Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1299 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Solichin
Abstrak :
Kekurangan Energi dan Protein (KEP) pada balita merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih menjadi beban bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. KEP pada balita merupakan akibat langsung dari kurangnya asupan zat gizi dan status kesehatan yang buruk karena penyakit infeksi, dan akibat tidak langsung dari ketahanan pangan keluarga, pola asuh anak, pelayanan kesehatan, lingkungan dan faktor yang terdapat pada balita sendiri. Data PSG Balita di Dinas Kesehatan Kabupaten Serang tahun 2001 s/d 2003 menunjukkan adanya kecenderungan meningkat kasus gizi buruk walaupun sempat turun pada tahun 2002, namun kembali meningkat pada tahun 2003. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan basis data Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) Gizi di Dinas Kesehatan Kabupaten Serang yang dapat memberikan informasi tentang masalah gizi (termasuk sebaran gizi buruk) dengan cepat dan akurat sehingga dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk pengambilan keputusan/kebijakan dalam program perbaikan gizi masyarakat, baik yang sifatnya penanggulangan (intervensi), maupun pencegahan. Pengembangan sistem yang dihasilkan berupa pengembangan basis data PWS Gizi di Subdin Kesga, Dinkes Kab. Serang. Keluaran (output) yang dihasilkan dalam pengembangan basis data PWS Gizi berupa data penimbangan bulanan balita (F/III/Gizi), data pelayanan program gizi (LB3 Gizi), grafik kecenderungan penimbangan bulanan balita, grafik kecenderungan balita yang berada dibawah garis merah (BGM), dan grafik kecenderungan balita yang menderita gizi buruk, serta peta penyebaran balita BGM dan balita gizi buruk. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan PWS Gizi di Kabupaten Serang sudah sesuai dengan prosedur. Permasalahan yang ditemui dalam pelaksanaan PWS Gizi meliputi 1) Komponen masukan dimana laporan dari Puskesmas sering terlambat dan tidak tepat waktu, 2) Komponen proses dimana pengolahan dan analisis data yang dilakukan masih secara manual, dan 3) Komponen keluaran dimana informasi yang didapat masih terbatas berupa laporan kegiatan untuk dilaporkan ke tingkat Propinsi. Untuk mengatasi permasalahan ini diupayakan pembinaan administratif kepada Puskesmas, peningkatan kualitas pengelola program khususnya dalam pengolahan dan analisis data, di samping juga penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung dalam pelaksanaan PWS Gizi. Daftar Pustaka: 39 (1979 - 2003)
Protein and Energy Malnutrition (PEM) among below 5 years children has been one of health problems burdening the developing countries, including Indonesia. These problems is a direct consequence of lack of nutrient intake and poor health status due to infectious diseases, and an indirect family food security, child rearing pattern, health care service, the environment, and internal factors of under fiver years children. Data of Nutrition Status Monitoring in Serang Regency from 2001 to 2003 showed that the number of malnourished increasing, whether decrease in year 2002 but increase in year 2003. The objective of this study is to develop the database of local area monitoring on Nutrition Program in Serang Regency, which can give information of nutrition problems (including malnourished) faster and more accurate as source for decision maker in nutritional program, whether for intervention or to prevention. The result of system development is the database of local area monitoring on Nutrition Program in Serang Regency. Output that resulted in database developing were the report of F/IIIIGizi, the report of LB3 Gizi, the graphic of monthly activity in Posyandu, the graphic of under red line (BGM) and malnourished children, and also the map of under red line (BGM) and malnourished children. The result of this study showed that the implementing of local area monitoring on Nutrition Program in Serang Regency is good. The problem that faced are I) Input component that the report from Health Center is not routinely and also not on time, 2) Process component the method used in data processing is still manually, and 3) Output component the information still in report form that reporting to Province level. To overcome the problems, it needed technical guidance for Health Center, enknowaging skill for officer especially in data processing and data analysis, beside to provide means and infrastructures properly in implementing the Local Area Monitoring in Nutrition Program at Serang Regency. Refferences: 39 (1979 - 2003)
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T 12827
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ernastuti
Abstrak :
Tesis ini membahas algoritma mengenal graf pariti G=(V,E) dan mencari klik terbesarnya, serta implementasinya pada pseudo_code yang diuraikan pada bahasa pemrograman C versi Turbo C. Algoritma ini merupakan algoritma sekuensial yang mengacu pada algoritma paralel 0(log2n) pada n /1og2n prosesor dari [PRZ91]. Langkah pertama dari algoritma mengenal graf pariti adalah memilih sembarang verteks u E V sedemikian sehingga bentuk graf G diubah nenjadi himpunan subgraf level per level, dengan u sebagai verteks tunggal di level ke 0. Kemudian langkah berikutnya, hubungan verteks-verteks antar level dibuktikan keparitiannya berdasarkan sifat-sifat graf pariti [PR291]. Sedangkan langkah pertama dari algoritma meneari klik terbesar pada graf pariti adalah membentuk himpunan subgraf yang dibangun dari gabungan komponen di level ke i dengan tetangganya di level ke i-1. Kemudian langkah berikutnya, penentuan klik terbesar dapat dicari dari setiap subgraf tersebut [PRZ91). Hasil pengamatan pada banyaknya iterasi (langkah) dari basil eksekusi program pada 10 sampai dengan 70 verteks untuk 15 bentuk graf, diperoleh kesimpulan bahwa pemilihan verteks u untuk level ke 0 mempengaruhi jumlah iterasi, dan semakin besar jumlah komponen yang terjadi dalam pembuktian keparitian graf semakin besar pula jumlah iterasi yang diperoleh. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah iterasi terbesar terjadi pada graf bipartisi lengkap dengan bentuk = level ke 1 berisi n-1- |n/3| verteks, level ke 2 benisi. 1n/31 verteks dan gabungan subgraf level ke 1 dan 2 merupakan bipartisi lengkap (n=|V|). Dengan mengasumsikan bahwa jumlah operasi pada setiap iterasi adalah konstan, maka implementasi algoritma menunjukkan kompleksitas 0(n4).
