Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Hilman Rasyid Yudistira
Abstrak :
Tesis ini akan mengkaji novel berjudul The Woman In Cabin 10, sebuah novel bergenre triler psikologis karya dari Ruth Ware, dengan persepektif feminis. Pembahasan tesis menjawab permasalahan subjektivitas perempuan di tengah-tengah budaya patriarkal, yang terkonstruksi dan mendiskreditkan perempuan. Tokoh utama dalam novel ini, Laura Blacklock, melakukan usaha melawan dominasi kuasa laki-laki dan berjuang untuk terbebas dari laki-laki yang mengontrolnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa tokoh Laura Blacklock, sebagai narator primer-fokalisator, memperlihatkan perubahan identitas dan kecenderungan akan ideologi ambivalensi. Melalui narasi dan fokalisasi, tokoh utama yang merupakan seorang perempuan memperlihatkan usaha untuk melepaskan diri dari kontrol dominasi kuasa yang menyebabkan hadirnya subordinasi, diskriminasi, dan perubahan kesadaran identitasnya. Kesimpulan dari tesis ini adalah narasi dan fokalisasi tunggal teks merupakan penjabaran ideologi ambivalensi yang dapat mengaburkan batas antara posisi tokoh utama antara objek dan subjek, membalikkan posisi objek-subjek, dan bahkan memberikan kesadaran bagi tokoh perempuan lain akan objektifikasi dan dominasi kuasa laki-laki yang mampu memberikan penilaian dan mengkritik budaya patriarki. ......This thesis will examine a novel entitled The Woman In Cabin 10, a psychological thriller novel by Ruth Ware, with a feminist perspective. The thesis discussion answers the problem of women's subjectivity in the midst of a patriarchal culture, which is constructed and discredits women. The main character in this novel, Laura Blacklock, struggles to fight against the domination of male power and struggles to be free from the men who control her. The results of the analysis show that Laura Blacklock's character, as the primary narrator-focalizer, shows a change in identity and a tendency to ideological ambivalence. Through narration and focalization, the main character, who is a woman, shows an effort to escape from the control of domination of power that causes subordination, discrimination, and changes in her identity awareness. The conclusion of this thesis is that the narrative and single focalization of the text are the elaboration of ambivalence ideology that can blur the line between the main character's position between object and subject, reverse the position of object-subject, and even provide awareness for other female characters of the objectification and domination of male power which is able to evaluate and criticize the patriarchal culture.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tandjung, Elizabeth C.
Abstrak :
ABSTRAK
Ambivalensi dalam memeluk agama Kristen diantara kelompok-kelompok masyarakat minoritas di Amerika seperti yang tergambar di dalam novel-novel The Color Purple, The Mixquiahuala Letters dan Love Medicine. (Di bawah bimbingan Dr. Melani Budianta). Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1995.

Skripsi ini berusaha menunjukkan sikap ambivalensi kelompok-kelompok masyarakat minoritas di Amerika (Negro, Hispanik dan Indian) dalam memeluk agama Kristen yang ditunjukkan di dalam masing-masing korpus serta penyebab ambivalensi yang tergambar dalam masing-masing novel tersebut. Di dalam The Color Purple, para tokoh digambarkan sangat `akrab' dengan agama Kristen. Sikap dan tindakan mereka sehari-hari menunjukkan bagaimana nilai-nilai ke-Kristen-an sudah tertanam dalam diri mereka. Tokoh Celie misalnya menjadikan Tuhan sebagai tempat curahan hati yang terpercaya, menjadikan nilai-nilai ke-Kristen-an sebagai standar moral kehidupan sehari-hari, menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya pelindung, dll. Hal ini merupakan perwujudan dari teori James Stuart Olson yang mengatakan bahwa kaum minoritas mengadaptasi kebudayaan kaum mayoritas -- karena agama Kristen adalah salah satu unsur kebudayaan masyarakat mayoritas, agama Kristen tersebut juga diadaptasi oleh kaum minoritas kulit hitam.

Di sisi lain, ternyata para tokoh tersebut merasa anti terhadap agama Kristen. Hal ini diakibatkan oleh adanya pandangan bahwa agama Kristen tersebut identik dengan kaum kulit putih. Masyarakat kulit hitam dalam novel ini menganggap kaum kulit putih sebagai penyebab kesengsaraan hidup mereka. Mereka kemudian berusaha membentuk persepsi sendiri terhadap identitas Tuhan untuk menjauhkan Tuhan dan citraNya yang seolah-olah adalah `milik' kaum kulit putih.

