Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ni Putu Widya Astiti
Abstrak :
Penelitian ini berdasarkan novel Jepang Grotesque karya Natsuo Kirino. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Penelitian ini menggunakan teori naratif Vladimir Propp untuk memahami karakter tokoh kakak Yuriko, Yuriko Hirata, dan Kazue Satō, dan menggunakan pendekatan psikologi sastra, yaitu teori kepribadian humanistik (hirarki kebutuhan) Abraham Maslow. Penelitian ini menjelaskan ambivalensi berdasarkan konteks psikologi masyarakat Jepang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana bentuk dan penyebab ambivalensi yang menimbulkan konflik dalam kehidupan tokoh kakak Yuriko, Yuriko Hirata, dan Kazue Satō. Penelitian ini menemukan bahwa ambivalensi dalam novel Grotesque tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat Jepang. Ambivalensi muncul dalam bentuk ambivalensi perasaan cinta dan benci, perasaan homoseksual, dan kehidupan pekerjaan ganda. Kejadian yang dicantumkan dalam novel merupakan reaksi atas realita yang terjadi di Jepang. Novel Grotesque menggambarkan susahnya hidup sebagai wanita Jepang modern yang menempati posisi lebih rendah dari kaum laki-laki. ...... This study is based on a Japanese Grotesque novel which was written by Natsuo Kirino. This study is a qualitative research that uses the descriptive analysis method. In addition, the study follows the narrative theory suggested by Vladimir Propp to understand the character of Yuriko’s sister, Yuriko Hirata, and Kazue Satō, and uses a psychology of literature approach, namely humanistic personality theory (hierarchy of needs) of Abraham Maslow. The study also describes the ambivalence based on the psychological context of Japanese society. The purpose of this study was to determine the form and the cause of ambivalence that caused the conflict in the lives of Yuriko’s sister, Yuriko Hirata, and Kazue Satō. This study found that the Grotesque novel contains ambivalence that cannot be separated from the social life of Japanese society. This ambivalence occurs in the forms of love and hate, homosexual feelings, and the double work life that are relevant to the realities of the lives of the Japanese people. The Grotesque novel describes how difficult the life of modern Japanese women whose social status is lower than the men.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Uziana Paramita
Abstrak :
Peranan wanita dewasa ini semakin berkembang dalam berbagai bidang pekerjaan termasuk dalam bidang militer, Tetapi keinginan wanita militer untuk dilibatkan dalam perang menimbulkan silang pendapat yang cukup tajam di masyarakatnya keinginan ini dianggap sangat kontroversial karena melampaui batas-batas kewajaran seorang wanita, Padahal keikutsertaan mereka dalam perang adalah sangat penting bagi seorang militer dalam meningkatkan karirnya. Oleh karena itu sikap ambivalensi masyarakat Amerika telah menjadi hambatan bagi militer wanitanya. Permasalahan yang dikemukakan penulis adalah hal-hal yang menyebabkan masyarakat Amerika bersifat ambivalen terhadap keinginan wanita militer untuk diikutsertakan dalam perang. Padahal bila ditinjau dari sejarah keterlibatan mereka bukanlah hal yang baru walaupun dengan tugas-tugas yang terbatas. Untuk menjawab permasalahan ini penulis menggunakan teori patriarki gender dan demokrasi sebagai landasan dalam menjawab permasalahan yanga ada. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif melalui studi kepustakaan, film Courage Under Fire dan G.I. Jane, majalah-majalah koran dan media elektronik internet. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahannya yaitu penyebab sikap ambivalensi masyarakat Amerika terhadap wanita dalam perang. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa penyebab sikap ambivalensi masyarakat Amerika terhadap wanita dalam perang adalah karena adanya benturan nilai-nilai budaya dalam masyarakatnya. Nilai budaya patriarki yang sudah ada jauh sebelum deklarasi kemerdekaan dikumandangkan dan datangaya nilai demokrasi yang menjadi bagian dari berdirinya bangsa Amerika. Kedua nilai tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar pada masyarakatnya, sehingga memunculkan sikap pro dan kontra, yang pada akhirnya menyebabkan sikap ambivalensi terhadap wanita dalam perang.