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peter Rhatodirdjo Angka
Abstrak :
ABSTRAK
Traveling Salesperson Problem (TSP) merupakan masalah optimasi kombinatorial klasik. Semua algoritme konvensional yang dikenal saat ini untuk pemecahan TSP, membutuhkan usaha komputasi yang meningkat secara eksponensial terhadap jumlah kota.
Dalam tulisan ini dibahas jaringan neural Hopfield dengan masukan kontinyu sebagai alternatif pemecahan TSP. Jaringan neural ini memecahkan TSP dengan kompleksitas komputasi sebanding dengan polinomial pangkat 4 dari jumlah kota. Komputasi jaringan neural ini efektif, karena adanya tanggapan analog non-linier dari neuron dan koriektifitas yang besar di antara neuron. Metode ini hanya membertkan penyelesaian minimum lokal, yang diharapkan mendekati minimum global. Implementasi jaringan neural ini disimulasikan pada komputer sekuensial. Komputer yang digunakan berupa workstation SUN SPARC 1+ berbasis UNIX dengan kapasitas memori 8 Mb. Kinerja metode jaringan neural Hopfield dievaluasi berdasarkan jarak tour dan waktu yang dibutuhkan. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan penyelesaian optimal yang diperoleh dengan algoritme konvensional Least Cost Branch anc' Bound (LCBB).
Dari hasil eksekusi program pada workstation SUN SPARC 1+ berbasis UNIX untuk jumlah kota 15 s/d 22 buah diperoleh jarak tour rata-rata dengan metode jaringan neural berkisar antara 1,63 s/d 2,06 kali jarak tour dengan algoritme LCBB. Waktu rata-rata yang dibutuhkan jaringan neural (jumlah kota 15 s/d 22 buah) sebesar 4 x 10-4 sampai dengan 4 x 10-1 kali waktu yang dibutuhkan algoritme LCBB. Pada jumlah kota 5 s/d 14 buah, hasil dari jaringan neural kurang bagus dibandingkan dengan basil dari algoritme LCBB. Jarak tour rata-rata dengan jaringan neural Hopfield berkisar antara 1.01 s/d 1.45 kali jarak tour dengan algoritme LCBB, tetapi waktu yang dibutuhkan jaringan neural Hopfield sebesar 1 s/d 10 kali waktu yang dibutuhkan algoritme LCBB.
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haris Sriwindono
Abstrak :
Pada tulisan ini disusun suatu algoritma sebagai pengembangan dari algoritma yang sudah ada yaitu algoritma Quine-McCluskey untuk membantu meminimalkan fungsi Boole dalam bentuk sum of product. Algoritma ini berguna dalam perancangan rangkaian logika kombinasi terutama PLA (Programmable Logic Array) sehingga diperoleh rangkaian berbiaya rendah. Dalam rangkaian logika kombinasi, fungsinya secara eksplisit dinyatakan dalam fungsi Boole. Untuk meminimalkan fungsi Boole ini sudah dikenal beberapa metode antara lain metode Peta Karnaugh, metode tabulasi (HILLBI), metode MINI (ARE78) dan metode ESPRESSO (BRAY84) Pada metode tabulasi diperlukan tiga tahap untuk meminimalkan fungsi Boole, yaitu pencarian PI (Prime Implicant), pencarian EPI (Essential Prime Impicant) dan pemilihan NON-EPI. Algoritma Quine-McCluskey hanya melaksanakan tahap pertama yaitu pencarian Prime Implicant. Dengan menelusuri ide dasar penyusunan algoritma Quine-McCluskey, yaitu teori kubus, dan dengan menentuan suatu relasi partial ordering di himpunan C=(O,1,X) yang menjadikan (C,>-) sebuah lattice, maka dengan menggunakan sifat lattice tersebut dapat disusun aturan-aturan tertentu sehingga dapat dibuat algoritma yang lebih sederhana dari pada algoritma Quine-McCLuskey. Di samping itu, algoritma ini melaksanakan tahap pertama dan tahap kedua dari metode tabulasi sehingga selain menghasilkan Prime Implicant sekaligus juga menghasilkan Essential Prime Implicant, meskipun algoritma modifikasi ini memiliki kompleksitas waktu dan space yang sama dengan algoritma Quine-McCluskey yaitu O(n3) dan O(n).
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rochmanadji Widajat
Abstrak :
ABSTRAK Salah satu kebijakan Pemerintah selama PIP-II di bidang manajemen rumah sakit adalah pelaksanaan Program Akreditasi terhadap seluruh rumah sakit (RS), baik milik Pemerintah maupun Swasta di Indonesia. Tujuan dan manfaat program ini adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan RS, sekaligus untuk memudahkan program pembinaan bagi RS yang membutuhkan. Walau demikian, mengingat kendala dan keterbatasan yang ada, maka strategi pelaksanaan akreditasi RS dilaksanakan secara bertahap, baik jenis pelayanan yang diakreditasi maupun RS yang siap diakreditasi. RSUP Dr. Kariadi, yang merupakan RS kelas Pendidikan juga mampu sebagai pusat percontohan mutu pelayanan RS. Oleh karenanya, di samping melaksanakan self assessment terhadap 5 jenis pelayanan dasar, dalam rangka uji-coba akreditasi tahun 1996, juga terhadap jenis pelayanan lain yang dianggap penting. Salah satu jenis pelayanan RS yang dianggap penting ialah : Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS). Alasannya antara lain karena : RSUP Dr. Kariadi ditetapkan sebagai salah satu calon RS-panduan PGRS, sehingga berkinginan menjadi pusat rujukan ringan PGRS diwilayah sekitarnya. Disamping itu hasil survei Tim Depkes (1995) terhadap 10 RS kelas A & B pendidikan belum menggembirakan (termasuk RSUP Dr. Kariadi), menunjukkan adanya kesenjangan antara keadaan sekarang dan gambaran/profil PGRS yang diinginkan. Berangkat dari alasan dan masalah kesenjangan tersebut di atas, maka sangat bermanfaat bila diadakan suatu operational research (penelitian operasional) yang menganalisis faktor-faktor eksternal dan internal pada Instalasi Gizi untuk Perumusan Strategik (Strategy Formulation) Standar optimal PGRS di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metodologi