Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Philadelphia: The Wistar Intitute of Anatomy and Biology, 1947
599.94 HRD
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Sofian Sopandi
Abstrak :

Latar Belakang: Morfologi telinga bervariasi antarindividu bergantung pada berbagai faktor, di antaranya faktor geografis dan etnik. Indonesia yang dihuni beraneka ragam suku bangsa tidak memiliki data mengenai protrusi normal telinga. Studi ini bertujuan untuk menyediakan data dasar anthropometri protrusi normal telinga pada mahasiswa fakultas kedokteran subras Melayu.

Metode: Penulis melakukan sebuah studi potong lintang pada mahasiswa fakultas kedokteran Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dengan subjek duduk tegak, penulis mengukur jarak antara mastoid dan heliks pada level superaurale dan tragal. Penulis menggambarkan karakteristik protrusi telinga menggunakan statistic deskriptif.

Hasil: Kami melibatkan 409 mahasiswa fakultas kedokteran yang terdiri dari 105 laki-laki dan 304 perempuan. Dari 326 subjek Melayu, 307 merupakan keturunan Deutero Melayu, sementara 19 Proto Melayu. Protrusi superaurale rerata untuk subras Deutero Melayu adalah 16,7 mm (SD = 2,9) untuk telinga kiri dan 16,6 mm (SD = 2,9) untuk telinga kanan. Protrusi tragal adalah 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kiri dan 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kanan. Protrusi superaurale rerata untuk subras Proto Melayu adalah 15,8 mm (SD = 2,6) untuk telinga kiri dan 15,5 mm (SD = 3,6) untuk telinga kanan. Protrusi rerata level tragal adalah 20,1 mm (SD = 2,4) untuk telinga kiri dan 20,4 mm (SD = 3,3) untuk telinga kanan. Sebanyak 36 subjek merupakan subras campuran, dengan protrusi superaurale rerata 17 mm (SD = 3,4) untuk telinga kiri dan 16,9 mm (SD = 3,2) untuk telinga kanan. Protrusi tragal rerata kiri dan kanan kelompok ini adalah 22,7 mm (SD = 3,6) dan 22,9 mm (SD = 4).  Sisa 47 subjek berasal dari subras lain, yaitu Cina, India, dan Arab, dengan protrusi superaurale rerata kiri 14,7 mm (SD = 2,8) dan kanan 14,1 mm (SD = 2,9). Protrusi tragal rerata kelompok ini adalah 20,2 mm (SD = 3,6) untuk telinga kiri dan 20,6 mm (SD = 3,9) untuk telinga kanan.

Diskusi dan Kesimpulan: Hasil studi penulis menunjukkan hasil serupa dengan studi Purkait pada dewasa India. Meskipun demikian, protrusi tragal rerata studi ini melebihi kriteria klasik telinga prominen Adamson dan Wright yaitu 20 mm. Studi ini memberikan data anthropometri dasar untuk protrusi telinga populasi Indonesia, khususnya subras Melayu.

 


Background: Ear morphology varies between individuals depending on many factors, the geographical and ethnic factors among others. While Indonesia is inhabited by diverse ethnic groups, data regarding normal ear protrusion is not available. This study aims to provide a baseline data on normal ear protrusion anthropometry among medical students of Malay subraces.

Methods: We conducted a cross-sectional study on Rumah Sakit Hasan Sadikin medical students. With the subject sitting upright, the distance between mastoid and the helix on superaurale and tragal level is measured. We depicted ear protrusion characteristics using descriptive statistics.