Di dalam The Mixquiahuala Letters, ambivalensi tampak dalam sikap tokoh Teresa yang di satu sisi sudah sangat tidak peduli terhadap nilai-nilai ke-Kristen-an, namun di sisi lain juga tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari agama Kristen yang dalam sejarah memang memegang peranan panting sebagai identitas masyarakat Hispanik. Teresa misalnya digambarkan tidak peduli akan kesucian perkawinan yang diluhurkan oleh agama Kristen -- Teresa menikah sesuai adat Hare Krishna dari India dan hidup bersama di luar perkawinan dengan banyak pria. Sikap Teresa ini menunjukkan bagaimana ia sudah mengadaptasi kebudayaan kaum flower children yang sedang melanda Amerika saat itu. Hal ini, seperti juga di dalam The Color Purple, merupakan perwujudan teori lames Stuart Olson mengenai adaptasi kebudayaan' Di sisi lain, Teresa sebenarnya masih `dekat' dengan ke-Kristen-an tersebut -- ia tetap menginginkan putranya dibaptis dan masih membutuhkan `bantuan' Tuhan untuk mengusir setan_ Ke-ambivalensi-an sikap Teresa disebabkan akibat tidak tertanamnya nilai-nilai agama Kristen dalam diri Teresa sehingga ia mudah terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh lain seperti gerakan flower children dan juga masalah superstitious.

Di dalam Love Medicine, ambivaiensi tampak dalam hal di satu sisi masyarakat Indian sudah memeluk agama Kristen, akan tetapi di sisi lain masih memegang kepercayaan aslinya. Hal ini berhubungan dengan kekecewaan para tokoh tersebut akan nasib mereka sebagai bangsa Indian. Kemiskinan, standar hidup yang buruk, kehidupan yang sulit membuat mereka beranggapan bahwa Tuhan tidak memperhatikan bangsa Indian. Hal ini membuat mereka beralih ke dewa-dewa mereka. Tapi untuk kembali sepenuhnya ke kepercayaan aslinya juga merupakan suatu hal yang mustahil karena telah hilangnya `cara-cara berdoa' yang banar- secara Indian.

Dari pengkajian atas ketiga novel tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa tokoh-tokoh utama dalam ketiga korpus tersebut: Celle, Shug, Nettie, Teresa, Lipsha, Marie dan Gordie adalah para marginal man -- mereka hidup di antara dua kebudayaan: kebudayaan kaum mayoritas kulit putih dan kebudayaan mereka masing-masing sebagai kaum minoritas. Konflik akibat pertemuan kebudayaan itu terealisasi dalam sikap dan tindakan mereka yang ambivalen tersebut dalam memeluk agama Kristen sebagai salah satu unsur dari kebudayaan masyarakat mayoritas kulit putih. Faktor sejarah masa lalu dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat minoritas tersebut di tengah masyarakat mayoritas berperan besar dalam mempengaruhi sikap mereka dalam mengadaptasi kebudayaan masyarakat mayoritas.
1995
S14157
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Faizah
Abstrak :
Black Bazar merupakan salah satu novel karya penulis frankofon yang berasal dari Republik Kongo, yaitu Alain Mabanckou. Novel ini bercerita tentang kehidupan tokoh Fessologue di Paris sebagai seorang pria imigran kulit hitam yang berasal dari Republik Kongo. Lingkungan sosial yang baru membuatnya harus meniru perilaku orang Prancis agar dapat berintegrasi di sana. Artikel ini membahas pencarian identitas Fessologue melalui peniruan yang menyebabkan keadaan ambivalen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan kajian naratologi Gérard Genette dan analisis struktur naratif Roland Barthes dengan diperdalam menggunakan teori representasi dan identitas Stuart Hall, serta teori hibriditas budaya Homi K. Bhabha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penokohan dan latar cerita menggambarkan ambivalensi identitas budaya tokoh Fessologue. Peniruan-peniruan yang dilakukan Fessologue tercermin dalam gaya berpakaian, gaya hidup, dan cara berpikirnya agar sama dengan orang Prancis. Proses peniruannya tersebut tidak terus berlanjut sehingga timbul ambivalensi dalam dirinya karena berada di antara dua budaya, yaitu budaya Prancis dan Kongo. Keadaan ambivalen menyadarkannya bahwa tidak ada budaya yang murni sehingga tidak perlu mengagungkan kemurnian suatu identitas budaya.
