Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adi Suryadi
Abstrak :
Studi ini bertujuan untuk meneliti permasalahan pokok, yakni eksistensi dan perkembangan Petisi 50 sebagai masyarakat madani dalam politik di Indonesia. Ruang lingkup penelitian dibatasi tahun 1980 - 1998 (era Orde Baru), tepatnya sejak kelahiran Petisi 50 (5 Mei 1980) hingga runtuhnya kekuasaan Soeharto (21 Mei 1998). Dua pertanyaan utama yang hendak dijawab dalam tesis ini: (1) bagaimana pengaruh politik negara Orde Baru terhadap eksistensi dan perkembangan Petisi 50 sebagai masyarakat madani; dan (1) mengapa Petisi 50 marnpu menunjukkan diri sebagai masyarakat madani yang mandiri? Dalam membahas pokok permasalahan tersebut, maka dirumuskan titik perhatian pada hubungan variabel multivariat, yaitu antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh. Ada pun variabel pengaruh adalah negara Orde Baru dan kekuatan internal Petisi 50; sedangkan variabel terpengaruh adalah Petisi 50 sebagai masyarakat madani. Kerangka teoritis yang digunakan adalah konsep masyarakat madani (civil society). Sehubungan konsep tersebut, sebenarnya terdapat sejumlah sudut pandang. Salah satu diantaranya yang digunakan dalam studi adalah perspektif yang melihat masyarakat madani sebagai kelompok-kelompok sosial dan politik yang muncul berdasarkan inisitatif dari masyarakat, dengan ciri utamanya memiliki kemandirian (otonomi) terhadap negara. Jenis penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah sepenuhnya bersifat kualitatif; dengan mendasarkan diri pada data yang dikumpulkan melalui wawancara dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi dad tokoh-tokoh pelaku Petisi 50 sebagai sumber data primer, melalui prosedur wawancara tidak berstruktur atau pertanyaan terbuka. Sedangkan studi kepustakaan mengandalkan data dari sumber-sumber berupa buku, majalah, surat kabar, maupun dokumen-dokumen tertulis lainnya. Hasil penelitian menunjukkan pembuktian teoritis dan kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, kelompok Petisi 50 dalam eksistensi dan perkembangannya memenuhi kategori secara teoritis untuk dapat disebut sebagai masyarakat madani dengan ciri-ciri yang ditampilkan antara lain: (1) otonomi terhadap pengaruh kekuasaan negara; (2) sifat kesukarelaan dan keswadayaan sebagai kelompok politik; (3) dimilikinya kebebasan berkumpul dan berpendapat; (4) aktivitasnya yang mencerminkan kesesuaian dengan faktor 1, 2, dan 3; dan (5) adanya pluralisme dalam hal spektrum sosial dan politik dalam realitas internalnya. Kesimpulan analisa tersebut diperoleh melalui fakta-fakta yang terungkap dalam melihat hubungan antara Petisi 50 dengan negara Circle Baru dan dinamika internal Petisi 50 sebagai masyarakat madani.
Kedua, perilaku politik negara Orde Baru yang otoriter, represif dan restriktif tidak mempengaruhi eksistensi dan perkembangan Petisi 50 sebagai masyarakat madani. Petisi 50 tetap mampu menunjukkan sikap kritis dan otonominya sebagai masyarakat madani, meskipun negara Orde Baru dengan berbagai cara berupaya menghambat dan menutup ruang publik kelompok ini. Terbukti, Petisi 50 tetap aktif mengadakan pertemuan, menyampaikan protes dan kritik melalui produk produk tertulis mereka; sejak kelompok ini lahir tahun 1980 hingga Iengser-nya Presiders Soeharto tahun 1998.