Result: We enrolled 409 medical students. There were 105 male and 304 female. From 326 Malay subjects, a total of 307 subjects were from Deutero Malay descent, while 19 were Proto Malay. The mean superaurale protrusion for Deutero Malay subrace was 16.7 mm (SD = 2.9) for the left ear and 16.6 mm (SD = 2.9) for the right ear. The tragal protrusion was 21.7 mm (SD = 3.5) for the left ear and 21.7 mm (SD = 3.5) for the right ear. The mean superaurale protrusion for Proto Malay subrace was 15.8 mm (SD = 2.6) for the left ear and 15.5 mm (SD = 3.6) for the right ear. Mean protrusion on the tragal level was 20.1 mm (SD = 2.4) for the left ear and 20.4 mm (SD = 3.3) for the right ear. Thirty six subjects were mixed subrace, whose mean superaurale protrusion was 17 mm (SD = 3.4) for the left ear and 16.9 mm (SD = 3.2) for the right. Their mean left and right tragal protrusion was 22.7 mm (SD = 3.6) and 22.9 mm (SD = 4).  The remaining 47 subjects belonged to other subraces, i.e. Chinese, Indian, and Arabic, with the left mean superaurale protrusion 14.7 mm (SD = 2.8) and the right 14.1 mm (SD = 2.9). Their mean tragal protrusion was 20.2 mm (SD = 3.6) for the left ear and 20.6 mm (SD = 3.9) for the right.

Discussion and Conclusion: Our results showed comparable values to Purkaits similar study on Indian adults. However, our mean tragal protrusion exceeds Adamson and Wrights classic criteria of protruding ear, which is 20 mm. This study provided a baseline anthropometric data on ear protrusion of Indonesian population, especially Malay subraces.

 

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Sofian Sopandi
Abstrak :

Latar Belakang: Morfologi telinga bervariasi antarindividu bergantung pada berbagai faktor, di antaranya faktor geografis dan etnik. Indonesia yang dihuni beraneka ragam suku bangsa tidak memiliki data mengenai protrusi normal telinga. Studi ini bertujuan untuk menyediakan data dasar anthropometri protrusi normal telinga pada mahasiswa fakultas kedokteran subras Melayu.

Metode: Penulis melakukan sebuah studi potong lintang pada mahasiswa fakultas kedokteran Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dengan subjek duduk tegak, penulis mengukur jarak antara mastoid dan heliks pada level superaurale dan tragal. Penulis menggambarkan karakteristik protrusi telinga menggunakan statistic deskriptif.

Hasil: Kami melibatkan 409 mahasiswa fakultas kedokteran yang terdiri dari 105 laki-laki dan 304 perempuan. Dari 326 subjek Melayu, 307 merupakan keturunan Deutero Melayu, sementara 19 Proto Melayu. Protrusi superaurale rerata untuk subras Deutero Melayu adalah 16,7 mm (SD = 2,9) untuk telinga kiri dan 16,6 mm (SD = 2,9) untuk telinga kanan. Protrusi tragal adalah 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kiri dan 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kanan. Protrusi superaurale rerata untuk subras Proto Melayu adalah 15,8 mm (SD = 2,6) untuk telinga kiri dan 15,5 mm (SD = 3,6) untuk telinga kanan. Protrusi rerata level tragal adalah 20,1 mm (SD = 2,4) untuk telinga kiri dan 20,4 mm (SD = 3,3) untuk telinga kanan. Sebanyak 36 subjek merupakan subras campuran, dengan protrusi superaurale rerata 17 mm (SD = 3,4) untuk telinga kiri dan 16,9 mm (SD = 3,2) untuk telinga kanan. Protrusi tragal rerata kiri dan kanan kelompok ini adalah 22,7 mm (SD = 3,6) dan 22,9 mm (SD = 4). Sisa 47 subjek berasal dari subras lain, yaitu Cina, India, dan Arab, dengan protrusi superaurale rerata kiri 14,7 mm (SD = 2,8) dan kanan 14,1 mm (SD = 2,9). Protrusi tragal rerata kelompok ini adalah 20,2 mm (SD = 3,6) untuk telinga kiri dan 20,6 mm (SD = 3,9) untuk telinga kanan.

Diskusi dan Kesimpulan: Hasil studi penulis menunjukkan hasil serupa dengan studi Purkait pada dewasa India. Meskipun demikian, protrusi tragal rerata studi ini melebihi kriteria klasik telinga prominen Adamson dan Wright yaitu 20 mm. Studi ini memberikan data anthropometri dasar untuk protrusi telinga populasi Indonesia, khususnya subras Melayu.


