Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
San Diego: Academic Press, 1993
615.952 TOX
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Frida Oesman
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitin : Perubahan glikoprotein
membrari sel sering dihubungkan dengan transformasi
keganasan. Salah satu komponen karbohidrat glikopro
tein membren adalah L?fukosa. . Diketahui bahwa kadar L?
fukosa glikoprotein dalam serum penderita berbagai
keganasan lebih tinçgi dibandinçkan dengan normal.
Jika peningkatan kadar fukosa glikoprotein terjadi
cukup dini, penentuannya mungkin dapat menuniukkan awal
perubahan ke arah keganasan. Untuk nengetahui apakah
peningkatan kadar luko?a serum terjadi pada awal peru?
bahan ke arch keganasan hati, maka diteliti bagaimana
hubungan perubahan kadar fukosa serum dan gambaran
mikroskopis jaringan hati tikus yang diberi aflatoksin
B1 (AFB1) untuk menginduksi kanker. Dalam penelitian
ini digunakan 36 tikus diberikan AFB1. dari 36 tikus
dlberikan pelarut Wb1. Aflatoksin dengan pelarut
dimetilformamida diberikan secara inkubasi lambung 20
ug, sekali 2 hari selama 12 minggu. Pengambilan serum
dari hati tikus dilakukan, setiap 4 minggu mulai minggu
ke?8 sampai minggu ke?40. Penentuan kadar fukosa serum
dilakuken sesuai dengan metode yang dilakukan oleh
Winzler dan sediaan jaringan hati dibuat dengan pewar
naan HE menurut Bhomer.
Hasil dan Kesjmpulan: Hasjl penelitian menunjukkan, bahwa
kenaikan kadar fukosa glikoprotein serum tikus yang
diberi AFB. lebih tinggi secara bermakna dibandingkan
dengan kontrol. Kadar rata?rata fukosa serum tikus
yang diberi AFB1 seluruh pengamatan adalah 13,09 ± 0,99
mgflOO mL dan tikus kontrel cdalah 11,72 ± 0,84 mg/lOO
mL. Disamping itu ternyata ada kecenderungan peningka
tan kadar lukosa serum sejalan dengan waktu, namun
kenaikan peningkatan ini secara statistik belum bermak
na untuk pengukuran pada waktu pengamatan yang sama.
Jaringan hati tikus yang diberi AFB1, memperlihatkan
gambaran, hiperplasia saluran empedu (perubahan awal ke
arah keganasan) mulai pengamatan minggu ke?36. Dari
hasil penelitian ini: dapat disimpulkan, bahwa pemberian
AFBJ menyebabkan peningkatan kadar lukosa serum, namun
pada penelitian ini belum depat dinyatakan perbedaan
yang bermakna pada seat sel menunjukkan perubahan awal
ke arah keganasan.

ABSTRACT
Scope and Method of Study: Cell membrane glycoprotein
changes is often related to malignant transformation.
One of the carbohydrate components of membrane glyco
protein, often observed to be increased in malignan
cies, is L?fucose. If this increase appears early
during the formation of malignancies it could be used
as a marker. The aim of this study was to determine
whether an increase of serum fucose concentration can
be detected during early malignant transformation.
Thirty six rats were administrated aflatoxin B1 in
dimethylformamide by gastric intubation and 36 rats
were used as controls. Aflatoxin was given in 20 ug
dosages every two days for a period of 12 weeks. Serum
and liver samples were collected once every 4 weeks
from week?8 until week?40. Serum fucose concentration
measured by the method introduced by Winzler ana
liver slices were stained with hematoxylin and .eosin
according to Bhomer.
Findings and conclusions: The serum protein?bound fucose
concentration in rats treated with aflatoxin B1, was
significantly higher than in the control group. The
mean concentration in the treated rats was 13.09 ± 0.99
mg/l00 mL and in the control group was 11.72 ± 0.84
mg/l00 mL. There was also a positive correlation
between the increase of serum fucose concentration and
the time of observation, although the increase in both
groups measured concurrently did not show significant
differences. The aflatoxin B1 treated rats show bile
duct hyperplasja (known as one of the earliest apparent
preneoplastic changes) as early as the 36th week. It
can be concluded that the administration of aflatoxin
8 causes increased serum fucose levels, although in
this study at the onset of cell differentiation toward
malignancy, this difference was still not significant."
