Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizki Marman Saputra
"Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 dan berlakunya UNCLOS 1982 telah mempengaruhi penggunaan laut untuk kepentingan ekonomi dan pertahanan Indonesia, termasuk penerapan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen Indonesia. Di satu sisi, UNCLOS 1982 memberikan manfaat bagi pembangunan nasional yang meningkatkan luas wilayah yurisdiksi nasional. Ini berarti bahwa Indonesia dapat mengambil keuntungan di ZEE dan landas kontinen. Di sisi lain juga meningkatkan kerentanan karena wilayah yang semakin luas. Teori Seapower tentang karakteristik kekuatan negara maritim dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis kegagalan Indonesia menjadi negara maritim.
Penelitian ini dibagi menjadi dua aspek, aspek fisik dan aspek kebijakan. Menurut Alfred T. Mahan bahwa ada enam karakteristik kekuatan negara maritim, yaitu geografi, posisi wilayah, jumlah dan karakter penduduk, karakter nasional dan karakter pemerintah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia gagal menjadi negara maritim, karena minimnya sumber pendukung dari Seapower yaitu minimnya armada niaga, kekuatan angkatan laut, serta pangkalan dan pelabuhan, dan lemahnya kebijakan maritim Indonesia.

The Declaration of Djuanda on December 13th 1957 and the entry into force of UNCLOS in 1982 have influenced the use of the sea for economic and defense interests of Indonesia, including the application of Exclusive Economic Zone (EEZ) and the continental shelf of Indonesia. On one hand, the 1982 UNCLOS provides benefits for national development which increases the extent of national jurisdiction. This also means that Indonesia can take advantages in the ZEE and the continental shelf. On the other hand it also increases vulnerability because of the vast marine area. The Seapower theory about the characteristics of maritime power in this study is used to examine and analyze the failure of Indonesia as a maritime state.
The study is divided into two aspects, the physical aspects and the aspects on policy. According to Alfred T. Mahan, there are six characteristics of maritime state. They are geography, position of the region, number and character of population, national character and character of the government. This study concludes that Indonesia has failed to become maritime state, due to the lack of supporting power as Seapower factors such as the limitation of trade shipping, the limited force of the navy, the limitation of bases and sea ports, and the weakness of Indonesian maritime policy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhridho S.B.P. Susilo
"Pengaturan Konsepsi Negara Kepulauan dalam UNCLOS 1982 memberikan dasar hukum yang diakui secara internasional sekaligus serangkaian hak dan kewajiban bagi negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara Kepulauan, salah satunya Indonesia. Bagi Indonesia, pengaturan ini memperkuat dan menyempurnakan klaim yang dilakukannya pada tahun 1957 sebagai Negara Kepulauan, jauh sebelum UNCLOS 1982 ditandatangani, dan juga memberikan hakhak dan kewajiban-kewajiban pada Indonesia. Salah satu hak yang diberikan oleh UNCLOS 1982 adalah hak untuk membentuk dan menetapkan archipelagic sea lane atau alur laut kepulauan, yaitu suatu jalur yang menghubungkan antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan berfungsi untuk perlintasan kapal-kapal asing, baik kapal dagang, maupun kapal perang. Hak ini telah dilaksanakan oleh Indonesia melalui penetapan tiga ALKI yang diatur lewat PP No. 37 Tahun 2002. Mengingat pentingnya makna alur tersebut bagi Indonesia maupun dunia internasional, tidak hanya dari segi komersial, namun juga militer, maka sudah sepantasnya negara kepulauan yang bersangkutan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengamankan alur-alur tersebut dari gangguan yang mengancam baik terhadap kapal-kapal asing yang lewat disitu maupun terhadap kepentingan nasionalnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, TNI-AL yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang untuk menegakkan hukum dan mengamankan perairan Indonesia memiliki peran yang sangat besar. Dalam skripsi ini akan dibahas konsep pengamanan ALKI berdasarkan UNCLOS 1982 dan PP No.37 Tahun 2002, serta langkah-langkah dan kebijakan yang telah dilakukan TNI-AL dalam rangka pengamanan ALKI tersebut, beserta dasar hukum dan kasus terkait yang pernah terjadi di ALKI.

