Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ika Agustina
Abstrak :
Pelepah sawit merupakan salah satu limbah lignoselulosa tanaman sawit yang jumlahnya cukup melimpah dan mengandung komponen lignin, selulosa, dan hemiselulosa yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku/substrat yang digunakan untuk pembuatan selulase, sehingga memiliki nilai ekonomi dan ramah lingkungan. Sebelum lignoselulosa digunakan sebagai substrat perlu dilakukan minimalisasi kadar ligninnya dengan menggunakan pretreatment kimia basa dengan menggunakan NaOH 2% dan juga digunakan pelepah sawit serbuk sebagai kontrol. Jamur yang digunakan adalah Trichoderma sp. strain T004 dan T051, jamur ini merupakan penghasil enzim selulase yang berfungsi menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Karakteristik enzim selulase berdasarkan mekanisme hidolisis ada tiga jenis, yaitu endoglukanase, exoglukanase dan glukosidase. Hasil aktivitas enzim dengan menggunakan substrat pelepah sawit yang didelignifikasi basa untuk jamur T004 lebih tinggi 59.79% dibandingkan dengan pelepah sawit tanpa delignifikasi, sedangkan untuk jamur T051 menghasilkan aktivitas 47.06% lebih tinggi dibandingkan pelepah sawit tanpa delignifikasi. Variasi substrat yang memberikan unit aktivitas optimum pada jamur T004 adalah dengan perbandingan sumber nitrogen dan glukosa tambahan sebesar 1:2 pada substrat uji aktivitas CMC 1% sebesar 0.1663 U/ml dan pada jamur T051 dengan perbandingan N:C=1:1 sebesar 0.1145 U/ml pada substrat uji aktivitas CMC 1%, keduanya pada substrat pelepah sawit hasil delignifikasi basa. Definisi satu unit aktivitas adalah 1 µmol glukosa yang dihasilkan permenit pada pH 5 dan suhu 300C. ......Palm fond is one of lignocellulosic waste oil plant which is quite abundant and contain components of lignin, cellulose and hemicellulose that can be used as raw materials / substrates used for the manufacture of cellulase, so it has economic value and environmental friendliness. Before the lignocellulose is used as the substrate is necessary to minimize the levels of lignin using alkaline chemical pretreatment using 2% NaOH and palm frond powder is also used as controls. Fungi used were Trichoderma sp. strains T004 and T051, this fungus is a producer of cellulase enzymes that hydrolyze cellulose into glucose. Characteristics of cellulase enzymes based on mechanism of hydrolyze, there are three types, namely endoglucanase, exoglucanase and glucosidase. The results of enzyme activity by using substrates that palm frond pretreatment base for strain T004 is 59.79% higher compared to palm midrib without delignification, while for T051 fungi produce 47.06% higher activity than the palm midrib without delignification. Variation of substrate to give optimum unit activity in the strain T004 is by comparison a nitrogen source and glucose supplement of 1:2 on the activity of the test substrate CMC 1% of 0.1663 U/mL and in strain T051 with a ratio N:C = 1:1 at 0.1145 U/mL in substrate activity assay CMC 1%, both on a substrate of alkaline delignification of palm frond. Definition of one unit of activity is 1 µmol of glucose produced per minute at pH 5 and temperature of 300C.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S347
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Latifah Nur Hidayah Rochmah
Abstrak :
Lignoselulosa merupakan sumber biomassa yang melimpah, namun belum banyak dimanfaatkan. Sumber lignoselulosa yang keberadaanya cukup melimpah di Indonesia salah satunya adalah limbah kayu mahoni. Selulosa sebagai salah satu komponen utama lignoselulosa limbah kayu mahoni berpotensi dikonversi menjadi asam levulinat, yang merupakan salah satu platform chemical. Konversi selulosa limbah kayu mahoni menjadi asam levulinat dilakukan dengan mereaksikan selulosa dalam kondisi asam, dengan bantuan katalis heterogen Mn/ZSM-5 mesopori dan reagen mirip fenton. Oleh karena itu, peneliti melakukan studi optimasi reaksi konversi selulosa hasil delignifikasi limbah kayu mahoni menjadi asam levulinat. Kandungan lignin limbah kayu