Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Nina Chrisnawati
Abstrak :
Markus dan Kitayama (1991) mengklaim bahwa self-construal merupakan konsep yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan perilaku individu. Di sisi lain, Triandis (1995) menyatakan bahwa individualisme-kolektivisme merupakan konsep yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan perilaku individu. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan di antara Para ahli untuk mengetahui dan menemukan penjelasan pasti, mana dari antara kedua konsep tersebut yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan perilaku individu. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk menguji kekuatan kedua konsep tersebut dalam menjelaskan perilaku individu, yang dalam penelitian ini akan diuji pada kasus memilih pasangan pada kelompok etnik Batak. Selain menggunakan self-construal dan individualisme-kolektivisme, peneliti juga menggunakan identitas etnik sebagai variabel penelitian. Hipotesis yang diajukan adalah (1) Self-construal, individualisme-kolektivisme, dan identitas etnik mempengaruhi kecenderungan individu dalam memilih pasangan; (2) self-construal memiliki pengaruh dan daya prediksi paling besar dibandingkan individualisme-kolektivisme, dalam menjelaskan kecenderungan individu ketika memilih pasangan. Hasil penelitian menunjukkan kesesuaian dengan hipotesis yang diajukan. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara self-construal laki-laki dengan selfconstrual perempuan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T 17835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damanik, Novitasari R.
Abstrak :
Manusia cenderung tidak sensitif pada jarak temporal yang lebih jauh (370 hari) ketika pembandingnya adalah jarak yang cukup jauh (365 hari) atau disebut dengan temporal discounting (Thaler, 1981). Memadukan kecenderungan tersebut dengan Construal Level Theory (Trope & Liberman, 2010), penelitian ini melihat pengaruh jarak spasial terhadap sensitivitas akan jarak temporal. Melalui Studi 1 terbukti bahwa jarak spasial jauh mengurangi sensitivitas terhadap jarak temporal. Di sisi lain, persepsi individu akan jarak temporal dipengaruhi oleh selfconstrual (Spassova & Lee, 2013). Maka, Studi 2 menguji efek moderasi selfconstrual pada hubungan antara jarak spasial dengan sensitivitas akan jarak temporal. Sesuai dengan prediksi, self-construal terbukti memoderasi hubungan jarak spasial dengan sensitivitas akan jarak temporal. Individu dengan self-construal interdependen memiliki sensitivitas temporal yang lebih tinggi daripada individu dengan selfconstrual independen, dalam jarak spasial jauh. ......People less sensitive to further temporal distance (370 days) when the comparison to far time (365 days), known as temporal discounting (Thaler, 1981). , On the basis of this notion and on Construal Level Theory (Trope & Liberman, 2010), Study 1 examines the influence of spatial distance to sensitivity of temporal distance. As predicted, the result shows that spatial distance decreases sensitivity to temporal distance. Nevertheless, people perception of temporal distance is influenced by selfconstrual (Spassova & Lee, 2013). Studi 2 examines the moderation effect of selfconstrual on the relationship between spatial distance and sensitivity to temporal distance. As predicted, self-construal moderate the relationship between spastial distance and sensitivity to temporal distance. Interdependent self-construal has higher sensitivity to temporal distance than independent, on distal spatial distance.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
T46337
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Detricia Tedjawidjaja
Abstrak :
Tahap perkembangan remaja seringkali ditandai dengan peningkatan kecemasan sosial. Meskipun Social Anxiety Disorder (SAD) merupakan gangguan yang umum terjadi pada remaja, SAD cenderung sulit untuk diidentifikasi. Faktor budaya diduga berpengaruh terhadap batasan antara tingkat kecemasan sosial yang normal dan patologis. Penelitian ini menggunakan explanatory sequential design (kuantitatif-kualitatif) untuk (1) menguji pengaruh self-construal terhadap kecemasan sosial melalui peran mediasi emosi malu pada remaja etnis Jawa dan (2) menjelaskan penghayatan kecemasan sosial remaja etnis Jawa yang dibandingkan dengan gejala SAD dalam DSM-5. Dalam penelitian kuantitatif, pengukuran terhadap kecemasan sosial, self-construal, dan emosi malu melibatkan 37 remaja berusia 14-17 tahun dengan kedua orang tua beretnis Jawa dan berdomisili di Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hasil uji mediasi menggunakan causal steps approach menunjukkan bahwa emosi malu tidak berperan dalam hubungan antara self-construal dengan kecemasan sosial. Selain itu, independent construal secara signifikan berpengaruh negatif dan emosi malu berpengaruh positif terhadap tingkat kecemasan sosial. Selanjutnya, empat partisipan dengan kecemasan sosial yang tinggi berdasarkan pengukuran pada penelitian kuantitatif diikutsertakan dalam wawancara mendalam tentang gejala kecemasan sosial yang mereka alami. Hasil dari inductive analysis menunjukkan bahwa tingginya kecemasan sosial tidak selalu mengarah pada penegakan diagnosis SAD. Norma dalam budaya Jawa yang cenderung menerima gejala kecemasan sosial menyebabkan dampak negatif tidak muncul terhadap fungsi sehari-hari remaja. Implikasi dari hasil penelitian ini menekankan pada pentingnya mempertimbangkan konteks budaya remaja dalam menegakkan diagnosis SAD.