penelitian operasional ini secara diskriptif dengan mempergunakan tehnik analisis strategik yang terdiri atas 3 tahap (David FR, 1995) : (I) Tahap input, dengan analisis faktor eksternal (EFE) dan faktor internal (DE), ( II) Tahap matching, dengan analisis SWOT dan SPACE, ( III) Tahap decision, dengan analisis QSPM (kalau perlu). Penentuan bobot (weight) dan nilai (score) pada tiap-tiap faktor kritis dilaksanakan dengan cara good intuitive judgement dan dimantapkan dengan metode Delphi. Hasil ke tiga tahap analisis merupakan Strategi Terpilih (Strategic Choice) untuk mencapai standar optimal PGRS di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Hasil penelitian sebagai berikut : 1. Kedudukan strategik Instalasi Gizi dan PGRS di RSUP Dr. Kariadi masih cukup kuat secara finansial, namun tidak dapat tumbuh dan berkembang baik karena tidak mempunyai daya saing kuat. Tempat kedudukan ada di kuadrat kiri atas. Tipe strategi yang paling tepat : Stategi Konservatif. 2. Prioritas Strategi Terpilih ialah : I. Tingkatkan citra RSUP Dr. Kariadi, khususnya PGRS, dengan cara konsolidasi dan program pemasaran yang terpadu. II. Tonjolkan produk unggulan PGRS yang bersifat revenue, sementara produk layanan lainnya tetap dimantapkan, III. Tingkatkan manajemen SDM (terutama motivasi kerja dan pemanfaatan SDM mahasiswa/siswa praktek). Disarankan antara lain, agar analisis strategik seperti tersebut di atas dapat dipergunakan oleh pimpinan RS/Intitusi lain di lingkungan Dep. Kes untuk merumuskan strategi mencapai sasaran seseuai dengan visi/misi yang telah ditetapkan.
ABSTRACT One of the Government's policy in the hospital management during 2nd-PIP (Longterm National Development) is an implementation of the Hospital Accreditation Program in Indonesia. The goals of this program are to increase the quality of the hospital services, as well as to aid the underquality hospitals. Since there are some constrains in practices, the Hospital Accreditation Program will be implemented stage by stage. At present time, the first stage is being done as a pilot project of self-assessing hospital accreditation towards 5 kinds of primary hospital services : Administration and Management, Medical Care, Nursing Care, Emergency Care, and Medical Records. Dr. Kariadi hospital, as a largest Teaching Hospital and Medical Referral Hospital in Central Java, should also be able to be a center of the Hospital Nutrition Service (PGRS) networks. For these reasons, during self-assessing hospital accreditation at Dr. Kariadi Hospital in 1996, there will also be completed with other important services i.e. Hospital Nutrition Services (PGRS). Besides, the result of study by Depkes Surveyors Team is disappointed. They highlighted that the highest accreditation score among 10 teaching hospitals (to be centers of PGRS) were only fair score, even there were very low score in 2 teaching hospitals of them. There were some problems in each hospitals especially in the facilitation and human resource. Because of these problems, it will be very important to perform a Study of the External and Internal factors of Nutrition Department for a Strategy Formulation to achieve the optimal standard of the Hospital Nutrition Services of Dr. Kariadi Hospital. This is an Operational Research, and a descriptive study with 3 stages of strategic analysis and choice : ( 1 ).The input stage, consists of : Identifications, EFE (External Factor Evaluation) and 1FE (Internal Factor Evaluation), (2 ). The matching stage consists of : a SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats) and a SPACE (Strategic Position and Action Evaluation) matrix analysis and (3 ). The decision stage consists of : a QSPM (Quantitive Strategic Planning Matrix) analysis. Some integrations have to be combined between intuition and scientific analysis in the critical success factor evaluations. In this matter, a "good interactive judgment" in data scoring has to be done by a Delphi method. The results of this study are as follow : (1 ). The strategic position of Nutrition Department is quite strong in the aspect of Financial Strength, but it is not able to grow up automatically due to the Competitive disadvantage (laid in upper left quadrant of SPACE matrix). (2 ). The appropriate type of strategy : Conservative Strategy. ( 3 ). The strategic choice that can be interpreted as The Grand Strategy are : a). Market penetration & development, do an integrated marketing to increase a good reputation of Hospital Nutrition services (PGRS) in the community. b). Product development and concentric diversifications, develop one or two new revenue product and while keeping on maintenance of the current products. c). Increase the human resources management, especially how to motivate in working. Even though it is such a recommendation to the hospital administrators to practice the strategic analysis and choice (especially SWOT analysis) for anything to achieve or to make a good strategic decision under conditions of uncertainty.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Palupi, Dian Setia
Abstrak :
Runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998, memiliki dampak tersendiri bagi perkembangan industri media massa di Indonesia, baik industri media cetak, maupun industri media elektronik. Dengan dihapuskannya ketentuan memiliki Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), maka setiap orang di Indonesia, memiliki hak yang sama untuk mengeluarkan pendapatnya, termasuk dapat mengurus ijin untuk mendirikan media sendiri, seperti koran, radio, dan televisi. Peranan TVRI yang sudah mulai berkurang sejak adanya televisi swasta di Indonesia, lebih tidak terlihat lagi, sejak munculnya televisi-televisi baru yang kian menjamur, baik yang dapat beroperasi secara nasional, seperti Metro TV, Trans TV, Lativi, TV 7, dan Global TV, maupun yang beroperasi di daerah tertentu saja, seperti Jtv di Surabaya, Menado TV, Bali TV, dan kabarkan akan segera muncul Batam TV.