The Ambivalence of American Society Towards Woman in CombatNowadays, American women take part a lot in any fields of jobs including in the military services. Yet, women's involvement in combat is still highly controversial in American society. In this thesis I want to address the ambivalence in American attitude towards women in combat. As a matter of fact, historically, women's contribution to war is not something new even though the military duties are still limited. Addressing the issue, the writer applies theories of gender, patriarchy and democracy. The methodology used is qualitative, done through literary research, and analysis of two films: Courage Under Fire and G.I. Jane. This thesis concludes that the cause of the ambivalence in the American society is the clash of the patriarchal and the democratic values. These values have been a great influence to the American society. As a result, of the clash of these values, American society shows ambivalent attitude about the woman in combat.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T5612
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Betty Maria Christina
Abstrak :
Studi ini merupakan studi pemasaran yang melibatkan sisi psikologi konsumen dalam mengetahui loyalitasnya terhadap suatu produk dimana menguji peran perbedaan dan kombinasi dari involvement dan ambivalence dalam hubungan kepuasan-loyalitas pembelian berulang. Studi ini menganalisa data survei dari 177 pemilik mobil penumpang Toyota di Indonesia. Studi menggunakan structural equation modeling untuk menguji efek moderasi dan mediasi. Hasil mengindikasikan bahwa kepuasan mempunyai efek positif pada loyalitas pembelian berulang melalui involvement. Ambivalence mempunyai efek negatif pada kepuasan dan involvement namun tidak mempengaruhi secara langsung loyalitas pembelian berulang. Bukti empiris juga memperlihatkan bahwa involvement memoderasi hubungan kepuasan-loyalitas pembelian berulang namun tidak pada ambivalence. Hasil studi ini mengindikasikan bahwa ambivalence dan involvement adalah penting untuk mengerti dan menjelaskan hubungan antara kepuasan dan loyalitas pembelian berulang. ...... This study is a marketing study which involves consumer psychological side for knowing their loyalty in a product that tests the different and combined roles of involvement and ambivalence in the satisfaction-repurchase loyalty relationship. The study analyses survey data from 177 Toyota passenger car owners in Indonesia. The study uses structural equation modeling for testing moderator and mediator effects. The results indicate that satisfaction has positive effects on repurchase loyalty through involvement. Ambivalence has negative effects on both satisfaction and involvement but does not directly influence repurchase loyalty. Empirical evidence also reveals that involvement is a moderator in the satisfaction-repurchase loyalty relationship but not for ambivalence. The results of this study indicate that ambivalence and involvement are important to understanding and explaining the relationship between satisfaction and repurchase loyalty.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Idawati
Abstrak :
ABSTRAK Equal Rights Amendment (ERA) diajukan pada tahun 1970 oleh dan untuk kepentingan kaum wanita, sebagai suatu upaya untuk memperoleh jaminan persamaan hak di bawah hukum bagi pria dan wanita, tanpa perbedaan secara seksual. Tetapi ERA pada akhirnya digagalkan oleh kaum wanita itu sendiri. Berangkat dari kenyataan penelitian ini mengupas adanya konflik kepentingan di kalangan wanita, terutama dari kelas menengahnya. Perbedaan kepentingan itu bermula dan adanya ambivalensi mereka terhadap peran-peran mereka dalam masyarakat. Ambivalensi didefinisikan sebagai keadaan sosial yang di dalamnya seseorang menghadapi harapan-harapan normatif yang saling berlawanan dalam hal sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, dan perilaku. Ambivalensi itu muncul lebih dikarenakan adanya ambivalensi struktural dalam masyarakat dan dualisme perubahan-perubahan sosial. Masyarakat kini menghargai peran-peran wanita dalam wilayah publik (nondomestik) dan perubahan-perubahan sosial itu sendiri memberi tekanan sekaligus peluang yang luas bagi kaum wanita untuk bekerja di luar rumah. Namun di sisi lain, perubahan-perubahan itu tidak memberi jalan keluar bagi kaum wanita dari beban yang dihadapi di wilayah domestik. Sementara itu masyarakat cenderung masih menekankan bahwa wanita adalah penanggung jawab utama pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak-anak. Kontradiksi-kontradiksi ini menimbulkan dilema dan ambivalensi psikologis dalam individu-individu dan dalam beberapa derajat, konflik sosial antara kelompok-kelompok sosial yang berlawanan. Dalam upaya penyesuaian diri dalam struktur sosial yang ambivalen itu, ada kelompok wanita di satu sisi, menentang pemikiran-pemikiran dan pola-pola lama tentang peran-peran wanita. Dengan kata lain, mereka menuntut suatu perubahan sosial yang menyangkut status wanita. Kelompok wanita yang lain merespon dengan menegaskan kembali susunan tradisional dari hubungan gender. posisi-posisi yang saling bertentangan dengan tajam ini membentuk dua garis politik yang berlawanan. Dalamkonteks ERA, kelompok yang menghendaki perubahan sosial mendukung ERA, sebaliknya kelompok yang menginginkan status quo menentang ERA. Melalui metode penelitian berupa kajian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif dan teknik deskriptif interpretatif, penelitian ini hendak menjawab tesis bahwa ambivalensi wanita kelas menengah Amerika memiliki dampak terhadap ratifikasi ERA pada tahun 1972-1952. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ambivalensi wanita adalah mata rantai awal dari serangkaian mata rantai-mata ranlai berikutnya --yang merupakan implikasi dari mata rantai awal--di antarnnya polarisasi ideologi dan dikotomi kepentingan, yang menjadi penyebab kegagalan ratifikasi ERA. Dengan kata lain, ambivalensi wanita kelas menengah memiliki dampak dan pengaruh, melalui berbagai manifestasinya, terhadap kegagalan ratifikasi ERA.