Black Bazar is a novel by a francophone writer from the Republic of Congo, Alain Mabanckou. This novel tells a story about the life of a character named Fessologue in Paris as a black immigrant man from the Republic of Congo. The new social environment required him to impersonate French behavior in order to successfully integrate there. This article discusses the search for Fessologue's identity through impersonation which leads to ambivalence. The method used in this research is a qualitative method with the study of the narratology of Gérard Genette and the analysis of the narrative structure of Roland Barthes with further study of representation and identity of Stuart Hall and Homi K. Bhabha's theory of cultural hybridity. The results showed that the characterizations and story settings illustrate the ambivalence of Fessologue's cultural identity. Fessologue's imitations are reflected within his style of dressing, lifestyle, and way of thinking to be the same as French people. The imitation process did not continue which cause an ambivalence in him because he is in between two cultures, French and Congolese cultures. The ambivalent state made him realize that there is no real pure culture, therefore there is no need to glorify the purity of cultural identity.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Wieldan Akbar
Abstrak :
ABSTRAK
Perpindahan Etnis Kenyah Badeng dari Long Beta?o, Apo Kayan (Kalimantan Timur) menuju Long Busang (Sarawak) membuka babak baru dalam sejarah kehidupan mereka. Tidak hanya bertemu dengan negara yang baru, mereka juga bertemu dengan agama baru. Bertemu dan bersentuhan dengan Islam, yang notabene agama resmi di Malaysia, membuat mereka mengalami dinamika identitas. Kehadiran Islam dan Kristen di Kampung Long Busang memberikan sebuah cerita tentang bagaimana identitas sebuah sukubangsa mengalami perubahan oleh karena proyek pendisiplinan beragama. Skripsi ini menggambarkan bagaimana modernitas berkerja pada segmentasi agama untuk menghilangkan ambivalensi dalam identitas etnis Kenyah Badeng melalui national schooling sebagai proses pendisiplinan beragama.
ABSTRACT
The Migration of Ethnic Kenyah Badeng from Long Beta'o, Apo Kayan (East Kalimantan) to Long Busang (Sarawak) opened a new chapter in the history of their life. Not only met the new state, but they also met with the new religion. Met and got in touch with Islam, which was actually the official religion in Malaysia, made them walked through the dynamic identity. The presence of Islam and Christian in Kampung Long Busang gave a story of how an ethnic identity change because of project religious discipline. This thesis illustrated how modernity works on religious segmentation to eliminate ambivalence in Kenyah Badeng ethnic identity through national schooling as a process of religious discipline
2015
S60979
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rasyid Maulana
Abstrak :
Perubahan adalah sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu masyarakat, lingkungan, dan khususnya teknologi tidak lepas dari perubahan. SIMPLE-O merupakan salah satu bentuk perkembangan teknologi yang memungkinkan otomatisasi koreksi soal dalam bentuk esai. Pada skripsi ini akan dilakukan integrasi sistem SIMPLE-O dengan web interface yang telah diciptakan tahun lalu, dan menggabungkan algoritma LSA dengan algoritma Cosine Similarity dan algoritma Jaro Winkler Distance untuk kemudia diuji dan dianalisis hasilnya. Berdasarkan hasil analisis, algoritma gabungan lebih efektif dan akurat dalam 5 dari 6 skenario, dengan nilai korelasi yang lebih tinggi. Namun, untuk algoritma gabungan maupun algoritma yang tidak dimodifikasi, tingkat akurasi masih rendah jika menggunakan jawaban yang menggunakan banyak kata-kata. Tingkat akurasi masih termasuk rendah untuk kedua algoritma, dengan korelasi tertinggi hanya mencapai 0.416883886. Sistem dengan Algoritma LSA memiliki keunggulan waktu proses yang signifikan atas sistem dengan Algoritma gabungan, dimana keunggulan waktu sampai dengan 531%. ...... Change is something that occurs frequently in our daily lives. Nothing is free of change, be it the public, the environment, and especially technology. SIMPLE-O is a form of technology advancement which makes automatic essay correction possible. This essay will integrate SIMPLE-O with a web interface that was created specifically for SIMPLE-O last year, and integrate Cosine Similarity and Jaro Winkler Distance algorithms into the system. Based on the analysis, the joined algorithm is more effective and accurate in 5 out of 6 scenarios, whic is indicated by a higher correlation number. However, for the algorithm whether it is joined or not, the accuracy is still low if it is used for processing long answers. The accuracy level is still low for both systems, with the highest correlation value being 41%. Regarding execution time, the unmodified system is vastly superior with processing speeds up to 531% faster than the modified system.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S65033
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Ramadhan
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas penggambaran maskulinitas pada tokoh perempuan dalam anime Neon Genesis Evangelion. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan analisis menggunakan metode deskriptif analitis dan teori sinematografi serta teori maskulinitas. Hasil penelitian menunjukkan terdapat ambivalensi pada tokoh perempuan dalam anime Neon Genesis Evangelion. Anime Neon Genesis Evangelion memberikan gambaran tokoh perempuan yang dominan dan maskulin, tetapi secara sinematografi mereka diobjektifikasi secara seksual oleh laki-laki. Maskulinitas tokoh perempuan Neon Genesis Evangelion juga memperlihatkan penggambaran perempuan yang berbeda dengan anime sh?nen pada umumnya, tetapi pada akhirnya tetap menunjukkan dominasi laki-laki terhadap perempuan."