mahoni diturunkan melalui pretreatment secara bertahap: (1) delignifikasi dengan alkali NaOH dan (2) delignifikasi oksidatif dengan NaOCl. Pretreatment dengan NaOH berhasil menurunkan kadar lignin dari 31,82% menjadi 15,58%, dan dengan NaOCl kadar lignin turun lingga 6,4%. Reaksi konversi selulosa dari limbah kayu mahoni dilakukan dengan katalis heterogen Mn/ZSM-5 mesopori dalam sistem mirip fenton. Selulosa melalui dua tahap reaksi agar dapat memproduksi asam levulinat, yaitu hidrolisis menjadi glukosa dan didehidrasi menjadi asam levulinat. Mesoporisitas katalis Mn/ZSM-5 cukup selektif memproduksi asam levulinat karena tidak dihasilkan produk intermediet HMF. Konsentrasi H3PO4 dan H2O2 yang paling optimum yaitu 40% dan 30% secara berturut-turut, dengan % konversi selulosa kayu mahoni menjadi asam levulinat yaitu 1,89% pada jam ke-8 pada optimasi untuk H3PO4 dan % konversi α-selulosa menjadi asam levulinat pada optimasi H2O2 yaitu 2,44%. ...... Lignocelluloses is one of biomass source abundance on earth. One of the most abundance lignocelluloses source in Indonesia is mahogany waste wood. Cellulose as the main content of mahogany waste wood can be converted into levulinic acid that has been known as platform chemical. Cellulose from mahogany waste wood into levulinic acid is performed in acidic condition, with mesoporous Mn/ZSM-5 catalyst and fenton-like reagent Therefore, it is important to know the optimization reaction of delignified cellulose conversion from mahogany waste wood into levulinic acid. Lignin constituent within mahogany waste wood is decreased by two steps pretreatment: (1) delignification by alkaline NaOH and (2) oxidative delignification using NaOCl. Alkaline pretreatment and NaOCl pretreatment reduced lignin into 15,58% (%wt), and 6,4% (%wt) respectively from its original level of 31,82%. Reaction held with heterogenous Mn/ZSM-5 catalyst in fenton-like system. Cellulose conversion occur in two steps: hydrolysis of cellulose into glucose and dehydration of glucose into levulinic acid. Mesoporpus catalyst Mn/ZSM-5 is proven to be selective catalyst, because there is no intermediate product of HMF. H3PO4 and H2O2 concentration to produce optimum conversion are 40% and 30% respectively, with % conversion of cellulose of mahogany waste wood into levulinic acid are 18,89% and 24,51% using optimization of H3PO4 and H2O2 respectively.
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S56681
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okky Intan Rakhmani
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian akan karakterisasi dan pemanfaatan mikrofibril selulosa sebagai material baru telah banyak menarik perhatian. Pemberaian selulosa dari serat alam terdapat permasalahan bagaimana menghilangkan daerah amorf seperti lignin, dan hemiselulosa yang mempunyai ikatan yang sangat kuat satu sama lain antar dinding sel yang menyelimutinya melalui jaringan kedua ikatannya. Metode yang digunakan untuk mensintesis mikro fiber selolosa adalah dengan perlakuan kimiawi, seperti proses pemutihan menggunakan larutan natrium hipoklorit (NaClO), oksidasi dengan menggunakan larutan asam sulfat (H2SO4) dan katalis 2,2,6,6-tetramethylpiperidin-1-oxyl (TEMPO). Serat tanaman bambu betung (Dendrocalamus Asper) menjadi salah satu sumber yang sangat potensial untuk diolah sebagai bahan baku Green Composite. Bambu betung merupakan jenis tanaman yang sangatlah melimpah ketersediannya sehingga mudah di temukan di Indonesia. Jenis tanaman ini memiliki sifat mekanik yang baik yaitu kekuatan tarik, elongasi, serta modulus young nya. Selain itu, densitas dari serat bambu juga sangat rendah. Kondisi serat paling bagus pada proses pemutihan yaitu pada konsentrasi pelarut 7% NaClO sedangkan proses TEMPO pada Temperatur 50oC dan waktu 6 jam. Kondisi optimum proses pemutihan diperoleh pada konsentrasi NaClO 7% yang dilakukan siklus hingga lima kali. Dan kondisi optimum proses oksidasi diperoleh pada konsentrasi NaClO 7% yang dilakukan siklus hingga lima kali dan dilanjutkan dengan prosesoksidasi (H2SO4 25%).
