Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arie S. Atmadibrata
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan, di satu pihak untuk mengetahui upaya yang dilaksanakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dalam membangun pelayanan prima, sesuai dengan eksistensinya sebagai badan usaha di bidang pelayanan publik. Di lain pihak dimaksudkan untuk menelaah persepsi atau penilaian pelanggan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan PDAM.
Metode yang digunakan adalah survei-eksploratif, yakni data dikumpulkan dari responden yang banyak jumlahnya dengan menggunakan kuesioner, sehingga memungkinkannya pembuatan generalisasi untuk populasi yang besar, dengan menghimpun dan mengumpulkan data sebanyak mungkin, di mana setelah dilakukan analisis secara kualitatif diharapkan dapat melahirkan suatu hipotesis untuk kepentingan penelitian lebih lanjut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya pengembangan pelayanan prima yang mencakup tujuh prinsip atau dimensi, yakni : self esteem (harga diri atau kebanggaan), exceed expectation (berusaha memberi yang lebih baik), recover (berusaha mendapatkan kembali), vision (menciptakan visi), improve (melakukan perbaikan), cara (memberi perhatian), dan empower (melakukan pemberdayaan). Implementasi ketujuh dimensi pelayanan prima tersebut oleh PDAM ternyata belum optimal atau kurang baik.
Demikian pula dengan hasil pengukuran terhadap tingkat kualitas pelayanan PDAM, yakni ditelaah dengan menganalisis persepsi pelanggan mengenai kualitas pelayanan yang mencakup lima dimensi, antara lain : tangibles (nyata dapat dilihat), reliability (dapat dipercaya), responsiveness (bersikap tanggap), assurance (jaminan), serta empathy (kesungguhan). Kualitas pelayanan PDAM atas dasar kelima dimensi tersebut, menurut persepsi pelanggan ternyata belum optimal atau masih kurang baik."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Basuki Dwi Lestari
"Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia yang harus ditanggulangi secara serius. Terjadinya anemia gizi biasanya disebabkan karena jumlah zat besi yang dikonsumsi tidak sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Di samping itu berbagai faktor juga dapat mempengaruhi terjadinya anemia gizi antara lain kebiasaan makan, kurangnya konsumsi zat gizi lain misalnya vitamin A, vitamin C, protein, infeksi, sanitasi lingkungan, investasi cacing, dan sosial ekonomi. Konsekuensi yang timbul akibat terjadinya anemia gizi adalah produktivitas rendah, terhambatnya perkembangan mental dan kecerdasan, menurunnya kekebalan terhadap penyakit infeksi, morbiditas dll.
Prevalensi anemia gizi remaja putri berdasarkan beberapa hasil penelitian ternyata cukup tinggi, sementara upaya penanggulangan anemia belum mengarah kepada sasaran remaja ini.
Penelitian ini merupakan suatu studi analisis yang menggunakan data sekunder dari Pusat Penelitian dan' Pengembangan Gizi, Departemen Kesehatan RI. Jenis penelitian ini termasuk penelitian observasional tipe potong lintang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia gizi remaja putri. Variabel dependen penelitian ini adalah status anemia remaja putri, sedangkan variabel independen meliputi investasi cacing, tingkat konsumsi energi, protein, vitamin A, vitamin C dan zat besi, status Cu, pendidikan ayah, pendidikan ibu, dan kebiasaan minum teh. Analisa data meliputi univariat dengan distribusi frekuensi, bivariat dengan uji kai kuadrat, dan multivariat dengan regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi anemia gizi remaja putri sebesar 41.54 %, Disamping itu variabel yang berhubungan berrnakna secara statistik (p < 0.05) dengan kejadian anemia gizi remaja putri adalah variabel investasi cacing, tingkat konsumsi energi, protein, dan vitamin C. Dan variabel yang paling berhubungan secara bersama-sama terhadap kejadian anemia gizi adalah variabel tingkat konsumsi vitamin C (p < 0.0383, OR = 2.71, CI 95 % = 1.76614 - 3.65i 66).
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, disarankan agar penangguulangan anemia gizi pada remaja putri sudah harus mulai diprioritaskan sehingga perlu adanya program khusus penanggulangan anemia gizi pada remaja putri ini. Disarankan pula dilaksanakannya penyuluhan kepada ibu-ibu mengenai pengetahuan tentang anemia sebab dan akibatnya serta perlunya makanan seimbang kepada remaja putri. Disamping itu perlu adanya penelitian lain mengenai anemia gizi remaja putri sehingga informasi yang didapat bisa saling melengkapi.

