Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vira Primanugrah Shakanti
Abstrak :
Individu yang hendak menikah harus siap untuk menjalani kehidupan perkawinan, karena ketidaksiapan menikah dapat memicu terjadinya konflik dan perceraian. Di Indonesia banyak perceraian terjadi karena alasan ketidaksiapan menikah. Selain itu juga banyak terjadi penundaan menikah, salah satu alasannya adalah individu ingin memastikan diri sudah benar-benar siap sebelum memutuskan menikah. Perlu dilakukan kajian mengenai kesiapan menikah untuk mendalami fenomena-fenomena tersebut. Perkawinan merupakan suatu anjuran dalam agama Islam, sehingga ada baiknya dilakukan kajian mengenai hubungan dan pengaruh religiusitas terhadap kesiapan menikah. Melihat adanya perbedaan peran dan pengalaman antara laki-laki dan perempuan di masyarakat, maka kesiapan menikah ditinjau dari jenis kelamin juga perlu diteliti. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Penelitian dilakukan terhadap emerging adults (18-25 tahun) beragama Islam yang belum menikah. Responden yang diteliti berasal dari wilayah Jabodetabek. Pengambilan data dilakukan menggunakan kuesioner online. Alat ukur kesiapan menikah yang digunakan adalah adaptasi California Marriage Readiness Evaluation (CMRE). Alat ukur religiusitas yang digunakan adalah adaptasi The Revised Muslim Religiosity Personality Inventory (R-MRPI). Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan metode statistik menggunakan SPSS. Analisis data dilakukan dengan independent sample t-test, uji korelasi, uji koefisien determinasi, dan uji regresi linear sederhana. Hasil penelitan menunjukkan adanya perbedaan kesiapan menikah yang tidak signifikan antara emerging adults laki-laki dan perempuan, baik secara umum maupun di masing-masing kategori kesiapan menikah. Terdapat hubungan positif antara religiusitas dan kesiapan menikah. Artinya, semakin tinggi religiusitas seseorang, maka semakin tinggi pula kesiapan menikahnya. Masing-masing dimensi religiusitas juga memiliki hubungan dengan masing-masing kategori kesiapan menikah. Kontribusi religiusitas terhadap kesiapan menikah emerging adults adalah sebesar 19,3%. ......Individuals who want to marry must be ready to live a married life, because being unprepared for marriage could lead to conflicts and divorces. In Indonesia, a lot of divorce cases are caused by being unprepared for marriage. There are also people who delay marriages, with one of the reasons being one needs to be make sure that they are ready to marry, before deciding to tie the knot. To understand the phenomena better, a study about marriage readiness is to be done. As marriages are advised in Islam, the correlation between religiosity and marriage readiness as well as the contribution of religiosity towards marriage readiness must be studied. In addition to that, marriage readiness difference between the two sexes must also be studied considering the different roles and experiences between men and women. The method of this study is quantitative method. The respondents are unmarried Muslim emerging adults (18-25 years of age) from around the Jabodetabek area. The data collection is done through an online questionnaire. The instrument for measuring the marriage readiness is an adaptation of The California Marriage Readiness Evaluation (CMRE) and for measuring religiosity is an adaptation of The Revised Muslim Religiosity Personality Inventory (R-MRPI). The data collected from the questionnaire were processed with statistical method using SPSS. The data analysis is conducted with an independent sample t-test, Pearson correlation test, coefficient of determination test, and simple linear regression test. The result of the study showed that there is an insignificant difference between the marriage readiness of male and female emerging adults, both generally and in every marriage readiness category. A positive correlation between religiosity and marriage readiness is also found through the study. In other words, a higher religiosity resulted in a higher marriage readiness. Each religiosity dimension also correlates with each marriage readiness category. The result also showed that religiosity contributes to 19,3% of marriage readiness in emerging adults.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Namira Aulia
Abstrak :