Adolescence is often marked by increased social anxiety. Even though Social Anxiety Disorder (SAD) is one of the most common disorders among adolescents, SAD is likely to be difficult to recognize. Cultural factors may influence the boundary between the normal and pathological level of social anxiety to be ambiguous. Using an explanatory sequential design (quantitative-qualitative), the aims of this study were to (1) examine whether self-construal influence social anxiety through mediating role of and (2) explore the meaning and experience of social anxiety symptoms among Javanese adolescents by comparing them with SAD symptoms in DSM-5. For quantitative study, measurement of social anxiety, self-construal, and shame involved 37 adolescents aged 14-17 year-old with both parents are Javanese and settle in DI Yogyakarta, Central Java, and East Java Province. The result of mediation analysis using causal steps approach indicated that there is no mediation effect of shame in the relationship between self-construal and social anxiety. In addition, only independent construal have a negative effect and shame have a positive effect significantly on social anxiety intensity. Furthermore, four participants with high social anxiety based on measurement in the quantitative study were joined an in-depth interview about their social anxiety symptoms. Results of the inductive analysis indicated that high social anxiety does not necessarily lead to the diagnosis of SAD. Norms in Javanese culture that tends to tolerate social anxiety symptoms causes no negative impact on adolescents' functions of daily life. The findings suggest that considering adolescent cultural context is essential for diagnosing SAD.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tazkia Azzahra
Abstrak :

Dalam beberapa tahun terakhir, pasar barang mewah secara konsisten menunjukkan pertumbuhan yang signifikan di seluruh dunia. Makalah ini mengusulkan sebuah analisis tentang bagaimana budaya mempengaruhi konsumsi barang mewah, khususnya antara dua budaya yang berbeda: Indonesia dan Belanda. Penelitian ini berfokus pada pengaruh self-construal (interdependent vs independent) terhadap konsumsi barang mewah saat pembelian dilakukan secara online vs offline. Pertama, efek utama menunjukkan perbedaan antara konstruksi diri yang saling bergantung vs. konstruksi diri yang independen, khususnya tentang perbedaan konsumsi barang mewah untuk kedua budaya. Kedua, efek moderasi dari pembelian online vs. offline juga dimasukkan untuk menganalisis apakah ini membuktikan lebih jauh perbedaan antara konsep diri yang saling tergantung dan mandiri saat membeli barang mewah. Berdasarkan penelitian sebelumnya, diharapkan bahwa self-construal yang saling bergantung memiliki konsumsi barang mewah yang lebih tinggi, terutama ketika pembelian dilakukan secara offline, sedangkan yang diharapkan untuk independent self-construal adalah kebalikannya. Penelitian ini mengadopsi desain antar subjek 2x2 dengan mengumpulkan sampel sebanyak 170 partisipan dari Indonesia dan Belanda. ANCOVA satu arah, ANCOVA dua arah, serta ANOVA dua arah dilakukan untuk menganalisis data. Penelitian ini tidak dapat mengkonfirmasi hipotesis, namun tetap memberikan implikasi teoritis dan manajerial untuk pasar barang mewah. Terakhir, keterbatasan dan rekomendasi untuk penelitian masa depan juga disediakan. ......In the past years, the luxury goods market has consistently shown significant growth all over the world. This paper proposes an analysis of how culture affects luxury consumption, more specifically between two different cultures: Indonesia and the Netherlands. This study focuses on the effect of self-construal (interdependent vs. independent) on luxury consumption when purchase is done online vs. offline. Firstly, the main effect showed distinction between interdependent self-construal vs. independent self-construal, specifically on how luxury consumption differs for both cultures. Secondly, the moderating effect of online vs. offline purchase was also incorporated to analyze whether this further proves the distinction between interdependent and independent self-construal when purchasing luxury goods. Based on prior research, it was expected that interdependent self-construal has higher luxury consumption, especially when purchase is done offline, while the opposite was expected for independent self-construal. This research adopts a 2x2 between-subjects design by collecting samples of 170 participants from Indonesia and the Netherlands. A one-way ANCOVA, two-way ANCOVA, as well as two-way ANOVA were performed to analyze the data. This research was not able to confirm the hypotheses, however it still provides theoretical and managerial implications for the luxury market. Lastly, limitations and recommendations for future research are also provided.

Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Balqis Azizah Pradana
Abstrak :
Despite the idea that beauty has been defined as a subjective concept, the desire to look good is attaining unprecedented levels. Through the growth of digitalization, the beauty industry has accommodated and advanced its approach to consumers' personalized needs. In explaining the underlying mechanism of consumer behavior, the self-construal theory was often used as an individual's cultural measurement. Therefore, this study aims to analyze the influence of self-construal on the purchase intention of beauty products through the measurement of self-discrepancy and online consumer reviews. The study reveals a new perspective regarding self-discrepancy and online consumer reviews that contradicts previous findings. Conducting cross-country studies between The Netherlands and Indonesia with a total of 150 respondents, the study reveals the relationship between self-construal and beauty consumption. The study measure culture through the concept of self-construal and shows that Indonesia (more interdependent) has a higher purchase intention of beauty products than The Netherlands (less interdependent). Moreover, this study provides insights into beauty product purchasing intentions and marketing of beauty brands. ......Meskipun keindahan sering kali dianggap sebagai konsep yang bersifat subjektif, keinginan untuk tampil menarik sedang mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Melalui pertumbuhan digitalisasi, industri kecantikan telah menyesuaikan dan mengembangkan pendekatan terhadap kebutuhan personal konsumen. Dalam menjelaskan mekanisme dasar perilaku konsumen, teori konstruksi diri sering digunakan sebagai ukuran budaya individu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh konstruksi diri terhadap niat pembelian produk kecantikan melalui pengukuran diskrepansi diri dan ulasan konsumen online. Penelitian ini mengungkapkan perspektif baru mengenai diskrepansi diri dan ulasan konsumen online yang bertentangan dengan temuan sebelumnya. Dengan melakukan studi lintas negara antara Belanda dan Indonesia dengan total 150 responden, penelitian ini mengungkapkan hubungan antara konstruksi diri dan konsumsi kecantikan. Penelitian ini mengukur budaya melalui konsep konstruksi diri dan menunjukkan bahwa Indonesia (lebih saling ketergantungan) memiliki niat pembelian produk kecantikan yang lebih tinggi dibandingkan Belanda (kurang saling ketergantungan). Selain itu, penelitian ini memberikan wawasan mengenai niat pembelian produk kecantikan dan pemasaran merek kecantikan.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fiona Ashari Salsabila
Abstrak :
Dalam beberapa dekade terakhir, fashion telah menjadi sesuatu yang terikat pada individu yang perilakunya bervariasi dalam budaya. Peran budaya (independen versus interdependen self- construals) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi niat beli konsumen terhadap produk fashion penting bagi merek fashion untuk bersaing di industri. Kredibilitas merek menciptakan kepercayaan dan keahlian dalam menghasilkan produk berkualitas lebih tinggi yang lebih disukai oleh konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana self-construal mempengaruhi niat beli produk fashion dari merek regular dan kredibel sekaligus mengontrol sikap terhadap iklan. Untuk menganalisis niat beli produk fashion merek regular dan kredibel, maka dibuatlah produk hipotesis jam tangan dengan iklan. Temuan dari 152 peserta dari Indonesia (interdependen) dan Belanda (independen) membuktikan bahwa interdependen self- construal lebih mungkin untuk terlibat dalam niat beli produk fashion dibandingkan dengan independent self-construal, dan sikap terhadap iklan secara signifikan mempengaruhi hubungan. Selain itu, kredibilitas merek memiliki pengaruh yang tidak signifikan dalam memoderasi hubungan antara konstruksi diri dan niat beli produk fashion. Namun demikian, kedua intensi untuk membeli produk fashion lebih tinggi ketika merek tersebut kredibel. Dasar