangan yang dihadapi oleh para pelobi dan pendukungnya tetapi secara berangsur-angsur kehadiran mereka dapat diterima dan diperlukan untuk menampung dan menyalurkan suara warga masyarakat di Kongres. Pada tahun 1911 Federal Lobbying mulai diterima secara resmi pada saat pembentukan Kongres AS ke-62. Penerimaan terhadap pelobi-pelobi semakin di tingkatkan dengan pembentukan 2(dua) perundang-undangan mengenai Lobbying, yaitu : The Foreign Agents Registration Act of 1938 (FARA- 1938) dan The Federal Regulation of Lobbying Act of 1946 (FRLA-1946).
FARA 1938 tersebut dikeluarkan untuk mengatur para lobbyists yang mewakili kepentingan negara asing, sedangkan FRLA 1946, merupakan UU yang mengatur kegiatan Pelobi Domestik. (Lee: n.d.)(The Washington Lobby: 1987: 36). Di dalam menjalankan fungsinya tersebut para pelobi mempunyai banyak teknik yang memungkinkan mereka mem peroleh dukungan di Kongres, seperti : koalisi (Coalition Organizing), langsung (Direct Lobbying), menghimpun dukungan dari masyarakat(Grass-Roots Techniques) dan dukungan di dalam masa kampanye (Campaign Support). (The Washington Lobby: 1987: 3-6)(Mackenzie: 1986: 102) Diantara sekian banyak teknik tersebut, maka Campaign Support merupakan salah satu teknik yang dapat menggambarkan secara langsung kedekatan hubungan pelobi dengan Kongres AS. Sehubungan dengan itu, maka The Washington Lobby {1987: 9-10) menyebutnya sebagai berikut:

ABSTRACT
Campaign contributions to members of Congress serve two important functions for lobbying organizations. Political support not only can indulge a congressman to back the group's legislative interests but also can help to ensure that members friendly to the group's goals remain in office.
Untuk mengupayakan dukungan terhadap para kandidat anggota Kongress tersebut, maka dibentuklah lembaga yang disebut Political Action Committees (PACs). Lahirnya terminologi PACs untuk pertamakali disebutkan di dalam The Federal Election Campaign Act (FECA) pada tahun 1971, yaitu ketentuan UU yang mengatur mengenai dana pembiayaan dalam pemilihan anggota lembaga federal seperti Kongres. (Burns, et al: 1989: 270) (Friendly dan Elliot: 1987: 88-89) Kebanyakan PAC yang terbentuk ber hubungan dengan kepentingan bisnis, tetapi ada juga yang sifatnya spesifik bertujuan untuk mendukung kebijaksanaan LN AS terhadap satu kepentingan tertentu, misalnya: PAC Pro-Israel, yang bertujuan untuk memunculkan isu fungsi Israel."
Lengkap +
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gladwell, Malcolm, 1963-
New York: Brown and Co, 2009
814.6 GLA w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pandu Hutomo
"Berkembangnya internet telah membawa perubahan drastis dalam kesenian bermusik dan interpretasi estetik kita terhadapnya, dimana ?identitas? seorang musisi sendiri terselubung oleh "hyper-interpretasi" yang marak di dunia maya. Lana Del Rey adalah salah satunya. Skripsi ini bertujuan untuk meneliti komponen dari persona Lana dan mengamati bagaimana mereka bekerja dalam dinamika era internet dengan bentuk esai kritis reflektif, mensimulasi gaya literatur detektif tanpa melupakan unsur empirikal. Bagian akhir dari analisa skripsi ini akan membahas persona musikal Lana sebagai avatar dari Amerika postmodern dan bagaimana hal ini dapat membantu kita memahami sebuah persona musikal sebagai bagian dari "Self yang hilang".

