Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53 dokumen yang sesuai dengan query
cover
[Place of publication not identified]: Binacipta, 1979
342.044 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gates, Bill
New York: John Wiley, 1998
338.76 GAT b (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008
342.02 MOD
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Clinton, Bill
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2010
361.7 CLI gt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2016
R 342.6 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Novianto Murti Hantoro
Abstrak :
Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya mengajak DPR untuk menerbitkan 2 (dua) undang-undang yang akan menjadi omnibus law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi puluhan undang-undang. Omnibus law kemudian menjadi banyak dibahas oleh kalangan akademisi. Tulisan ini akan menganalisis mengenai konsep omnibus law dan bagaimana tantangan penerapannya di Indonesia. Praktik penggunaan omnibus law telah banyak dilakukan oleh banyak negara, terutama yang menggunakan tradisi common law system, sedangkan Indonesia mewarisi tradisi civil law system. Tradisi sistem hukum saat ini sudah tidak terlalu ketat dan dikotomis, namun pembentukan omnibus law tetap perlu memperhatikan ketentuan pembentukan undangundang di Indonesia. Setidaknya terdapat 3 (tiga) tantangan untuk penerapan omnibus law di Indonesia, yaitu masalah teknik perundang-undangan, penerapan asas peraturan perundang-undangan, dan potensi terjadinya resentralisasi kewenangan. DPR perlu membahas RUU omnibus law secara berhati-hati dengan melibatkan partisipasi seluruh pemangku kepentingan, agar tujuan penyederhanaan regulasi untuk menarik investor, mengembangkan UMKM, dan menciptakan lapangan kerja, menjadi tidak demokratis dan kontra produktif.
Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2020
320 PAR 2:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmad Budiaji
Abstrak :
MPR hasil pemilihan umum tahun 1997 dalam sidang umumnya yang diselenggarakan tahun 1998 telah membahas materi tentang HAM untuk ditetapkan menjadi ketetapan MPR tersendiri sebagai usulan dari Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI). Pada akhirnya, HAM gagal disahkan dalam bentuk ketetapan tersendiri tetapi ada beberapa butir pokok-pokok pemikiran tentang HAM yang masuk menjadi bagian Ketetapan MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), gagasan yang awalnya di dukung oleh tri-fraksi terdiri F-KP, F-ABRI, dan F-UD. Tesis ini mencoba mencari jawaban mengapa HAM tidak dijadikan Ketetapan MPR tersendiri. Idealnya hak asasi manusia adalah muatan sebuah konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Namun, karena ada konsensus politik pada masa Orde Baru yang tidak berkehendak untuk mengubah UUD 1945 maka gagasan untuk memasukkan HAM dalam UUD 1945 dengan jalan mengubah atau mengamandemen menemui jalan buntu. Oleh karena itu, usulan agar HAM ditetapkan dalam satu naskah ketetapan MPR sehingga menjadi semacam bill of rights, menjadi pilihan yang wajar apalagi sejarah menunjukkan pada masa MPRS tahun 1968 telah berhasil menyusun naskah HAM. Hasil penelitian menunjukkan maksud mengajukan rantap HAM adalah agar secara yuridis konstitusional menjadi pedoman pelaksanaan perlindungan HAM dan kewajiban serta tanggungjawah sosial secara kolektif maupun individu, yang bersifat menyeluruh bukan sekedar kebijaksanaan parsial. Bila HAM hanya ditampung dalam GBHN kurang tepat karena (1) hanya memuat garis-garis besar sehingga materi HAM tak tertampung seluruhnya, (2) hanya berlaku selama lima tahun, (3) selalu terbuka untuk ditinjau kembali dan (4) selalu terbuka diubah sama sekali. Dari proses usulan dan pembahasan ditemukan bahwa tri-fraksi menilai lahirnya TAP MPR tentang HAM akan menyulitkan pemerintah yang sedang dihadapkan pada kondisi pemulihan krisis ekonomi dan ancaman instabilitas politik. Secara bersamaan, adanya usulan yang gagasannya datang dari Presiden Suharto untuk melahirkan TAP MPR tentang pelimpahan tugas dan wewenang khusus kepada Presiden, menjadi salah satu faktor yang kontradiktif bagi penegakan hak asasi manusia dan usulan TAP MPR tentang HAM. Pada akhirnya sumbangan terbesar penyebab kegagalan TAP MPR tentang HAM adalah konstelasi politik MPR yang lebih merepresentasikan politik Orde Baru yang bercorak birokratik otoritarian dengan korporatisme negara yang terjelma dalam hubungan kekuasaan antara Presiden Suharto dengan tri-fraksi sebagai kekuatan politik dominan. Pada sisi yang lain, F-PP dan F PDI sebagai fraksi pengusul Rantap HAM merupakan kekuatan minoritas yang tak mampu menjalankan fungsi kontrol atau bertindak sebagai kekuatan oposisi. Perdebatan HAM yang diwarnai isu dalam konteks hubungan internasional menunjukkan adanya kesadaran pengaruh eksternal terhadap tekanan dan tuntutan untuk penegakan HAM, melalui badan kerjasama internasional atau kerjasama bantuan ekonomi. Demikian juga ada kesadaran dari semua fraksi bahwa dinamika internal berupa tuntutan penegakan hak asasi manusia merupakan konsekuensi logis dari hasil pembangunan yang melahirkan kelas terdidik dalam masyarakat yang menginginkan partisipasi politik dalam konteks penegakan hak asasi. Isu HAM pada konteks pemahaman universalitas dan relativisme menunjukkan posisi fraksi yang berbeda, pada sisi tri-fraksi ada kecenderungan kuat menolak paham universalisme. sedang sisi yang lain antara F-PP dan F-PDI tidak mempermasalahkan pandangan universalisme meskipun mengakui relativisme dalam konteks Indonesia. Isu pelanggaran HAM yang muncul dalam perdebatan ditengarai lebih banyak dilakukan oleh unsur negara, karena faktor struktural kuatnya negara dan kebijakan pembangunan yang berasumsi pembangunan ekonomi dengan pengorbanan aspek politik, disisi lain aspek kultural masyarakat yang bersikap menerima.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Godwin, Jack
Abstrak :
For years, a pervasive belief has reigned in American politics-that two of our most recent presidents had drastically opposing views of our economy and our world. Historians and economists alike have explored, extolled and criticized Ronald Reagan's presidency, particularly the theory of "Reaganomics," which affirmed that big government was the cause, not the solution, to our problems. In public, President Bill Clinton positioned his approach as the antidote to Reaganomics. But in reality, his governing philosophy was the logical corollary to the Reagan Revolution. Clintonomics explores how Clinton's presidency marked the return of fiscal discipline and the end of big government. Political scientist Jack Godwin reveals how Clinton succeeded where Reagan failed and how Clinton's ability to demystify, but not simplify, the world around us made him one of the most successful politicians of all time. He shows how Clinton succeeded by repairing the flaws in Reaganomics and then presenting a governing philosophy appropriate for the 21st century and equal to the powerful forces of globalization. Controversial and insightful, this book will redefine how we see the legacies of these two leaders-and the forces that helped define their influence on the world.
New York: American Management Association, 2009
e20448757
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2016
R 342.6 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>