Adanya ketidakstabilan yang disebabkan oleh salah satu karakterisitik pada emerging adults, yaitu eksplorasi diri yang memberikan dampak perubahan pada beberapa aspek kehidupan, seperti identitas diri, hubungan romantis, pekerjaan, dan hubungan dengan orang sekitar seringkali meningkatkan psychological distress pada emerging adults yang ditandai dengan timbulnya rasa cemas dan depresi. Pandemi COVID-19 memberikan dampak dalam mengembangkan keberfungsian pada dewasa muda dan menjadi stressor tambahan bagi emerging adults. Dalam literatur-literatur sebelumnya, ditemukan bahwa differentiation of self yang merupakan kemampuan individu untuk menyeimbangkan otonomi diri dan hubungan positif dengan keluarga, memiliki hubungan terhadap tingkat psychological distress pada emerging adults. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah differentiation of self dapat memprediksi psychological distress pada emerging adults di masa pandemi COVID-19. Penelitian ini memperoleh sebanyak 300 orang emerging adults. Pengukuran differentiation of self dilakukan menggunakan alat ukur Differentiation of Self Inventory – Short Form (DSI–SF), sementara pengukuran psychological distress dilakukan menggunakan alat ukur The Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25). Dari data yang dikumpulkan kuesioner daring, dilakukan analisis regresi linear untuk menguji hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa differentiation of self secara signifikan memprediksi psychological distress pada emerging adults di masa pandemi COVID-19 (R2 = 0,291, adjusted R2 = 0,281, p < 0,05). Oleh karena itu, keluarga diharapkan dapat membangun hubungan yang positif untuk meningkatkan differentiation of self pada emerging adults guna menghindari meningkatnya psychological distress individu. ......The existence of instability caused by one of the characteristics of emerging adults, namely self-exploration which has an impact on several aspects of life, such as self-identity, romantic relationships, work, and relationships with people around them often increases psychological distress on emerging adults who characterized by the emergence of feelings of anxiety and depression. The COVID-19 pandemic is having an impact on developing functioning in emerging adults and being an added stressor for emerging adults. In previous literature, it was found that self-differentiation, which is an individual's ability to balance self-autonomy and positive relationships with family, has a relationship with the level of psychological distress in emerging adults. This study aims to see whether self-differentiation can predict psychological distress in emerging adults during the COVID-19 pandemic. This study obtained as many as 300 emerging adults. The measurement of differentiation of self was carried out using the Differentiation of Self Inventory – Short Form (DSI–SF) measuring instrument, while the measurement of psychological distress was carried out using The Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25) measuring instrument. From the data collected by the online questionnaire, linear regression analysis was performed to test the hypothesis. The results show that differentiation of self significantly predicts psychological distress in emerging adults during the COVID-19 pandemic (R2 = 0,291, adjusted R2 = 0,281, p < 0,05). Therefore, families are expected to be able to build positive relationships to increase differentiation of self in emerging adults in order to avoid increasing individual psychological distress.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranda Septarina
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu ciri utama dari periode emerging adulthood adalah memasuki eksplorasi cinta yang mendorong untuk membangun hubungan berpacaran. Akan tetapi, dalam menjalani hubungan berpacaran pasti akan terdapat perbedaan didalamnya yang berujung konflik dan dapat berkahir pada kekerasan. Sementara itu, pola kelekatan dengan pasangan (adult attachment) yang merupakan refleksi kelekatan individu dengan orangtuanya di masa kecil adalah faktor risiko yang memberikan kontribusi terbanyak untuk individu yang terlibat kekerasan, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tipe adult attachment dengan tingkat kekerasan dalam berpacaran pada emerging adult. The Experiences in Close Relationship-Revised (ECR-R) dan kekerasan dalam berpacaran diukur menggunakan The Revised Conflict Tactics Scales. Penelitian pada 293 partisipan dengan usia 18-25 tahun yang sedang menjalin hubungan berpacaran selama minimal enam bulan menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara secure attachment dengan kekerasan dalam berpacaran (r(N=293) = -0,071, p > 0.05). Namun demikian, terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara dismissing attachment dengan kekerasan dalam berpacaran (r (N=293) = - 0,209, p 0,05), lalu terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara preoccupied attachment dengan kekerasan dalam berpacaran (r(N=293) = 0,142, p < 0,05), serta terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara fearful attachment dengan kekerasan dalam berpacaran (r(N=293) = 0,122, p 0,05).