The internet era has brought a radical change in musical artistry and our aesthetic interpretations of them, with what we perceive to be the identity of an artist clouded with hyperinterpretations in the internet. One example of the artists that emerge in this era is Lana Del Rey. This thesis attempts to look into the components of Lana?s persona and see how they work in the dynamics of ultraviolent internet era through the form of a reflective critical essay, simulating the feel of detective literature without losing grasp on empirical values. The latter part of the analysis exposes Lana`s musical persona as an avatar of the postmodern America as it jumps into the realm of images, and finally returns to round up our understanding of musical personae and its correlation to our lost Self."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S62396
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabyan Putra Suwardi
"Penelitian ini membahas bagaimana proses hegemoni budaya Amerika atau amerikanisasi di Jerman melalui film Swing Kids (1993). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pemahaman baru atau common sense apa saja yang terbentuk melalui film Swing Kids (1993). Penelitian ini menggunakan teori hegemoni budaya Antonio Gramsci dan menggunakan metode analisis semiotika Roland Barthes untuk mengungkap bagaimana hegemoni budaya ditampilkan dalam Swing Kids (1993). Hasil penelitian menunjukan bahwa film Swing Kids (1993) telah menciptakan dua pemahaman baru atau common sense. Pertama, tindakan remaja atau masyarakat Jerman yang mencintai budaya, gaya hidup, dan nilai-nilai Amerika dapat dinilai sebagai tindakan yang benar dan baik untuk dilakukan. Kedua, tindakan remaja atau masyarakat Jerman yang memiliki rasa cinta yang besar terhadap budaya dan negara Jerman dapat dinilai sebagai tindakan yang salah dan buruk seperti halnya Nazi. Pembentukan dua pemahaman baru tersebut secara tidak langsung dapat berpotensi mempengaruhi perspektif penonton terhadap negara Amerika dan juga negara Jerman.

This study discusses the process of American cultural hegemony or Americanization in Germany through the film Swing Kids (1993). The aim of this study is to analyze what the new understanding or common sense is formed through the film Swing Kids (1993). This study uses Antonio Gramsci's theory of cultural hegemony and uses Roland Barthes' semiotic analysis method to reveal how cultural hegemony is displayed in Swing Kids (1993). The study results show that the film Swing Kids (1993) has created two new understandings or common sense. First, the actions of German teenagers or people who love American culture, lifestyle and values can be considered as the right and good thing to do. Second, the actions of German teenagers or people who have a great love for German culture and the country can be considered as wrong and bad actions like the Nazis. The formation of these two new understandings can indirectly potentially influence the audience's perspective on America and Germany."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Japan : Center for International Cultural Studies and Education, Josai University
050 RJCS 1-3 (1986-1991) + Indeks
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Bajora Rahman
"Keberhasilan Amerika Serikat menjalankan diplomasi jazz sebagai diplomasi budaya pada era Perang Dingin lalu telah menginspirasi U.S. State Department untuk mengulangi hal yang sama sekarang. Oleh karena itu, sejak tahun 2006 Amerika Serikat telah menjalankan diplomasi hip hopnya ke negaranegara di dunia. Hip hop dipilih selain karena perkembangannya yang begitu pesatnya, juga kedekatannya dengan anak-anak muda. Diharapkan hip hop dapat membantu misi diplomasi budaya Amerika Serikat yaitu memperbaiki image dan menyebarkan values-nya di dunia. Penelitian ini mencoba mengevaluasi karakteristik hip hop dengan karakteristik diplomasi budaya Amerika Serikat untuk menjawab pertanyaan ?Mengapa Amerika Serikat memilih hip hop sebagai diplomasi budayanya.

The United States success in implementing Jazz Diplomacy as cultural diplomacy during the Cold War era had inspired the U.S. State Department to implement the same policy. Thus, since 2006, the U.S. had been implementing hip hop diplomacy as part of its foreign policies. Hip hop was chosen not only for its rapid development but also for its close connection with young generation. This hip hop diplomacy is expected to help the U.S. cultural diplomacy mission to improve its image around the world and spread its values among foreign audiences. This research is trying to help to asses hip hop characteristics compared to other US cultural diplomacy characteristics in order to answer the research question. Why does the U.S. choose hip hop as its cultural diplomacy initiatives?"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library