Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 296 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
S49242
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Hadi Prabowo
Abstrak :
Indonesia seharusnya bisa membangun industri besi-baja nasional yang mandiri karena Indonesia memiliki cadangan bijih besi berupa bijih besi primer yang melimpah. Sebelum digunakan sebagai bahan baku pembuatan besi baja, pada bijih besi dilakukan proses reduksi, yaitu proses untuk memisahkan besi yang terkandung dalam bijih besi dari oksigen dan pengotor yang mengikatnya. Salah satu metode reduksi bijih besi adalah reduksi langsung. Pada proses reduksi langsung terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi terbentuknya Fe pada produk reduksi langsung, salah satunya adalah temperatur. Temperatur berpengaruh terhadap berlangsungnya proses reduksi oksida besi menjadi Fe. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek temperatur reduksi terhadap perubahan senyawa dan Fe yang terbentuk pada produk reduksi langsung. Proses reduksi dilakukan pada pelet komposit bijih besi/batubara dengan komposisi massa 1:1 dengan menggunakan single conveyor belt hearth furnace dengan variasi temperatur reduksi 500°C, 700°C dan 900°C dengan waktu tahan 25 menit. Hasil penelitian menunjukkan pada temperatur reduksi 500oC hematit yang dikandung pelet komposit tereduksi oleh gas CO hasil devolatilisasi batubara membentuk magnetit namun belum terjadi pembentukan Fe. Dan pada temperatur 700°C hematit telah tereduksi sepenuhnya dan terbentuk Fe yang masih dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan pada temperatur 900°C, Fe yang terbentuk semakin banyak namun masih terdapat senyawa magnetit pada produk reduksi langsung. ......Indonesia should be able to build national iron-steel industry independently because Indonesia has abundant reserves of iron ore in the form of primary iron ore. Before being used as raw material in the steel manufacture, iron ore encounter the reduction process, which is a process to separate iron contained in iron ore from the binding of oxygen and impurities. One of iron ore reduction methods is direct reduction. In the direct reduction process, there are several parameters that affect the formation of Fe in the direct reduction product. One of the parameters is temperature. Temperature effects on the course of the reduction process of iron oxide to form the Fe. The purpose of this study is to determine the effects of temperature reduction on the compound changes and Fe formation in direct reduction product. Reduction process performed on the composite pellets of iron ore / coal with a 1:1 mass composition using a single conveyor belt hearth furnace with reduction temperature variation: 500°C, 700°C and 900°C with holding time of 25 minutes. The results showed that, in 500°C reduction temperature, hematite compounds contained in composite pellets is reduced by CO gas from coal devolatilization forming magnetite but the formation of Fe has not been happened. And at temperature of 700°C, hematite has been reduced completely and Fe is formed in very small amount. While at temperature of 900°C, Fe formation becomes much more to happen but there is still magnetite compound in direct production product.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S44289
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Luthfansyah Prabowo
Abstrak :