pemikiran dari makalah ini adalah untuk berkontribusi pada kesenjangan penelitian mengenai konstruksi diri dan niat beli produk fashion dari merek fashion reguler dan kredibel, dan untuk memberikan wawasan kepada merek fashion untuk menciptakan strategi pemasaran yang tepat berdasarkan budaya konsumen yang berbeda. ......In the past few decades, fashion has become something that is tied to individuals whose behaviour varies within culture. The role of culture (independent versus interdependent self- construals) explains the factors that influence consumers' purchase intentions for fashion products is important for fashion brands to compete in the industry. Brand credibility creates trustworthiness and expertise on producing higher quality products which are more preferred by consumers. This study aims to analyse to what extent does self-construal affect the purchase intention of fashion products from regular and credible brands while controlling for the attitudes towards advertisement. In order to analyse the purchase intention of fashion products of the regular and credible brand, hypothetical products of a watch with advertisements are created. Findings from 152 participants from Indonesia (interdependent) and The Netherlands (independent) proved that interdependent self-construals are more likely to engage in purchase intention of fashion products compared to independent self-construals, and attitudes towards advertisement significantly affect the relationship. In addition, brand credibility has an insignificant effect in moderating the relationship between self-construals and purchase intention of fashion products. Nevertheless, both self-construals intention to purchase fashion products are higher when the brand is credible. The rationale of this paper is to contribute to the research gap regarding self-construals and purchase intention of fashion products from a regular and credible fashion brand, and to provide insight to fashion brands to create appropriate marketing strategies based on different consumer cultures.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Mariani Kartasasmita
Abstrak :
Penelitian ini adalah upaya untuk menemukan pengaruh latar belakang budaya Individualisme-Kolektivisme, Self-construal dan Ideologi fender terhadap Gaya penanganan konjlik mendominasi, integrasi, menghindar dan mengalah. Satu set kuesioner telah dibagikan dan diisi oleh 272 orang partisipan yang tinggal di Jakarta, Depok, Bogor, Tanggerang dan Bekasi. Temuan dari penelitian ini adalah; 1). Individualisme terbukti mempengaruhi Gaya penanganan konflik Mendominasi secara signifikan sebesar 78%; 2). Kolektivisme terbukti mempengaruhi Gaya penanganan konflik Menghindar secara signifikan sebesar 55%; 3). Self-construal Independen terbukti mempengaruhi Gaya penanganan konflik Mendominasi secara signifikan sebesar 59% dan Gaya penanganan konflik Integrasi sebesar 47%; 4). Self-construal Interdependen terbukti mempengaruhi Gaya penanganan konflik Menghindar secara signifrkan sebesar 71%; 5). Ideologi fender terbukti mempengaruhi Gaya penanganan konflik Integrasi secara signifikan sebesar 38%; 6) Ideologi fender Tradisional tidak terbukti berpengaruh secara sign fkan terhadap Gaya penanganan konflik Menghindar dan Mengalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya penanganan konflik banyak dipengaruhi oleh self-construal. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah mengenai latar belakang budaya dan situasi konflik nyata.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17834
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Priza Audermandi
Abstrak :
