Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puspa Handayani
Abstrak :
ABSTRAK
Perbaikan gizi merupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena erat hubungannya dengan peningkatan derajat kesehatan, pertumbuhan jasmani, dan kecerdasan. Protein hewani diketahui memiliki kelebihan dibandingkan protein nabati, karena mengandung asam-asam amino esensial yang lebih lengkap den seimbang, lebih mudah dicerna dan diabsorpsi, sehingga nilai biologisnya lebih tinggi. Widya Karya Pangan dan Gizi III tahun 1983 (1), yang membahas keadaan gizi di Indonesia, mengusulkan angka kecukupan protein hewani sebesar 10 g/kapita/hari. Namun, pada pendataan Biro Pusat Statistik (BPS) 1985 (2) didapatkan konsumsi protein hewani masyarakat sebesar 8,22 g/kapita/hari atau 11,80 % konsumsi protein total. Jumlah ini masih jauh di bawah kebutuhan yang dianjurkan, yakni 20 % konsumsi protein total. Pada Widya Karya Pangan dan Gizi 1988 (3) target konsumsi protein hewani sebesar 15 g/kapita/hari atau merupakan 30 % seluruh kebutuhan protein yaitu sebesar 50 g/kapita/hari.

Data BPS 1985 menunjukkan bahwa 59,65 % protein hewani yang dikonsumsi berasal dari ikan, 34,94 % nya berasal dari ikan asin {21 % dari protein hewani berasal dari ikan asin).

Ikan diketahui mengandung protein yang mempunyai kualitas setara protein daging hewan lain, mengandung asam lemak tak jenuh lebih tinggi daripada daging, berserat halus, dan mudah dicerna. Oleh karena itu untuk meningkatkan konsumsi protein hewani, ikan asin merupakan salah satu pilihan. Ikan asin selain digemari masyarakat, secara ekonomis relatif terjangkau, dan produksinya memadai.

Di Indonesia pembuatan ikan asin dilakukan secara tradisional, yang pada umumnya dibuat dari ikan segar dengan menambahkan garam dapur (NaCl) sebanyak 25-30 % berat ikan, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Di dalam proses pengolahan kadangkala ditambahkan garam sendawa sebagai pengawet (4). Garam sendawa mengandung kalium nitrat dan natrium nitrit, yang merupakan prekursor nitrosamin yang dikenal bersifat karsinogenik. Nitrosamin dapat terbentuk sebagai hasil reaksi antara nitrit dan senyawa amin pada daging ikan dan hewan lain {5-9). Reaksi nitrosasi dapat terjadi baik in vitro maupun in vivo (5-10). Hadiwiyoto dan kawan-kawan membuktikan bahwa penggunaan garam sendawa yang berlebih pada 'cured meat' menimbulkan senyawa nitrosamin dan reside nitrit (4). Christiansen dan kawan-kawan, dikutip dari Hadiwiyoto, membuktikan genggunaan 2000 'part per million' (ppm) garam nitrat pada sosis mengakibatkan terbentuknya senyawa nitrosamin (4). Penelitian Yu dan kawan-kawan (6,7) serta Tannenbaum dan kawan-kawan (11) menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish' yang juga dibuat secara tradisional dengan penggaraman dan pengeringan di bawah sinar matahari.