Nutritional anemia is one of the major nutritional problems in Indonesia that must be seriously tackled. Nutritional anemia normally occurs when the amount of the iron consumed does not equal to the requirements. Besides, several other factors also contribute to the incidence of nutritional anemia such as, among other things, eating habits, lack of consumption of other nutrients including vitamins A and C, a lack of protein, infection, environmental sanitation, worms infestation, social economic conditions, etc. The consequences arising from nutritional anemia include low productivity, disturbance in mental and intelligence development, decreasing immunity against infectious diseases, morbidity, etc.
According to the results of the research, the prevalence of nutritional anemia among female adolescence is relatively high, whereas the efforts taken to combat anemia have not been directed to' this specific target population.
This research is an analytical study using secondary data from Nutritional Research and Development Centre, Department of Health of the Republic of Indonesia. This is an observational research of a cross-sectional type. The objective of the research is to study the factors relating to the incidence of the nutritional anemia among female adolescence. The dependent variable of the research is the status of anemia among female adolescence, while the independent variables include worms investation, the level of energy, protein, vitamin A, vitamin C and iron consumptions, the status of Cu, educational background of the girls' parents and the habits of tea drinking. Analysis of the data is carried out using univariate method by frequency distribution, bivariate method by chi square test, and multivariate method by logistical regression.
The results of the research have demonstrated that the prevalence of nutritional anemia among female adolescence reaches as high as 41.54 %. In addition, the variables having statistically significant relationship (p < 0.05) with the incidence of nutritional anemia among female adolescence include the investation of worms, and the level of energy, protein, and vitamin C consumptions. And the variable having the closest bearing to the incidence of nutritional anemia is the level of vitamin C consumption (p = 0.0383, OR = 2.71, 95 % CI = 1.76614 - 3.65166).
Based on the results of the research, it is recommended that the handling of nutritional anemia among female adolescence should be prioritized by commencing a special improvement program. Another recommendation is given for the implementation of guidance and education campaign to the mothers on the causes and consequences of anaemia, and the need of providing a balanced diet for their daughters. Further researches and studies on nutritional anemia among female adolescence are deemed necessary, so that all the information obtained will complement each other.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rin Dwi Septarina
"Tuberkulosis merupakan penyakit yang penting untuk ditangani. Penemuan penyakit ini pada anak usia balita (0 - 60 bulan) merupakan hal yang sulit, Pemaparannya pada anak dilihat melalui status mantouxnya. Permasalahan seringkali muncul tanpa disadari pada saat infeksi primer berubah menjadi bentuk klinis melalui kuman yang tidur (dormant} dalam tubuh. Untuk itu, penanganan perlu dilakukan dengan memperhatikan segala potensi risiko yang ada, termasuk risiko penularan melalui kondisi fisik rumah (pencahayaan, kelembaban, ventilasi, kepadatan penghuni rumah).
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan desain cross sectional, berlokasi di wilayah Puskesmas Cimahi Tengah, Cicalengka dan Baleendah Kabupaten Bandung. Populasi penelitian berjumlah 217 orang anak usia balita yang tinggal serumah dengan penderita TB paru BTA (+). Sampel diperoleh dengan cara random sederhana sebanyak 160 orang.
Balita sebanyak 68,1% mempunyai status mantoux positif, mereka sebagian besar adalah pria (50,6%) dan berumur 12-60 bulan (85%). Kondisi lingkungan fisik rumah berupa kelembaban, pencahayaan dan ventilasi tidak berhubungan dengan status mantoux (p>0,05). Variabel kovariat berupa variabel demografi (umur, jenis kelamin), respon individu (status gizi dan BCG, perilaku meludah, tidur, minum obat dan menjemar peralatan tidur) juga tidak berhubungan (p>0,45). Kepadatan penghuni sebagai salah satu variabel utama berhubungan bermakna dengan status mantoux. Demikian pula dengan variabel perilaku menutup batuk, pengetahuan tentang obat TBC dan pengetahuan tentang menghentikan pengobatan (p<0,05). Hasil analisis interaksi menunjukkan bahwa tidak ada variabel interaksi yang bermakna.
Kesimpulan utama memperlihatkan bahwa dari empat variabel utama mengenai kondisi fisik rumah, hanya variabel kepadatan penghuni yang berhubungan bermakna dengan status mantoux balita (p=0,005, OR=3,2). Hal ini diduga dipengaruhi oleh perilaku menutup batuk (p=0,007, OR-3,3), pengetahuan tentang obat TBC (p=0,009, OR=3,5) dan pengetahuan tentang menghentikan pengobatan (p=0,029, OR=2,7).