" "ABSTRACT
" This research discusses about the depiction of masculinity of female characters in Neon Genesis Evangelion anime. This research is a qualitative research with analysis using analytical descriptive method, cinematography theory, and masculinity theory. The result of this research shows that there is an ambivalence in the female characters in Neon Genesis Evangelion anime. Neon Genesis Evangelion anime presents the dominant and masculine figures of female characters, but according to its cinematography they are being objectified sexually by men. Masculinity of the female characters in Neon Genesis Evangelion also shows the different depiction of females from the other sh nen animes. However, it still shows the domination of men over women.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinanti Munggareni
Abstrak :
Skripsi ini membahas tiga teks karya Vincent Mahieu. Dalam penelitian ini tiga teks tersebut ditinjau dengan pendekatan poskolonialisme. Hasil penelitian membuktikan adanya jejak-jejak poskolonialitas di dalam tiga teks tersebut. Jejak-jejak tersebut adalah kanonisitas, kejanggalan peristiwa, hibriditas, mimikri, dan ambivalensi. Jejak pertama dan kedua terkait dengan masalah bahasa, sedangkan jejak ketiga, keempat, dan kelima terkait dengan masalah identitas. Jejak-jejak tersebut terlihat dalam unsur tokoh, ruang, struktur waktu, dan peristiwa. ......This study examines three texts by Vincent Mahieu. In this study three texts are reviewed by postcolonialism approach. The results prove the existence of traces of postcoloniality in the three texts. The traces are canonicity, kejanggalan peristiwa, hybridity, mimicry, and ambivalence. The first and second traces associated with language problems, while traces of the third, fourth, and fifth issues related to identity. The traces are visible in the figure element, space, time structure, and events.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42205
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alfano Fadil Juyendra
Abstrak :
Pemikiran Kuhn bergantung pada konsep paradigma untuk revolusi ilmiahnya. Pergeseran paradigma bergerak seperti siklus yang bermula pada sains normal, anomali, krisis, dan revolusi ilmiah, lalu kembali menjadi sains normal. Akan tetapi, terdapat ambivalensi dalam konsep paradigma itu sendiri. Tentunya hal itu berdampak juga terhadap revolusi ilmiah yang digagas oleh Kuhn. Selain itu, hierarki dari konsep paradigmanya ini menimbulkan bias. Kuhn terlalu menekankan posisi sains normal yang hanya bergeser oleh fakta anomali dan krisis. Ambivalensi bahasa dalam konsep paradigma mengakibatkan inkonsistensi dalam merumuskan revolusi ilmiah. Penelitian ini akan berusaha untuk menelaah implikasi ambivalensi konsep pergeseran paradigma Thomas Kuhn dan relevansinya terhadap revolusi ilmiahnya. Pembuktian akan dianalisis menggunakan konsep dekonstruksi Jacques Derrida. Kemudian, menelaah kembali konsistensi struktur revolusi ilmiah Kuhn. Setelah itu, konsep paradigma yang ambivalen menyebabkan kerusakan konsep pergeseran paradigma yang menyebabkan paradigma terjadi tanpa krisis karena paradigma terjadi disebabkan terdapat titik balik. Ini membuat struktur dari revolusi ilmiah berubah yang tadinya normal-anomali-krisis-luar biasa menjadi normal-titik balik-luar biasa. ......Kuhn's thinking relies on the concept of paradigm for his theory of scientific revolution. This paradigm shift moves in a cycle starting with normal science, anomalies, crises, and scientific revolution, then returning to normal science. However, there is ambivalence within the concept of paradigm itself. This inevitably affects the scientific revolution proposed by Kuhn. Furthermore, the hierarchy of his paradigm concept introduces bias. Kuhn places excessive emphasis on the position of normal science, which is only shifted by anomalies and crises. The ambivalence of language within the concept of paradigm leads to inconsistencies in formulating the scientific revolution. This study aims to examine the implications of the ambivalence of Thomas Kuhn's paradigm shift concept and its relevance to his theory of scientific revolution. The analysis will employ Jacques Derrida's concept of deconstruction. The consistency of Kuhn's structure of scientific revolution will be re-evaluated. Subsequently, the ambivalent concept of Paradigm causes inconsistency to the concept of paradigm shift, leading to paradigm shifts occurring without crises as they are triggered by turning points. This results in a change in the structure of scientific revolution, transforming it from normal-anomaly-crisis-extraordinary to normal-turning point-extraordinary.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sabrina