Kerangka berpikir dikotomis, generalisasi berlebihan, kontaminasi subjektivitas pemikiran Barat atau pengabaian adanya variasi individual masih mewarnai produk-produk komunikasi yang melibatkan aspek budaya. Hal ini tampak pada kreativitas periklanan, pernyataan politisi, bahkan dari analisa para pakar budaya atau komunikasi. Padahal, berbagai penelitian memperlihatkan adanya orientasi psikologis dan budaya individual yang berbeda di tengah dominasi kecenderungan budaya tertentu, terutama pada diri kelompok pelajar atau mahasiswa. Fenomena perbedaan orientasi ini juga terjadi di kota besar di Indonesia, khususnya pada individu dari kelompok cohort human capital generation. Salah satu variasi individual yang kerap diabaikan itu adalah self-construal. Konsep ini telah menjadi perhatian para komunitas peneliti internasional di bidang psikologisosial dan komunikasi satu dekade terakhir. Self-construal telah diaplikasikan ke berbagai area komunikasi antar pribadi, pemasaran dan organisasi. Dalam perkembangannya, lahir berbagai teori tentang self-construal. Satu dari sekian banyak teori self-construal itu adalah teori Gudykunst et al. yang menjelaskan pola hubungan antara variabilitas budaya sosialisasi individual, identitas budaya, perubahan generasi dengan self-construal. Mempertimbangkan kelayakan teoritis dari aspek kontekstual (struktural dan kultural), karakteristik psikologis dan kepentingan praktis, penelitian ini dilakukan untuk menguji keberlakuan teori Gudykunst dengan mengambil mahasiswa dan cohort capital generation sebagi subjek penelitian. Menggunakan metode survai, pengumpulan data dengan penyebaran kuesioner, dan data dianalisis menggunakan metode analisis lajur (path analysis), penelitian ini menemukan beberapa fakta empirik. Pertama, efek hubungan langsung antara variabilitas budaya dengan self-construal lebih tinggi dari efek hubungan tidak langsungnya. Efek hubungan langsung antara perubahan generasi yang dipersepsikan dengan self-construal lebih tinggi dari efek hubungan tidak langsungnya. Efek hubungan langsung dan tidak langsung antara identitas budaya dengan self-construal diabaikan, sebab jejak hubungan (path coefficient) tidak signifikan. Sementara, sosialisasi individual hanya berhubungan secara langsung dengan self-construal. Kedua, efek total semua hubungan langsung pada path model lebih tinggi dari efek total hubungan tidak langsung. Ketiga; akibat path coefficient identitas budaya dengan self-construal tidak signifikan, maka model dasar (path model) harus disesuaikan. Nilai uji fit coefficient menunjukkan bahwa model yang disesuaikan (fit model) lebih baik dari model dasar (path model). Penelitian ini menyimpulkan beberapa bal. Pertama, hasil penelitian ini memperlihatkan konseptualisasi, operasionalisasi dan pengukuran kelima konsep yang diteliti yang berbeda dari Gudykunst. Kedua, penelitian ini mengintegrasikan hubungan keempat konsep yang diteorikan Gudykunst ke dalam sebuah skematisasi model lajur yang integratif dan menerapkan metode analisis lajur (path analysis). Di mana dalam teorinya Gudykunst belum mengintegrasikannya ke dalam sebuah model dan metode analisi yang umum digunakan adalah mutivariate analysis of covariates (MANCOVA). Ketiga, hasil penelitian juga menghasilkan model yang disesuaikan (fit model) yang lebih baik dari model dasar (hasil kerangka teori Gudykunst). Implikasi teoritis adalah penelitian ini telah melakukan eksplikasi konseptual, replikasi dan modifikasi kerangka konseptual dan kerangka teori self-construal yang dikembangkan oleh Gudykunst. Bila ingin melakukan replikasi teori Gudykunst, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal. Pertama, untuk meningkatkan derajat validitas eksternal perlu dipertimbangkan: (1) kelayakan teori dari segi kontekstual (struktural dan kultural), (2) kelayakan teoritis menyangkut adanya perbedaan orientasi psikologis dan budaya subjek riset yang ditetapkan dengan orientasi psikologis dan budaya dominan (tidak berdasarkan asumsi), (3) kelayakan teoritis menyangkut jumlah kelompok yang dianggap penting oleh subjek penelitian (tidak berdasarkan asumsi) dan (4) kelayakan teoritis untuk penetapan subjek penelitian untuk kepentingan praktis program komunikasi pemasaran. Kedua, dengan pertimbangan kecukupan teoritis pertama, perlu dilakukan riset-riset segmentasi khalayak berbasis self-conslrual untuk program-program komunikasi praktis (antar pribadi, pemasaran, organisasi, dan politik).