Persaingan yang kian ketat antar televisi, baik persaingan dalam merebut pemirsa, maupun persaingan dalam merebut pasar ikian, mengharuskan sebuah stasiun televisi memiliki kekhasan tersendiri dalam setiap tayangannya, yang berbeda dengan stasiun televisi lainnya. Saat ini hanya ada dua stasiun televisi yang memang benar-benar menghadirkan sesuatu yang berbeda, yaitu Metro TV, yang menggebrak dengan menjadi stasiun televisi berita pertama di Indonesia, dan Global Tv, yang hanya menayangkan program musik, yang diambil dari MTV Asia.

Program benta di sebuah stasiun televisi, sebenarnya merupakan salahsatu program yang dijadikan andalan bagi semua stasiun televisi, karena dapat mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit bagi perusahaan. Kendati bukanlah dijadikan sebagai acara utama, dan dipasang pada jam jam tayangan utama (prime time), namun beberapa stasiun televisi, menayangkan berita, justru pada jam tayang utama.

Seluruh program berita kriminal ini, rata-rata memiiiki rating yang tinggi untuk kategori program berita, terutama program kriminal Patroli dan Buser. Dengan tingginya rating yang dimiliki, tentunya membuat program ini semakin menghasilkan pendapatan bagi stasiun televisi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dengan banyaknya program kriminal yang ada, maka akan membuat persaingan antara satu televisi dengan stasiun televisi lainnya. Masing-masing program kriminal ini tentunya dituntut oleh pemilik perusahaan, dan para share holder, untuk mempertahankan rating yang telah dicapainya, agar pendapatan yang didapat dari iklan akan terus bertambah, karena tingginya rating yang didapat oleh sebuah program acara, tentunya menentukan harga iklan (rate card) di sebuah stasiun televisi. Banyaknya program serupa inilah yang akhirnya menimbulkan persaingan atau kompetisi antar stasiun televisi, dalam memperebutkan pasar audience (audience share) dan perebutan slot iklan.