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Arni Hidayah
"Asam kojat (5-hidroksi-2-hidroksimetil-1,4-piron) merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan melalui proses fermentasi oleh Aspergillus spp. dan Penicillium spp dengan menggunakan karbohidrat sebagai substrat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sumber karbon, sumber nitrogen, dan ion logam yang optimum dalam fermentasi asam kojat oleh Aspergillus flavus 40C10. 10,0 ml suspensi inokulum diinokulasikan ke dalam Erlenmeyer 250 ml yang berisi 100 ml medium, dan diinkubasi pada suhu 30oC, 180 rpm. Sumber karbon yang digunakan adalah sukrosa, glukosa, amilum, dan molases. Sumber nitrogen yang digunakan adalah yeast extract, urea, dan ammonium sulfat. Ion logam yang divariasi adalah K+, Mg++, Fe++, Mn++, dan Zn++. Konsentrasi asam kojat ditentukan dengan metode KLT densitometri dengan detektor UV pada panjang gelombang 327 nm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi medium yang optimum adalah sukrosa 10% b/v, yeast extract 1% b/v, dan MgSO4 0,4% b/v. Konsentrasi maksimum asam kojat yang dihasilkan pada kondisi tersebut adalah 7,823 g/l pada hari ke-12. Akan tetapi, fermentasi ini juga menghasilkan aflatoksin."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S32545
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wiyogo Prio Wicaksono
"[ABSTRAK
Antibodi poliklonal anti aflatoksin B1 telah berhasil diproduksi pada hewan uji kelinci betina New Zealand White setelah diimunisasikan hapten aflatoksin B1-CMO yang dikonjugasikan dengan Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai antigen. Hapten aflatoksin B1-CMO disintesis menggunakan metode karbodiimida dengan substrat aflatoksin B1 dan carboxymethyl hydroxylamine hemihydrochloride (CMO) sebagai linkernya. Hasil karakterisasi kromatografi lapis tipis dengan nilai Rf rata-rata sebesar 0.395, spektrum UV-Visibel dengan puncak λ maks pada 362, 264, 218 nm, spektrum IR dengan puncak 3448.126 cm-1 (3000-3600 cm-1) : OH, pada 1632.249 cm-1(1540-1725 cm-1) : C=O, dan 1642.451 cm-1 (1640-1690 cm-1) :C=N (Oksim), dan hasil fragmentasi spektrometri massa (MS/MS) pada m/z 386, 368.2, 310 membuktikan hapten aflatoksin B1-CMO berhasil disintesis. Hapten ini kemudian dikonjugasikan dengan BSA membentuk antigen aflatoksin B1-BSA (AFB1-BSA) sebelum diimunisasikan ke kelinci. Spesifitas antigen AFB1-BSA terhadap antibodinya dan uji konjugasi hapten ke BSA menunjukkan hasil positif menggunakan uji Dot Blot Immunoassay dengan konsentrasi BSA di dalam antigennya sebesar 1.74 mg/mL. Serum darah kelinci berdasarkan uji Agar Gel Precipitation Test (AGPT) positif mengandung antibodi poliklonal anti aflatoksin B1 setelah dua pekan (hari ke-11) sejak imunisasi primer antigen AFB1-BSA dilakukan. Dari serum darah bleeding panen, diperoleh konsentrasi antibodinya sebesar sebesar 2.19 mg/mL. Immunokromatogafi strip tes berhasil dibuat dengan nanopartikel iridium oksida (IrO2 NPs) sebagai kandidat label antibodinya dan dapat digunakan untuk mendeteksi sampel H IgG pada rentang 0.1 μg/mL sampai 10 μg/mL. Studi pendahuluan ini menunjukkan bahwa perangkat strip tes ini dapat digunakan untuk aplikasi konjugat sensor antibodi anti aflatoksin B1-nanopartikel iridium oksida untuk deteksi aflatoksin B1.