Western biases, over generalization dichotomized conception, still exists in various communication products, especially if refers to cross-cultural communication. We can get in advertising creativities, politician statements and unfortunately, also from analysis of communication scholars. In the other words, it reflects the efforts for throwing out the individual variations within culture. Meanwhile, there is a segregation cultural tendency in dominant culture, mainly for students. In Indonesia context, we can see it in cohort of human capital generation. One of individual variation is self-construal, which had been an interesting subject for international social-psychology and communication scholars since 1991. This concept had been widely applied to communication practices. The most famous of self construal theory came from Gudykunst et al. They contended that there are four concepts correlates (direct and indirect) to self construal. They are cultural variability, individual socialization, cultural identities and generational change. This study tries to replicate it with individual from cohort human capital generation as research subjects. Using survey method, questionnaires data collection and path analysis method, the study isolated three important results. Firstly, direct effect scores of cultural variability with self-construal greater than its indirect effect. Direct effect scores of generational change perceived with self-construal greater than its indirect effect. Cultural identity has insignificance correlation to self-construal. Meanwhile, individual socialization just has a direct correlation with self-construal. Secondly, scores of total direct effects greater than indirect total effects. Third, cause of all the insignificance correlations to self-construal that was contributed by cultural identities, so path model has to be adjusted by fit model test. Fit coefficient indicated that fit model was better model than path model. This study also isolated three decisions: Firstly; this study resulted a different conceptualization, operationally, measurement with Gudykunst's concept. Secondly, study has integrated Gudykunst's self-construal theory into a path model and using path analysis method. Thirdly, this study result a better model than Gudykunst's self-construal theoretical framework. These three decisions implies to explication of Gudykunst's self-construal concept, replication of Gudykunst's self-construal theories and modification of Gudykunst's self-construal theoretical framework. This study also suggests two recommendations for next research. Firstly for increasing external validity degrees, subsequent researcher ought to take a careful examination of theoretically requirements, such as: context (structure-culture), limitation of psychology and culture orientation of research subjects, number and degree of groups that is important to subjects and practices needs. Secondly, for communication practices research, it's time for communication practitioners (marketing, organization and politics) to redefine and focuses their segmentation concepts base on self-construal concept.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T21657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Maulina
Abstrak :
ABSTRAK
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa yang terdapat di Indonesia. Pada masa sekarang interaksi antar suku bangsa yang ada cukup besar, karena banyak suku bangsa yang hidup bersama dalam suatu daerah. Untuk itu dibutuhkan pengertian satu sama lain agar tidak teijadi konflik dalam pergaulan, misalnya dalam hubungan persahabatan maupun dalam perkawinan antar suku bangsa. Pemahaman ini penting karena tingkah laku individu dipengaruhi oleh kebudayaan dalam masyarakat. Walaupun telah teijadi interaksi yang lama antar kelompok budaya, namun perbedaan tiap budaya tetap ada. Oleh sebab itu penelitian ini mengambil dua suku bangsa di Indonesia untuk diteliti, yaitu Jawa dan Batak, yang dianggap cukup banyak masyarakat pendukungnya di Indonesia. Tingkah laku individu yang terutama ingin diteliti dalam kaitannya dengan budaya adalah kehidupan keluarga. Latar belakang budaya keluarga perlu diketahui oleh individu, karena pengalaman yang diperoleh individu dari keluarganya dapat mempengaruhi sikap individu ketika berinteraksi dalam masyarakat. Penanaman nilai-nilai budaya telah dilakukan sejak kecil pada individu, dan dapat dilihat paling jelas dari kehidupan keluarganya. Sebagai kesatuan sosial yang terkecil dalam masyarakat, keluarga merupakan media yang paling tepat dan efektif dalam menanamkan nilai-nilai kebudayaan pada individu. Keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan pembentukan kepribadian individu, dan bagaimana keluarga mempengaruhi tingkah laku individu akan ditentukan oleh latar belakang budaya dimana keluarga menjadi bagian. Penelitian ini mengambil empat aspek kehidupan keluarga untuk diteliti, yaitu peran-peran dalam keluarga, nilai-nilai keluarga, family bonds, dan self construal. Peran dalam keluarga berkaitan dengan posisi atau kedudukan individu dalam keluarga. Nilai keluarga merupakan sesuatu yang dianggap bemilai oleh keluarga. Family bonds merefleksikan kekuatan dan bentuk ketergantungan individu terhadap keluarga. Sedangkan self-construal menggambarkan bagaimana individu memandang dirinya dan hubungannya dengan orang lain. Keempat aspek keluarga tersebut diambil dengan dugaan akan menghasilkan perbedaan dalam suku bangsa yang diteliti, yaitu Jawa dan Batak. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan peran dalam keluarga, nilai keluarga, family bonds, dan selfconsirual antara individu dengan latar belakang budaya Jawa dan individu dengan latar belakang budaya Batak. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dan metode yang digunakan adalah metode kuantitatif. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa, terdiri dari 115 orang yang mewakili suku bangsa Jawa dan 128 orang yang mewakili suku bangsa Batak. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik incidental sampling. Alat pengumpul data adalah empat buah kuesioner yang masing-masing mengukur peran dalam keluarga, nilai keluarga, family bonds, dan self-construal. Peran dalam keluarga yang diteliti mencakup peran ayah, ibu, kakek, nenek, dan paman/bibi. Family bonds dilihat berdasarkan ikatan emosional subyek terhadap anggota keluarga inti dan anggota keluarga luas. Sedangkan pengukuran self-construal terdiri dari pengukuran terhadap independent self-construal dan interdependent self-construal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada peran dalam keluarga, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam peran ayah dan peran nenek antara subyek dengan latar belakang budaya Jawa dan Batak. Perbedaan yang signifikan terdapat pada peran ibu dalam pengasuhan anak, peran paman/bibi dalam menjaga hubungan dan meneruskan nilai-nilai, serta peran paman/bibi dalam pengasuhan anak. Pada nilai keluarga tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara subyek dengan latar belakang budaya Jawa dan Batak. Pada ikatan emosional terhadap anggota keluarga inti dan anggota keluarga luas juga tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara subyek dengan latar belakang budaya Jawa dan Batak. Sedangkan pada self-construal perbedaan yang signifikan hanya terdapat pada independent self-construal. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan umum bahwa banyak hasil penelitian ini yang berlawanan dengan dugaan semua. Walaupun terdapat perbedaan, namun perbedaan tersebut tidak sebesar yang diperkirakan secara teoritis. Dari hasil tersebut diduga bahwa mungkin bagi masyarakat Indonesia hal-hal yang berkaitan dengan keluarga tidak jauh berbeda antara satu budaya dan budaya lain. Keluarga masih dianggap penting bagi sctiap individu, sehingga variasi yang terdapat dalam kehidupan keluarga di budayabudaya Indonesia tidak terldu banyak. Secara umum falrtor-faktor yang mungkin merupakan penyebab tidak ditemi^annya banyak perbedaan dalam penelitian ini antara lain lokasi penelitian yang sama-sama merupakan kota kecil, subyek penelitian yang termasuk spesifik, serta tingkat pendidikan orangtua subyek yang tergolong tinggi. Dari hasil tersebut penulis mengajukan beberapa saran yang berguna bagi penelitian selanjutnya. Saran yang diajukan antara lain melakukan penelitian tidak hanya di kota kecil tapi juga di kota besar, kemudian melakukan penelitian pada budaya-budaya lain untuk memastikan apakah memang tidak terdapat variasi yang banyak dalam kehidupan keluarga di Indonesia. Selain itu penulis juga menyarankan untuk memperluas tingkat pendidikan subyek sehingga mungkin dapat diperoleh perbedaan yang lebih banyak dalam membandingkan kehidupan keluarga di dua budaya.
2002
S2829
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardi Wirdamulia
Abstrak :
This research demonstrates that brand performance can be enhanced not only through brand personality congruence with customer personality, but also through brand personality fit, namely the moderating fit of customer value proposition to brand personality. Through a study covering 125 brands, the result demonstrates that the moderating fit between brand personality and the different level of customer value proposition positively affects brand performance. Price-quality relationship for attribute-based customer value, self-construal for consequences-based customer value and selfregulatory focus as goal-based customer value are used to test this moderating fit relationship. Other findings show that this moderating fit is strongest toward the brand cognitive performance. Finally, the result of this study suggests marketers to incorporate the brand personality design into their positioning statement so that the overall customer value proposition can be developed in a more integrated manner, leading to higher brand performance.
Management, Faculty of Economics, University of Indonesia and Philip Kotler Center, 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library