Ketiga, Petisi 50 mampu mempertahankan eksistensinya sebagai masyarakat madani yang mandiri, disebabkan pengaruh realitas faktor eksternal dan internalnya. Dilihat dari faktor eksternal, dalam konteks hubungannya dengan negara Orde Baru, Petisi 50 lebih banyak mengandalkan aktivitas melalui produk tertulis yang disalurkan ke lembaga-lembaga formal (terutama DPR), sehingga negara Orde Baru tidak memiliki alasan untuk menghambat pertumbuhannya dengan tuduhan sebagai gerakan makar atau inkonstitusional. Strategi ini juga efektif; mengingat sifat negara Orde Baru yang otoriter. Dilihat dari faktor internal, para pelaku Petisi 50 relatif memiliki kemampuan finansial (ekonomi) yang memadai, moralitas (prinsip) individual yang konsisten, dan prestise di mata masyarakat dan pemerintah, sehingga mampu bertahan hidup sebagai kelompok yang mandiri. Namun demikian, dibanding faktor eksternal, kemandirian itu lebih banyak dipengaruhi faktor internalnya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yomi Ayu Lestari
Abstrak :
Kelangkaan sumber-sumber permodalan domestik mengakibatkan investasi asing menjadi salah satu motor pembangunan di negara-negara berkembang. Kebijakan ekonomi luar negeri yang dikeluarkan oleh Pemerintah di bidang investasi asing tentu akan mempengaruhi arus modal yang masuk. Semakin menarik insentif yang diberikan, semakin besar pula minat investor asing untuk menanamkan modalnya. Berkaitan dengan kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia di bidang investasi asing, maka dalam penelitian ini akan diamati bagaimana perbandingan faktor internal dan eksternal mempengaruhi kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia di bidang investasi asing pada masa awal pengakuan kedaulatan (1950-1957) dan masa awal Orde Baru (1967-1974). Faktor internal yang mempengaruhi adalah adanya pendukung paham liberal dan nasionalis serta kondisi perekonomian pada masa itu, sementara faktor eksternalnya adalah adanya lembaga keuangan internasional. Adanya saling mempengaruhi atas berbagai faktor tersebut akan mempengaruhi perubahan arah kebijakan investasi asing di Indonesia pada kedua masa tersebut. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Data-data mengenai kebijakan perekonomian termasuk pula kebijakan investasi asing, pengaruh lembaga keuangan internasional dan perubahan kebijakan investasi asing diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, jurnal jumal, media massa maupun terbitan-terbitan lainnya. Seluruh data yang terkumpul dianalisis dan dilaporkan secara kronologis. Artinya, setiap gejala yang muncul dan keterkaitan antar gejala akan dijelaskan, serta dituangkan dalam laporan penelitian yang tersistematisasi berdasarkan urutan kejadian. Pada akhir penelitian diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia di bidang investasi asing pada masa awal pengakuan kedaulatan (1950-1957) dan masa awal Orde Baru (1967-1974) dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Adanya pegaruh dari faktor internal dan eksternal ini menyebabkan bahwa meskipun pada awal pengakuan kedaulatan dan masa awal Orde Baru Indonesia sama-sama mengalami permasalahan ekonomi yang serius dan membutuhkan dana untuk perbaikan ekonominya, namun kebijakan ekonomi luar negeri di bidang investasi yang dikeluarkan Pemerintah pada kedua masa itu sangat berbeda.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3957
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Taqiyyuddin
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai perkembangan industri pariwisata di Yogyakarta pada masa Orde Baru pada periode 1969 - 1979. Pariwisata menjadi salah satu sektor perekonomian yang mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia. Salah satu wilayah di Indonesia yang menjadi daerah tujuan wisata adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal itu disebabkan oleh letak geografis yang strategis dan potensi wisata yang besar. Pariwisata di Indonesia memasuki babakan baru pada tahun 1969 ketika Pemerintah Pusat mengeluarkan beberapa kebijakan untuk pengelolaan pariwisata. Dinas Pariwisata Yogyakarta bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain untuk melaksanakan kebijakan pariwisata sehingga pariwisata