The incorporation of Archipelagic States Conception and Principles in the UNCLOS 1982 gives a legal basis recognized by international law as well as certain rights and obligations for those states who claim themselves to be Archipelagic State, one of them is Indonesia. For Indonesia, this incorporation strenghten dan perfects its claim as an Archipelagic State done in 1957, long before UNCLOS 1982 was signed, and also gives rights and obligations to Indonesia. One of the right that is governed by UNCLOS 1982 is the right to designate archipelagic sea lanes, a lane that connects one part of the high seas or exclusive economic zone with another part of high seas or exclusive economic zone, and functions as a passage for international ships, whether merchant or government ships or warhips. This right has been excercised by Indonesia through the designation of three archipelagic sea lanes known as 'Alur Laut Kepulauan Indonesia' or 'ALKI' as regulated in the Government Regulation Number 37 Year 2002. Considering the importence of that sea lanes for Indonesia as well as International worlds, not just commercially, but also miltary, therefore it is vital for the archipelagic state in question to take meassures to secure the sea lanes from any obstructions that can endanger foreign ships passing through the sea lanes, as well as its own national interests. In this case, the Indonesian Navy (TNI-AL), that has authorities and jurisdictions given by Indonesian laws to enforce law and security of Indonesian waters plays a big role. In this mini thesis, the concept of the security of ALKI based on UNCLOS 1982 and Government Regulation Number 37 Year 2002 will be dicussed, along with the steps and policy that has been taken by TNI-AL to secure it, as well as the legal basis and relevant cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26233
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Hidayat
"Pada tanggal 18 Maret 1982 ketika kampanye Pemilu Golkar akan dimulai, terjadi kerusuhan yang menyebabkan aparat keamanan menahan beberapa aktivis dari PPP. Dengan adanya peristiwa pengacauan ini, terjadilah tuduh menuduh Golkar dan PPP mengenai siapa yang bertanggungjawab atas ke jadian tersebut. Skripsi ini mencoba meneliti fungsi surat kabar sebagai sumber informasi dan wadah pendapat umum. Dengan menganlisa isi berita pada surat kabar Kompas, Pelita, Suara Karya dan Merdeka, dapat diketahui pemberitaan mengenai peristiwa Lapangan Banteng dari ke empat surat kabar tersebut. Bagaimana ke empat surat kabar tersebut memberitakan peristiwa Lapangan Banteng. Bagaimana fungsi surat kabar sebagai wadah pendapat umum, baik yang berasal dari masyarakat maupun dari surat kabar itu sendiri. Hasil yang diperoleh dari analisa data ialah bahwa berita pada minggu pertama adalah yang tertinggi, dan menunjukkan penurunan pada minggu berikutnya. Surat kabar sebagai wadah pendapat umum ada, meskipun hanya kecil. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini ialah bahwa sistim pers tunduk pada sistim politik yang berlaku. Pers lebih banyak menyandarkan beritanya pada sumber resmi,khususnya mengenai masalah yang sensitif yang menyangkut SAPA."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
S4231
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sri Pramesti JW.
"Penelitian bertujuan untuk mengetahui peranan komputer sebagai alat bantu peralaran menggambar pada anak usia sekolah dasar yang duduk di kelas 4 dan 5, khususnya usia 10 - 11 tahun beserta variabel-variabel terkait yang mempengaruhi hasil gambar anak dengan komputer; mengetahui perbedaan hasil "treatrnent" antara kelompok yang diberi ?treatment" menggambar secara manual dan kelompok yang diberi pelatihan "treatment"menggambar dengan komputer.