ABSTRAK
Research about characterization and utilization of cellulose has gained attention. Currently betung bamboo is considered as having great potential to be used as green composite raw material. In Indonesia, betung bamboo is an abundant plant species so it is easy to find one. This kind of plant exhibits excellent mechanical properties such as tensile strength, elongation and young modulus. Also, it has a relatively low density. There are some problems regarding seperation of cellulose from natural fibre, such as how to remove lignin and hemicelluloses amorphous region which are linked with a very strong bond to the enveloping cell wall. Micro fibril used in this research is chemical treatment by bleaching using sodium hypochlorite (NaClO), oxidation using sulfuric acid (H2SO4) and catalyzed by 2,2,6,6-tetramethylpiperidin-1-oxyl (TEMPO). In Bleaching method, finest fiber is obtained with 7% concentration of NaClO while in oxidation method, finest fibre is obtained with 50oC in 6 hours. Optimum condition of bleaching process is obtained at NaClO concentration of 7% in five cycles while optimum condition of oxidation is obtained at NaClO concentration of 7% in five cycles and subsequent oxidation with H2SO425%.
2015
S60283
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Syafaat
Abstrak :
ABSTRAK
Kampus Universitas Indonesia Depok banyak terdapat pepohonan, dimana setiap harinya banyak menghasilkan sampah daun kering. Sampah ini berpotensi untuk di transformasikan menjadi bioetanol. Sampah daun kering merupakan bahan berlignoselulosa yang terdiri dari lignin, hemiselulosa dan selulosa. Proses produksi bioetanol dari bahan lignoselulosa adalah perlakuan awal, Hidrolisis, Fermentasi dan Distilasi. Pada Penelitian ini, perlakuan awal menggunakan perendaman dengan amoniak selama 24 jam mengunakan suhu ruang. Kondisi dengan kadar etanol terbesar adalah 35 ?C selama 72 jam dengan pH 5. Adapun kondisi lingkungan tersebut dapat menghasilkan kadar etanol terbesar dengan jumlah mikroorganisme masing-masing sebesar 10 , yaitu Zymomonas Mobilis dan 10 dan Trichoderma Viride 10 , kadar etanol yang dihasilkan dengan kondisi tersebut adalah sebesar 0.7721.
ABSTRACT
University of Indonesia Depok there are many trees, where every day produce dry waste leaves. This waste has potential to be transformed into bioethanol. This raw material called as lignocellulosic material consisting of lignin, hemicellulose and cellulose. The process of bioethanol production from lignocellulosic material is pretreatment, hydrolysis, fermentation and distillation. In this study, the pretreatment used ammonia for 24 hours with room temperature. The condition with the high ethanol is 35 for 72 hours with pH 5. The conditions it can produce the high ethanol with amount of microorganisms is 10 . Zymomonas Mobilis 10 and Trichoderma Viride 10 , the ethanol produced is 0.7721 .