Yogyakarta dapat berkembang dengan baik. Penelitian ini menggunakan metode sejarah berupa heuristik, kritik, dan historiografi dengan penelusuran berbagai surat kabar sezaman dan berbagai literatur kepariwisataan sebagai sumber pendukung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengembangkan pariwisata di Yogyakarta pada awal Orde Baru. Pelita I fokus pengembangannya terletak pada pembangunan sarana dan prasarana. Sedangkan pada Pelita II pengembangan pariwisata berfokus kepada peningkatan kualitas jasa pariwisata. Pengembangan yang dilakukan tersebut berdampak bagi kehidupan masyaratak di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
ABSTRACT
This thesis discusses the development of the tourism industry in Yogyakarta during the New Order period in the period 1969 - 1979. Tourism is one of the economic sectors experiencing rapid growth in Indonesia. One of the areas in Indonesia which became a tourist destination is the Special Region of Yogyakarta. This is due to the strategic geographical location and large tourism potential. Tourism in Indonesia entered a new phase in 1969 when the Central Government issued several policies for tourism management. The Yogyakarta Tourism Office collaborates with other institutions to implement tourism policies so that Yogyakarta tourism can develop well. This study uses historical methods in the form of heuristics, criticism, and historiography by tracing various contemporary newspapers and various tourism literature as supporting sources. The results of this study indicate that the Regional Government has carried out various policies to develop tourism in Yogyakarta at the beginning of the New Order. Pelita I focuses on the development of facilities and infrastructure. Whereas in the Pelita II tourism development focuses on improving the quality of tourism services. The development carried out has an impact on the lives of people in the economic, social and cultural fields.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kafi Handiko
Abstrak :
Tesis berusaha menelusuri dinamika tarik menarik antara kepentingan pasar yang dalam hal ini direpresentasikan oleh IMF dengan Lol - nya dan kepentingan kapitalisme kroni pada masa pemerintah Orde Baru tahun 1997-1998. Tanggal 31 Oktober 1997, pemerintah Orde Baru mulai mengundang keterlibatan IMF dalam upaya mengatasi krisis ekonomi. Ada semacam nostalgia, ketika pada tahun 1966, keterlibatan IMF berhasil mengatasi carut marut ekonomi, berupa hyperinflasi, warisan Rezim Orde Lama. Dengan kata lain, kredibilitas IMF sebagai lembaga keuangan internasional diperlukan untuk memulihkan kembali kepercayaan. Namun dengan keterlibatan IMF, krisis ekonomi di Indonesia justru semakin mendalam. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan. Pertama, mengapa dengan dilibatkanrya IMF dalam upaya pemulihan krisis ekonomi di Indonesia justru krisis semaki menghebat? Kedua, apakah dengan demikian kebijakan pemulihan ekonomi IMF tidak efektif untuk mengatasi krisis ekonomi di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan pertama kiranya perlu untuk melakukan kilas balik ke masa awal mula krisis dan bahkan jauh sebelum krisis melanda. Kalau kita refleksikan kembali krisis ekonomi tahun 1997 muncul karena akumulasi dan saling kait antara faktor eksternal dan faktor intenal. Secara eksternal bisa dikatakan bahwa krisis ekonomi 1997 memiliki karakter regional. krisis bermula dari efek penularan (contagious effect) atas krisis serupa yang terjadi di Thailand dan melalui pola domino krisis kemudian menyebabkan keruntuhan perekonomian negara-negara Asia yang lain termasuk Indonesia. Sedangkan secara internal, krisis sudah ada benih-benihnya di dalam struktur ekonomi politik Indonesia sendiri. Sistem kapitalisme kroni yang berlaku selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi lahan persemaian yang subur bagi praktek-praktek KILN (Kolusi, korupsi dan nepotisme) yang merongrong fondamen ekonomi Indonesia sejak jauh hari sebelum munculnya krisis ekonomi. Selama masa sebelum krisis hal itu masih ditutupi oleh fenomena pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, namun begitu krisis datang hal itu nampak nyata sebagai kelemahan-kelemahan