Berbagai strategi dilakukan oleh stasiun televisi ini untuk meperoleh rating dan pendapatan yang baik. Strategi yang dibuat mulai dari penempatan jam tayang yang tepat, hingga penempatan acara yang diperkirakan memperoleh rating tinggi, dijadikan sebagai alat agar acara yang dibuat dapat bersaing. Untuk Buser SCTV misalnya, sebelum tayangan Buser, pihak programming menyiarkan acara infotainment yang memang sangat digemari dan mendapatkan rating yang tinggi.

Untuk menentukan harga rate card iklan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jam tayang program, jenis program, rating yang didapat oleh program, dan juga harga rate card program sejenis di stsiun televisi lain. Khusus untuk tayangan berita memang sedikit berbeda dengan tayangan yang bersifat hiburan. Hal ini lebih dikarenakan tayangan berita lebih mencerminkan image stasiun televisi dibandingkan tayangan hiburan. Seburuk apapun rating yang diperoleh tayangan berita, tetap saja tayangan berita dipertahankan oleh stasiun televisi yang bersangkutan. Selain itu pendapatan yang diperoleh sebuah tayangan berita, termasuk tayangan berita kriminal, tidak terpengaruh dari besarnya rating. Dengan rating yang tidak tinggi, pemsukan yang didapat dari sebuah tayangan berita tidak akan berbeda jauh.

Kerjasama yang sangat baik haruslah dibina antar departemen yang bersangkutan, selain tentunya kerjasama di dalam departemen yang sama juga harus ditingkatkan. Rapat koordinasi dengan departemen-departemen terkait khususnya programming dan departemen sales dan marketing harus dilakukan secara kontinue dan berkesinambungan, agar mutu acara dan pendapatan perusahaan dari program yang bersangkutan dapat terkontrol dengan baik.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tatang Sahibul Falah
Abstrak :
ABSTRAK
Program Perbaikan Gizi telah berkembang dengan pesat, baik dilihat dari cakupannya maupun luasnya jangkauan program tersebut. Pada Pelita V, kebijaksanaan program ini ditekankan pada peningkatan kualitas program. Dengan demikian diperlukan suatu manajemen program yang baik, termasuk perencanaan program yang lebih baik pula.

Berdasarkan mekanisme perencanaan "bawah atas" (bottom up planning), Dati II dituntut untuk lebih berperan dalam siklus perencanaan Nasional. Masukan dari Dati II menjadi penting bagi perencanaan Provinsi dan Tingkat Pusat. Sebagai suatu sistem, maka kualitas usulan rencana dari Dati II akan mempengaruhi kualitas usulan rencana keseluruhan secara Nasional.

Permasalahan yang dihadapi dalam bidang perencanaan Program Perbaikan Gizi adalah kurang baiknya kualitas usulan rencana tanunan program tersebut pada Daerah Tingkat II.

Memandang perencanaan sebagai suatu sistem, maka kualitas usulan rencana tahunan program sebagai output perencanaan akan dipengaruhi oleh faktor input dan faktor proses. Adapun faktor input tersebut adalah Struktur Organisasi Perencanaan, Kemampuan Tenaga Perencana, Ketersediaan Informasi, Adanya Petunjuk Pelaksanaan, Tersedianya Waktu dan Jadwal Perencanaan serta Tersedianya Dana dan Fasilitas untuk perencanaan. Sedangkan faktor proses adalah Koordinasi Perencanaan, Pendelegasian Wewenang, Bimbingan Perencanaan, Keterlibatan Staf dan Pelaksana Program serta Penggunaan Metode Perencanaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Faktor Input dengan Proses penyusunan rencana tahunan Program Perbaikan Gizi Dati II, serta hubungan Faktor Proses dengan Kualitas usulan rencana tahunan Program Perbaikan Gizi Dati II.

Penelitian ini merupakan survei deskriptif dan analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di 9 Dati II Provinsi Jawa Timur. Provinsi tersebut dipilih karena mempunyai Program Perbaikan Gizi yang cukup lengkap dari segi penanggulangan masalah gizi maupun dari segi jenis sumber pembiayaan yang meliputi APBN, APBD maupun APBD II.

Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa Siklus Perencanaan tahunan Program Perbaikan Gizi Dati II Provinsi Jatim, mengikuti siklus perencanaan tahunan kesehatan yang telah diatur dan dibakukan. Namun berjalannya siklus ini tergantung dari berfungsi tidaknya Tim Perencana dalam menjalankan mekanisme kerja proses penyusunan usulan rencana tahunan tersebut. Walaupun siklus perencanaan tahunan kesehatan telah dibakukan.. tetapi masih belum sinkron sepenuhnya dengan siklus perencanaan pembangunan di Dati II. Keadaan ini ditunjukkan oleh ketidaksesuaian antara batas waktu penyelesaian dokumen usulan rencana tahunan kesehatan dengan diselenggarakannya Rakorbang Tk II. Rakorbang dilakukan lebih awal dibandingkan dengan selesainya dokumen usulan rencana tahunan kesehatan. Sedangkan dokumen tersebut merupakan bahan pembahasan dalam Rakorbang Tk II, yang dibahas dalam Rakorbang baru merupakan Dokumen Pra usulan yang datangnya dari Tk Kecamatan, dimana Pra Usulan tersebut belum sempat dibahas oleh Tim Perencana Kesehatan.