ABSTRAK Di Indonesia, Anemia Defisiensi Besi masih merupakan permasalahan umum terutama masyarakat pada kelompok remaja putri, wanita hamil, serta anak-anak dibawah usia 5 tahun. Pemerintah dan Dinas terkait telah berupaya dengan sangat keras melalui program suplementasi dan fortifikasi pangan sehingga berhasil menurunkan prevalensi ADB, namun hasil tersebut masih diatas angka prevalensi 15 yang mengindikasikan bahwa ADB merupakan permasalahan gizi yang umum dan serius di Indonesia Kurniawan dkk., 2006 . Fortifikasi besi secara langsung juga menurunkan kualitas organoleptis dan memperpendek masa simpan dikarenankan sifat besi yang mudah mengalami oksidasi dan reduksi pada kondisi pH tertentu, oksidasi Fe2 menjadi Fe3 . Mendasarkan pada pendekatan permasalah tersebut, maka metode mikroenkapsulasi dipandang sebagai metode atau strategi sangat tepat untuk melindungi besi. Namun sebelum fortifikasi dilakukan, hal pertama yang dilakukan adalah mencari jenis besi yang paling efektif untuk dienkapsulasi menggunakan polimernya. Oleh Karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan pengujian efektifitas control rilis beberapa jenis besi Besi Sulfat, Besi Fumarat, Besi Glukonat menggunakan polimer kitosan. Polimer kitosan digunakan dalam penelitian ini dikarenakan kitosan memiliki sifat seperti tidak beracun, biodegradable, biokompatibel sehingga cocok untuk digunakan dalam pelepasan obat terkendali didalam tubuh. Besi yang digunakan adalah Besi Sulfat, Besi Fumarat, dan Besi Glukonat. Alasan penggunakan jenis besi ini Karena ketiga jenis besi ini merupakan jenis besi yang memiliki bioavabilitas kemampuan tubuh menyerap suatu senyawa yang tinggi dan besi ini merupakan besi food grade yang berarti aman dikonsumsi oleh tubuh. Dari penelitian ini didapatkan jenis besi yang paling baik dienkapsulasi dengan kitosan adalah besi glukonat 1:1.5 dengan nilai EE 80 , oksidasi awal 15.2 , loading capacity 1.4 , dan juga rilis kumulatif mencapai >70 besi glukonat 1:2 dengan nilai EE 82.8 , oksidasi awal 27.1 , loading capacity 2.0 , dan juga rilis kumulatif mencapai >70 Di Indonesia, Anemia Defisiensi Besi masih merupakan permasalahan umum terutama masyarakat pada kelompok remaja putri, wanita hamil, serta anak-anak dibawah usia 5 tahun. Pemerintah dan Dinas terkait telah berupaya dengan sangat keras melalui program suplementasi dan fortifikasi pangan sehingga berhasil menurunkan prevalensi ADB, namun hasil tersebut masih diatas angka prevalensi 15 yang mengindikasikan bahwa ADB merupakan permasalahan gizi yang umum dan serius di Indonesia Kurniawan dkk., 2006 . Fortifikasi besi secara langsung juga menurunkan kualitas organoleptis dan memperpendek masa simpan dikarenankan sifat besi yang mudah mengalami oksidasi dan reduksi pada kondisi pH tertentu, oksidasi Fe2 menjadi Fe3 . Mendasarkan pada pendekatan permasalah tersebut, maka metode mikroenkapsulasi dipandang sebagai metode atau strategi sangat tepat untuk melindungi besi. Namun sebelum fortifikasi dilakukan, hal pertama yang dilakukan adalah mencari jenis besi yang paling efektif untuk dienkapsulasi menggunakan polimernya. Oleh Karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan pengujian efektifitas control rilis beberapa jenis besi Besi Sulfat, Besi Fumarat, Besi Glukonat menggunakan polimer kitosan. Polimer kitosan digunakan dalam penelitian ini dikarenakan kitosan memiliki sifat seperti tidak beracun, biodegradable, biokompatibel sehingga cocok untuk digunakan dalam pelepasan obat terkendali didalam tubuh. Besi yang digunakan adalah Besi Sulfat, Besi Fumarat, dan Besi Glukonat. Alasan penggunakan jenis besi ini Karena ketiga jenis besi ini merupakan jenis besi yang memiliki bioavabilitas kemampuan tubuh menyerap suatu senyawa yang tinggi dan besi ini merupakan besi food grade yang berarti aman dikonsumsi oleh tubuh. Dari penelitian ini didapatkan jenis besi yang paling baik dienkapsulasi dengan kitosan adalah besi glukonat 1:1.5 dengan nilai EE 80 , oksidasi awal 15.2 , loading capacity 1.4 , dan juga rilis kumulatif mencapai >70 besi glukonat 1:2 dengan nilai EE 82.8 , oksidasi awal 27.1 , loading capacity 2.0 , dan juga rilis kumulatif mencapai >70.