Beberapa penelitian menghubungkan konsumsi ikan asin dengan keganasan nasofaring (KNF). Penelitian Poirier dan kawan-kawan di 3 daerah dengan resiko tinggi KNF (Tunisia, Cina Selatan, den Greenland), menemukan adanya nitrosamin pada sampel makanan yang diawetkan, termasuk 'Cantonese-style salted fish'. Penelitian Yu den kawan-kawan menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish', dan adanya hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dengan timbulnya KNF di Hong Kong dan Guang-xi, Cina. Penelitian terhadap etnik Cina yang bermukim di California dan Malaysia juga menemukan hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dan timbulnya KNF. Pada penelitian eksperimental dengan tikus percobaan oleh Yu dan kawan-kawan yang diberi 'Cantonese-style salted fish' menimbulkan karsinoma daerah nasal atau paranasal {12). Penelitian lain {13) menyatakan adanya kaitan antara virus Epstein-Barr (VEB) dan konsumsi ikan asin merupakan penyebab utama timbulnya KNF.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoseph Adi Kristian
Abstrak :
Latar Belakang: Ekspresi PD-L1 sering ditemukan pada keganasan yang terkait dengan virus Epstein-Barr (EBV) seperti karsinoma nasofaring. Studi terbaru menunjukkan bahwa keganasan terkait EBV memiliki tingkat ekspresi PD-L1 yang tinggi. Tetapi mekanisme yang mendasari regulasi PD-L1 dan EBV terhadap ekstensi tumor masih kurang dipahami. Beberapa literatur menghubungkan parameter ini dengan tumor stadium lanjut dan prognosis buruk. Studi ini akan menilai konsentrasi PD-L1 dan DNA EBV pada jaringan tumor, pada pasien kanker nasofaring di populasi Indonesia yang dikumpulkan secara konsekutif dan dikorelasikan dengan ekstensivitas tumor.  Metode: Kami menggunakan imunohistokimia dan ELISA untuk menilai PD-L1 dan reaksi rantai polimerase (PCR) juga dilakukan untuk menilai konsentrasi DNA EBV (EBNA-1 sebagai primer). Delineasi tumor dilanjutkan dengan perhitungan volumetrik menggunakan Eclipse Treatment Planning System. Semua pemeriksaan dilakukan pra terapi. Kami memperoleh data kuantitatif dan kualitatif. Kurva korelasi didapatkan menggunakan uji korelasi Pearson.   Hasil: Tidak ada korelasi antara DNA EBV dan ekstensivitas kanker nasofaring dengan ekspresi PD-L1 positif (p = 0,371). Lebih lanjut, tidak ada korelasi antara DNA EBV dan PD-L1.   Kesimpulan: Berapapun banyaknya tumor viral load DNA EBV dan konsentrasi PD-L1 tidak akan berpengaruh pada ekstensivitas tumor. Ini adalah studi pendahuluan. ......Background: PD-L1 expression is often found in malignancies associated with Epstein-Barr virus (EBV) such as nasopharyngeal carcinoma. Recent studies shown that EBV-related malignancies have high levels of PD-L1 expression. But the mechanism underlying the regulation of PD-L1 and EBV DNA against tumor extension is still poorly understood. Some literature links this parameter with advanced tumors and poor prognosis. This study will assess tumor tissue PD-L1 and EBV DNA concentrations in nasopharyngeal cancer patients in the Indonesian population collected consecutively and correlate with tumor extensivity.  Methods: We used immunohistochemical and ELISA to assess PD-L1 and polymerase chain reaction is also performed to assess the EBV DNA concentrations (EBNA-1 as primary). Tumor volume delineation continued with volumetric calculation using Eclipse treatment planning system. All examinations were carried out pre therapy. Quantitative and qualitative data was obtained. Correlation curves were estimated using the Pearson correlation test.  Results: There was no correlation between EBV DNA and nasopharyngeal cancer extension with positive PD-L1 expression (p = 0.371). Furthermore, there is also no correlation existed between the EBV DNA copy and PD-L1.  Conclusion: No matter how much tumor EBV DNA viral load and PD-L1 concentrations had no effect on tumor extensivity. This is a preliminary study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abstrak :
Limfoma sinonasal merupakan kelainan yang jarang dijumpai yang mencakup jenis sel NK/T atau sel B. Penelitian2 terdahulu menunjukkan adanya perbedaan angka kejadian limfoma NK/T (LNKT) yang sesuai daerah geografis serta kaitan yang sangat tinggi dengan infeksi virus Epstein Barr. Penelitian yang dilakukan terhadap 4l kasus penyakit limfoproliferatif sinonasal yang tersimpan di arsip Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam kurun waktu 1994-2002 menunjukkan 35 kasus merupakan limfoma sinonasal. Pulasan imunohistokimia membuktikan 20 kasus (57%) sebagai LNKT dan 15 kasus (43%) limfoma sel B jenis sel besar. LNKT menunjukkan laki2 lebih banyak dari wanita (L:W=4:1) serta usia yng lebih muda (median 37 tahun); sedangkan limfoma sel B lebih banyak pada wanita (1:1.5) serta usia yang lebih tua (median 49 tahun). Hasil pemeriksaan genom virus Epstein Barr dengan cara hibridisasi in situ menggunakan pelacak EBER-1 menunjukkan 90% LNKT positif dan negatif pada semua limfoma sel B. Tulisan ini merupakan laporan limfoma sinonasal yang pertama dari Indonesia yang menunjukkan predominasi relatif limfoma sel B dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya. Tidak adanya kaitan dengan virus Epstein Barr pada limfoma sel B juga berbeda dengan penemuan di negara Asia lain (positivitas 25-4l%) . Predominasi limfoma sel B tanpa kaitan dengan virus Epstein Barr mengarah pada kemungkinan adanya faktor etiologik yang spesifik untuk Indonesia. (Med J Indones 2004; 13: 71-6)