Disarankan balita menjadi bagian dari sasaran program TB paru. Penanganan bisa dimulai dari penyediaan informasi balita berisiko, pemetaan, pembuatan pojok TB di Puskesmas dan konseling pada penderita, dan memodifikasi KMS. Penelitian lain yang serupa perlu dikembangkan dengan memperhatikan keterbatasan yang ada pada penelitian ini.
Daftar bacaan : 50 (1972 - 2001)

Relation of Housing Physical Environmental Factor with Mantoux Status to The Children below 5 Years of Age in Bandung Regency in 2001Tuberculosis is a critical disease to be handled urgently. To know early this disease at children below 5 years of age (0-60 months) is quiet difficult. Its expose to the children can be seen through its mantoux status. The problem frequently appears without knowing at primary infection changing into clinical form by dormant germ in body. Therefore, the handling is necessarily done with caring any available risky factor, including epidemical risk by housing physical condition (lighting, humidity, ventilation, housing occupant population).
This research uses secondary data with cross sectional design, located in Puskesmas Cimahi Tengah area, Cicalengka and Baleendah, Bandung regency. Research population is amounted 217 children below 5 years of age who lived at the same house with TB lungs BTA (+) sufferer. The samples are obtained with simple random methodology effected by 160 persons.
68,1% children below 5 years of age posses positive mantoux status, most of them are male (50.60%) and age is 12-60 months (85%). Housing physical environmental condition which has a humidity, lighting and ventilation doesn't relate with mantoux status (p>0,05). Covariate variable is a demography variable (age, sex), individual response (nutrious status and BCG, spitting behaviour, sleeping, drinking medicine and surbathing bed tools) also not to correlate with (p>0.05). Inhabitant population is one of mail variable of significant correlation mantoux status. Furthermore it is the same as behaviour variable closes the cough, the knowledge concerning TBC medicine and how to stop the treatment (p<0.05). Interaction analysis result proved that there was no significant interaction variable.
The main conclusion showed that from 4 (four) main variables concerning physical house condition, it is only urbant population variable which related significantly with children below 5 years of age mantoux status (p-0.006, OR=3.2). It is probably influenced by the behaviour not to close the cough (p=0,007, OR=3.3), the knowledge about TBC (p =0.009, OR=3 .5) and how to the treatment (p= 0.029, OR=2.7).
We are recommended that the children below 5 years of age become a part of lungs TB program target. The handling can be begun from information providing for the risked children below 5 years of age, mapping, building up TB corner at Puskesmas and conseling to the sufferer and modificating KMS (health card).. Another research which is familiar needs to be developed with caring available limitation on this research.
Reference list : 50 (1972 - 2001)"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 8278
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
"Penetapan 26 dari sekitar 300 Daerah Tingkat II sebagai Percontohan Otonomi Daerah merupakan tahapan awal dari serangkaian tahapan dalam melaksanakan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II di Indonesia. Namun, karena pertimbangan tertentu, tidak semua Daerah Tingkat II dapat melaksanakannya. Dengan demikian, Daerah-daerah Tingkat II di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: yang sudah dan yang belum melaksanakan oonomi daerah.
Perbedaan Daerah Tingkat II dalam melaksanakan oonomi daerah tersebut akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas Camat sebagai bawahan langsung dari Bupati kepala Daerah Tingkat II. Oleh karena itu, bobot tugas Camat akan berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan bobot tugas Camat secara empires pada Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah, dalam hal ini Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung.