Background: Ear morphology varies between individuals depending on many factors, the geographical and ethnic factors among others. While Indonesia is inhabited by diverse ethnic groups, data regarding normal ear protrusion is not available. This study aims to provide a baseline data on normal ear protrusion anthropometry among medical students of Malay subraces.

Methods: We conducted a cross-sectional study on Rumah Sakit Hasan Sadikin medical students. With the subject sitting upright, the distance between mastoid and the helix on superaurale and tragal level is measured. We depicted ear protrusion characteristics using descriptive statistics.

Result: We enrolled 409 medical students. There were 105 male and 304 female. From 326 Malay subjects, a total of 307 subjects were from Deutero Malay descent, while 19 were Proto Malay. The mean superaurale protrusion for Deutero Malay subrace was 16.7 mm (SD = 2.9) for the left ear and 16.6 mm (SD = 2.9) for the right ear. The tragal protrusion was 21.7 mm (SD = 3.5) for the left ear and 21.7 mm (SD = 3.5) for the right ear. The mean superaurale protrusion for Proto Malay subrace was 15.8 mm (SD = 2.6) for the left ear and 15.5 mm (SD = 3.6) for the right ear. Mean protrusion on the tragal level was 20.1 mm (SD = 2.4) for the left ear and 20.4 mm (SD = 3.3) for the right ear. Thirty six subjects were mixed subrace, whose mean superaurale protrusion was 17 mm (SD = 3.4) for the left ear and 16.9 mm (SD = 3.2) for the right. Their mean left and right tragal protrusion was 22.7 mm (SD = 3.6) and 22.9 mm (SD = 4). The remaining 47 subjects belonged to other subraces, i.e. Chinese, Indian, and Arabic, with the left mean superaurale protrusion 14.7 mm (SD = 2.8) and the right 14.1 mm (SD = 2.9). Their mean tragal protrusion was 20.2 mm (SD = 3.6) for the left ear and 20.6 mm (SD = 3.9) for the right.