Sinonasal lymphoma is a rare disease with NK/T-cell (NKTC) or B-cell immunophenotype. Previous study revealed the geographic difference in frequency of NKTC lymphoma (NKTCL) and almost constant association with Epstein-Barr virus (EBV) infection. Through review of 41 cases with sinonasal lymphoproliferative diseases registered in the Department of Anatomical Pathology, University of Indonesia during the period 1994 to 2002, thirty-five were accepted as sinonasal lymphoma. Immunohistochemistry revealed that 20 cases (57%) were NK/T-cell type and 15 (43%) B-cell type with large cell morphology, i.e.,diffuse large B-cell lymphoma. NKTCL showed a marked male preponderance (M/F= 4:1) and younger onset of disease (median age, 37 years), and B-cell lymphoma showed a relative female preponderance (1:1.5) and older disease onset (median age, 49 years). In situ hybridization using EBER-1 probe revealed that 90 % of NKTCL were EBV-positive, but none of B-cell lymphoma were EBV-positive. This is the first report on sinonasal lymphoma in Indonesia showing relative predominance of B-cell lymphoma compared to other Asian countries and Peru (14-24 %). Lack of EBV-association in Indonesian sinonasal B-cell lymphoma showed a marked contrast to that in other Asian countries (EBV positive rate, 25-41 %). Predominance of sinonasal B-cell lymphoma without EBV genome might suggest presence of specific etiologic factors in Indonesia. (Med J Indones 2004; 13: 71-6)
Medical Journal of Indonesia, 13 (2) April June 2004: 71-76, 2004
MJIN-13-2-AprilJune2004-71
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Masrin
Abstrak :
Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas kepala dan leher terbanyak dan berada di peringkat ke empat dari seluruh keganasan pada tubuh manusia setelah tumor ganas serviks, tumor payudara dan tumor kulit. Kemajuan ilnmu pengetahuan dan teknologi dalam menegakkan diagnosis keganasan pada umumnya dan karsinoma nasofaring khususnya adalah dengan pemeriksaan histopatologik atau sitologik. Pemeriksaan penunjang lainnya, antara lain pemeriksaan radio diagnostik seperti Tomografi komputer (CT Scan), Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI), pemeriksaan serologi, imunohistokimia dan patologi molekuler. Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang melapisi daerah nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama-tama diperkenalkan oleh Regaud dan Schmineke pada tahun 1921. Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor ganas yang relatif jarang ditemukan pada beberapa tempat seperti Amerika Utara dan Eropa dengan insidens penyakit 1 per 100.000 penduduk. Penyakit ini lebih sating terdapat di Asia Tenggara termasuk Cina, Hong Kong, Singapura, Malaysia dan Taiwan dengan insidens antara 10 - 53 kasus per 100.000 penduduk. Di daerah India Timur Laut, insidens pada daerah endemis antara 25 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian terhadap penyakit karsinoma nasofaring ini mendapat banyak perhatian. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi yang cukup kompleks dari etiologi penyakit seperti faktor genetika, virus (Epstein-Barr) dan faktor lingkungan (nitrosamin di dalam ikan asin). Pada tahun 1985 Ho menyatakan sebuah hipotesis bahwa sebagai etiologi dari karsinoma nasofaring adalah infeksi dari virus Epstein-Barr. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang dapat menginfeksi lebih dari 90% populasi manusia di seluruh dunia. Virus Epstein-Barr merupakan salah satu penyebab dari infeksi mononukieosis. Karsinoma nasofaring adalah neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan bersifat asimptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan virus persisten dimana virus memasuki periode laten di dalam Iimfosit B. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik, yaitu terjadi replikasi DNA EBV, dilanjutkan dengan pembentukan virion baru dalam jumlah besar, sehingga sel pejamu menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik . EBV mempunyai potensi onkogenik untuk mengubah sel yang terinfeksi menjadi sel gangs seperti KNF, retikulosis polimorfik dan limfoma Burkitt. Virus Epstein-Barr memegang peranan penting dalam terjadinya keganasan, tetapi virus ini bukan satu-satunya penyebab dari timbulnya karsinoma nasofaring. Transmisi dari virus Epstein-Barr membutuhkan kontak yang erat dengan saliva sesenrang yang terinfeksi dengan virus ini. Banyak orang sehat dapat membawa dan menyebarkan virus secara intermiten di dalam kehidupannya, sehingga transmisi virus ini pada sebagian manusia tidak mungkin untuk dicegah.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library