Wadah organisasi Perencanaan, dalam bentuk Tim Perencana yang bersifat fungsional, kurang dapat menampung fungsi dan beban tugas perencanaan. Keadaan ini diperburuk lagi dengan tidak adanya kejelasan mekanisme kerja Tim dan uaraian tugas masing-masing anggota Tim serta ketidak jelasan mengenai sumber pembiayaan untuk proses penyusunan rencana tersebut. Selain itu belum jelasnya petunjuk pelaksanaan penyusunan rencana tahunan dan informasi mengenai dasar penentuan kegiatan yang dibiayai dari APBN, APBD dan Bantuan Luarnegeri tidak jelas kriterianya. Hal ini menyebabkan Tim Perencana membuat usulan kegiatan-kegiatan yang sama dengan tahun yang lalu. Namun demikian ketersediaan informasi untuk penyusunan analisis situasi telah tersedia di sebagian besar Dati II.

Tingkat Pengetahuan Sikap dan Praktek (PSP) yang berkaitan dengan perencanaan dari Tim Perencanaan menunjukkan perlunya peningkatan. 22,2% Tim dengan katagori baik, 44,5% katagori cukup dan 33,3% dengan katagori kurang. Hal ini berkaitan dengan kurang memadainya bimbingan perencanaan dari tingkat provinsi maupun dari Pemda Tk II.

Koordinasi perencanaan Program Perbaikan Gizi secara lintas program terutama dengan program yang akan dilaksanakan di Posyandu, telah dilaksanakan oleh sebagian besar Tim. 33,3% Tim belum melakukan koordinasi tersebut. Hal ini berkaitan dengan belum baiknya fungsi dan mekanisme kerja dari Tim Perencanaan. Sedangkan koordinasi perencanaan secara lintas sektoral yang merupakan ciri dari Program Perbaikan Gizi, belum berjalan sebagai mana mestinya. Forum koordinasi seperti Rakorbang TK II dan Rapat Badan Pelaksana Perbaikan Gizi Daerah (BP2GD), belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk Koordinasi lintas sektoral perencanaan tahunan Program Perbaikan Gizi. Keterpaduan lintas sektoral baru tercermin pada tahap keterpaduan perencanaan operasional kegiatan. Hal ini dilakukan setelah masing-masing program atau sektor menerima DIP/anggarannya.

Faktor input : Struktur Organisasi Perencanaan, Pengetahuan, Sikap dan Praktek (PSP) Tim Perencana, Ketersediaan Informasi, Kejelasan Petunjuk Pelaksanaan serta Tersedianya Waktu dan Jadwal Perencanaan mempunyai hubungan yang erat dengan Proses penyusunan rencana tahunan Program Perbaikan Gizi Dati II.

Faktor PSP Tim Perencanaan serta Ketersediaan Informasi Perencanaan merupakan dua Faktor Input yang hubungannya paling erat dengan Proses penyusunan rencana tahunan Program Perbaikan Gizi Dati II.

Kelima Faktor Proses yaitu Koordinasi Perencanaan, Pendelegasian Wewenang, Bimbingan Perencanaan, Keterlibatan Staf dan Pelaksana Program dan Penggunaan Metoda Perencanaan mempunyai hubungan yang erat dengan Kualitas usulan rencana tahunan Program Perbaikan Gizi Dati II.

Faktor Penggunaan Metoda Perencanaan dan Bimbingan Perencanaan merupakan dua Faktor Proses yang hubungannya paling erat dengan Kualitas usulan rencana tahunan Program Perbaikan Gizi Dati II.

Implikasi dari penelitian ini adalah perlunya upaya-upaya untuk meningkatkan fungsi perencanaan di Instansi Kesehatan Dati II. Upaya tersebut antara lain memperjelas uaraian tugas dan mekanisme kerja Tim yang dikaitkan dengan Surat Keputusan pembentukan Tim tersebut. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan dibidang perencanaan bagi Tim Perencana dan Koordinator Gizi melalui bimbingan perencanaan. Perlunya disusun Juklak Penyusunan Rencana Tahunan yang dapat dimengerti oleh Tim Perencana. Dalam penyusunan ini sebaiknya melibatkan/dibahas bersama Tim tersebut dalam forum konsultasi yang ada. Ketersediaan Informasi perencanaan perlu ditingkatkan terutama yang menyangkut kriteria penentuan anggaran dan kegiatan yang dapat dibiayai dani APBN, APBD I, APBD II dan Bantuan Luar Negeri. Selanjutnya untuk waktu jangka panjang perlu pemikiran lebih lanjut mengenai pembentukan Unit Perencanaan dalam bentuk struktural di Dinas Kesehatan maupun di KanDepKes Dati II, untuk menampung fungsi dan tugas perencanaan yang bebannya semakin berat serta adanya kebijaksanaan Pemerintah untuk memberikan otonomi yang lebih besar dibidang kesehatan pada Dati I.I.