Penelitian dilakukan tidak hanya melalui studi kepustakaan, tetapi juga melalui studi lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk memahami perbedaan bobot tugas Camat yang sesungguhnya terjadi di Daerah Tingkat II yang belum dan sudah melaksanakan otonomi daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan bobot tugas Camat di kedua Daerah Tingkat II signifikan, khususnya dalam hal pelaksanaan asas desentralisasi. Bobot tugas desentralisasi Camat di Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung lebih banyak dibandingkan dengan bobot tugas Camat di Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung. Berkenaan dengan pelaksanakan asas dekonsentrasi, bobot tugas Camat relatif sama, sekalipun volume dan jenis kegiatannya agak berbeda. Namun, pertambahan urusan di tingkat kecamatan tidak diimbangi oleh perubahan kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan yang diperlukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang telah melaksanakan otonomi daerah lebih besar daripada bobot tugas Camat di Daerah Tingkat II yang belum melaksanakan otonomi daerah. Oleh karena itu, untuk mengimbangi pertambahan bobot tugas tersebut, perlu perubahan dalam kelembagaan, personil, perlengkapan, dan pembiayaan di tingkat Kecamatan."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nesia Dwiasta
"Sertifikat tanah merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis untuk kepemilikan tanah seseorang. Salah satu jenis pendaftaran sertifikat tanah yaitu sertifikat tanah rutin yang terdiri dari beberapa jenis objek sertifikat diantaranya adalah sertifikat tanah roya, peralihan hak atas tanah, perubahan hak atas tanah, hak tanggungan, split dan pendaftaran pertama kali. Instansi pemerintah yang memiliki wewenang mengeluarkan sertifikat tanah di Indonesia adalah Kementrian ATR/BPN melalui Kantor Pertanahan salah satunya yang terletak di Kabupaten Bandung. Namun kondisi yang terjadi di Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung masih terdapat perlambatan penerbitan sertifikat tanah di setiap waktunya. Beberapa penyebab perlambatan tersebut karena proses perencanaan jumlah blangko dan petugas ukur yang masih belum sesuai. Sehingga diperlukan adanya perbaikan proses perencanaan menggunakan peramalan dengan pendekatan data mining untuk mendapatkan model terbaik. Metode yang digunakan adalah perbandingan metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) dan Artificial Neural Network (ANN). Setelah dilakukan analisis berdasarkan Root Mean Square Error (RMSE), ANN dapat menghasilkan model dengan tingkat akurasi yang terbaik untuk melakukan peramalan pada masing-masing jenis sertifikat tanah dibandingkan ARIMA karena hasil dari ANN memiliki tingkat kesalahan terkecil.

A land certificate is a certificate of proof of rights that serves as a strong proof of physical data and juridical data for a person's land ownership. One type of land certificate registration is a routine land certificate consisting of several types of certificate objects includigroya land certificates, transfer of land rights, changes to land rights, mortgage rights, splits, and first registration. The government agency authorized to issue land certificatesin Indonesia is the Ministry of ATR/BPN through the land office, one of which is in Bandung Regency. However, the conditions that occur in the Bandung Regency land office are still a slowdown in the issuance of land certificates every time. Some of the reasons for the slowdown occurred because the planning process for the number of blanks and measuring officers was still not appropriate. So, it is necessary to improve the planning process using forecasting with a data mining approach to get the best model. The method used is to compare the Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)and Artificial Neural Network (ANN) methods. After analyzing based on Root Mean Square Error (RMSE), the ANN can produce a model with the best accuracy forforecasting each type of land certificate compared to the ARIMA because the results of the ANN have the smallest error rate.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusli Nur Ali Aziz
"ABSTRAK
Penelitian ini mencoba memformulasikan kebijakan pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS) Citarum dalam kerangka pengendalian banjir di Kabupaten
Bandung. Model dinamis digunakan untuk menggambarkan sistem dan
mengetahui faktor pengungkit (leverage factor) serta kebijakan yang diambil
untuk mengoptimalkan pengelolaan DAS Citarum dalam pengendalian banjir.
Salah satu temuan penting dalam dalam penelitian ini adalah Pengaruh Subsistem
Gangguan Lingkungan terhadap subsistem lain sangat kuat. Sebelum anggaran
semakin dominan, Gangguan Lingkungan mampu menurunkan Area Terbuka
Hijau ke level sangat rendah. Selain itu, Gangguan Lingkungan juga mendorong
penurunan Kapasitas Citarum sekalipun Anggaran terus membesar. Peran
Pendidikan saat ini belum mampu mereduksi tingkat gangguan lingkungan.

ABSTRACT
This study is to formulate a Riverbasin ( DAS ) Management Policy in the
framework of Citarum flood control in Bandung Regency. A System Dynamics
model is used to describe the system and to identify the leverage factors as well
as alternative policies for optimizing the management of the Citarum Riverbasin
Flood Control. The most important finding in this study is the very strong impact
of Environmental Disturbance Subsystem to other subsystems. The
Environmental Disturbance reduces Green Open Areas to a very low level before
Budget dominates it in the system. In addition, the Environmental Disturbance
also push down the Citarum Capacity despite the Budget rises continously. The
role of the existing education among the society has not been able to reduce the
level of the Environmental Disturbance."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T39385
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library