struktural yang harus diperbaiki. Pertanyaan kedua dengan demikian tetah secara sekilas terjawab. Efektif atau tidaknya program pemulihan ekonomi IMF tergantung dari sikap pemerintah Orde Baru sendiri. Memang resep-resep pemulihan ekonomi IMF nampak sebagai sebuah pil pahit yang harus ditelan. Namun itulah kenyataan yang harus dihadapi. Dan ternyata lemahnya komitmen pemerintah Orde Baru untuk menjalankan resep-resep ekonomi IMF, yang ditunjukan dengan diingkarinya butir-butir kesepakatan datam Loi, menimbulkan reaksi negatif pasar yang semakin mengurung Indonesia ke dalam krisis yang semakin luas dan datam. Dari data-data yang berhasil penulis kumpulkan membuktikan bahwa pemerintah Orde Baru kurang memiliki komitmen serius menjalankan program-program pemulihan ekonomi IMF, dengan adanya kasus-kasus, seperti: mobnas Timor, kartel perdagangan kayu lapis, BPPC, dan terakhir mengenai rencana penerapan CBA (Currency Board Sistem). Ketidakseriusan pemerintah Orde Baru dalam menjalankan resep-resep pemulihan ekonomi IMF menimbulkan reaksi negatif pasar yang ditunjukan dengan semakin melorotnya nilai tukar rupiah. Setelah pemerintah menjalankan resep IMF sejak November, kurs rupiah justru terus metemah. Pada akhir Desember 1997, kurs berada pada kisaran Rp. 6.247/US$. Sedangkan Januari 1998, kurs rupiah mencapai Rp 15.700/US$. Kondisi ini semakin tidak kondusif bagi upaya recovery ekonomi. Di lain pihak, lemahnya komitmen tersebut harus dibayar mahal dengan dipaksanya pemerintah Indonesia di bawah rezim Orde Baru untuk menandatangani Lol 15 7anuari 1998 dan Lol 10 April 1998. Keengganan pemerintah Orde Baru untuk menjalankan resep pemulihan ekonomi IMF bisa dikaitkan dengan keinginannya untuk tetap metindungi kepentingan-kepentingan ( vested interest) di sekitar tingkaran kekuasaan. Program-program pemulihan ekonomi IMF secara otomatis memang sangat berseberangan secara diametral dengan berbagai kepentingan ( vested interest) di sekitar kekuasaan. Vested interest tersebut berujud kepentingan bisnis dari orang-orang (baca: para kapitalis kroni) yang dilanggengkan oleh adanya sistem Kapitalisme Kroni.
Depok: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juni Alfiah Chusjairi
Abstrak :
Etnis Cina di Indonesia sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia. Namun kehadirannya hingga hari ini masih belum sepenuhnya dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Era reformasi tampaknya membawa angin baru bagi etnis Cina di Indonesia. Berbeda dengan jaman Orde Baru yang cenderung membatasi gerak mereka kecuali di bidang ekonomi. Di era reformasi berbagai peraturan yang diskriminatif mulai dicabut. Termasuk juga bahasa dan budaya Cina tidak dilarang lagi. Sikap pemerintah yang melunak terhadap etnis Cina membawa perubahan juga pada media. Selain ada stasiun televisi yang menyiarkan siaran berita dalam bahasa Mandarin, televisi juga menayangkan film/sinetron tentang kehidupan etnis Cina. Film-film ini ditayangkan dalam menyambut Imlek, Tahun Baru etnis Cina.. Penelitian ini hendak meneliti tentang konstruksi identitas etnis Cina di Indonesia melalui film-film Wo Ai Ni Indonesia, Jangan Panggil Aku Cina dan Ca Bau Kan. Penelitian ini melibatkan empat orang informan yang pernah menonton ketiga film tersebut diatas. Mereka adalah orang etnis Cina yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, namun saat ini tinggal di Jabotabek. Informan tersebut juga mencakup generasi 20130-an, 40-an, 50-an .Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan perspektif fenomenologi dan menggunakan paradigma kritis. Data dalam penelitian diperoleh dari wawancara dengan informan tersebut diatas. Analisis data kemudian dilakukan dengan methods of agreement dan methods of difference. Teori utama yang digunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini adalah encoding/decoding dari Stuart M. Ada tiga konsep yang dinyatakan oleh Hall yaitu preffered/dominant hegemonic position. Posisi ini terjadi bila pembuat dan pembaca teks mempunyai ideologi yang sama dalam memaknai teks. Kedua negotiated code/position. Posisi ini merupakan sebuah kompromi terhadap teks. Ideologi pembaca yang lebih menonjol berperan dalam memakai teks yang kemudian dinegosiasikan oleh ideologi yang dibawa oleh teks. Ketiga oppositional code/position. Pesan yang dibaca oleh khalayak akan dimaknai secara berseberangan atau berbeda dengan pembuat teks. Selain itu penelitian ini juga mengacu pada konsep identitas yang mencakup self sameness dan solidarity dari Paul Gilroy dalam konsep cultural studiesnya. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lingkungan pergaulan yang kemudian ditunjang oleh nilai-nilai budaya yang kuat mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk identitas ke Cinaan seseorang Orang yang bergaul serta berada di lingkungan Cina terus dari kecil hingga dewasa akan menimbulkan sikap eksklusif dan identitas ke Cinaannya cenderung kuat. Hal ini juga berpengaruh terhadap pemaknaan seseorang terhadap ketiga film tersebut yang cenderung negotiated dan oppositional. Berbeda dengan mereka yang lingkungannya pribumi saja atau yang lingkungannya campur antara pribumi dengan etnis Cina. Mereka yang berada di lingkungan pribumi saja atau campur antara pribumi dengan etnis Cina akan cenderung lebih permisif dan adaptif. Pemaknaan terhadap film-film tersebut cenderung dominant/preffered reading.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T21660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Maulida Adhiningsih
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang pergeseran hubungan Kadin dengan negara di masa Orde Baru dan masa reformasi. Argumen dari penelitian ini adalah bahwa telah terjadi pergeseran dalam hubungan Kadin dengan negara di masa Orde Baru dan reformasi dari bentuk predation ke mutual hostage. Pergeseran hubungan yang terjadi dipicu oleh pergantian struktur politik sebagai antecendent condition terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan studi literatur. Adanya perubahan struktur politik yang lebih demokratis memberikan kesempatam bagi Kadin selaku asosiasi puncak di sektor bisnis untuk berkembang ke arah yang lebih otonom. Tingkat kemandirian Kadin juga didukung oleh semakin melemahnya dominasi negara, sehingga Kadin tidak lagi didominasi oleh kepentingan-kepentingan negara. Karakter negara yang tidak lagi mendominasi mempengaruhi Kadin untuk lebih berkembang menjadi asosiasi bisnis yang lebih otonom. Kemudian, dengan adanya perubahan struktur politik memunculkan beberapa perubahan dalam urusan internal Kadin, salah satunya ialah pemilihan jabatan Ketua Umum yang menjadi lebih demokratis. Berubahnya sistem tersebut memunculkan faksi-faksi dalam internal Kadin yang kemudian turut mempengaruhi hubungan Kadin dengan negara serta preferensi kepentingannya. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor yang turut mempengaruhi pergeseran hubungan kelompok bisnis dengan negara diantaranya ialah karakter negara, karakter kelompok bisnis (dalam hubungannya dengan negara) serta kondisi internal kelompok bisnis.
ABSTRACT
This thesis discussed about shifting in state business relations: Study case Indonesian Chamber of commerce and Industry in New Order Era and Reform Era. The argument of this study is, has been shifting in state business relation in New Order Era and Reform era from predation to Mutual Hostage relation. The triggered of shifting happen because political structure has changed, Politcal Stucture as anticendent codition from this process. This thesis used qualitative and literature study method. The findings of this study indicate that the factors that caused the shift is character of the state, bussines association character (From this relation to state) and internal of business association. In the reform era, there was a change in political structure to become more democratic than the new order era, in this era gave space for business association to be more autonomous. When domination of the state is decreased, make kadin freely from state interests. At the end, this factor encourage Kadin to develop into an autonomous business association. when political structure has changed, making the internal Kadin more democratic than before. At the end, the process triggered the emergence of factions within the Kadin. This process influenced their relations with the state and their interests.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover