Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Melinda Agnes Praditya
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas novel seorang pengarang asal Afghanistan, yaitu Khaled Hosseini yang berjudul A Thousand Splendid Suns (2010). Novel A Thousand Splendidi Suns menampilkan tema kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi isu dalam novel. Untuk itu penelitian ini akan berfokus mengungkap bentuk dominasi yang dilakukan Rasheed kepada dua istrinya dan perlawanan terhadap dominasi tersebut. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa latar belakang budaya patriarkis membentuk pola pikir tokoh perempuan sehingga menginternalisasi secara ideologis yang menyebabkan mereka mengalami kekerasan simbolik maupun kekerasan fisik dalam rumah tangganya. Dengan demikian, relasi yang terbentuk adalah relasi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan serta menampilkan laki-laki sebagai pihak yang dominan.
ABSTRACT
Domination Patriarchy on Women On Female Lead Character in the Novel A Thousand Splendid Suns ABSTRACTThis research discusses a novel by Khaled Hosseini a male author from Afghanistan titled A Thousand Splendid Suns 2010 The novel expresses domestic violence in household which is increasingly prevalent and becomes an issue in Afghan society Therefore this study focuses on revealed to domination by Rasheed to two of his wife and of resistance to the domination This research found that the cultural background of patriarchy forms mindset of women and ideologically internalized so the female characters in this novel experiences symbolic and physical violence in the household Thus the relation that is formed is inequality between men and women and show men as the dominant party Key words domination patriarchy symbolic violence resistance
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42788
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Eka Qamara Yulianthy Dewi Hakim
Abstrak :
ABSTRAK
Studi ini menganalisis bagaimana proses pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan yang mengalami mekanisme kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik digunakan sebagai upaya menanamkan pemahaman atau kepentingan-kepentingan tertentu dengan mengatasnamakan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Studi ini bertujuan untuk menganalisis proses interaksi dalam kerangka pemberdayaan, mekanisme kekerasan simbolik yang berlangsung dan perjuangan simbolik para aktor yang terlibat dalam proses pemberdayaan. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode-metode: observasi partisipasi, wawancara mendalam, FGD, dokumentasi dan data sekunder. Penelitian dilakukan selama ± 2 tahun dengan pemilihan lokasi secara bertahap pada LSM Asih di Cengkareng, LSM Asah di Kutai Kartanegara dan LSM Asuh di Cibinong. Temuan dalam studi ini adalah munculnya ?kelompok tanggung? sebagai hasil ?lain? dari proses pemberdayaan yang telah dilaksanakan oleh LSM Asih, LSM Asah dan LSM Asuh. Suatu kelompok ?baru? dari warga binaan yang telah berhasil menikmati pemberdayaan namun belum berdaya sepenuhnya, masih tergantung pada pemberdaya dan memiliki peran penting sebagai ?jembatan? antara pemberdaya dan warga yang akan dibina. Posisi menjadi serba tanggung karena tanggung untuk bisa maju dan tanggung untuk dikatakan telah maju. Ketiga kelompok tanggung tersebut memiliki persamaan dan perbedaan baik secara individu, relasi sosial, waktu dan lingkungan yang membentuknya. Kesimpulannya adalah dialektika negara, LSM dan masyarakat, dialektika kepentingan pemberdaya dan peningkatan capital warga binaan, dan dialektika global dan lokal bukanlah diamati sebagai siapa atau mana yang lebih berkuasa atau dominan. Dialektika-dialektika tersebut justru menciptakan suatu (re)produksi sosial atau budaya yang terus berproses. Walaupun di dalamnya ada upaya penghimpunan habitus kolektif atau dominasi atau kepentingan melalui mekanisme kekerasan simbolik, namun tetap ada upaya-upaya perjuangan simbolik para aktor di dalamnya. Terlepas dari menjadi kelompok dominan atau kelompok terdominasi, perjuangan simbolik menjadi kekuatan bertahannya dialektika tersebut.