2017
T48712
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margareta Novia Asih Christami
Abstrak :
GEPEA is a laboratory whose vision to bring development in process engineering, especially in bioresources and ecotechnology. This purpose brings the realization that the need for fuel from renewable energy sources is increasing as the world’s awareness of the environmental impact. Ulva algae and water hyacinth are aquatic feedstocks that still has a low interest in being the energy resource but really abundant in surface water invasion. Ulva algae and water hyacinth exist as environmental nuisance by the impact of agricultural fertilizer utilization, meanwhile the sugar beet pulp abundancy exists in correspondent of high amount sugar production from European Union, the cassava peel waste is very abundant due to high production in the tropical country, and the olive pomace quantity equals to huge production in the Mediterranean land. Bioethanol yield from the by-product of the agricultural production process that contains hemicellulose is called second-generation bioethanol production. This study aims to detect the bioethanol production potential comparison of Ulva lactuca, sugar beet pulp, cassava peels, water hyacinth, and olive pomace. By Wet Oxidation pretreatment at 125℃ in 45 mins and 130℃ in 75 mins, it is found that the carbohydrates yielded by the process are Olive Pomace < Water Hyacinth < Ulva Algae < Cassava Peels < Sugar Beet Pulp. This process then continued with microbial cultivation using filamentous fungi, Neurospora intermedia; and yeast, Saccharomyces cerevisiae. Bioethanol extraction process shows that we can have value-added products in the form of bioethanol and biomass production from abundant second-generation feedstocks. ......GEPEA merupakan laboratorium dengan visi memajukan dalam rekayasa proses, khususnya dalam bioresources dan ekoteknologi. Tujuan ini membawa kesadaran bahwa kebutuhan bahan bakal dari sumber energi terbarukan semakin meningkat seiring kesadaran dunia akan dampak lingkungan. Ganggang Ulva dan eceng gondok bersumber dari akuatik yang masih memiliki minat rendah untuk menjadi sumber energi, namun sangat berlimpah menginvasi permukaan air. Kedua material tersebut merupakan gangguan lingkungan sebagai akibat penggunaan pupuk dari kegiatan pertanian. Masalah kelimpahan juga terjadi pada limbah agrikutural dimana ampas gula bit mengimbangi tingginya jumlah produksi gula di Uni Eropa, ampas kulit singkong mengimbangi tingginya produksi singkong di negara-negara tropis, dan ampas minyak zaitun dari produksi besar di tanah Mediterania. Produksi bioethanol dari produk sampingan proses agrikultur yang mengandung hemiselulosa tersebut biasa dinamakan produksi bioethanol generasi kedua. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi perbandingan potensi produksi bioethanol dari Ulva lactuca, ampas gula bit, kulit singkong, eceng gondok, dan ampas zaitun. Dengan pretreatment Wet Oxidation pada 125℃ dalam 45 menit dan 130℃ dalam 75 menit, ditemukan bahwa karbohidrat hasil proses tesebut secara berurutan adalah ampas zaitun < eceng gondok < Ulva algae < kulit singkong < ampas gula bit. Proses ini kemudian dilanjutkan dengan kultivasi mikroba menggunakan jamur berfilamen, Neurospora intermedia; dan ragi Saccharomices cerevisiae. Proses ekstraksi bioethanol menunjukkan bahwa produk bernilai tambah dapat dihasilkan dalam bentuk produksi bioethanol dan biomassa dari pemanfaatan kelimbahan bahan baku generasi kedua.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T54711
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Nur Ramadhani
Abstrak :
Konversi biomassa lignoselulosa menjadi senyawaan fenolik dan vanillin perlu dioptimasi. Pada studi kali ini, proses konversi senyawa model lignin diphenyl ether (DPE) dan lignin tandan kosong kelapa sawit (TKKS) melibatkan katalis bifungsional untuk mencapai reaksi konversi satu tahap secara simultan pada kondisi reaksi yang mild dengan yield produk yang tinggi. Katalis yang digunakan dalam konversi ini adalah zeolit ​​ZSM-5 hierarki dan turunannya yang terimpregnasi kobalt oksida dan molibdenum oksida. Zeolit ​​​​ZSM-5 disintesis menggunakan prekursor pro-analitik dan prekursor alternatif dari sumber daya alam, yaitu zeolit ​​alam Bayat dan kaolin. Struktur kristal dan sifat fisikokimia katalis ditentukan dengan berbagai teknik karakterisasi seperti XRD, FTIR, SEM-EDX, XRF, SAA dan TPD-NH3. Hasil aktivitas katalitik terhadap substrat DPE menunjukkan yield tertinggi produk fenol sebesar 33.32% dan 31.96% masing-masing pada suhu 250 °C dengan menggunakan katalis Mo/ZSM-5 (s) dan Mo/HZSM-5 (a) sedangkan yield vanilin tertinggi sebesar 7.53% pada 250 °C dan 7.63% pada 200 °C menggunakan Mo/HZSM-5(s) dan Mo/HZSM-5(a), berurutan. Dan terhadap substrat TKKS, yield fenol tertinggi sebesar 22.88% pada suhu 250 °C dan 20.11% pada suhu 200 °C dengan katalis Mo/HZSM-5 (s) dan Mo/HZSM-5 (a), sedangkan untuk yield vanilin tertinggi sebesar 6.91% dan 2.73% masing – masing pada suhu 200 °C dan 250 °C menggunakan katalis Mo/ZSM-5 (s) dan katalis Mo/HZSM-5 (a), secara berurutan. Dari karakter masing – masing katalis, dominasi asam lemah di atas 40% serta ukuran mesoporositas di atas 9 nm menunjukkan aktivitas katalitik terbaik pada reaksi konversi lignin dengan temperatur yang rendah. ......The conversion of lignocellulose biomass to value-added chemicals is challenging. In this research, the conversion process of lignin from Oil Palm Empty Fruit Bunches (OPEFB) and lignin model compound Diphenyl Ether (DPE) to phenolic and vanillin compounds involved a bifunctional catalyst in reaching the simultaneous one-pot reaction in mild conditions with high yield product. The catalysts used in this conversion are hierarchical ZSM-5 zeolites and their cobalt oxide and molybdenum oxide impregnated derivate. The ZSM-5 zeolites were synthesized using pro-analytic precursors and alternative precursors from natural resources, i.e., Indonesian natural zeolite and kaolin. The crystalline structure and catalyst’s physicochemical properties were determined with various characterization methods such as XRD, FTIR, SEM-EDX, XRF, SAA, and NH3-TPD. The catalytic activity on DPE substrates showed the highest phenol product was 33.32% and 31.96% at 250 0C using Mo/ZSM-5 (s) and Mo/HZSM-5 (a), respectively, while the highest yield of vanillin was 7.53 % at 2500C and 7.63% at 2000C using Mo/HZSM-5(s) and Mo/HZSM-5(a), respectively. Furthermore, for OPEFB substrate, the highest phenol yield was 22.88% at 2500C and 20.11% at 2000C with Mo/HZSM-5 (s) and Mo/HZSM-5 (a), while the highest vanillin yield was 6.91%. and 2.73% at 2000C using Mo/ZSM-5 (s) and at 2500C over Mo/HZSM-5 (a), respectively. A study of the correlation between the physicochemical properties and the catalytic activity shows the dominance of weak acid above 40% and mesoporosity size above 9 nm giving the best catalytic activity in low-temperature reactions.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faizatul Falah
Abstrak :
Pemanfaatan beton dan mortar sebagai bahan untuk konstruksi jalan semakin meningkat. Tetapi dalam pelaksanaannya memerlukan waktu pengerasan yang lama sehingga menyebabkan timbulnya masalah diantaranya kemacetan jalan. Untuk itu perlu adanya aditif (bahan tambahan) yang dapat mempersingkat waktu pengerasan mortar. Bahan berlignoselulosa diantaranya tandan kosong kelapa sawit (tkks) semakin banyak diupayakan sebagai bahan baku bioetanol generasi kedua. Pretreatment bahan berlignoselulosa untuk memisahkan lignin dari selulosa dan hemiselulosa dapat dilakukan dengan menggunakan basa, asam encer atau steam explosion. Lignin yang terkandung dalam bahan akan dibuang sebagai limbah cair setelah pretreatment. Upaya pemanfaatan lignin menjadi produk bernilai tambah perlu dilakukan untuk meminimalisasi limbah karena lignin sulit terdegradasi dalam kondisi anaerob dan mengurangi biaya produksi. Salah satu cara pemanfaatan lignin adalah sebagai additive (zat tambahan) yang berfungsi sebagai plasticizer dan water reducer pada pembuatan mortar dan beton. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah lignin dari pretreatment bioetanol dari tandan kosong kelapa sawit (tkks) sebagai bahan tambahan (additive) pada adukan semen (mortar). Aditif dapat diperoleh dengan cara mengisolasi lignin tersebut pada berbagai konsentrasi dan suhu. Isolat lignin yang dihasilkan dari limbah bietanol digunakan sebagai admixture pada mortar sebagai pengurang air (water reducer). Adukan semen (mortar) yang dihasilkan diuji berdasarkan SNI 03-1972-1990 dan 03-1974-1990. Lignin dari tkks ternyata dapat digunakan sebagai water reducer pada adukan semen dengan peningkatan workability sebanyak 24,4% dibanding kontrol. Penambahan lignin dari tkks dapat meningkatkan kuat tekan dari mortar pada usia mortar 7 dan 28 hari dibandingkan mortar dengan lignosulfonat komersial dan kontrol pada berbagai faktor air semen. Waktu pengerasan mortar dengan aditif dari lignin meningkat secara cepat yaitu mencapai hingga 80% pada usia mortar 7 hari sehingga waktu curing yang dibutuhkan lebih singkat. Peningkatan kuat tekan tertinggi dengan nilai slump yang baik diperoleh pada penambahan 1% lignin dan faktor air semen 0,45 dengan nilai slump 112mm dan kuat tekan 7 hari 27,88 N/mm2 serta 38,81 N/mm2 pada umur mortar 28 hari, sehingga memenuhi standar beton mutu tinggi. ......The use of concrete and mortar as a material for road construction is increasing, but its implementation requires a long time of concrete hardening, causing problems such as traffic jams. An additive that can shorten the time of hardening of mortar is needed to reduce such problems. Utilization of lignocellulose as bioethanol raw materials has been increasing. Empty palm fruit bunch (epfb) are among of them. The lignocellulosic materials should undergo some pretreatment process to separate lignin from cellulose and hemicellulose, this could be done by using alkaline solution, acid solution or steam explosion Efforts to use lignin into value added products needs to be done to minimize waste due to lignin degradation in anaerobic conditions is difficult and to reduce production costs. One way to utilize lignin is as an additive that serves as a plasticizer and water reducer in the manufacture of mortar and concrete. This study aims to utilize the waste lignin from bioethanol pretreatment from oil palm empty fruit bunches (epfb) as a mortar additive. Additives can be obtained by isolating lignin at various concentrations and temperatures. Isolates produced from waste lignin were then used as an admixture in mortar as a water reducer. The mortars generated were then tested based on SNI 03-1972-1990 and 03-1974-1990. Lignin from epfb can be used as a water reducer in mortar with improved workability as much as 24.4% compared to controls. The addition of lignin from epfb could also increase the compressive strength of mortar at the age of 7 and 28 day mortar compared to commercial lignosulfonate and control on the various water cement ratio. Setting time of mortar with additives of lignin increased rapidly, reaching up to 80% at the age of 7 days so that mortar curing time required is shorter. The highest improvement of compressive strength with suitable workabiliy was reached by 1% lignin addition and 0,45 water cement ratio with 112mm of flow and compressive strength 27,88 N/mm2 at 7 days and 38,81 N/mm2 at 28 days, suitable for high quality concrete.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T30498
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Bagas Wardhana
Abstrak :
Sabut kelapa merupakan salah satu sumber biomassa lignoselulosa yang melimpah di alam dan sering digunakan dalam penelitian pembakaran membara. Biomassa lignoselulosa lainnya yang sering digunakan dalam penelitian termasuk tanah gambut, kertas, tembakau, jerami, dan batu bara. Penelitian sebelumnya di Laboratorium Termodinamika, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, telah mengkaji pembakaran membara pada tanah gambut. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pembakaran membara pada biomassa lignoselulosa lainnya, khususnya sabut kelapa. Eksperimen dilakukan dengan membakar sampel sabut kelapa menggunakan variasi daya 5 watt, 10 watt, 15 watt, 20 watt, 25 watt, dan 30 watt untuk mengetahui daya yang dibutuhkan agar sabut kelapa mulai terbakar. Hasil menunjukkan bahwa sabut kelapa mulai terbakar pada daya lebih dari 25 watt. Untuk variasi tambahan, dilakukan pengujian dengan daya 60 watt dan 80 watt. Hasil percobaan menunjukkan perbedaan signifikan dalam hal jumlah emisi dan waktu pembakaran. Pengujian menunjukkan bahwa laju pengurangan massa sebanding dengan waktu proses pembakaran dan jumlah emisi yang dihasilkan. Pada daya 30 watt, rata-rata laju persebaran kebakaran lebih kecil dibandingkan dengan daya 60 watt dan 80 watt. Emisi partikulat yang dihasilkan pada daya 30 watt juga lebih rendah dibandingkan dengan daya yang lebih tinggi. Grafik karbon monoksida (CO) dan oksigen (O2) menunjukkan bahwa ketika kadar oksigen menurun, kadar karbon monoksida meningkat. Penelitian ini memberikan wawasan tentang karakteristik pembakaran membara sabut kelapa dan pentingnya memahami energi penyulutan serta kandungan emisi yang dihasilkan. Hasil ini dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lanjutan dan pengembangan teknologi pengelolaan limbah biomassa lignoselulosa. ......Coconut fiber is one of the sources of lignocellulosic biomass that is abundant in nature and is often used in smoldering combustion research. Other lignocellulosic biomass frequently used in research include peat, paper, tobacco, straw, and coal. Previous research at the Thermodynamics Laboratory, Faculty of Engineering, University of Indonesia, has studied smoldering combustion in peat soil. Therefore, this research aims to examine smoldering combustion of other lignocellulosic biomass, especially coconut fiber. Experiments were carried out by burning samples of coconut fiber using variations in power of 5 watts, 10 watts, 15 watts, 20 watts, 25 watts and 30 watts to determine the power needed for the coconut fiber to start burning. The results show that coconut fiber starts to burn at a power of more than 25 watts. For additional variations, tests were carried out with 60 watts and 80 watts of power. The experimental results show significant differences in the amount of emissions and combustion time. Tests show that the rate of mass reduction is proportional to the combustion process time and the amount of emissions produced. At 30 watts of power, the average rate of fire spread is smaller than at 60 watts and 80 watts. Particulate emissions produced at 30 watts of power are also lower compared to higher powers. The carbon monoxide (CO) and oxygen (O2) graph shows that as oxygen levels decrease, carbon monoxide levels increase. This research provides insight into the characteristics of smoldering coconut fiber and the importance of understanding the ignition energy and the resulting emissions content. These results can be used as a reference for further research and development of lignocellulosic biomass waste management technology.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anya Prilla Azaria
Abstrak :
Selulosa yang berasal dari limbah sekam padi telah berhasil dikonversi menjadi asam levulinat. Reaksi konversi berlangsung pada suhu 100°C dengan variasi katalis, yaitu Mn/ZSM-5 mikropori, ZSM-5 mikropori, dan Mn(II). Reaksi dengan Mn/ZSM-5 mikropori, ZSM-5 mikropori, dan Mn(II) berlangsung dengan adanya asam fosfat 40% (v/v) dan hidrogen peroksida 30% (v/v). Penambahan 0.1 gram Mn/ZSM-5 mikropori berhasil memberikan persentase yield asam levulinat yang lebih tinggi, yaitu sebesar 12,9954%, sedangkan katalis ZSM-5 mikropori dan Mn(II) memberikan persentase yield asam levulinat sebesar 12,6046% dan 9,8279%. Selain itu, katalis ZSM-5 dan Mn/ZSM-5 mikropori telah berhasil dipisahkan kembali setelah proses reaksi dan dikarakterisasi kembali dengan instrumen FTIR dan EDX. Karakterisasi dengan FTIR menunjukkan bahwa katalis mengalami perubahan dan pergeseran puncak pada bilangan gelombang 950-1250 cm-1. Karakterisasi dengan EDX menunjukkan bahwa katalis mengalami proses desilikasi dan dealuminasi yang menyebabkan kerusakan pada struktur dan mengalami pelepasan (leaching) logam Mn. Hal ini terlihat dari persen berat Si yang mengalami penurunan sebesar 72,85%, persen berat Al sebesar 100%, dan persen berat Mn sebesar 82,74%.