Discussion and Conclusion: Our results showed comparable values to Purkaits similar study on Indian adults. However, our mean tragal protrusion exceeds Adamson and Wrights classic criteria of protruding ear, which is 20 mm. This study provided a baseline anthropometric data on ear protrusion of Indonesian population, especially Malay subraces.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Saffanah Elvireina
Abstrak :
Latar Belakang: Asupan susu telah direkomendasikan untuk berkontribusi pada pertumbuhan anak di banyak negara, namun hubungan antara asupan susu dan hasil antropometri pada anak di Jakarta belum dipahami secara jelas. Tujuannya untuk mendeskripsikan anak usia 12-36 bulan yang mengkonsumsi produk susu di Jakarta dan mengetahui apakah konsumsi produk susu berhubungan dengan skor WAZ. Metode: Penelitian cross sectional ini berdasarkan data sekunder yang diambil dari anak usia 6-36 bulan September-Oktober 2020. Partisipan penelitian ini adalah anak usia 12- 36 bulan (n=145). Paparan berupa frekuensi konsumsi produk susu dalam hari/minggu dan jenis asupan susu yang dikonsumsi dengan SQ-FFQ. Hasil utamanya adalah skor WAZ. Karakteristik responden adalah jenis kelamin, berat lahir, riwayat ASI eksklusif, pendidikan orang tua, dan pendapatan keluarga. Uji T-Independent digunakan untuk mengetahui hubungan antara asupan susu dan skor WAZ. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna pada skor WAZ anak usia 1 sampai 3 tahun dengan asupan susu lebih dari 7 hari/minggu dibandingkan dengan anak dengan asupan susu kurang dari 7 hari/minggu (p=0,029). Selain itu, anak dengan jenis kelamin Wanita (p=0,007), memiliki riwayat ASI eksklusif (p=0,006), dan yang mengonsumsi mentega (p=0,013) memiliki skor WAZ yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak mengonsumsi. Kesimpulan: Frekuensi konsumsi susu berhubungan dengan skor WAZ pada anak usia 1-3 tahun. ......Background: Dairy intake has been recommended to contribute to child growth in many countries, but the relationship between dairy intake and anthropometric results among children in Jakarta is not clearly understood. The aim is to describe children aged 12-36 months who consume dairy products in Jakarta and determine whether consumption of dairy products is associated with the WAZ score. Method: This cross-sectional research is based on secondary data which taken from children aged 6-36 in September-October 2020. Participants of this study were children aged 12-36 months or 1 to 3 years old (n=145). The exposure was frequency consumption of dairy products in days/week and types of dairy intake taken with SQ-FFQ. The main outcome was the WAZ score. The respondents’ characteristics were gender, birth weight, history of exclusive breastfeeding, parents' education, and family income. T-Independent test is used to determine the relationship between dairy intake and WAZ score. Results: There was a significant difference in WAZ score of children aged 1 to 3 years with dairy intake more than 7 days/week compared with those with dairy intake less than 7 days/week (p=0.029). On top of that, children with female gender (p=0.007), have a history of exclusive breastfeeding (p=0.006), and who consumed butter (p=0.013) have higher WAZ score compared with children who did not consume. Conclusion: Frequency of dairy intake consumption is related to WAZ scores in children aged 1-3 years.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vini Muslimov Sebastian Putra
Abstrak :
Latar Belakang: Whistle deformity merupakan deformitas yang paling sering terjadi pasca labioplasti. Tujuan: untuk membandingkan ukuran tinggi cupid bow sisi non celah, midline dan cupid bow sisi celah pasca Labioplasti dengan teknik Cronin pada pasien UCLP bibir istirahat dan berfungsi dan mengevaluasi apakah terjadi whistle deformity atau tidak. Metode: Penilaian whistle deformity berdasarkan skala antropometri dari data fotograf wajah, yaitu ukuran tinggi cupid bow sisi non celah, midline dan sisi celah pada 24 pasien UCLP pasca labioplasti dengan teknik Cronin, dan pada pasien whistle deformity dilakukan saat bibir istirahat dan berfungsi. Hasil: Dari hasil statistik didapatkan P0,05. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tinggi cupid bow sisi non celah dan sisi celah, tinggi cupid bow sisi non celah, sisi celah dan midline pasien whistle deformity bibir berfungsi dan istirahat, tinggi cupid bow sisi kanan dan kiri pada anak nomal bibir berfungsi dan istirahat, tinggi cupid bow anak normal dengan whistle deformity saat berfungsi. Sedangkan tinggi midline anak normal dan tinggi cupid rsquo;s bow anak normal dan whistle deformity saat bibir istirahat terdapat perbedaan bermakna. ......Background: Whistle deformity is one of the lip deformities post labioplasty usually occurs. Objectives: To compare the height of cupid bow in the normal side, midline and the cleft side post Cronin method labioplasty in the UCLP patient while the lips in function and rest and evaluate is there whistle deformity or not. Method: Evaluation whistle deformity according to anthropometry scale from profile photograph, which are the height cupid bow normal side, midline and cleft side in 24 UCLP patients post Cronin method labioplasty, in the whistle deformity patients while lips function and rest. Result: Base on statistic, the result showed P0,05. Conclusion: There is no significant difference between height cupid bow in the normal side and cleft side, height cupid bow in the normal side, cleft side and midline in the whistle deformity while lips function and rest, height cupid bow of the right and left side in the normal children while lips function and rest, height cupid bow in the normal children and whistle deformity while lips function. On the other side, there is significant difference between height midline in the normal children and height cupid bow in the normal children and whistle deformity while lips rest.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
This study was conducted to explore the nutrional status children under five factor (i,e. mother education background, family income, children under five healty, health environment, access to health service and access to media information). A cross-sectional study based on health service was conducted in Ciruas, Mancak and Kramatwatu Serang, Banten...
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Parade, Magdalena
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitan: Telah dilakukan penelitian status sefalometri subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa di Jakarta. Penelitian ini merupakan studi deskriptif untuk mengetahui data sefalometri pada subetnik Tapanuli dan subetnik Jawa dan studi analisis untuk membandingkan status sefalometri antara subetnik Tapanuli dengan subetnik Jawa. Penelitian dilakukan terhadap 4 kelompok yaitu 50 orang pria subetnik Tapanuli, 50 orang wanita subetnik Tapanuli, 50 orang pria subetnik Jawa, 50 orang wanita subetnik Jawa. Status sefalometri yang diamati mencakup data panjang kepala maksimal, lebar kepala maksimal, jarak bizygomatik, jarak bigonion, indeks sefalikus dan indeks mandibula. Oleh karena bentuk kepala merupakan salah satu ciri khas untuk ras atau subetnik, maka dapat dilakukan penilaian melalui sefalometri. Pengukuran kepala dilakukan dengan protokol baku antropometri dengan menggunakan alat bantu berupa Antropometer (Martin). Data sefalometri hasil pengukuran dan penghitungan lalu di klasifkasikan menurut kriteria yang sesuai dan standard antropometri. Analisis statistik dengan uji Z dilakukan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan status sefalometri antara pria dan wanita kedua subetnik serta antara subetnik Jawa dan Tapanuli. Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada subetnik Tapanuli dan Jawa ukuran panjang kepala, lebar kepala, bizygomatik, bigonion pada pria lebih besar secara bermakna dari wanita. Sebaliknya indeks sefalikus dan Indeks yugomandibular pria Tapanuli ditemukan tidak berbeda dari wanita Tapanuli. Panjang kepala dan bigonion pria Tapanuli lebih besar secara bermakna dari pria Jawa. Wanita Tapanuli memiliki panjang kepala dan bigonion yang lebih besar secara bermakna dari wanita Jawa. Lebar kepala, bizygomatik pria Tapanuli tidak berbeda bermakna dari pria Jawa dan wanita Tapanuli memiliki lebar kepala dan bigonion yang tidak berbeda bermakna dari wanita Jawa. Indeks sefalikus pria Tapanuli sama dengan pria Jawa, Indeks sefalikus wanita Tapanuli tidak sama dengan wanita Jawa. Demikian juga dengan Indeks yugomandibular pria dan wanita Tapanuli sama dengan pria dan wanita Jawa.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T5757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirta Hediyati Reksodiputro Erlangga
Abstrak :