ABSTRACT
This dissertation analyzes how the empowerment process in urban poor community who experienced symbolic violence. Symbolic violence is used as an approach to instill an understanding or any particular interests in the name of social welfare improvement. The study aims to analyze an interaction process within empowerment framework, process of symbolic violence mechanism, and symbolic struggle of actors who involved in empowerment process. The study uses a qualitative approach with participant observation, in-depth interviews, focus group discussion (FGD), documentation and secondary data. The study was conducted for about two years in gradually selected three NGO?s are The Asih NGO in Cengkareng, The Asah NGO in Kutai Kartanegara, and The Asuh NGO in Cibinong. The key finding from this study is the emerging of ?Tanggung Group? as the ?other? output of empowerment process that has been conducted by The Asih, Asah and Asuh NGO. This is a ?new? group in the empowered communities that has gained several benefits but not fully empowered yet, they still depend to the empowerment institution and hold an important role as a ?bridge? group between the empowerment institution and community. Their position became halfempowered, because they either could not fully step forward or to be called as totally being empowered. Those three ?tanggung groups? have both similarties and differences in term of in individual, social relation, time and environment condition that build them. The main conclusions drawn from this research were that the state, NGOs, and society dialectic, dialectic of empowerment institution interest and improvement of empowered community capital, global and local dialectic are not been viewed as who or which one is more powerful or dominant. Those dialectics have created a social or cultural (re)production that continues processing. Although is has a collective habitus collection or domination or particular interest through symbolic violence mechanism, however there is still symbolic struggle among the actors. Apart from being a dominant group or being dominated group, symbolic struggle become the strength of the existing dialectic.
Depok: 2011
D1198
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Radityo Widiatmojo
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian kualitatif ini memaparkan pemikiran Pierre Bourdieu dan Theo van Leuween dalam membongkar kekerasan simbolik terhadap perempuan melalui medium fotografi di facebook. Pemaknaan foto melalui semiotika sosial Theo van Leuween merupakan hasil objektif-subjektif peneliti yang dikonfirmasi oleh informan, dilanjutkan dengan analisis mendalam dari pemikiran Pierre Boudieu tentang Habitus, doxa, modal, dan arena sebagai struktur pembentukan kekerasan simbolik. Bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang dilihat dari semiotika sosial adalah fokus utama foto ada pada bagian payudara, penggunaan atribusi fotografi (kamera, lensa, tripod, tas kamera, warna kaos) untuk mendominasi perempuan, kata-kata vulgar dalam group facebook KFI, serta jenis pakaian yang dikenakan perempuan saat pemotretan. Hasil temuan dari penelitian ini adalah terbentuknya habitus fotografi portrait sebagai medium untuk mendominasi perempuan serta group facebook KFI sebagai arenanya yang dibangun atas dasar budaya patriarki, dimana dalam KFI tidak terdapat fungsi sensor dalam pembatasan pornografi. Kekerasan simbolik juga terpelihara karena adanya hubungan transaksional, fungsi rekreasi, nilai ekonomi serta upaya pendakian status anggota KFI dengan cara mengunggah foto perempuan seksi di group facebook KFI. Struktur habitus ini dibentuk dari berbagai aspek, yaitu modal ekonomi, modal simbolik (edukasi), sejarah fotografi, hunting model, industri kamera serta facebook
ABSTRACT
This qualitative research examined to investigate symbolic violence against women on Indonesian Photography Community online (KFI) on facebook through portrait photography. The meaning of image (portrait of women) were profoundly and critically analyzed by, both subjectivity and objectivity, expending Habitus, doxa, modal and field theory by Pierre Bourdieu, utilizing van Leuween‟s social semiotic and confirmed by spokesperson. The form of symbolic violence against women done within various areas. Breast is the main focus of the images, photography attribution (camera, telephoto lens, tripod, camera bag, shirt) use as a symbols of domination, dirty comment on facebook, and obviously the fashion were threaded as symbolic violence. The main result of this research argue that photography is the core medium to dominate women and facebook group KFI as the central field without pornography censorship as constructed by culture of patriarchy. Symbolic violence were continued in KFI as transactional relationship, refreshing, economic value, and social climb, by upload various photograph of sexy women. This structure of Habitus shape by economic modal, symbolic modal, education, history of photography in Indonesia, hunting model, camera industry and facebook.
2016
T45739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspitasari
Abstrak :
Kepelbagaian atau pluralitas di Indonesia memiliki sejarah panjang yang diwarnai dengan konflik dan kekerasan. Bahkan sejak sebelum masa kemerdekaan, kepelbagaian telah menjadi penyebab dari adanya konflik yang berbasis pada perbedaan etnis dan agama Bahasa yang menurut Sukarno dan Bourdieu dapat menjadi penyebab meningkatnya tegangan dalan pemaknaan dikarenakan oleh hakekat teks sebagai person yang selalu mengandung kepentingan. Pemilihan bahasa yang merepresentasi kepentingan dan ideology merupakan sumber dari pertarungan untuk memenangkan dominasi terhadap yang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, peneliti telah menganalisis wacana pluralisme pada sejumlah akun twitter. Peneliti berupaya menganalisis praktik kekerasan simbolikyang muncul karena dikonstruksioleh pengguna akun twitter tersebut. Peneliti menggunakan teori habitus, kapital, arena and kekerasan simbolik yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dan ditunjang oleh konsep kekuasaan menurut Michel Foucault. Peneliti menggunakan paradigma kritis, metode pengumpulan data berbasis observasi dan wawancara. Sementara metode analisis menggunakan kerangka semiotika Roland Barthes. Setelah mengamati beberapa akun twitter yang merepresentasikan dua pandangan yang berbeda: mendukung dan menentang pluralisme, peneliti menemukan adanya sejumlah mitos yang berlangsung dalam arena. Mitos mengenai klaim kebenaran tunggal yang absolut menjadi kerangka yang melegitimasi penerimaan terhadap kekerasan. Dan hal itu terjadi berkat adanya habitus yang terbentuk dalam masyarakat melalui rentang waktu yang panjang dan diwacanakan oleh institusi-institusi sosial seperti institusi pendidikan, agama da media massa, bahkan institusi pemerintahan. Setiap pihak yang terlibat dalam twitter mereproduksi wacana yang berbeda dan masing-masing berusaha membangun habitus, bagi pendukung berusaha membangun habitus baru, bagi penentang berusaha mengukuhkan habitus lama untuk mendukung status quo. Sekalipun demikian penelitian menunjukkan bahwa twitter memiliki potensi untuk menjadi media alternatif yang membentuk habitus yang nirkekerasan. Penelitian menunjukkan bahwa wacana yang direproduksi oleh penentang pluralisme adalah tentang kekuatan uang di balik wacana pluralisme untuk melegitimasi resistensi mereka terhadap pluralisme dan penerimaan terhadap kekerasan. ...... Diversity in Indonesia has such a long history which has been filled by conflict and violence. In fact, before its independence, diversity became cause of conflicts of multi religions and ethnics. Language; as Sukarno and Bourdieu mentioned, became a cause of rising tension in perceiving meaning. This happened because every text is a message as said by Roland Barthes. It means, every text shown in every arena including twitter has the meaning indeed. Language selection can also represent certain interests and ideology, and that?s what defines discourse. Language derived from the idea of domination. By then, discourse can be changeable according to the purpose of the parties/individuals who are trying to fight their dominant ideas. Based on the understanding of that, researcher has tried to analyze the discourse of pluralism in several twitter accounts. Researcher has tried to analyze how symbolic violence constructed to the actor of twitter arena as shown in their account. By that, researcher has used the theory of habitus, capital, arena and symbolic violence by Pierre Bourdieu and supported by Michel Foucault?s power. The method analysis utilized in this research is Roland Barthes? semiotic. Researcher has used critical paradigm. The data collection methods were using observation and interview. By observed several accounts on twitter that represented different perspectives on pluralism, pro and anti-pluralism, researcher has tried to reveal the myth that happened on the twitter arena. By then, researcher find symbolic violence appear through the habitus that constructed to the individu from a long period and going through the social institutions such as education, religion, media institution. Every parties in twitter has reproduced the different discourse that build new habitus or established the old habitus to support the ideology of status quo. The result of this research shown that the discourse of pluralism that produced by the antipluralism draws an effort of dominant party to legitimate violence as a way to solve the problem of differences. Then they produced and reproduced the discourse pluralism by appointing Jaringan Islam Liberal (JIL) as the enemy of Islam and suspect that America behind this (the pluralism) who also funded and facilitated the idea of pluralism.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1311
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library