ABSTRACT In Indonesia, Iron Deficiency Anemia is still a common problem, especially for people in groups of young women, pregnant women, and children under 5 years of age. The Government and the relevant Dinas have worked very hard through food supplementation and fortification programs that have succeeded in reducing the prevalence of ADB, but the results are still above the prevalence rate of 15 indicating that ADB is a common and serious nutritional problem in Indonesia Kurniawan et al., 2006 . Direct iron fortification also decreases organoleptic qualities and shortens the shelf life due to the oxidation and reduction of pH at certain pH conditions, the oxidation of Fe2 to Fe3 . Based on the approach of the problem, the microencapsulation method is seen as a very appropriate method or strategy to protect iron. But before fortification is done, the first thing to do is to find the most effective type of iron for encapsulation using the polymer. Therefore, in this study will be tested the effectiveness of the release control of several types of iron Iron Sulfate, Iron Fumarate, Iron Gluconate using chitosan polymer. Chitosan polymer used in this research because chitosan has properties such as non toxic, biodegradable, biocompatible so suitable for use in the release of controlled drugs in the body. The iron used is ferrous sulfate, ferrous fumarate, and ferrous gluconate. The reason for using this type of iron Because these three types of iron is a type of iron that has a high bioavailability body ability to absorb a compound and iron is a food grade iron which means safe to eat by the body. From this research, the best iron species encapsulated with chitosan are 1 1.5 iron gluconate with EE 80 , initial oxidation 15.2 , loading capacity 1.4 , and also cumulative release reaches 70 and iron gluconate 1 2 with EE value of 82.8 , initial oxidation of 27.1 , loading capacity 2.0 , and also cumulative release reaching 70.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S68542
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Suwetra
Abstrak :
Anemi defisiensi besi merupakan anemi gizi yang paling sering terjadi baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju dan terdapat terutama pada bayi dan anak-anak; yang dalam pertumbuhan cepat membutuhkan zat besi yang tinggi dan kandungan zat tersebut dalam makanan yang lebih rendah dari kecukupan kebutuhan yang dianjurkan (1). Diit kaya zat besi tidak menjamin ketersedian zat besi yang cukup bagi tubuh selama absorpsi zat besi dipengaruhi oleh bahan penghambat (inhibitor) dan pemacu (promoter) yang ada di dalam makanan. Zat besi yang terdapat di dalam Air Susu Ibu (ASI) hanya mencukupi kebutuhan akan zat besi sampai umur 6 bulan dan cadangan besi tubuh mulai menurun sejak umur 5 - 6 bulan, maka kebutuhan pada umur selanjutnya harus dipenuhi dari makanan. Di negara berkembang makanan pokok terutama terdiri dari serealia, kacang-kacangan dan sayuran dengan kualitas zat besi yang rendah serta banyak mengandung bahan penghambat absorpsi besi seperti fitat, tannin dan serat (1,2,3,4). Keadaan tersebut disertai dengan kemiskinan, ketidak-tahuan tentang makanan bergizi, adanya kepercayaan yang salah terhadap makanan tertentu (tabu), lingkungan yang masih mendukung terjadinya berbagai penyakit infeksi dan infestasi cacing khususnya cacing tambang (5). Semua keadaan tersebut menyebabkan tingginya prevalensi anemi defisiensi besi pada bayi dan anak di negara sedang berkembang (5). Resiko terjadinya anemi defisiensi besi tertinggi adalah pada anak-anak umur kurang dari 2 tahun baik di negara maju seperti Amerika Serikat dan Perancis (6) maupun di negara berkembang seperti Argentina (7) dan Malaysia (8). Di Indonesia data anemi defisiensi besi secara nasional belum ada, namun dari beberapa peneliti yang melakukan penelitian secara terpisah dalam skala yang lebih kecil pada anak-anak dengan status g i z i baik ditemukan 37,8 - 73,0 % pada anak umur 6 bulan - 6 tahun pada kelompok social ekonomi rendah (5), 46,67 % pada anak balita yang berobat ke RSCM (9) dan 58,33% pada anak-anak umur 6 -- 18 bulan di Kelurahan Manggarai Selatan, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan (10). Telah diketahui bahwa anemi defisiensi besi