ABSTRACT
One of emerging adulthoods main characteristics is entering the exploration of love that encourages to build a dating relationship. However, going through a dating, there will be differences in it that can lead couple into conflict, even become dating violance. Meanwhile, the attachment with couples (adult attachment), is the reflection of individuals attachment with parents in childhood is a risk factor that gives the most contribution to violence, so this study aims to know the relationship between adult attachment types and level of dating violence in emerging adults. Adult attachment types are measured by The Experiences in Close Relationship-Revised (ECR-R) and dating violance is measured by The Revised Conflict Tactics Scales (CTS2). Based on 293 participants aged 18-25 years who at least six months in dating show that there is no relationship between secure
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Chelsea Dimeitri Angelica
Abstrak :
Masyarakat miskin dan kelompok usia emerging adulthood rentan mengalami distres psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara optimisme dan distres psikologis emerging adults miskin di DKI Jakarta. Optimisme diukur dengan Life Orientation Test-Revised (LOT-R) dan distres psikologis diukur dengan Hopkins Symptoms Checklist-25 (HSCL-25). Partisipan penelitian ini berjumlah 261 orang dengan rentang usia 18-29 tahun, terdiri dari 92 (35,2%) laki-laki dan 169 (64,8%) perempuan. Dengan analisis Pearson Correlation, ditemukan hasil bahwa optimisme memiliki hubungan yang signifikan dengan distres psikologis (r(259) = -0,161, p = 0,009, two-tailed) dan r2 = 0,026.
The poor and emerging adults groups are vulnerable to psychological distress. This study aim to examine the relationship between optimism and psychological distress among poor emerging adults in DKI Jakarta. Optimism was measured by the Life Orientation Test-Revised (LOT-R) and psychological distress measured by Hopkins Symptoms Checklist-25 (HSCL-25). The participants in this study were 261 with age range of 18-29 years old, consisting of 92 (35,2%) man and 169 (64,8%) women. With Pearson Correlation analysis, it was found that optimism had a significant relationship with psychological distress (r(259) = -0,161, p = 0,009, two-tailed) and r2 = 0,026.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulidia Putri Sakinah
Abstrak :
Menerapkan gaya hidup sehat sangat penting untuk dilakukan meskipun kenyataannya terbalik, terutama bagi orang dewasa yang kurang mampu di daerah perkotaan yang memiliki kecenderungan untuk mengadopsi gaya hidup yang tidak sehat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efek positif dari optimisme pada perilaku promosi kesehatan orang dewasa miskin yang muncul di Jakarta karena banyak studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara optimisme dan perilaku promosi kesehatan. Peneliti menggunakan metode regresi linier untuk menguji peran optimisme terhadap perilaku promosi kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, peneliti dapat menyimpulkan bahwa optimisme memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap perilaku promosi kesehatan bagi orang dewasa yang kurang mampu di Jakarta. ......Applying a healthy lifestyle is very important even though the reality on the ground is inversely proportional. The poor in urban areas who are at the stage of emerging adults have a tendency to adopt unhealthy lifestyles. The purpose of this study is to examine the positive effect of optimism on the health-promoting behavior of poor people in Jakarta who are emerging adults because some previous studies prove that there is a significant positive relationship between optimism and health-promoting behavior. Researchers used linear regression research methods to see the role of optimism in health-promoting behavior. Based on the results of research and data analysis, researchers can conclude that optimism has a significant positive effect on health-promoting behavior in poor adults emerging in Jakarta. Thus, the higher the optimism, the higher the health-promoting behavior that is applied and vice versa.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulidia Annisa Hilmah
Abstrak :
ABSTRAK
Korban bullying usia sekolah umumnya masih merasakan berbagai dampak negatif bullying hingga dewasa. Penyayang diri dan optimisme dapat menjadi strategi koping yang tepat bagi korban untuk berkembang positif secara psikologis. Studi ini berusaha untuk melihat hubungan antara belas kasihan diri dan optimisme pada orang dewasa baru yang selamat dari perundungan sekolah (SMP dan SMA). Partisipan dalam penelitian ini adalah orang dewasa baru berusia 18-25 tahun yang lolos seleksi instrumen Multidimensional Online and Offline Peer Victimization Scale (MOOPVS) berdasarkan tingkat keparahan bullying yang dialaminya. Belas kasihan diukur menggunakan Bentuk Bentuk Pendek Skala Belas Diri Sendiri (SCS-SF) dan optimisme diukur dengan Tes Orientasi Kehidupan-Revisi (LOT-R). Melalui teknik korelasi Pearson, ditemukan bahwa di antara orang dewasa baru yang selamat dari perundungan di sekolah, belas kasihan diri secara signifikan berhubungan positif dengan optimisme (r = 0,264, p <0,01, satu sisi). Temuan ini dapat menjadi pertimbangan bagi para praktisi psikologi, khususnya yang bergerak di bidang rehabilitasi pasca bullying, untuk melakukan intervensi welas asih dan / atau berbasis optimisme.