ABSTRACT Equal Rights Amendment (ERA) was proposed in 1970 by women and for women's concerns, as an effort to gain the equal rights under the law between the sexes. However, the ERA was eventually defeated by the women. Seeing that. fact, the research was carried out to study the conflict of interests especially among the middle class women. The different interests here emerged from their ambivalence toward their appropriate roles in the society. Ambivalence was defined as a social state in which a person faced contradictory normative expectations of attitudes, beliefs, and behavior. This ambivalence was mostly caused by the structural ambivalence in the society and the dualism of social changes, The society now approved women's roles in public spheres, and the social changes themselves gave pressures and, at the same time, wide opportunities to the women to work out of the homes. But, on the other side, those changes did not provide any solutions for them from the burdens they faced in the domestic sphere. Meanwhile, the society kept thinking that women were primarily responsible for the cares of children and households. These contradictions caused a dilemma and psychological ambivalence to the women, and to some extent, a social conflict between social groups, In order to adjust themselves in the ambivalent social structure, a group of women, on the one side, challenged old ideas and patterns of women's roles. In other words, they fought for a social change concerning women's status. The other group of women responded by reaffirming traditional arrangement of gender relationship. These sharply contrasting positions thus farmed two opposite lines along political constituencies. In the context of EFTA, the group who favored a social change, was likely to support the ERA, while the other group who wanted a status quo, tended to oppose it. By using a method of book research with qualitative approach and descriptive-interpretative technique, this research was to answer the thesis that. the middle class women's ambivalence had the impact to the ERA's ratification in 1972-1982. The result of the research showed that the women's ambivalence was a primary chain of linked chains - which were of the impacts of the primary chain - such as the ideological polarization and the dichotomy of interests, that made the ERA fail. In other words, the middle class women's ambivalence had the impact and influence, through its various manifestations, to the failure of the ERA's ratification.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raziana Tridjajakasih
Abstrak :
Ambivalensi berasal dari istilah dalam bahasa Inggris "ambivalence" yang artinya kurang lebih: Perasaan atau sikap-sikap yang bertentangan terhadap seseorang atau sesuatu yang timbul pada saat bersamaan, seperti misalnya rasa cinta dan benci (Webster's Kew World Dictionary, Second College Bdi.tipn, 1978). Sumber lain mendefinisikan Ambivalensi sebagai suatu koeksistensi dari perasaan-perasaan yang saling berlawanan terhadap seseorang, obyek atau gagasan. (En Carta, 1997) Dalam bahasa sederhana dan populer barangkali dapat diistilahkan dengan sikap "pli.n-plan", mendua, atau tidak konsisten yang punya konotasi luas. Misalnya saja sikap suatu pemerintahan terhadap negara atau negara-negara lain yang bersahabat namun pada waktu yang bersamaan juga melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan atau bahkan merugikan negara terkait. Kalau dalam definisi pertama perasaan cinta dan benci dapat timbul secara bersamaan dalam diri seseorang?.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chen Siu Li
Abstrak :
ABSTRAK
Citra wanita tradisional Amerika diambil alih oleh golongan W.A.S.P. sesuai gagasan Ratu Victoria, yang menggambarkan kewanitaan yang sejati sebagai lambang kesucian (purity), kesalehan (piety), ketaatan (submissiveness), dan sopan santun wanita (female propriety). Ratu Victoria yang bertahta di Inggris dari tahun 1837 sampai tahun 1901, mengutuk kaum wanita yang ingin berjuang untuk persamaan hak dengan kaum pria. Beliau mengajak kaumnya, baik di Inggris maupun di Amerika, untuk Join in checking this wicked folly of women's rights, on which my poor sex is bent, forgetting every womanly feeling and propriety (Djajanegara, 1987:32). (bersama-sama membendung perjuangan hak-hak wanita yang tolol dan buruk itu, dan yang menjadi tekad kaumku yang malang dengan melupakan segala perasaan serta sopan santun kewanitaan).