berpengaruh terhadap morfologi dan enzim-enzim yang ada kaitannya dengan metabolisme energi di dalam epitel mukosa usus. Telah diketahui pula bahwa absorpsi karbohidrat memerlukan energi. Gangguan absorpsi ada hubungan dengan penurunan kapasitas metabolisme energi di dalam epitel usus (7,11). Telah ditemukan pada anak umur 9 - 32 bulan dengan anemi defisiensi besi berat adanya gangguan absorpsi D-xilosa dan lemak (12), pada kasus yang sama ditemukan pula gangguan absorpsi D-xilosa pada subyek berumur 13 - 55 tahun (13). Di Indonesia penelitian serupa belum pernah dilakukan pada penderita anemi defisiensi besi khususnya pada anak umur kurang dari 2 tahun, merupakan faktor pendorong pelaksanaan penelitian ini.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Adriani Puspitasari
Abstrak :
Latar belakang: Bayi prematur rentan kekurangan zat besi karena cadangan besi ibu rendah, kebutuhan besi untuk pertumbuhan dan pengambilan sampel laboratorium. Risiko tersebut meningkat saat bayi prematur berusia 2 bulan. Kecukupan zat besi tubuh dinilai dengan kadar feritin, besi serum (SI), saturasi transferin (Tfsat), total iron binding capacity (TIBC) dan Hb. Tujuan: Mengetahui profil besi pada bayi prematur usia kronologis 2 bulan. Metode: Studi potong lintang dilakukan terhadap bayi usia 2 bulan yang lahir usia gestasi (UG) 32-36 minggu saat berkunjung ke klinik tumbuh kembang. Pemeriksaan darah tepi lengkap, apusan darah tepi, SI, TIBC, Tfsat dan feritin dilakukan pada sampel darah vena. Data lain diperoleh dari wawancara dan telaah rekam medik. Hasil : Studi diikuti oleh 83 subjek yang terdiri dari 51% lelaki dan 93% lahir dari ibu berusia >20 tahun. Berat lahir terkecil adalah 1.180 g dan terbesar adalah 2.550 g. Prevalens ADB sebesar 6% dan DB sebesar 10%. Subjek ADB memiliki kadar Hb terendah 6,8 g/dL dan feritin terendah 8,6 ng/mL. Median kadar SI adalah 48 μg/dL; TIBC 329 μg/dL dan Tfsat 17%. Bayi ADB sebagian besar lelaki (5/5), kenaikan BB ≥2x berat lahir (4/5), tidak disuplementasi besi (3/5), latar belakang pendidikan ibu rendah (3/5) dan golongan sosial-ekonomi rendah- menengah ke bawah (3/5). Simpulan: Prevalens ADB sebesar 6% dan DB sebesar 10%. Sebagian besar subjek yang mengalami DB dan ADB memiliki kadar SI, Tfsat dan feritin rendah serta TIBC meningkat. Subjek lelaki dengan kenaikan BB ≥2x berat lahir, tidak disuplementasi besi, latar belakang pendidikan ibu rendah dan golongan sosial ekonomi rendah-menengah ke bawah lebih banyak yang mengalami ADB.
Background: Preterm infants are vulnerable to iron deficiency (ID) due to lack of maternal iron stores, phlebotomy and increasing demand during growth. Risk of ID increases when hemoglobin (Hb) level started to decrease at 2 months of age. Iron body adequacy is measured by examining feritin, serum iron (SI), transferrin saturation, total iron binding capcity (TIBC) and Hb. Objective: To describe iron profile in preterm infants at 2 months of chronological age (CA). Methods: A cross-sectional study was conducted to 2 months old infants born at 32-36 gestational age visiting Growth and Development Clinics. Parents interview and medical record review were taken at visit. Complete blood count, blood smear, SI, TIBC, Tfsat and ferritin level were performed. Results: Eighty three subjects were enrolled in this study. Mostly were male (51%) and born from mother >20 years old (93%). The lowest birth weight was 1,180 g and the highest was 2,550 g. Prevalence of IDA is 6% and ID is 10%. The lowest Hb level found in IDA infants was 6.8 g/dL and ferritin level was 8.6 ng/mL. Median of SI level was 48 μg/dL; TIBC 329 μg/dL; and Tfsat 17. Subjects with IDA were mostly men (5/5), achieved more than twice birth weight (4/5), non-iron supplemented (3/5), born from low education background mother (3/5) and has low socio-economic status (3/5). Conclusions: Prevalence of IDA is 6% and ID is 10%. Most subjects with ID and IDA have low SI, high TIBC, low Tfsat and low ferritin level. Male subjects who weigh ≥twice birth weight, non-iron supplemented, born form low educational background and socioeconomic status mother were mostly suffer from IDA.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58921
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rhyno Febriyanto