Diperlukan peningkatan Koordinasi perencanaan lintas program dan lintas sektoral, dengan lebih memfungsikan forum koordinasi yang telah ada seperti Rapat Tim Perencanaan, RakerKesDa, Pertemuan Konsultasi Koordinator Gizi. Rakorbang Tk II dan Rapat BP2GD.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heroe Sunarko
Abstrak :
Elemen yang penting dari manajemen suatu program adalah supervisi. Tanpa adanya supervisi sangat sulit kiranya obyektif suatu program dapat dicapai secara efisien dan efektif. Dalam pelaksanaan kegiatan UPGK di posyandu, pengetahuan dan keterampilan kader dipegaruhi oleh pembinaan dan bimbingan yang dilakukan oleh petugas puskesmas (TPG) pada waktu datang melakukan supervisi ke posyandu. Tetapi kenyataannya pelaksanaan kegiatan UPGK tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh TPG, namun sejauh ini belum banyak diketahui bagaimana pelaksanaan supervisi UPGK yang sebenarnya. Adanya gambaran tentang pelaksanaan kegiatan supervisi UPGK yang dilakukan oleh TPG dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, adalah merupakan tujuan umum dari penelitian ini. Sedangkan tujuan khususnya adalah diperolehnya gambaran tentang pelaksanaan kegiatan supervisi UPGK yang dilakukan oleh TPG di puskesmas, gambaran tentang karakteristik TPG dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi pelaksanaan supervisi UPGK tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh TPG di 4 puskesmas sebanyak 16 kali pengamatan, dan wawancara mendalam (Focus Group Discussion) dengan TPG di 12 puskesmas di Kabupaten Bekasi. Hasil penelitian adalah didapatnya gambaran tentang pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh TPG, dimana jika ditinjau dari perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan dan tindakan yang dilakukannya, maka supervisi UPGK belum berfungsi sebagai upaya untuk pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap kader di posyandu. Kegiatannya lebih banyak membantu dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain karakteristik TPG, sarana, dana, pedoman supervisi dan faktor-faktor yang menghambat lainnya. Namun demikian pelaksanaan supervisi masih bisa berjalan karena adanya faktor-faktor yang mendorong. Saran yang diberikan, antara lain perlu peningkatan pengetahuan dan kemampuan TPG akan program TPGK, peningkatan sistem pengelolaan sarana, adanya pedoman supervisi yang operasional, menekankan akan pentingnya kegiatan supervisi terhadap keberhasilan suatu program, memanfaatkan forum-forum pertemuan yang ada untuk memberikan informasi tentang UPGK, pentingnya keterlibatan sektor lain yang terkait, dan himbauan kepada setiap petugas yang melakukan supervisi ke posyandu agar tidak mementingkan kegiatan salah satu program prioritas saja, tetapi juga program lainnya perlu mendapat perhatian yang sama. Saran lainnya adalah contoh model supervisi dan "check list" supervisi yang mungkin bisa digunakan dan perlu dilakukan uji coba terlebih dahulu. Akhirnya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pelaksanaan supervisi TPGK dan faktor-faktor lain diluar faktor-faktor yang telah diamati secara kuantitatif.
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syofia Dasmauli
Abstrak :
Sampai saat ini efektivitas dan pemanfaatan dana yang terbatas masih menjadi masalah di sebagian besar Kabupaten/Kota di Indonesia, padahal hampir semua daerah menetapkan kesehatan sebagai salah satu program prioritas. Pemberlakuan Otonomi Daerah memberi peluang kepada Daerah untuk menyusun perencanaan, dan pengalokasian anggaran dilingkungan Pemda masing-masing. Peran dan komitmen policymakers sebagai pengambil kebijakan sangat besar dalam menentukan arah pembangunan dan pengalokasian anggaran bersumber dari Pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas anggaran program prioritas, Dinas Kesehatan bersumber Pemerintah di Kota Bukittinggi tahun 2004. Penelitian ini juga untuk melihat Komitmen policymakers dalam menetapkan anggaran program prioritas Kesehatan. Penelitian ini adalah penelitian dekriptif pendekatan kualitatif, analisis data sekunder dengan cars telaah dokumen, sedangkan data primer dianalisa dengan cara analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan di Kota Bukittinggi tahun 2004 masih rendah yaitu 2,75% dari APBD Kota setara dengan Rp. 46.755,- per kapita per tahun. Sedangkan pembiayaan kesehatan dari berbagai sumber Pemerintah adalah 4,2% total APBD Kota Bukittinggi setara dengan Rp.70.740,- per kapita per tahun. Alokasi anggaran dari berbagai sumber untuk program prioritas kesehatan adalah Rp.123.801.284,- setara dengan 4,2% APBD Kesehatan, setara pula dengan 0,17% dari total APBD Kota Bukittinggi, dengan biaya kesehatan perkapita Rp.2,826, per tahun. Kebutuhan menurut standar World Bank dalam proyek PHP II dengan Inflasi tahun 2004 sebesar 6,89% adalah Rp.57.788,-untuk Program esensial, sedangkan untuk program prioritas kebutuhan normatifnya adalah Rp. 25.723,- terjadi gap yang besar antara alokasi dan kebutuhan biaya kesehatan. Sementara Alokasi anggaran Program prioritas dari APBD Kota Bukittinggi adalah Rp. 80.098.000,- setara dengan biaya kesehatan per kapita Rp.799,- per