Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 393 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hariman Satria
Abstrak :
ABSTRACT
Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup, dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,- Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi belum dilakukan secara maksimal karena didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang- Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku.
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hamzah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Reska Damayanti
Abstrak :
Industri penyiaran, khususnya televisi, saat ini sedang mengalami perkembangan yang menarik, dengan semakin bertambahnya pihak yang ingin berpartisipasi di dalam bidang tersebut. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran juga membuka peluang bagi pertambahan partisipan di dalam industri penyiaran televisi, antara lain dengan memungkinkan adanya televisi lokal di daerah-daerah. Permasalahannya muncul karena keterbatasan terhadap sumber daya alam, khususnya spektrum frekuensi radio yang memegang peranan penting di dalam kegiatan penyiaran, karena berfungsi sebagai gelombang pembawa dari sinyal audio dan video sehingga siaran televisi dapat diterima di pesawat televisi para pemirsanya. Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 76 Tahun 2003 Tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus Untuk Keperluan Televisi Siaran Analog Pada Pita Ultra High Frequency, daerah kabupaten atau daerah lain yang bukan merupakan ibukota propinsi biasanya hanya memiliki kanal frekuensi sejumlah 6 sampai 7 kanal saja. Sedangkan ibukota propinsi memiliki kanal frekuensi sejumlah 14 kanal. Bagaimana cara pembagian atau peroleh sumber daya yang terbatas tersebut. Sementara untuk lembaga penyiaran televisi yang sudah ada saat ini saja, kanal frekuensi di wilayah non ibukota propinsi sudah tidak mencukupi. Selain rnasalah keterbatasan kanal frekuensi, masalah lain yang juga dialami adalah mengenai kewenangan pemberian perizinan yang tumpang tindih. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom menyebutkan bahwa pemberian izin penggunaan spektrum frekuensi radio tidak berada di tangan pemerintah pusat. Sedangkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, yang antara lain diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, menyebutkan bahwa Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi berwenang untuk melakukan pembinaan di bidang penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit, yang antara lain meliputi perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19387
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Siahaan, Nommy H.T.
Abstrak :
Perkembangan mengenai etos dan kultur dunia usaha terhadap konsumen, diharapkan dalam waktu dekat akan berubah secara signifikan, mengingat Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah memberikan aturan yang tegas dan lebih rinci mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh dunia usaha terhadap kepentingan konsumen. Dengan demikian, para pelaku usaha tidak lagi sembarangan memandang para konsumen sebagai ?objek? untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam rangka tujuan bisnisnya. Karena UU ini memprinsipkan bahwa produsen dengan konsumen memiliki kesetaraan. Dalam rangka itulah berbagai asas telah ditetapkan di dalam hukum konsumen yang baru ,khususnya mengenai sistem tanggungjawab (Iiability). Tanggungjawab dalam hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen sebagai suatu tanggungjawab produk perlu diperhatikan, karena jika mempersoalkan kepentingan konsumen, seharusnya pula menganalisis mengenai siapa yang semestinya dibebankan tanggungjawab dan sampai batas mana pertanggungjawaban itu dibebankan kepadanya. Pola hukum konsumen mempunyai corak variabilitas dalam tanggungjawab produk. Karena hal demikian berkembang dari waktu ke waktu, mulai dari asas yang mendasarkan kepada adanya kesalahan (tort) hingga kepada asas tanggungjawab yang bersifat strict dan absolut, dimana asas ini tidak mendasarkannya kepada kesalahan sebagai nuansa dominan dari doktrin konvensional. Tetapi kecanggihan suatu asas hukum seperti telah diakomodasi Undang-Undang Perlindungan Konsumen, tanpa adanya aksesibilitas yang luas kepada masyarakat mendapatkan hak dan kepentingannya melalui gugatan (pengadilan), maka tampaknya sistem demikian tidak banyak membawa arti banyak. Guna mewujud-nyatakan asas tanggungjawab produk,maka sistem class Action penting untuk dihadirkan dengan berbagai perangkat pendukungnya. Sistem peradilan secara class Action merupakan proses yang banyak memberikan manfaat, karena kasus produk yang merugikan terhadap sejumlah besar orang, proses peradilan dengan mekanisme ini dinilai sangat praktis, bukan saja bagi sejumlah anggota masyarakat korban tersebut, tetapi juga bagi pengadilan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