ABSTRACT
Victims of school age bullying generally still feel the various negative effects of bullying until adulthood. Self-compassion and optimism can be the right coping strategies for victims to develop positively psychologically. This study attempted to look at the relationship between self-compassion and optimism in new adults who survived school bullying (junior high and high school). Participants in this study were adults aged 18-25 years who passed the Multidimensional Online and Offline Peer Victimization Scale (MOOPVS) instrument selection based on the severity of the bullying they experienced. Compassion was measured using the Short Form of Self-Defense Scale (SCS-SF) and optimism measured by the Revised Life-Orientation Test (LOT-R). Through the Pearson correlation technique, it was found that among new adults who survived school bullying, self-compassion was significantly positively associated with optimism (r = 0.264, p <0.01, one hand). These findings can be a consideration for psychology practitioners, especially those engaged in post-bullying rehabilitation, to carry out compassionate and / or optimism-based interventions.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukma Melani
Abstrak :
Keberagaman di Indonesia dapat menjadi potensi konflik atau kekerasan. Oleh sebab itu, sikap terhadap perdamaian dan keterbukaan terhadap keberagaman penting khususnya bagi emerging adults yang sering terpapar keberagaman namun juga berada dalam fase membagun hubungan. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara keterbukaan terhadap keberagaman dan sikap terhadap perdamaian pada emerging adults. Sampel penelitian korelasional ini sejumlah 198 partisipan, dengan rata-rata usia 22 tahun. Kriteria partisipan penelitian adalah individu emerging adult (18-25 tahun), Warga Negara Indonesia (WNI), dan berdomisili di Indonesia. MGUDS-S (Miville-Guzman Universal-Diverse Scale-Short Form) merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur keterbukaan terhadap keberagaman, sedangkan untuk sikap perdamaian digunakan alat ukur Peace Attitude Scale (PAS). Berdasarkan analisis menggunakan Pearson Correlation, penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keterbukaan terhadap keberagaman dan sikap terhadap perdamaian pada emerging adults. Hasil penelitian ini dapat berimplikasi sosial dimana pendidikan mengenai keberagaman itu penting untuk ada, dan individu harus terbiasa untuk terpapar keberagaman disekitarnya sejak dini. ...... Diversity in Indonesia could be a potential conflict or violence. Therefore, peace attitudes and openness to diversity were important, especially for emerging adults who are often exposed to diversity but are also in the phase of building relationships. This study aimed to determine the relationship between openness to diversity and peace attitudes among emerging adults. The sample of this correlational study consisted of 198 participants with an average age of 22 years old. Criteria of this study being emerging adult (18-25 years old), Indonesian citizens (WNI), and domiciled in Indonesia. MGUDS-S (Miville-Guzman Universal-Diverse Scale-Short Form) is an instrument used to measure openness to diversity, meanwhile Peace Attitude Scale (PAS) were used to measure peace attitudes. The results found that there is a significant positive relationship between openness to diversity and peace attitudes among emerging adults. The results of this study could have social implications that education about diversity is important to be conducted and individuals must be accustomed to being exposed to diversity around them from an early age.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhea Octaviani Aribah
Abstrak :
Kualitas tidur yang baik sangat penting untuk dipertahankan supaya tubuh beserta organnya dapat beristirahat dan tetap dalam kondisi prima. Meski penting untuk dijaga, nyatanya kualitas tidur masyarakat Indonesia masih tergolong buruk dan hampir setengahnya memiliki gejala insomnia. Emerging adults (18-29 tahun) di Indonesia merupakan kelompok usia dengan prevalensi tinggi memiliki kualitas tidur buruk dan mengalami insomnia. Akan tetapi, intervensi yang tersedia, seperti cognitive behavioral therapy for insomnia (CBT-I) masih sulit dijangkau masyarakat dan membutuhkan biaya yang besar. Maka dari itu, penelitian ini dilaksanakan guna menelusuri efektifitas intervensi alternatif yang mudah dijangkau masyarakat, yakni Trataka Yoga. Trataka Yoga merupakan salah satu bentuk meditasi yang dilakukan dengan memfokuskan pandangan pada inti cahaya api dalam ruangan yang gelap. Partisipan penelitian ini adalah 61 siswa SMA kelas 12 berusia 18-19 tahun (M=18.02, SD=0.13). Desain penelitian ini adalah eksperimental dengan blocked, randomized, control group design. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) digunakan untuk mengukur kualitas tidur dan Insomnia Severity Index (ISI) untuk mengukur insomnia. Berdasarkan hasil analisis repeated measure ANOVA, ditemukan perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada kualitas tidur (F (1, 59) = 252.30, p < .05, ?2 = 0.81) dan insomnia (F (1, 59) = 30.161, p < .05, ?2 = 0.33). Kelompok eksperimen melaporkan kualitas tidur dan insomnia yang lebih baik (M = 6.67, SD = 1.90; M = 11.19, SD = 4.05) dibandingkan kelompok kontrol (M = 8.67, SD = 2.50; M = 13.93, SD = 3.56). Dapat disimpulkan bahwa Trataka Yoga mampu meningkatkan kualitas tidur dan menurunkan insomnia. ......A good quality of sleep helps the body to maintain its prime condition. Despite the benefit it brings, Indonesian people still have a relatively poor quality of sleep and almost half of them have symptoms of insomnia. In Indonesia, emerging adults (18-29 years) are most likely to experience poor sleep quality and insomnia. Available interventions, such as CBT-I, are still difficult for the community to reach and require a large sum of money. Therefore, this research was conducted to explore the effectiveness of alternative interventions that are easily accessible to the public, namely Trataka Yoga. Trataka Yoga is a meditation technique by staring into the flame of a candle in a dark room. The participants in this study were 61 twelve-grader high school students aged 18-19 years (M=18.02, SD=0.13). This experimental study uses a blocked, randomized, control group design. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) was used to measure sleep quality and the Insomnia Severity Index (ISI) to measure insomnia. The research data were analyzed using repeated measure ANOVA. It showed that there is a significant difference between the control and experiment groups in sleep quality (F (1, 59) = 252.30, p < .05, ?2 = 0.81) and insomnia (F (1, 59) = 30.161, p < .05, ?2 = 0.33). The experiment group has a better sleep quality and insomnia score (M = 6.67, SD = 1.90; M = 11.19, SD = 4.05) than the control group (M = 8.67, SD = 2.50; M = 13.93, SD = 3.56). It can be concluded that Trataka could improve sleep quality and reduce insomnia.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debrina Annisa Putri
Abstrak :
Emerging adults berada pada masa eksplorasi diri mengenai karir, pasangan, dan pandangan hidup. Eksplorasi diri membawa kepada tantangan bagi emerging adults yang mengarah pada ketidakpastian. Oleh karena itu, mereka membutuhkan religiusitas untuk dapat melaluinya dengan baik. Religiusitas dapat ditinjau melalui motivasi yang mendasarinya, yakni orientasi religiusitas intrinsik dan ekstrinsik. Diketahui bahwa orientasi religiusitas intrinsik dan ekstrinsik berkaitan dengan bagaimana fungsi dalam keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara keberfungsian keluarga dan orientasi religiusitas pada emerging adults. Sebanyak 309 individu, laki-laki (N = 129) dan perempuan (N = 180), berusia 18-25 tahun, berpartisipasi dalam pengisian kuesioner penelitian mengenai keberfungsian keluarga (Family Assessment Device) dan orientasi religiusitas (Religious Orientation Scale-Revised). Uji korelasi dilakukan melalui teknik Spearman Rank Correlation, serta menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keberfungsian keluarga dengan orientasi religius intrinsik (rs (307) = 0.185, p <0.05, two-tailed) dan orientasi religius ekstrinsik (rs (307) = 0.259, p <0.05, two-tailed). Dengan kata lain, peningkatan fungsi dalam keluarga disertai dengan peningkatan baik