Penelitian dilakukan di kabupaten Kudus dengan dipusatkan pada kota Kudus. Jumlah subyek penelitian adalah 100 orang siswa kelas 4 yang berusia antara 10 - 11 tahun. Penelitian dilangsungkan sejak tanggal 15 Juni 1992 sampai 5 Juli 1992. Disain penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok. kelompok pertama (kelompok eksperimen 1) menenma "treatment" menggambar secara manual dan kelompok 2 (ketompok eksperimen 2) menerima "tneatment? manggambar dengan komputer. Sebelum dan sesudah "treatment", masing-masing kelompok menerima pretes dan postes.
Penelitian ini melibatkan vanabel bebas lntetigenst, Kreativitas Figural, Sikap Anak Terhadap Komputer (Prates dan Postes). Sikap Anak Terhadap Komputer (Pretes dan Postes), Hasil Gambar secara Manual Awal, Hasil Gambar dengan Komputer Awal. Variabet tenkat yang diteliti adalah Has Gambar secara Manual Akhir. Hasil Gambar dengan Komputer Akhir.
Hasil penelitlan menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif dan signifikan antara inteligensi dengan hasil gambar dengan komputar (r=0.3-495),antara sikap anak terhadap komputer dengan hasil gambar dengan kompuler(r=0.4936). Korelasi tunggal variabel bebas lain terhadap variabel lenkat lidak menghasilkan korelasi yang positif dan signifikan.
Dari keterkaitan antara varlabel hasil gambar anak secara manual awal (pretes), lnteliensi, kreativitas figural, sikap terhadap pelajaran menggambar awal (preles) dan sikap terhadap pelajaran menggambar akhir (postest). variabel yang memberikan propofsi kontribusi terbesar adalah variabel hasil gambar manual awal (pretes) (F=6.4924 dan R2= 0.119?l4) dan kreatlvitas figural (KF) dengan nilai P=a.e9a2 can R2=O.27003.
Apabila dllihat keterkaitan antara variabel hasil gambar anak secara manual awal (pretes), intellensi, krealivitas figural, sikap terhadap pelajafan menggambar awal (pneles), sikap terhadap pelajaran menggambar akhir (posles), hasil gambar dengan komputer awal (pretes), sikap anak lerhadap komputer awal (pnetes) dan sikap analg terhadap komputer akhir (postes) dengan hasil gambar anak dengan komputer akhir (posles), maka yang memberikan proporsi kontribusi terbesar adalah variabel hasil gambar anak dengan komputer awal (pretes)>- nialai= 60.5173 dan R2= .55792 dan sikap terhadap komputer akhir (posles) dengan nilal F = 40.3561 dan R2'-= 63198.
Tujuan akhir penelitian ini adalah mengetahui perbedaan hasil gambar manual akhir (posles) antara kelompok eksperimen 1 ("treatment" menggambar secara manual) dengan kelompok yang memperoleh "treatment" gambar dengan kornpuler (F=4.604 pada taraf signifikansi p=.O02). meski pun pada masing-masing kelompok diketahui adanya perbedaan hasil yang berarti antara tes gambar secara manual awal dan tes gambar secara manual akhir.
Diskusi mengenai hasil penelitian diuraikan berdasarkan susunan hipotesis yang telah diajukan. Hubungan antara lnteligensi dengan Hasil Gambar Secara Manual tidak ditemukan signifikan, meski pun sebenarnya dalam kegiatan menggambar tetap diperlukan kemampuan inteligensi.
Secara logis hal ini dapat dljelaskan bahwa untuk menghasilkan gambar secara manual, khususnya dalam kaitannya dengan proses adaptasi anak terhadap media gambar yang digunakan, proaes analisa media, bahan dan situasi dalam menggambar secara manual tidak diperlukan kemampuan khusus, karena kegiatan menggambar secara manual ini sudah merupakan kegiatan yang tidak asing lagi bagi anak. Anak tidak lagi harus menterjemahkan kode-kode yang dilihat pada media gambar (dalam hal ini adalah krayon dan kertas), melainkan langsung menuangkan apa yang ada dalam pikirannya menjadi bentuk-bentuk geometris dan gratis sesuai dengan imajinasinya.