ABSTRACT
Polyclonal antibody against aflatoxin B1 have been successfully produced in New Zealand White Rabbit after immunized by hapten of aflatoxin B1-CMO conjugated with Bovine Serum Albumin (BSA) as antigen. Hapten of aflatoxin B1-CMO was synthesized using carbodiimide method with afltoksin B1 as substrate and carboxymethyl hydroxylamine hemihydrochloride (CMO) as its linker. The characterization results of thin layer chromatography with Rf value of 0.395, the spectrum of UV-Visible with λ max peaks at 362, 264, 218 nm, the IR spectrum with peak at 3448.126 cm-1 (3000-3600 cm-1): OH , 1632.249 cm-1(1540-1725 cm-1): C = O, 1642.451 cm-1 (1640-1690 cm-1): C = N (oxime), and the results of mass spectrometry fragmentation (MS / MS) at m/ z of 386, 368.2, 310 proved that hapten of aflatoxin B1 -CMO successfully synthesized. Then, the hapten was conjugated to BSA to form antigen of aflatoxin B1-BSA (AFB1-BSA) before immunized to rabbits. The specificity of antigen of AFB1-BSA to its antibody and the confirmation of hapten-BSA conjugated showed positive results using dot blot immunoassay with BSA concentration in the antigen of 1.74 mg/mL. Based on Agar Gel Precipitation Test (AGPT) shown the rabbit blood serum resulted positive for polyclonal antibody against aflatoxin B1 after two weeks (day 11st) since the primary immunization of its antigen. From blood serum bleeding at harvest obtained the concentration of antibodies was 2.19 mg / mL. An Immunochromatogaphic test strip was successfully fabricated using iridium oxide nanoparticles (IrO2 NPs) as a labeled antibody candidate and can be used to detect the IgG H sample between of 0.1 μg/mL to 10 μg/mL. This preliminary study shown that the device can be used for applications of antibody against aflatoxin B1-nanoparticle iridium oxide conjugate for detection of aflatoxin B1
, Polyclonal antibody against aflatoxin B1 have been successfully produced in New Zealand White Rabbit after immunized by hapten of aflatoxin B1-CMO conjugated with Bovine Serum Albumin (BSA) as antigen. Hapten of aflatoxin B1-CMO was synthesized using carbodiimide method with afltoksin B1 as substrate and carboxymethyl hydroxylamine hemihydrochloride (CMO) as its linker. The characterization results of thin layer chromatography with Rf value of 0.395, the spectrum of UV-Visible with λ max peaks at 362, 264, 218 nm, the IR spectrum with peak at 3448.126 cm-1 (3000-3600 cm-1): OH , 1632.249 cm-1(1540-1725 cm-1): C = O, 1642.451 cm-1 (1640-1690 cm-1): C = N (oxime), and the results of mass spectrometry fragmentation (MS / MS) at m/ z of 386, 368.2, 310 proved that hapten of aflatoxin B1 -CMO successfully synthesized. Then, the hapten was conjugated to BSA to form antigen of aflatoxin B1-BSA (AFB1-BSA) before immunized to rabbits. The specificity of antigen of AFB1-BSA to its antibody and the confirmation of hapten-BSA conjugated showed positive results using dot blot immunoassay with BSA concentration in the antigen of 1.74 mg/mL. Based on Agar Gel Precipitation Test (AGPT) shown the rabbit blood serum resulted positive for polyclonal antibody against aflatoxin B1 after two weeks (day 11st) since the primary immunization of its antigen. From blood serum bleeding at harvest obtained the concentration of antibodies was 2.19 mg / mL. An Immunochromatogaphic test strip was successfully fabricated using iridium oxide nanoparticles (IrO2 NPs) as a labeled antibody candidate and can be used to detect the IgG H sample between of 0.1 μg/mL to 10 μg/mL. This preliminary study shown that the device can be used for applications of antibody against aflatoxin B1-nanoparticle iridium oxide conjugate for detection of aflatoxin B1
]"
2015
T43541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Safracia
"Kontaminasi aflatoksin pada makanan memberikan dampak yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Kebijakan pemerintah harus diperketat dengan melakukan pemeriksaan pada setiap bahan pangan pokok. Dalam setiap pemeriksaan, baku aflatoksin diperlukan. Namun, keterbatasan anggaran untuk membeli baku tersebut menjadi hambatan pemerintah dalam melakukan pemeriksaan. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi bahan baku aflatoksin dengan metode yang lebih sederhana dan ekonomis sehingga dapat membantu pemerintah menyediakan baku aflatoksin. Konsentrasi aflatoksin tertinggi dihasilkan pada media kacang tanah sehingga digunakan dalam pembuatan baku aflatoksin. Waktu penyimpanan kacang tanah (2-4 minggu) dan pelarut untuk ekstraksi (metanol atau asetonitril) dilakukan optimasi. Penentuan kondisi analisis optimum dilakukan dengan membuat variasi komposisi fase gerak dan panjang gelombang emisi. Analisis dilakukan menggunakan KCKT Shimadzu® dengan detektor fluoresensi RF-10AXL, kolom C18 pada laju 0,8 mL/menit, suhu 40oC. Hasil optimasi kondisi analisis pada panjang gelombang emisi dan komposisi fase gerak masing-masing adalah 360 nm dengan air-metanol (60:40). Hasil validasi aflatoksin B2 diperoleh persamaan garis linier y = 5111,5x - 589,6 dengan nilai koefisien relasi (r) sebesar 0,9997. Hasil LOD dan LOQ yang didapatkan sebesar 0,6818 pg dan 2,2727 pg. %UPK dan %KV yang didapatkan sebesar 60-80% dan 0,3986-0,9545%. Waktu penyimpanan kacang tanah dan pelarut ekstraksi yang optimum adalah 4 minggu dengan pelarut metanol. Konsentrasi aflatoksin B2 dalam metanol yang didapatkan dari hasil penyimpanan 414,61 gram kacang tanah selama 4 minggu sebesar 79,74 ppb. pH telah diuji pada hasil produksi larutan aflatoksin B2 dan menunjukkan pH yang sesuai dengan kestabilannya.

Aflatoxin contamination in foods cause very dangerous effect on health. Government policies must be tightened to do inspections on every staple food. In each inspection, aflatoxin standards are required. However, the limited budget for purchasing that standards is an obstacle for the government in conducting inspections. This study aims to produce aflatoxin raw materials with more simple and economical method so it can help the government to supply the standards. The highest aflatoxin concentration is produced in peanut media so it is chosen in making raw aflatoxin. The storage time of peanuts (2-4 weeks) and the solvent for extraction (methanol or acetonitrile) are optimized. The determination of optimum analysis conditions was also carried out by varying the composition of the mobile phase and emission wavelengths. Analyzes were performed using HPLC Shimadzu® with RF-10AXL fluorescence detector, C18 column at a rate of 0,8 mL/min, at 40oC. The results of the optimization of the analysis conditions of the emission wavelength and mobile phase composition are 360 nm with water-methanol (60:40). The results of validation of aflatoxin B2 were obtained linear regression y = 5111,5x-589,6 with correlation coefficient (r) 0,9997. The results of LOD and LOQ were 0,6818 pg and 2,2727 pg. %UPK and %KV were 60-80% and 0,3986-0,9545%. The optimum storage time for peanuts and extraction solvents is 4 weeks with methanol. The concentration of aflatoxin B2 in methanol obtained from 4 weeks of storage of 414,61 grams of peanuts for 79,74 ppb. pH has been tested on the result of the production of aflatoxin B2 solution and shown the pH in accordance with its stability."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nikmatul Hidayah
"Ozon dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pengendalian cendawan dan aflatoksin pada biji-bijian yang lebih ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya bagi manusia, hewan, maupun lingkungan. Penggunaan ozon cukup efektif mengurangi kontaminasi cendawan dan aflatoksin pada bijibijian seperti barley, biji gandum, jagung, dan beras. Di Indonesia, ozon digunakan secara terbatas untuk proses pencucian beberapa jenis buah dan sayuran. Oleh karena itu diperlukan telaah lebih lanjut mengenai potensi penggunaan ozon pada biji-bijian terutama komoditas strategis yang menjadi prioritas dalam pembangunan pertanian di Indonesia seperti padi dan jagung. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menelaah peluang penggunaan ozon dalam mengurangi kontaminasi Aspergillus flavus dan cemaran"
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2021
630 JPPP 40:2 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta
"Aspergilli moulds were isolated from 27 Indonesian tobacco samples, which were collected from different areas in Indonesia. Isolation of moulds was carried out by direct plating in Tauge Extract Agar (TEA) medium and representative colonies were isolated. Identification was carried out in Czapek . Dox Agar (CDA) and Malt Extract Agar (MEA) media based on macroscopic and microscopic observation of colony morphology. Total aspergilli moulds identified were 44 isolates, which consisted of 11 species. Asp. awamori (14 isolates) was the dominant species followed by Asp. flavus (13 isolates).

The capability of 13 isolates of Asp. flavus to produce aflatoxin B1 was investigated. The isolates were cultivated in a semisynthetic liquid medium for aflatoxin B1 production, followed by extraction with organic solvents and quantification by High Performance Liquid Chromatography (HPLC). The results showed that only 12 isolates were able to produce aflatoxin al and the average concentration ranged from 3.28 to 351.26 ppb."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Yuliana Fitri
"Pendahuluan : Indonesia sebagai negara yang memiliki angka stunting tertinggi di Asia Tenggara menghadapi kenyataan adanya double burden terkait permasalahan stunting. Berbagai intervensi telah dilakukan untuk menurunkan angka kejadian stunting di Indonesia, tetapi nilainya tidak mengalami penurunan yang signifikan selama 10 tahun terakhir (>30%). Anak – anak memerlukan asupan makanan untuk tumbuh kembangnya, makanan tersebut tidak hanya bergizi tetapi juga harus memenuhi persyaratan kemananan pangan. Salah satu masalah keamanan pangan adalah adanya cemaran aflatoksin pada produk pangan. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang Aspergilus flavus dan Aspergilus parasiticus yang dapat mengkontaminasi berbagai komoditas pertanian seperti jagung dan kacang-kacangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara paparan AFB1 bersumber kacang tanah dengan kejadian stunting pada balita usia 36-59 bulan di Kelurahan Kebon Kalapa, Bogor Tengah.
Metode : Penelitian menggunakan disain cross-sectional. Sebanyak 243 anak usia 36-59 bulan menjadi sampel pada penelitian ini. Data diperoleh menggunakan metode dietay and exposure assessment melalui wawancara, pengukuran antropometri serta pengujian sampel produk makanan. Data dianalisis menggunakan beberapa uji statistik, untuk multivariat menggunakan regresi linier ganda.
Hasil : Terdapat inverse relationship (β= -0,035) antara paparan aflatoksin B1 (ng/kgbb/hari) dengan kejadian stunting meskipun tidak signifikan (p=0,120) setelah dikontrol oleh variabel panjang lahir dan tinggi Ibu. Asosiasi yang tidak signifikan ini dimungkinkan karena adanya dugaan threshold value aflatoksin dalam menyebabkan gagal tumbuh pada anak. Hubungan antara durasi waktu terpapar AFB1 (bulan) terhadap kejadian stunting memiliki inverse relationship (β= -0,019) dan bermakna secara statistik (p=0,008) setelah dikontrol oleh variabel panjang lahir, berat lahir, dan pendapatan.
Kesimpulan : Belum cukup bukti untuk menyatakan hubungan yang signifikan antara paparan aflatoksin B1 dan stunting pada penelitian ini. Namun, adanya dugaan asosiasi dan threshold value aflatoksin dalam perlambatan pertumbuhan dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui hubungan yang sebenarnya antara paparan aflatoksin dan stunting.

Introduction: Indonesia as the country with the highest stunting rate in Southeast Asia faces the reality of a double burden related to the stunting problems. Various interventions have been carried out to reduce the incidence of stunting in Indonesia, but the value has not decreased significantly over the past 10 years (> 30%). Children need food for their growth and development, these foods are not only nutritious but also must meet food safety requirements. One of the problems of food safety is the presence of aflatoxin contamination in food products. Aflatoxin is a secondary metabolite produced by the molds of Aspergilus flavus and Aspergilus parasiticus which can contaminate various agricultural commodities such as corns and peanuts. This study aims to determine the relationship between aflatoxin B1 exposure and the incidence of stunting in children aged 36-59 months in Kebon Kalapa District, Bogor Tengah.
Method: This study used cross-sectional design. A total of 243 children aged 36-59 months were sampled in this study. Data were obtained by dietay and exposure assessment methods through interviews, anthropometric measurements and testing of food product samples. Data were analyzed using several statistical tests, for multivariates using multiple linear regression.