orientasi religiusitas intrinsik maupun ekstrinsik pada individu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa untuk dapat meningkatkan orientasi religiusitas, individu perlu meningkatkan keberfungsian dalam keluarga. ......Emerging adults are in a period of self-exploration about careers, partners, and perspective on life. Self-exploration brings challenges to emerging adults that lead to uncertainty. Therefore, they need religiosity to get through it well. Religiosity can be seen through the underlying motivation, which are intrinsic and extrinsic religious orientation. It is known that both religiosity orientation, intrinsic and extrinsic, are related to how their family functions. This study aims to determine the relationship between family functioning and religiosity orientations in emerging adults. A total of 309 men (N = 129) and women (N = 180), between the age of 18 and 25 years old, engaged in the research by completing questionnaires on family functioning (Family Assessment Device) and religiosity orientation (Religiosity Orientation Scale-Revised). Using Spearman’s rank correlation, the results showed a positive and significant correlation between family functioning and intrinsic religiosity orientation (rs (307) = 0.185, p <0.05, two-tailed) and extrinsic religiosity orientation (rs (307) = 0.259, p <0.05, two-tailed). In other words, improved family functioning is accompanied by improved intrinsic and extrinsic religious orientation. Therefore, it may be claimed that people need to enhance family functioning in order to improve their religious orientation.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agatha Marta Elisa Timothea
Abstrak :
Emerging adults sedang diperhadapkan dengan berbagai tugas perkembangan dalam masa transisi menuju kedewasaan. Untuk dapat memenuhi tugas perkembangan yang tidak mudah, emerging adults memerlukan resiliensi yang tinggi. Resiliensi turut dipengaruhi oleh hubungan orang tua-anak, termasuk persepsi emerging adults mengenai penerimaan dan penolakan oleh ibu. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang melihat peran perceived maternal acceptance-rejection terhadap resiliensi pada emerging adults. Penelitian ini melibatkan 218 partisipan emerging adults berusia 18-25 tahun (M = 20,40, SD = 1,604) dengan dominasi jenis kelamin perempuan (n=154, 70,6%). Hasil penelitian menggunakan alat ukur RS-14 dan Adult PARQ/S: Mother Version menunjukkan bahwa perceived maternal acceptance-rejection secara signifikan menjadi prediktor dari resiliensi (F(4,213) = 6,350, p < 0.05, R2 = 0,107, adjusted R2 = 0,090) di mana variabel ini dapat meningkatkan resiliensi. Dari keempat dimensi perceived maternal acceptance-rejection, hanya dimensi maternal warmth and affection yang dapat memprediksi resiliensi ( = -.393, t(213) = -4.488). Oleh karena itu, diperlukan persepsi yang positif mengenai penerimaan dari ibu untuk dapat meningkatkan resiliensi yang lebih tinggi. ......During their transition to adulthood, emerging adults experience a variety of developmental tasks. To complete these tough developmental tasks, emerging adults must be resilient. The parent-child relationship is one of the factors that contribute to high resilience. One form of the parent-child relationship is emerging adults’ perceived maternal acceptance-rejection. The objective of this research is to investigate the impact of perceived maternal acceptance-rejection on the resilience of emerging adults. A total of 218 emerging adults aged 18 to 25 years old took part in the study. (M = 20.40, SD = 1.604) with a female predominance (n=154, 70,6%). The result of the study using RS-14 and Adult PARQ/S: Mother Version indicates that perceived maternal acceptance-rejection is significantly predicts emerging adults' resilience (F(4,213) = 6,350, p < 0.05, R2 = 0,107, adjusted R2 = 0,090) in which this variable increases resilience. Of the four dimensions, only maternal warmth and affection dimension can predict resilience ( = -.393, t(213) = -4.488). As a result, for emerging adults to be resilient, they must have a positive perception of maternal acceptance.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>