Sedangkan dalam penelusuran hubungan antara inteligensi dengan hasil menggambar dengan kompuier, ternyata memegang peranan penting dalam menentukan hasil menggambar dengan komputer. Tes CPM sebagai tes inteligensi yang digunakan dalam penelitian ini ini lebih bersifal non verbal, yaitu mengukur penalaran dengan stimulus gambar an digunakan untuk mengevaluasi kemampuan subyek dalam memahami dan melihat hubungan antar gambar yang berbentuk geometris. Dari penjelasan tersebut tampak jelas bahwa tes ini diperlukan untuk melihat kemampuan siswa dalam menganalisa bentuk dan simbol yang ada dalam program gambar Pelangi. lnstruksi dalam program gambar Pelangi menggunakan simbol-simbol tertentu. Oleh karena itu diperlukan kemampuan penalaran agar dapat menterjemahkan slmbol-simbol tersebut, ' sehingga dapat menggunakan program ini dengan baik serta menghasilkan gambar sesuai dengan keinginannya.
Tergambarnya hubungan lnteligensi dengan kegiatan menggambar dengan komputer ini sebenamya berproses melalul dua tahapan perlama adalah penguasaan media gambar. yaitu kompuier beserta program gambamya, dalam penelitian ini adalah program Pelangi. Dalam penguasaan media, anak melakukan proses belajar - yaitu menguasai mesin, mengkoordinasikan antara kemampuan otak dan kemampuan motoriknya, serta menterjemahkan kode-kode atau simbol-simbol dan program yang digunakan agar dapat diterima oleh otaknya. Setelah anak menguasai tahap pertama, barulah anak belajar untuk mengkoordinaalkan simbol-simbol yang ada dengan menggunakan kemampuan motorik sena imajinasinya agar menghasilkan gambar sesuai dengan keinglnannya.
Tidak terbuktinya hubungan antara Sikap Anak Terhadap Pelajaran Menggambar dengan Hasil Gambar Secara Manual lebih disebabkan karana banyak faktor lain yang menentukan hasil menggambar anak secara manual; antara lain oleh persepsi anak tentang kemampuannya, kondisi lingkungan baik di sekolah maupun di tempat penelitian serta juga adanya anggapan bahwa pelajaran menggambar ini tidak penting apabila dibandingkan dengan pelajaran lainnya di sekolah.
Hubungan positif antara Sikap Anak terhadap Komputer dengan Hasil Menggambar dengan Komputer terlihat signifikan dalam penelitian ini. Ini erat kaitannya dengan respons yang ada apabiia saseorang melihat obyek tertentu, dalam hal ini komputer. Seseorang yang bersikap posiiif terhadap obyek atau stimulus tertentu akan cenderung mendekati obyek tersebut Sikap positif mendorong timbulnya motivasi untuk melakukan sesautu yang menyenangkan sesuai dengan kecenderungan yang dirasakannya. Komputer sebagai media gambar mempakan obyek sekaligus stimulus yang mempengaruhi proses penciptaan gambarnya. Sikap positif ini juga dipengaruhi oleh persepsi anak tentang media yang digunakan. Apabila anak merasa bahwa media tersebut menyenangkan serta mudah digunakan, maka penyesuaian terhadap media tersebut akan baik dan memperlancar anak untuk menggambar yang juga ditunjang dengan program gambar yang digunakan. Program gambar yang memudahkan anak untuk menggambar semudah menggambar secara manual, akan mendorong anak untuk melakukan kegiatan dengan lebih aktif dan memberikan hasll yang lebih baik.