Sejak dahulu manusia selalu berusaha untuk menemukan dan menjabarkan konsep tentang kriteria wajah cantik. Pemikiran tersebut terus berubah seiring dengan berjalanannya waktu, yang banyak dipengaruhi oleh faktor etnik, ras, ekonomi, agamalkeyakinan dan kebudayaan. Pada jaman Renaisance Yunani para ahli berusaha menjabarkan wajah cantik dan menarik secara estetika. Estetika berasal dart bahasa Yunani, aisthesis yang berarti keindahan/kecantikan. Bangsa Yunani menganggap konsep cantik meliputi filosofi dan penampilan fisik. Mereka menciptakan figur Venus de Milo sebagai gambaran klasik dari proporsional cantik dengan berdasarkan Classical Greek Canon namun Classical Greek Canon/Neoclassical Canon tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan pads semua ras dan etnik. Salah satu karya Leonardo da Vinci (menggunakan metode Neoclassical Canon) menghasilkan lukisan wajah perempuan yang proporsional dan ideal. Menurut Leonardo da Vinci wajah seimbang harus dapat dibagi tiga dengan perbandingan yang sama, yaitu antara garis rambut frontal dengan garis supra orbital (Trichion-Glabella), garis supra orbital dengan dasar hidung (Glabella-Subnasal), dan dasar hidung serta Ujung bawah dagu (Subnasal Menton). Konsep menarik dan cantik telah banyak didiskusikan oleh ahli bedah namun definisi obyektif sulit dijabarkan. Pada wajah estetika, menarik meliputi kombinasi kualitas wajah, seimbang, proporsional, simetri, harmoni dan nilai budaya yang berlaku. Dewasa ini banyak diusahakan metode analisis yang lebih konsisten. Antropometri wajah adalah pengukuran terhadap setiap bagian dari wajah, meliputi nilai ukuran/proporsi secara vertikal, horizontal dan sudutlangulasi pada setiap bagian wajah. Antropometri dapat dilakukan dengan berbagai macam cara antropometri, yaitu antropometri secara langsung, antropometri dengan hasil dokumetasi (fotogrammetri), atau pun antropometri berikut radiografi wajah dan kepala (sefalometri). Perangkat tersebut dapat membantu perencanaan estetika, rinoplasti dan/atau operasi rekonstruksi. Berdasarkan pengukuran antropometri, atau pun fotogrammetri yang telah dilakukan terhadap beberapa ras menunjukkan perbedaan ukuran analisis wajah pada setiap ras dan etnik. Pembentukan kontur wajah selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor ekologi, seperti jenis makanan dan iklim tempat tinggal. Oleh karena itu dapat ditemukan ciri khas kontur wajah bagi suatu ras atau populasi pada daerah tertentu. Analisis dan proporsional wajah telah banyak dibahas pada bangsa Kaukasia dan Afrika Amerika namun hanya sedikit data mengenai bangsa Asia. Farkas melaporkan 132 nilai pengukuran antropometri wajah pada perempuan dan laki-laki Amerika Utara (Kaukasia). Chou melaporkan 29 nilai pengukuran antropometri wajah pada orang Korea. Analisis wajah merupakan langkah pertama dalam mengevaluasi pasien yang datang, baik untuk prosedur rekonstruksi maupun kosmetika wajah. Operasi wajah demi tujuan estetika pada orang Asia akan menjadi tidak proporsional bila mengacu pada data dan ukuran Kaukasia. Lebih lanjut banyak bangsa Asia yang ingin tetap mempertahankan wajah etnik asli mereka setelah dioperasi. Tantangan bagi para ahli bedah adalah untuk tetap mempertahankan etnik bentuk wajah yang asli dan memperbaiki bagian yang tidak proporsional terhadap keseluruhan bentuk wajah. Analisis wajah dapat menjadi lebih mudah dilakukan dengan menggunakan teknik fotogrammetri yaitu pengukuran antropometri wajah dengan menggunakan hasil dokumentasi Rhinobase Software merupakan perangkat yang dapat membantu proses fotogrammetri, dimana hasil foto akan dianalisis dengan menggunakan perangkat ini. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari Rhinobase Software. Selain berguna untuk fotogrammetri, perangkat tersebut dapat pula membantu ahli bedah dalam menyimpan keseluruhan data pasien (anamnesis, pemeriksaan fisik, fotogrammetri, rencana operasi, dan hasil operasi).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Nolli Iskandar
Abstrak :
Latar belakang : Deformitas nasal pada pasien dengan celah bibir disebabkan oleh deviasi septum nasal, distorsi tulang rawan alar, dan ketidaksejajaran maksila dan tulang alveolar yang disebabkan oleh bidang palatum yang melebar. Penambahan rinoplasti pada teknik labioplasti menjadi solusi pada pengelolaan pasien UCLP dengan tujuan untuk mendapatkan kesimetrisan nostril. Penelitian ini bertujuan membandingkan ukuran dan kesimetrisan nostril sisi celah dan non celah pasca kombinasi Labioplasti teknik Cronin dengan Rinoplasti teknik Tajima. Metode : Penilaian kesimetrisan nostril berdasarkan skala antropometri dari data fotograf wajah, yaitu ukuran tinggi nostril, lebar nostril, tinggi ¼ medial nostril, dan luas nostril pada 35 pasien UCLP pasca kombinasi Labioplasti teknik Cronin dengan Rinoplasti teknik Tajima. Hasil : Dari hasil statistik didapatkan P<0,05 pada lebar dan tinggi ¼ medial nostril. Sedangkan pada tinggi dan luas nostril didapatkan P>0,05 . Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada tinggi dan luas nostril antara sisi non celah dengan sisi celah pada pasien pasca labioplasti Teknik Cronin dan Rinoplasti teknik Tajima, sedangkan pada lebar dan tinggi ¼ medial nostril terdapat perbedaan yang bermakna. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan pada tinggi dan luas nostril pasca labioplasti teknik Cronin dan rinoplasti teknik Tajima pada pasien UCLP. Sedangkan pada lebar dan tinggi ¼ medial nostril terdapat perbedaan antara sisi celah dan non celah. ......Background: Nasal Deformity in cleft lip patient is caused by nasal septum deviation, alar cartilage distortion, and unparallel maxilla and alveolar bone which caused by widening of palate. Additional rhinoplasty in labioplasty method becomes a solution in management of UCLP patient in order to achieve nostril symmetrically. The aim of this experiment is to compare nostril size and symmetry between cleft side with non cleft side post labioplasty Cronin method and Rhinoplasty Tajima method. Methods: Evaluation of Nostril symmetrical according to anthropometry scale from profile photograph, which are nostril height, nostril width, ¼ medial nostril height, and nostril area in 35 UCLP patients post labioplasty with combination of Cronin and rhinoplasty method. Result: Based on statistic, the result showed P<0,05 within width and ¼ medial nostril height. On the other side, height and nostril area result showed p>0,05. This shows that there is no significant difference between height and nostril area between non cleft side with cleft side in patient post labioplasty Cronin method and Tajima method Rhinoplasty. On the other side, there is significant different between width and ¼ medial nostril height. Conclusion: There is no significant different between height and nostril area post labioplasty Cronin method and Tajima method Rhinoplasty in UCLP patient. On the other side, there is significant difference between width and ¼ medial nostril height between cleft side and noncleft side.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monalisa Andrimika
Abstrak :
Jakarta dengan status kota metropolitan dan pusat ekonomi membentuk adanya masyarakat urban di mana masyarakat urban merupakan representatif keadaan satu negara. Sebagai representasi Indonesia, tentu penting untuk Kota Jakarta dapat menunjukkan kemajuan di era globalisasi ini lewat optimalisasi desain inklusif. Kehadiran toilet difabel merupakan bentuk optimalisasi desain inklusif. Namun pada kenyataannya masih ditemukan toilet yang tidak ramah bagi kaum difabel meskipun sudah tersedia. Skripsi ini membahas mengenai penerapan desain inklusif pada toilet difabel di stasiun kereta dengan objek studi kasus ialah pada Stasiun Manggarai dan Stasiun MRT bundaran HI. Penulisan ini bertujuan untuk memahami sebenarnya spesifikasi apa saja yang dibutuhkan khusus pada toilet difabel dan dilihat juga dari sisi antropometrinya. Metode yang digunakan pada studi kasus ini ialah metode kualitatif dalam bentuk deskriptif dan didukung dengan data kuantitatif atau dikenal dengan strategi penelitian ganda yaitu penggunaan metode yang beragam dalam memecahkan suatu masalah penelitian. ......Jakarta, as a metropolitan city and an economic center, forms the existence of an urban society that is a representation of the state of the country. As a representative of Indonesia, it is important for Jakarta to be able to show progress in the era of globalization through optimizing inclusive designs. Accessible toilets are an optimization of inclusive designs.  But in reality, there are still accessible toilets that are not friendly for people with disabilities even though they are provided. This thesis discusses inclusive design implementation on disabled accessible toilets at train stations with case studies on Manggarai Station and Bundaran HI MRT Station. This writing aims to understand what specifications are needed specifically for accessible toilets and also from an anthropometric perspective. The method used in this case study is a qualitative method in descriptive form and is supported by quantitative data or known as a dual research strategy, namely the use of various methods in solving a research problem.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>