Cellulose obtained from residual rice husk has been successfully converted to levulinic acid. Conversion reaction was done at 100°C with various catalysts, which are microporous Mn/ZSM-5, microporous ZSM-5, and Mn(II). Reaction with microporous Mn/ZSM-5, microporous ZSM-5, and Mn(II) took place with the presence of 40% (v/v) phosporic acid and 30% (v/v) hydrogen peroxide. By adding 0.1 gram of microporous Mn/ZSM-5, yield percentage of levulinic acid is 12,9954%, higher than catalyst micropororus ZSM-5 and Mn(II) are 12,6046% and 9,8279%. After that, catalysts microporous ZSM-5 and microporous Mn/ZSM-5 have been successfully separated after reaction and has been characterized with FTIR and EDX instruments. Characterization with FTIR showed that catalyst has changed, with friction on its peak at wavenumber 950-1250 cm-1. Characterization with EDX showed that catalyst experienced desilication and dealumination that makes damages on its structure and leaching of Mn. This is showed from weight percent of Si that decreased about 72,85%, weight percent of Al about 100%, and weight percent of Mn about 82,74%.
2016
S62000
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Nurfitri
Abstrak :
Pleurotus ostreatus merupakan jamur pangan yang menggunakan substrat lignoselulosa, sehingga jamur ini mampu mensekresi enzim lignoselulase. Produksi enzim lignoselulase pada P. ostreatus InaCC F209, F216, dan LIPI selama 70 hari pertumbuhan dan hubungan enzim tersebut dengan produksi tubuh buah selama 95 hari pengamatan diamati dan dibandingkan. Supernatan yang diekstrak dari media budidaya digunakan untuk memperkirakan gula reduksi, protein terlarut, dan aktivitas enzim. Hasil penelitian menunjukkan lakase, LiP, dan MnP lebih tinggi ketika ketiga galur P. ostreatus berada dalam fase vegetatif (masa pertumbuhan miselium), sedangkan produksi endoksilanase dan endoglukanase lebih tinggi ketika ketiga galur P. ostreatus berada dalam masa reproduktif. fase (periode pembentukan tubuh buah). Pola aktivitas β-glukosidase menunjukkan variasi antara ketiga strain P. ostreatus. Produktivitas hasil diukur dengan menggunakan parameter waktu panen, bobot basah, jumlah badan buah, diameter pileus dan panjang batang. Pleurotus ostreatus InaCC F209 membentuk badan buah sebanyak tiga kali selama pengamatan 95 hari, isolat P. ostreatus LIPI sebanyak dua kali, dan P. ostreatus InaCC F216 tidak membentuk badan buah.
Pleurotus ostreatus is a food fungus that uses a lignocellulose substrate, so that this fungus is able to secrete the lignocellulase enzyme. The production of lignocellulase enzymes in P. ostreatus InaCC F209, F216, and LIPI for 70 days of growth and the association of these enzymes with fruit body production for 95 days of observation were observed and compared. The supernatant extracted from the culture medium was used to estimate reducing sugars, dissolved protein, and enzyme activity. The results showed that lacase, LiP, and MnP were higher when the three P. ostreatus lines were in the vegetative phase (mycelium growth period), while the production of endoxylanase and endogilanase was higher when the three P. ostreatus lines were in the reproductive period. phase (the period of formation of the fruiting body). . The β-glucosidase activity pattern showed variations between the three P. ostreatus strains. Yield productivity was measured using the parameters of harvest time, wet weight, number of fruit bodies, pileus diameter and stem length. Pleurotus ostreatus InaCC F209 formed fruit bodies three times during 95 days of observation, P. ostreatus LIPI isolates twice, and P. ostreatus InaCC F216 did not form fruit bodies.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>