Tidak terlihatnya korelasi antara Kreativitas Flgural dan Hasil Menggambar Secara Manual dan dengan menggunakan komputer lebih banyak disebabkan karena pada dasarnya Tes Kreativitas Figura! yang digunakan tidaklah mengukur hasil gambar secara manual. karena tes Kreativitas Figural tujuannya adalah mengukur gagasan-gagasan yang dimiliki individu, mencakup aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif, orislnalitas, kelancaran dan kelenturan dan kemampuan mengelaborasi gagasan-gagasan. Apabila dihubungkan dengan alat tes untuk menilai hasil gambar anak secara manual dan menggambar dengan komputer, maka aspek kreativitas yang dinilai dalam flat tes tersebut sudah tercakup dalam unsur gambar yang hams dipenuhi anak. Hasil gambar anak dinilai dari kemampuannya untuk membuat gambar tertentu berdasarkan pengetahuan, kreativitas dan kemampuannya mengenai unsurwarna, tekstur, dan disain gambar.
Keterkaitan Antar Variabel Bebas yang Terlibat Dalam Penelitian dengan Hasil Gambar Manual Anak melibatkan seluruh kelompok dalam penelitian. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan teknik Analisis Multiple Regression, secara keseluruhan dapat dibuktikan adanya keterkaitan antar variabel bebas terhadap hasil gambar anak sacara manual dengan kontribusi yang signifikan diperoleh dari variabel hasil gambar secara manual awal (preles) dan variabel Kreativitas figural (KF). Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa hasil seni tidaklah terlepas dan kraativilas seni yang dimiliki saseorang. Variabel-valiabel bebas lain seperii sikap anak terhadap pelajaran menggambar, sikap anak terhadap komputer dan intelgensi tidak terllhat keterkaitannya dalam konteks hubungan antar variabel bebas terhadap varlabel terikat.
Keterkaitan Antar Variabel Bebas yang Tertibat Dalam Penelitian dengan Hasil Gambar Anak Dengan Komputer-sacara keseluruhan dapat dljumpai. meski pun apabila dilihat lebih lanjut maka variabel yang memberikan kontribusi yang signifikan diperoleh dari variabel hasil gambar dengan komputer awal (pretes) dan variabet sikap terhadap komputer - akhir (postes). Variabel hasil gambar dengan komputer- pretes memberikan kontribusi besar karena anak telah mengalami proses ?treatment? menggambar dengan komputer, meski pun juga tidak dapat menggambarkan secara jelas seberapa tinggi tingkat kemampuan gambar komputer' awal. Perbedaan ini lebih disebabkan karena proses belajr pada diri anak. Sedangkan sikap anak terhadap komputer yang memberikan kontribusi adalah sikap anak terhadap komputer akhir (postes) dan bukan sikap awal anak, kanena pada awal "treatment" anak belum secara jelas mengetahui apa dan bagaimana sesungguhnya komputer khususnya untuk kegiatan menggambar; sedangkan pada proses treatment anak semakin mengetahui apa dan bagaimana penggunaan komputer untuk menggambar. Pengetahuan dan pengalaman belajamya membuat anak memiliki sikap yang positif pada akhirnya terhadap komputer.
Efektivitas Penggunaan Komputer Sebagai Sarana Bantu Pelajaran Menggambar tidak ditemukan secara signifikan. Tidak adanya perbedaan hasil menggambar secara manual antara kedua kelompok yang menerima treatment berbeda ini menunjukan bahwa media apapun yang digunakan untuk menggambar, yang paling panting adalah kemampuan dasar gambar. Kemampuan dasar yang akan semakin Berperan apabila ditunjang oleh media yang sesuai. Dalam penelitian ini, media tampak kurang penting karena kemungkinan besar adalah belum terjadinya penguasaan media komputer dan program gambar Pelangi secara interal sehingga menjadi bagian dan diri anak.
Saran-saran yang diberikan untuk panyempurnaan penelitian sejenis di masa mendatang mencakup tentang pencarian teori yang lebih spesifik dan mengarah pada penggunaan komputer sebagai sarana bantu pelajaran menggambar. Faktor waktu penelitian cukup memegang peranan panting.
Selain itu dalam kaitannya dengan kesiapan anak menghadapi tuntutan pekerjaan yang membutuhkan keahlian dalam bidang komputer, maka perlu dikembangkan program-program komputer yang dapat mengarahkan anak untuk bekerja sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya misalnya dalam dunia seni grafis.
Dalam kaitannya dengan penggunaan program-program komputer yang sesuai untuk anak Indonesia, maka sudah saatnya dipikirkan penggembangan program komputer yang mendidik, menarik, mudah digunakan serta tidak memiliki perbedaan yang jauh dengan program yang digunakan pada orang dewasa; sahingga anak akan lebih mudah mengadakan penyesuaian dangan program yang diperlukan dalam dunia pekerjaannya kelak. Begitu juga dengan program gambar sejenis program Pelangi (buatan Indonesia) yang lebih dapat mendekati kemampuan gambar manual anak, misalnya dengan membuat program yang tetap menggunakan fasilitas minimal komputer yaitu menggunakan keyboard namun dengan kemampuan maksimal sebagai pengganti pinsil."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabila Firdaus Ghassani
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kerjasama antar Negara dalam penerapan Hot Pursuit sebagai upaya penanggulangan kejahatan di laut, dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai pengaturan internasional terkait Hot Pursuit, permasalahan yang dihadapi negara dalam penerapannya serta bentuk-bentuk kerjasama yang telah dilakukan oleh negara-negara terkait Hot Pursuit. UNCLOS 1982 telah terdapat ketentuan-ketentuan Hot Pursuit, dimana agar dapat dianggap sah maka ketentuan di dalam UNCLOS 1982 tersebut harus diterapkan secara kumulatif. Meskipun demikian, dalam perkembangannya muncul konsep baru yang tidak diatur dalam UNCLOS 1982, dimana dilakukan kerjasama antar negara sehingga Hot Pursuit dapat dilakukan lebih dari satu Negara, kerjasama ini dapat dilakukan secara Ad Hoc, melalui perjanjian bilateral / multilateral, ataupun melalui INTERPOL.

ABSTRACT
This thesis discuss the transnational cooperation in the implementation of Hot Pursuit to mitigate crime at sea, using the method of juridical-normative, which aims to provide an understanding of the international arrangements related to Hot Pursuit, the problem faced by states in its application and the forms of cooperation that has been done by the state in relation to Hot Pursuit. UNCLOS 1982 has contained Hot Pursuit provisions, where in order to be considered valid, the provisions in UNCLOS 1982 should be applied cumulatively. Nevertheless in its development, appear a new concept that is not regulated in UNCLOS 1982, in the form of transnational cooperation ,which made Hot Pursuit carried out by more than one country is possible, this cooperation can be done on an Ad Hoc basis, through bilateral agreements / multilateral, or through INTERPOL.
"
2016
S64839
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Indira Fatima Putri
"ABSTRAK
The 1982 United Nations on the Law of the Sea memberikan diferensiasi terkait dengan fitur-fitur maritim di dalamnya. Walaupun demikian, masih terdapat perdebatan terkait dengan status hukum dari fitur-fitur maritim tersebut, khususnya terkait dengan pembedaan golongan Pulau serta Batuan. Penggolongan ini penting karena golongan tersebut mempengaruhi titel dari suatu fitur maritim yang bersangkutan terhadap zona maritim. UNCLOS memberikan hak atas Pulau memiliki hak atas seluruh zona maritim, sementara Batuan hanya memiliki hak atas laut teritorial. Skripsi ini kemudian melaksanakan analisis terhadap berbagai fitur maritim untuk menyimpulkan apakah suatu fitur maritim digolongkan sebagai pulau dengan menggunakan standar elemen sosio-ekonomi yang dijelaskan dalam putusan Laut China Selatan, dimana diantaranya dalam kasus dimana terjadi fenomena island-building. Simpulan dari permasalahan tersebut ialah walaupun perkembangan teknologi telah signifikan sehingga dapat dilaksanakan modifikasi terhadap fitur maritim asli, namun hal ini tidak mempengaruhi status hukum serta titel dari zona maritim yang bersangkutan.

ABSTRAK
The 1982 United Nations on the Law of the Sea gives differentiation on offshore maritime features. However, problem arises on the legal status of those features, particularly on the matter of island and rocks under the regime of island. This is caused by the fact that differentiation between islands and rocks have a different effects on the feature rsquo s maritime zone. The 1982 United Nations on the Law of the Sea gives islands full entitlement to all maritime zone, however, rocks are only entitled to the territorial sea. This thesis analyzes on various disputed maritime features to conclude whether a maritime feature is an island based upon the socio economic element of an island as explained in the recent decision of the South China Sea Arbitration, particularly on the case of island building and land reclamation activity. The conclusion is that modification on maritime feature can be extensive and affecting the ability of the maritime feature to sustain human habitation, however that does not change the legal status and maritime zone entitlement of the feature.
"
2017
S67823
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Sutadi Nugroho
"Tesis ini membahas praktik negara-negara kepulauan dalam menarik garis penutup untuk keperluan batas perairan pedalaman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 UNCLOS 1982. Penelitian ini adalah penelitian normatif, alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen, sehingga data yang digunakan adalah data sekunder dan teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Dalam praktek negara kepulauan terdapat negara yang telah mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 dalam peraturan nasionalnya dan telah menerapkannya contoh Antiqua dan Barbuda, dan Fiji. Terdapat negara yang telah mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 dalam ketentuan nasionalnya tetapi belum menerapkannya contoh Cape Verde dan Kepulauan Solomon. Terdapat juga negara yang tidak mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 karena mempunyai pandangan berbeda terhadap perairan pedalamannya contoh Filipina. Indonesia termasuk negara kepulauan yang telah mengakomodir Pasal 50 UNCLOS 1982 di dalam ketentuan nasionalnya tetapi belum menentukan perairan pedalamannya secara formal, perkembangan terakhir Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial, Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut, dan Tim ahli bidang Geodesi sedang melaksanakan identifikasi dan pengkajian mengenai penetapan batas perairan pedalaman Indonesia. Hasil penelitian menyarankan bahwa perlu adanya koordinasi yang intensif dan kohemperensif antara kementerian dan kelembagaan yang terkait atas penetapan batas perairan pedalaman Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia perlu mendorong pembentukan pengaturan penetapan batas perairan pedalaman dalam bentuk Undang-Undang.