Abstrak :
Latar belakang: Remaja merupakan kelompok risiko tinggi defisiensi besi. Adanya obesitas pada remaja meningkatkan risiko defisiensi besi disebabkan perbedaan pola asupan dan inflamasi kronis derajat rendah. Tujuan: Mengetahui status besi remaja usia 15 -17 tahun dengan obesitas. Desain penelitian: Penelitian potong lintang pada remaja usia 15 ? 17 tahun di dua SMU Jakarta Pusat pada bulan September ? November 2015. Subjek dibagi 2 kelompok berdasar indeks massa tubuh (IMT). Subjek obes bila IMT≥P95 dan non-obes bila IMT ≥P5 - Background. Adolescent period is high risk group of iron deficiency. Obesity can increase the risk of iron deficiency. It was caused by low iron intake and low grade chronic inflammation. Objective. To assess whether obese adolescents, who often have poor dietary habits, are at increased risk of iron deficiency. Methods: Cross-sectional study on adolescence 15 to 17 years old in Senior High School in Central Jakarta between September to November 2015. Subject was divided into 2 groups based on body mas index (BMI). Obese group if BMI ≥P95 and non-obese group if BMI ≥P5 -
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asiyah Mutmainnah
Abstrak :
ABSTRAK
Asupan zat besi yang tidak adekuat merupakan faktor risiko terjadinya anemia defisiensi besi. Skripsi ini merupakan penelitian dengan desain studi cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan asupan zat besi. Pada penelitian ini melibatkan responden sebanyak 189 siswi SMA Negeri 5 Depok. Pengumpulan data asupan zat besi melalui wawancara food recall 3x24 jam. Data dianalisis secara bivariat menggunakan uji t-independen dan regresi korelasi linier, sedangkan secara multivariat dianalisis menggunakan uji regresi linier ganda. Analisis bivariat menunjukkan terdapat perbedaan asupan zat besi yang signifikan berdasarkan pengetahuan gizi, konsumsi suplemen zat besi, persepsi citra tubuh, dan keterpaparan media massa. Pengetahuan gizi yang cukup, konsumsi suplemen zat besi, persepsi citra tubuh positif, dan peran keterpaparan media massa akan meningkatkan asupan zat besi.
ABSTRAK
Inadequate iron intake was a risk factor for iron deficiency anemia. This research used cross sectional design that aims to identify factors relation to iron intake. The study was conducted on 189 female students Senior High School 5. Iron intake was measured by 3x24 hours food recall. The data was bivariate analyzed by t-independent test and regression linier test, and multivariate analyzed by double regression linier test. Bivariate analyzes showed that there was significant difference of iron intake based on nutrition knowledge, iron supplement consumption, body image, and role of mass media. Good nutrition knowledge, iron supplement consumption, positive body image, and role of mass media sufficient to improve iron intake.
2016
S64186
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rengganis Primadisa Suratha
Abstrak :
ABSTRACT
Bijih besi kadar rendah dari Lampung direduksi menggunakan biomassa tadah kosong kelapa sawit yang sudah dipirolisis sebagai reduktor pada temperatur 1400 dan 1450 oC selama 30 dan 40 menit. Hanya hasil reduksi besi pada temperatur 1450 oC selama 40 menit yang terpisah dari kotorannya, dengan derajat reduksi sebesar 98.5 dan derajat metalisasi 80.85 . Mikrostrukturnya adalah besi metalik dengan beberapa inklusi. Sementara hasil reduksi besi lainnya yang tidak terpisah dari pengotornya terdiri dari dua dominan fasa: besi metalik putih dan fayalite Fe2SiO4 dalam bentuk lamellar. Di mana persentase terak fayalite lebih besar daripada besi metalik.
ABSTRACT
Low grade iron ore from Lampung is reduced using biomass pyrolyzed palm oil empty fruit bunch as reductant at temperature 1400 and 1450 oC for 30 and 40 minutes. Only iron nugget that is reduced at 1450 oC for 40 minutes that is completely separated from its slag, with reduction degree 98.5 and metallization degree 80.85 . The microstruture has metallic iron as base with some inclusions. On the other hand, the other iron nuggets that are not separated from its slag consist of two prominent phases white metallic iron and lamellar fayalite Fe2SiO4 . Where the percentage of fayalite slag is greater than the metallic iron.