Results: There was an inverse relationship (β= -0.035) between aflatoxin B1 exposure (ng/kgbb/day) and stunting although it is not significant (p = 0.120) after being controlled by birth length and mother’s height variable. Whereas the relationship between the duration of AFB1 exposure (months) and stunting has an inverse relationship (-0,019) and statistically significant (p = 0,008) after being controlled by variable birth length, birth weight, and income.
Conclusion: There is not enough evidence to state a significant relationship between aflatoxin exposure and stunting in this study. However the existence of alleged of associations and threshold value of aflatoxin in growth retardation can be taken into consideration to conduct further research to determine the actual relationship between aflatoxin exposure and stunting.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T52835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahiyah Rania Fachri
"Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang diproduksi oleh jamur genus Aspergillus. Aflatoksin bersifat karsinogen, hal ini menyebabkan keberadaan aflatoksin makanan menjadi perhatian. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kenaikan kadar flatoksin selama penyimpanan pada bumbu kacang buatan pabrik dan bumbu kacang buatan sendiri yang disimpan selama beberapa hari dengan dibungkus dan tidak dibungkus. Penetapan kadar dilakukan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi detektor fluoresensi. Analisis kondisi dilakukan pada panjang gelombang eksitasi 365 nm dan emisi 455 nm dengan komposisi fase gerak air-metanol (60:40). Hasil validasi standar aflatoksin B1 dengan rentang 50-150 pg dan aflatoksin B2 dengan rentang 12,5-37,5 pg diperoleh persamaan garis kurva kalibrasi berturut-turut y = 123,95x - 71 dan y = 5111,5x - 589,6 dengan koefiesien pertunjukan (r) sebesar 0,999 untuk memuaskan. Nilai LOD dan LOQ senyawa aflatoksin B1 adalah 5,0975 pg dan 16,992 pg, untuk aflatoksin B2 sebesar 0,6818 pg dan 2,2727 pg. % UPK dan% KV yang didapat berturut-turut adalah 66,02-71,63% dan 0,17-1,29%. Pada bumbu kacang yang dianalisis ditemukan aflatoksin, namun pada bumbu kacang buatan pabrik ditemukan afltoksin dengan konsentrasi yang berada dibawah batas yang berasal dari BPOM. Hasil menunjukkan adanya pengaruh dalam penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin dalam bumbu kacang yang disimpan tanpa pembungkus, karena adanya peningkatan flatoksin dari hari ke hari dengan peningkatan signifikan pada bumbu kacang buatan sendiri yaitu dari 7,3661 ppb menjadi 21,8776 ppb setelah 6 hari penyimpanan.
Aflatoxins are secondary metabolites produced by the fungus genus Aspergillus. Aflatoxins are known as a carcinogen, this causes the importance of aflatoxins in food to be a concern. This research was carried out to identify the increase in aflatoxin levels during storage in factory-made peanut sauce and homemade peanut sauce which were stored for several days with and without packaging. The determination of the content is carried out using a high-performance liquid chromatography fluorescence detector. Condition analysis was performed at 365 nm excitation wavelength and 455 nm emission with water-methanol (60:40) mobile phase composition. The results validation of aflatoxin B1 in the range of 50-150 pg and aflatoxin B2 in the range of 12.5-37.5 pg obtained the calibration curve equation successively y = 123.95x - 71 and y = 5111.5x - 589.6 with coefficients correlation (r) of 0.999 for both. The LOD and LOQ values ​​of aflatoxin B1 compounds were 5.0975 pg and 16.992 pg, aflatoxin B2 compounds were 0.6818 pg and 2.2727 pg. The% recovery and% CV obtained were 66.02-71.63% and 0.17-1.29%, respectively. In all analyzed peanut sauce aflatoxin was found, but in factory-made peanut sauce, the concentration of aflatoxin was found below the limit allowed by BPOM. The results show that there is an effect of storage with aflatoxin content in peanut sauce that is stored without packaging, due to an increase in aflatoxin levels from day to day with a significant increase in the level of homemade peanut sauce from 7.3661 ppb to 21.8776 ppb after 6 days of storage."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S70485
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>