This thesis discusses the practice of Archipelagic State in drawing a closing line for the needs of internal water as Article 50 UNCLOS 1982. This research is normative research, the data collection tool used in this study is through the study of documents, so that the data used is secondary data and the analysis technique used is content analysis. In the practice of an archipelagic state there are countries that have accommodated Article 50 of UNCLOS 1982 in their national regulations and have implemented examples of Antiqua and Barbuda, and Fiji. There are countries that have accommodated in their national provisions but have not applied the example of Cape Verde and the Solomon Islands. There are also countries that do not accommodate Article 50 UNCLOS 1982 of example Philippine. Indonesia is an archipelago that has accommodated Article 50 of UNCLOS 1982 but has not formally determined its internal waters, recent developments of the Government of the Republic of Indonesia through the Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman in collaboration with the Badan Informasi Geospasial, the Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut, and the Geodesy Team identification and assessment of the boundaries of Indonesias internal waters. As a suggestion, it is necessary to have more intensive coordination between relevant ministries and institutions on the determination of the boundaries of internal waters of Indonesia and the Government of the Republic of Indonesia needs to encourage the establishment of internal waters boundary regulation arrangements in the form of the Act.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52267
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati Kusumawardhani
"

Permasalahan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU Fishing) adalah masalah yang menjadi perhatian negara - negara di dunia, termasuk Indonesia, karena jumlah kasusnya yang semakin meningkat dari tahun ke tahun serta dampak yang ditimbulkan tidak saja pada ketersediaan sumber daya ikan, namun juga berdampak pada masalah sosial dan ekonomi. Selain itu, IUU Fishing juga mengancam kelestarian sumber daya laut serta merupakan suatu tindak kejahatan yang di dalamnya terdapat tindak pidana lainnya yang bersifat lintas negara, dari bentuk penipuan dokumen hingga perdagangan manusia sehingga dapat disebut sebagai bagian dari tindak pidana transnasional terorganisasi. Berdasarkan fakta tersebut, Presiden Joko Widodo membentuk Satgas 115 dengan Perpres No. 115/2015 sebagai satuan tugas dengan mandat untuk melakukan penegakan hukum terhadap kasus - kasus IUU Fishing, yang terjadi di wilayah perairan dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Satgas 115 menjadi “one roof enforcement system” bagi penanganan dan pencegahan IUU Fishing termasuk penegakan hukum di laut di mana di dalamnya terdapat lembaga/instansi yang berwenang melakukan penegakan hukum dan pengawasan laut berdasarkan peraturan perundang - undangan pembentukannya. Kinerja Satgas 115 menunjukkan hasil signifikan dengan menurunnya jumlah pelanggaran IUU Fishing di ZEEI dan meningkatnya jumlah tangkapan yang ditunjukkan dengan jumlah kasus yang ditangani dan pendapatan nelayan. Keberhasilan tugas Satgas 115 dapat menjadi pertimbangan untuk meneruskan sistem pengawasan laut, termasuk di dalamnya penanganan dan pencegahan IUU Fishing, dengan penguatan kelembagaan melalui peraturan perundang - undangan. Penguatan kelembagaan tersebut perlu untuk memperhatikan sifat koordinatif, kewenangan, kedudukan, dan pemanfaatan potensi terintegrasi antarlembaga/instansi terkait sebagai suatu “single agency” yang melanjutkan kinerja Satgas 115.

 

 


Illegal, Unreported, and Unregulated fishing (IUU Fishing) has become a concern for countries worldwide. Indonesia is one of those countries because the number of IUU Fishing cases increases from year to year. The impact caused not only on the availability of fish stock but also affected social and economic problems. Besides, IUU Fishing also threatens the preservation of marine resources, sustainable fisheries, and is indicated as a cross country crime in which other offenses included. Those offenses are from frauds in the form of document to human trafficking so that it can be called a part of transnational organized crime. According to those facts, President Joko Widodo established Task Force 115 with Presidential Decree number 115 the year 2015 (Perpres 115/2015) as a task force with a mandate to enforce the law against IUU Fishing cases, which occurred in waters and the Indonesian Exclusive Economic Zone (ZEEI). There are Institutions/agencies authorized to carry out law enforcement and sea surveillance based on the laws and regulations of its formation before the establishment of Task Force 115. Task Force 115 becomes a "one roof enforcement system" for those Institutions/agencies for handling and preventing IUU Fishing, including law enforcement at sea. Task Force Performance 115 showed significant results with a decrease in the number of violations of IUU Fishing in ZEEI and an increase of catches indicated by the number of cases handled and fishermen's income. The success of the Task Force 115 task can be a consideration for continuing the marine surveillance system, including the handling and prevention of IUU Fishing, by strengthening its institutions through legislation. The institutional strengthening needs to pay attention to the coordinative nature, authority, position, and utilization of integrated potential between related institutions/agencies as a "single agency" that continues the performance of Task Force 115.

"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>