2017
S66664
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Andrijono
Abstrak :
Besi tuang nodular (ductile iron) adalah besi tuang yang mempunyai partikel grafit berbentuk bulat (nodul) yang diperoleh dengan cara penambahan unsur magnesium (Mg) sebagai unsur pembulat grafit ke dalam leburan besi tuang pada proses perlakuan ladel (ladle treatment). Penelitian yang dilakukan membandingkan sifat mekanis antara besi tuang nodular dengan penambahan unsur paduan 0,25 % Mo (tabel V) dan 0,25 %, 1 % Ni (tabel VI) dan tanpa unsur paduan (tabel VII) dimana proses pecampuran unsur paduan dengan logam cair, dilaksanakan sebelum logam cair dari dapur induksi ditunf ke ladel besar (ladle carrier). Perbedaan peningkatan sifat mekanis pada besi tuang nodular, dapat diperoleh dengan cara memberikan unsur paduan atau dapat juga dilakukan dengan proses perlakuan panas austemper, sehingga menghasilkan besi tuang nodular austemper atau dikenal dengan Austempered Ductile Iron (ADI). Proses perlakuan panas austemper pertama kali diawali dengan proses austenisasi pada temperatur 850 ° C, 950 ° C dengan waktu tahan masing-masing selama 90 menit untuk (0,25 % Mo dan 0,25 % Mo, 1 % Ni), 60 menit untuk tanpa unsur paduan serta dilanjutkan proses austemper pada temperatur 350 ° C, 375 ° C dan 400 ° C dengan waktu tahan masing -masing 60 menit untuk (0,25 % Mo), 120 menit (0,25 % Mo, 1 % Ni) dan 30 menit untuk tanpa unsur paduan. Proses pembuatan sampel uji menggunakan cetakan pasir, jenis pasir silika, sehingga diperoleh hasil cor yang belum mengalami proses perlakukan panas austemper dan selanjutnya dilakukan proses pemesinan. Proses pengujian yang dilakukan, terdiri dari : uji kekuatan tarik, uji kekerasan dan pengamatan struktur mikro dengan pembesaran 100 X dan 500 X. Berdasarkan hasil penelitian, maka besi tuang nodular austemper tanpa unsur paduan (label VII) menghasilkan sifat mekanis lebih baik dibandingkan dengan penambahan unsur paduan 0,25 % Mo (label V) dan unsur paduan 0,25 % Mo, 1 % Ni (label VI). Besi tuang nodular austemper dengan unsur paduan 0,25 % Mo , 1 % Ni (tabel VI) menghasilkan regangan tertinggi dibandingkan besi tuang nodular austemper dengan unsur paduan 0,25 % Mo (label V) dan tanpa unsur paduan (label VII).
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramiro, Georgina E.
Abstrak :
Female adolescents are vulnerable to iron deficiency anemia (IDA) and if it persists into their reproductive years has serious implications not only for the health of their offsprings but for their own as well. An iron supplementation is warranted in order to provide sufficient iron stores prior to pregnancy and to effect desirable birth outcomes. A communication component of the supplementation is regarded as essential for improving compliance. Therefore, an experimental community trial involving adolescent female students in two public high schools in Metro Manila was conducted between October-December 1997. The objective of the study was to asses the effect of communication on compliance to weekly iron supplementation. The students were assigned to three groups: iron plus communication (FeC group, n = 82), iron (Fe group, n = 89), and control group (n=78). The FeC and Fe groups received iron tablets containing 60 mg. Elemental iron and 250 mcg. Folic acid while the control group received placebo tablets from Physical Education Health and Music (PEHM) teachers once a week of eight subsequent weeks. Teachers assigned to the FeC group were trained communication. Comparison were made between the three groups on compliance as communication. Comparisons were made between the three groups on compliace as measured by attendance to tablet distribution and actual ingestion through stool test, record on index card and interview. Additionally, levels and prevalence of anemia were measured before and after intervention and a pre and post test about knowledge on IDA and possible causes and treatments were included. Data about side-effects, reaction from students, parents and teachers about the supplementation-communication activities and suggestions for futher improvements in conductiong such future undertaking were obtained from focus group discussions (FGDs). Comparisons of actual tablet ingestion between the three groups showed significantly higher compliance in the FeC group (P<0.001) than in the other two group as measured by record on index card and interview desoite more side effects felt. Changes from pre to post-test knowledge scores o iron were significantly greater for the FeC group (p<0.001) than in the Fe and control groups. However, hemoglobin levels improved significantly in the Fe group (p<0.05) but not in the FeC group and remained the same in the control group. Reactions obtained through focus group discussions from parent (as reported by students), teachers and the participants found the program beneficial and feasible for implementation on a larger scale. Compliance enhancing strategies and motivational approaches for adolescent female students must consider the potential influence of family, fiends and teachers as revealed by the Venn diagram in planning iron supplementation programs with communication for this target group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>