Menurut nilai-nilai Victoria, ruang lingkup kegiatan wanita harus terbatas pada rumah tangga dan dalam W.A.S.P. (White Anglo-Saxon Protestants/Kaum Protestan Anglo-Saxon kulit putih), kelas menengah yang berkuasa dalam kehidupan nasional, lingkungan keluarga, terkecuali kegiatan-kegiatan agama yang bertujuan meningkatkan moralitas warga masyarakat. Yang ditonjolkan ialah sifat inferior wanita apabila dibandingkan dengan kaum lelaki. Wanita dianggap sebagai mahluk yang lemah, pasrah, tak dapat berpikir, tak dapat mandiri dan secara total tergantung pada kaum pria yang berperan sebagai majikan mereka. Pada umumnya, citra wanita ideal hanya diterapkan pada kaum menengah atas kulit putih. Wanita diibaratkan sebagai sebuah barang hiasan yang mahal tetapi mudah patah. (Friedan, 1984:81). Fungsi wanita yang senantiasa dipuji-puji dan dianjurkan ialah: mengasuh anak-anak dan menyenangkan serta merawat para suami (the nurturing function of women).

Wanita dilarang banyak belajar karena hal ini akan merusak keseimbangan jiwa mereka dan mengakibatkan kemandulan. Kepercayaan ini didukung dengan antusias oleh mayoritas kaum pria pada pertengahan abad kesembilanbelas, bahkan juga oleh kaum wanita sendiri. Namun di tengah-tengah masyarakat yang didominasi oleh kaum pria ini terdapat sekelompok wanita intelektual yang menyadari ketimpangan kepercayaan umum ini, yang ingin membendung berkembangnya potensi-potensi pada wanita untuk dapat mencapai status yang sama dengan pria.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Annisa Ramadhan
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas penggambaran maskulinitas pada tokoh perempuan dalam anime Neon Genesis Evangelion. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan analisis menggunakan metode deskriptif analitis dan teori sinematografi serta teori maskulinitas. Hasil penelitian menunjukkan terdapat ambivalensi pada tokoh perempuan dalam anime Neon Genesis Evangelion. Anime Neon Genesis Evangelion memberikan gambaran tokoh perempuan yang dominan dan maskulin, tetapi secara sinematografi mereka diobjektifikasi secara seksual oleh laki-laki. Maskulinitas tokoh perempuan Neon Genesis Evangelion juga memperlihatkan penggambaran perempuan yang berbeda dengan anime sh?nen pada umumnya, tetapi pada akhirnya tetap menunjukkan dominasi laki-laki terhadap perempuan."
" "ABSTRACT
" This research discusses about the depiction of masculinity of female characters in Neon Genesis Evangelion anime. This research is a qualitative research with analysis using analytical descriptive method, cinematography theory, and masculinity theory. The result of this research shows that there is an ambivalence in the female characters in Neon Genesis Evangelion anime. Neon Genesis Evangelion anime presents the dominant and masculine figures of female characters, but according to its cinematography they are being objectified sexually by men. Masculinity of the female characters in Neon Genesis Evangelion also shows the different depiction of females from the other sh nen animes. However, it still shows the domination of men over women.
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhia Annisa
Abstrak :
Ketidaksetaraan gender dan ambivalent sexism yang dihadapi perempuan Indonesia, termasuk di kota besar seperti Jabodetabek, membuat mereka mengembangkan ambivalensi sikap terhadap laki-laki, yaitu prasangka dan stereotip hostile dan benevolent yang dimiliki perempuan terhadap laki-laki (Glick & Fiske, 1999). Dua konsep yang seringkali dikaitkan dengan ambivalensi sikap terhadap laki-laki adalah religiusitas dan sikap dan ideologi feminis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran religiusitas dan sikap dan ideologi feminis dalam memprediksi ambivalensi sikap terhadap laki-laki yang dimiliki mahasiswa Muslim perempuan di Jabodetabek. Penelitian dilakukan pada 718 mahasiswa Muslim perempuan yang tersebar di Jabodetabek menggunakan alat ukur Ambivalence Toward Men Inventory (AMI) (Glick & Fiske, 1999), Centrality of Religiosity Scale (CRS) (Huber & Huber, 2012), dan Liberal Feminist Attitude and Ideology Scale (LFAIS) Versi Pendek (Morgan, 1996). Hasil analisis menunjukkan bahwa religiusitas dan sikap dan ideologi feminis merupakan prediktor ambivalensi sikap terhadap laki-laki yang signifikan, dimana religiusitas yang tinggi memprediksi ambivalensi sikap terhadap laki-laki yang lebih tinggi dan sikap dan ideologi feminis yang lebih positif memprediksi ambivalensi sikap terhadap laki-laki yang lebih rendah. Implikasi dan saran terkait penelitian ini dijabarkan dalam bagian diskusi
Gender inequality and ambivalent sexism faced by Indonesian women, including in big cities like Jabodetabek, made them develop ambivalence toward men, which is hostile and benevolent prejudice and stereotypes women have toward men (Glick & Fiske, 1999). Religiosity and feminist attitude and ideology are two concepts often linked with ambivalence toward men. This research purpose was to see the role of religiosity and feminist attitude and ideology in predicting ambivalence toward men on female Muslim students in Jabodetabek. The research was done on 718 female Muslim Students spread in Jabodetabek using Ambivalence Toward Men Inventory (AMI) (Glick & Fiske, 1999), Centrality of Religiosity Scale (CRS) (Huber & Huber, 2012), dan Liberal Feminist Attitude and Ideology Scale (LFAIS) Short Version (Morgan, 1996). Results of the analysis show that religiosity and feminist attitude and ideology are significant predictors of ambivalence toward men, where high religiosity predicts higher ambivalence toward men and positive feminist attitude predicts lower ambivalence toward men. Implications and suggestions regarding this research explained on discussion
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elda Nisya Auliainsani
Abstrak :
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyusun undang-undang untuk mengkriminalisasi komunitas LGBT, termasuk pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia tentang mengkriminalkan kaum LGBT melalui Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Peraturan Daerah Bogor tentang Pencegahan dan Penanganan Perilaku Penyimpangan Seksual. Dua kasus kontroversial tersebut menarik perhatian media dan aktivis, termasuk @WhatIsUpIndonesia (WIUI). Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana WIUI menegosiasikan ideologi pendukung dengan ideologi dominan dalam postingan Instagram mereka tentang kriminalisasi kaum LGBT. Korpus dua unggahan Instagram tentang kedua kasus tersebut dianalisis menggunakan analisis multimodal semiotik sosial dalam dua langkah: analisis tekstual dan analisis visual. Studi ini menemukan bahwa WIUI menegosiasikan nilai-nilainya yang relatif liberal dengan ideologi konservatif yang dominan di Indonesia dengan memilih ambivalensi melalui pergeseran fokus dan kurangnya kata penutup dalam rekontekstualisasi. Selain itu, meme yang digunakan juga membuktikan ambivalensinya dengan menggeneralisasi masalah dan memfokuskan perasaan kebingungan. Kesimpulannya, dua ideologi yang berlawanan dalam aktivisme media sosial dapat dinegosiasikan menggunakan ambivalensi daripada bersandar pada satu ideologi. Namun, keterbatasan penelitian ini menghalangi pemeriksaan menyeluruh tentang bagaimana WIUI berinteraksi dengan audiensnya. ......There have been numerous attempts to draft legislation to criminalize the LGBT community, including a statement from the Coordinating Minister for Political, Legal, and Security Affairs of Indonesia on criminalizing LGBT people through the proposed revision of Indonesia's Criminal Code (RKUHP) and Bogor's Regional Regulation on the Prevention and Countermeasures Against Sexually Deviant Behavior. The two controversial cases attracted attention from the media and activists, including @WhatIsUpIndonesia (WIUI). This qualitative study aims to examine how WIUI negotiates the supported ideology with the dominant ideology in their Instagram posts about criminalizing LGBT people. A corpus of two posts about the two cases is analyzed using social semiotic multimodal analysis in two steps: textual analysis and visual analysis. This study finds that WIUI negotiates its relatively liberal values with the dominant conservative ideology in Indonesia by choosing ambivalence through the shifting focus and lack of concluding remarks in the recontextualization. Furthermore, the memes also prove their ambivalence by overgeneralizing the issue and primarily conveying confusion. In conclusion, two opposing ideologies in social media activism can be negotiated using ambivalence instead of leaning towards only one. However, the limitations of this research prevented a thorough examination of how WIUI interacts with its audience.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>