Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Namira Adyaputri
Abstrak :
Gerakan sosial global Black Lives Matter yang menolak diskriminasi rasial terhadap orang-orang ras kulit hitam didorong oleh maraknya kriminalisasi dan kasus kekerasan yang dilakukan oleh agen pengendalian kejahatan, terutama di Amerika Serikat. Fenomena tersebut tidak terlepas dari sejarah dan struktur sosial di Amerika Serikat yang menyebabkan kesenjangan dan bentuk-bentuk kerugian sosial terhadap kelompok Afrika-Amerika sebagai ras minoritas. Rasialisme dan rasisme yang dialami kelompok Afrika-Amerika diangkat dalam berbagai media dan karya seni, salah satunya adalah film dokumenter berjudul 13th (2016) yang diproduksi oleh Netfflix. Tulisan ini membahas film dokumenter 13th melalui pendekatan kriminologi visual sebagai salah satu bentuk kontra-visualitas, yakni karya visual yang mengungkap kekerasan di balik kekuasaan dan memberikan visibilitas baru bagi pihak yang tertindas untuk dapat mengubah narasi. ......The Black Lives Matter global social movement, which stands against racial discrimination against black people, emerged from the rampant criminalization and brutality committed by agents of crime control, especially in the United States of America. The phenomenon is closely related to the history and social structure which generates inequality and various forms of social harm towards African-Americans as a racial minority. The racialism and racism experienced by African-Americans have been a recurring theme in multiple media and artworks, for instance, the Netflix-produced documentary film entitled 13th (2016). By utilizing a visual criminology approach, this article will discuss the film as a form of counter-visuality, defined as a visual work that reveals the violence operating behind an authority and grants new visibility to the oppressed group in order to own and change the narrative.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Esa Bayu Rianto
Abstrak :
Penelitian yang dibahas dalam tulisan ini ditujukan untuk menjelaskan alasan Tun Abdul Razak memilih melanjutkan dan memperkuat posisi kebijakan The 1961 Education Act sebagai upaya pemerintah mengatasi dampak kerusuhan rasial pada 13 Mei 1969. Alasan tersebut dapat dijelaskan melalui serangkaian kejadian yang berkaitan dengan kerusuhan tersebut. Analisis penelitian dilakukan dengan menggunakan teori nasionalisme-etnis karya Anthony D. Smith dan konsep routinization of policy instrument milik Capano dan Lippi, tulisan ini juga berusaha untuk mengidentifikasi karakteristik pemilihan pola routinization dalam pengambilan kebijakan publik di Malaysia. Hal ini didasarkan atas pada serangkaian kebijakan pendidikan dan kebahasaan yang dijalankan sebelumnya, yakni The 1952 Education Ordinance dan The 1957 Education Ordinance. Selain itu, Tun Abdul Razak juga menilai konsekuensi yang akan terjadi jika pemerintah mengubah pendekatan kebijakan pendidikan dan kebahasaan yang ada pasca kerusuhan 13 Mei 1969 maka stabilitas relasi antar etnis di masyarakat yang diinginkan oleh elit politik Bumiputera-Melayu tidak akan tercapai serta akan terjadi penyimpangan narasi nasionalisme etnis sebagai bentuk identitas nasional yang ingin dicapai bahkan telah digunakan dalam setiap penerapan kebijakan asimilatif di bidang pendidikan dan kebahasaan selama ini. ......The research discussed in this paper is aimed at explaining the reasons why Tun Abdul Razak chose to routineize and strengthen the policy position of The 1961 Education Act as a government effort to overcome the impact of the racial riots on May 13, 1969. This reason can be explained through a series of events related to the riots. The research analysis was conducted using the theory of nationalism-ethnicity by Anthony D. Smith and the concept of routinization of policy instrument by Capano and Lippi. This paper also seeks to identify the characteristics of the choice of routine patterns in public policy making in Malaysia. This is based on a series of educational and linguistic policies previously implemented, namely The 1952 Education Ordinance and The 1957 Education Ordinance. In addition, Tun Abdul Razak also assessed the consequences that would occur if the government changed the approach to education and language policies that existed after the May 13, 1969 riots, the stability of inter-ethnic relations in society that was desired by the Bumiputera-Melayu political elite would not be achieved and there would be narrative distortion. Ethnic nationalism as a form of national identity to be achieved has even been used in every application of assimilative policies in the fields of education and language so far.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library