tahun. Efektifitas dari pengalokasian anggaran program prioritas kesehatan tersebut dihubungkan dengan Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Indikator Standar Pelayanan Minimun Bidang Kesehatan memperlihatkan hasil tidak optimal dalam pencapaian target. Komitmen para pengambil kebijakan (policymakers) dalam pengalokasian dana untuk program perioritas kesehatan baru sebatas memahami namun tidak kuat komitmennya dalam penerapan pengalokasian dana. Agar pengalokasian dana pembiayaan kesehatan mempertimbangkan dan menghubungkan dengan penetapan program prioritas sesuai visi, misi dan renstra kota. Divas Kesehatan Kota Bukittinggi fokus ke program prioritas dan meningkatkan advokasi, sosialisasi dan penyusunan program lebih mempertimbangkan manfaat dan dampak bagi kesehatan masyarakat.
Up to now, the effectiveness and the utilization of limited budget are still a problem in most of the regency/city in Indonesia, while almost every region maintains health as one of its priority programs. The imposition of regional autonomy provides an opportunity for regions to design their planning and allocate the budget in their respective regional government. The role and commitment of the policymakers are very significant in determining the course of development and the allocation of budget derived from the government. This research aims to see the effectiveness of budget derived from government for priority programs of Health Office in Bukittinggi in 2004 and the commitment of policymakers in stipulating budget of health priority program. This descriptive research uses qualitative approach. The secondary data were analyzed by documentary study and the primary data were analyzed by content analysis. The results show that health financing in Bukittinggi in 2004 is still low, namely 2.75% of Regional Revenues and Expenditures Budget {APBD) equal to Rp 46,755,- per capita per year. Meanwhile, health financing from many governmental sources is 4.2% of total APBD of Bukittinggi which is equal to Rp 70,740,- per capita per year. The budget from many sources for health priority program is Rp 283,559,984- equal to 4% of APBD for health. This amount is also equal to 0.17% of total Bukittinggi's APBD, namely Rp 2,826,- of health financing per capita per year. The need according to World Bank standard in PHP II project by inflation of 6.89% in 2004 is Rp 57,788,- for essential programs, whereas for priority program normatively the need is Rp 25,723,-. Thus, there is a big gap between the allocation and the need of health financing. The budget of priority program from Bukittinggi's APBD is Rp 80,098,000,-equal to health financing of Rp 799,- per year. The effectiveness of budget allocation of the health priority programs connected with the indicators of Healthy Indonesia by 2010 and the indicators of Minimum Services Standard in Health indicates that the result is not optimum in achieving the target. The commitment of the policymakers in budget allocation for health priority program is just limited to understand and the commitments is not consisten in implementing the allocation. In order that health financing considers and has connection with the stipulation of priority program vision and mission and the city strategic plan, Health Office of Bukittinggi has to focus on the priority program and enhance the advocacy, dissemination. Beside, in designing the program it has to consider more the benefit and the impact of the program to people.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19335
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Cahyanto
Abstrak :
Tesis ini merupakan penelitian evaluasi sumatif Program Penguatan PUK di Solo dengan pendekatan kuantitatif. Tujuannya yaitu mengukur indikator outcome dan menganalisis faktor faktor yang memengaruhi pencapaian outcome berdasarkan aspek process dan input. Analisis dilakukan dengan cara univariat dan bivariat dengan tabel silang Chi Square dan Tau Kendall. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator outcome belum tercapai. Faktor faktor dalam aspek proses yang memengaruhi outcome yaitu kemampuan identifikasi dan mengatasi masalah kualitas produksi volume usaha inovasi usaha laba pameran serta keikutsertaan dalam pelatihan. Faktor input yang memengaruhi outcome yaitu usia dan pendidikan responden.
This thesis is a study summative evaluation PUK Strengthening Program in Solo with a quantitative approach. The goal is to measure outcome indicators and analyzes the factors that influence the achievement of outcomes based on aspects of the process and input. The analysis was done by means of univariate and bivariate with cross table Chi Square and Kendall Tau. The results showed that the outcome indicators has not been achieved. Factors that influence the outcome of the process aspect are ability to identify and solve problems quality of production volume of business business innovation profit exhibitions as well as participation in training Input factors affecting outcome that is age and education of respondents.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T32794
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>