Abstrak :
Persaudaraan laki-laki di Senegal memiliki posisi yang kuat dalam berbagai aspek sehingga kebebasan perempuan Senegal belum sepenuhnya terlepas dari batas-batas yang dibentuk oleh sistem kasta dan tradisi. Melalui novel Celles qui attendent (2010), salah satu penulis perempuan Senegal, Fatou Diome, menunjukkan upaya perempuan untuk keluar dari stereotip gender dengan menuliskan narasi yang berpusat pada empat tokoh perempuan dan keempatnya hanya menunggu laki-laki yang pergi untuk berimigrasi. Artikel ini bertujuan untuk membahas bagaimana wacana gender dalam novel Celles qui attendent (2010) karya Fatou Diome menunjukkan ambivalensi. Metode yang digunakan adalah analisis struktural dengan teori naratologi Genette, Barthes, dan Greimas, serta didukung oleh konsep ambivalensi gender Glick dan Fiske sebagai konsep kunci. Temuan artikel ini menunjukkan bahwa diskusi tentang ambivalensi wacana gender yang dihadirkan dapat dimaknai sebagai kritik terhadap implementasi gagasan kesetaraan gender yang belum benar-benar memberikan ruang bagi pemberdayaan perempuan, khususnya di Senegal. Ide dasar ideologi patriarki hanya dipahami secara parsial dan posisi sebagai laki-laki dijadikan alasan untuk membenarkan penindasan terhadap perempuan. ......Brotherhood in Senegal has a strong position in various aspects so that the freedom of Senegalese women has not been completely separated from the boundaries formed by the caste system and tradition. Through the novel Celles qui attendent (2010), one of the female Senegalese writers, Fatou Diome, shows women's efforts to get out of gender stereotypes by writing a narrative centered on four female characters and the four of them are just waiting for men who go to immigrate. This article aims to discuss how gender discourse in the novel Celles qui attendent (2010) by Fatou Diome shows ambivalence. The method used is structural analysis with Genette, Barthes, and Greimas’s theory of narratology, supported by Glick and Fiske’s concept of gender ambivalence as the key concept. The findings of this article show that the discussions about the ambivalence of gender discourse that have been presented can be interpreted as criticism of the implementation of gender equality’s idea which has not really provided space for women's empowerment, especially in Senegal. The basic idea of patriarchal ideology is only partially understood and the position as a man is used as an excuse to justify the oppression of women.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhtiar Hatta
Abstrak :
Kajian ini memperbincangkan tentang masyarakat polietnik dalam memaknai dan menjalani sifat paradoks dari identitas dan kesukubangsaannya dalam jalinan sosial (sociality). Berbeda dengan pemaknaan kultural yang melihat hubungan antara sukubangsa yang bersifat polietnik dapat tetap berlangsung didasarkan pada refleksi prinsip saling membutuhkan atau simbiosis mutualis, dan menempatkan proses pertukaran yang kongkrit, seperti uang, prokreasi (perkawinan dan keluarga), perdagangan dan material lainnya memiliki bentuk sosial dalam mengkonstitusi kehidupan sosial; penelitian ini justeru melihat bahwa perbedaan identitas bahkan sampai pada kondisi paradoks identitas dan kesukubangsaan, tidak diatasi dengan menginternalisasi nilai dan kekuatan di luar dari identitas itu sendiri, tetapi justeru mengaktif sifat dasar dari identitas itu sendiri yakni perbedaan. Artinya perbedaan dimaknai bukan sebagai penghalang mewujudkan keberlangsungan kehidupan sosial, bakan menjadi utama dalam menjaga keberlangsungan sosial. Dengan keberadaan kategori-kategori sosial---baik yang baru dibentuk ataupun yang diinternalisasi dari nilai-nilai leluhur---sebagai identitas baru sebagai bagian dari identitas yang bersifat ascribed status dapat berfungsi mewadahi eksistensi aktor dalam praktek-praktek sosialnya. Bukan sebaliknya perbedaan identitas yang dipahami bersifat oposisional dan pemaknaannya bersifat menegasikan dan mutlak sebagai perbedaan. Kajian ini merupakan studi etnografi yang didukung dan mendapatkan pengayaan dari studi historis melalui penelusuran dokumen. Data yang diperoleh dengan menggunakan metode etnogafi menekankan observasi partisipasi (partisipan observation) dan wawancara mendalam (in-depth interview). Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa, perwujudan perbedaan yang integratif melalui kategori-kategori budaya bukan merupakan batas pembeda identitas ingroup atau outgroup, tetapi sebagai jarak ikatan sosial yang masih memiliki keterkaitan dengan identitas utama. Identitas aktor di dalam kategori-kategori budaya tersebut adalah alterity dari eksistensi, artinya merupakan cara aktor mengidentifikasi dirinya dengan mengambil jarak dari budaya dan identitas orang lain, tanpa harus menuntut kesamaan dengan penduduk lokal untuk dikatakan sebagai penduduk lokal. Aktor senantiasa memiliki kebebasan untuk menjauh, mendekat atau pun meninggalkan identitas itu. Di dalam memaknai jarak identitasnya di tengah eksistensi aktor dalam kehidupan sosial terefleksikan pada nilai akhlakukkharimah, berwujud praktek keramah-tamahan, ajaran memberikan tanpa mengharap balasan langsung, karomah. Dengan demikian akhlakulkharimah tidak hanya sebagai kesadaran historis dari Rasulullah tetapi bersifat intensional dalam menciptakan jalinan ikatan sosial yang berfungsi melanjutkan kehidupan sosial dan menjaga keterhubungannya sebagai bagian dari kaum Alawiyyin. ......This study discusses polyethnic society in interpreting and undergoing the paradoxical nature of their identity and nationality in social life (sociality). This is contrast to cultural meanings that see the relationship between ethnic groups that can be polyethical can continue to take place based on a reflection of the principle of mutual need or mutual symbiosis, and place a concrete process of exchange, such as money, procreation (marriage and family), trade and other material constituting a social process. This study actually sees that differences in identity even reach the condition of the identity and ethnicity paradox, not overcome by internalizing values and forces outside of the identity itself, but rather activating the basic nature of identity itself, namely the difference. This means that differences are interpreted not as a barrier to realizing the continuity of social life, but can be the main factor in maintaining social sustainability. With the existence of social categories --- both newly formed and internalized from ancestral values --- as new identities as part of identity which are ascribed status can function to accommodate the existence of actors in their social practices. It is not the opposite of differences in identity that are understood to be oppositional and their meanings are negating and absolute as differences. This study is an ethnographic study supported and gained enrichment from historical studies through document searches. Data obtained using the ethnogafi method emphasizes observation of participation and in-depth interviews. The findings of this study indicate that, the embodiment of integrative differences through cultural categories is not a distinguishing limit of ingroup or outgroup identity, but as a distance between social ties that still have a connection with the main identity. The identity of the actors in these cultural categories is the alterity of existence, meaning that the way the actor identifies himself by taking distance from the culture and identity of others, without having to demand equality with the local population as local residents. Actors always have the freedom to stay away, approach or leave that identity. In interpreting the distance of his identity in the midst of the existence of actors in social life, it is reflected in the akhlakukkharimah value, in the form of the practice of hospitality, the teaching provides without expecting a direct reply, karomah. Thus akhlakulkharimah is not only a historical awareness of the Prophet but is intentional in creating a fabric of social bonds which functions to continue social life and maintain its connection as part of the Alawiyyin.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D2778
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>