T36321
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Lukman Nurhakim
Abstrak :
Tulisan ini menganalisa bagaimana penerapan etika kemanusiaan dalam pemanfaatan artificial intelligence untuk penyusunan kontrak. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Artificial intelligence pada hakikatnya merupakan suatu alat yang diciptakan manusia untuk membantu dan memudahkan pekerjaan manusia. Artificial intelligence adalah teknologi berupa mesin yang mampu mereplikasi perilaku manusia dan dikembangkan dengan menggunakan pengetahuan tentang cara berpikir manusia, sehingga mampu menjalankan proses berpikir seperti manusia. Dalam perkembangannya, pemanfaatan artificial intelligence telah merambah dunia hukum. Pemanfaatan sebuah alat untuk mengerjakan pekerjaan manusia tentu menimbulkan permasalahan etika serta pertanggungjawaban. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji pemanfaatan artificialdalam penyusunan kontrak dengan menelaah bagaimana artificial intelligence dapat menggantikan pekerjaan manusia yang memiliki etika dalam hal menyusun sebuah kontrak, serta bagaimana pertanggungjawaban ketika artificial intelligence melakukan kesalahan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa perlu adanya standarisasi etika yang diterapkan baik untuk pengguna maupun untuk artificial intelligence yang nantinya akan diprogramkan kedalam artificial intelligence namun dalam hal ini tetap ada pengawasan dari pengguna artificial intelligence, serta untuk pertanggungjawaban jika artificial intelligence melakukan kesalahan akan dibebankan kepada pengguna atau pengembang artificial intelligence tersebut. ......This paper analyzes how the application of humanitarian ethics in the use of artificial intelligence for contract drafting. This paper is prepared by using doctrinal research method. Artificial intelligence is essentially a tool created by humans to help and facilitate human work. Artificial intelligence is a technology in the form of a machine that is able to replicate human behavior and is developed by using knowledge of how humans think, so that it is able to carry out human-like thought processes. In its development, the use of artificial intelligence has penetrated the legal world. The utilization of a tool to do human work certainly raises ethical and liability issues. Therefore, this research examines the utilization of artificial intelligence in contract drafting by examining how artificial intelligence can replace human work that has ethics in terms of drafting a contract, as well as how liability when artificial intelligence makes mistakes. The results of this study state that there is a need for standardization of ethics applied both to users and to artificial intelligence that will be programmed into artificial intelligence but in this case there is still supervision from artificial intelligence users, and for accountability if artificial intelligence makes mistakes will be charged to the user or developer of the artificial intelligence.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Irawati
Abstrak :
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat Akta Otentik. Akta notaris adalah akta otentik. Akta otentik dibuat oleh/atau dihadapan Notaris. Akta otentik dibuat menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan Undang Undang Jabatan Notaris. Akta otentik adalah alat bukti yang sempurna. Akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau batal demi hukum jika melanggar Undang Undang Jabatan Notaris. Notaris dapat dituntut ganti rugi. Notaris menjadi tersangka jika akta yang dibuatnya berindikasi perbuatan pidana. Hubungan hukum notaris dengan para pihak timbul sejak ditanda-tanganinya akta. Hubungan hukum menimbulkan tanggung jawab hukum notaris atas kerugian pihak lain. Hubungan hukum timbul dalam ranah perdata. Hubungan hukum yang memenuhi unsur pidana dipertanggung-jawabkan secara pidana. Pengambilan foto kopi minuta akta harus seizin Majelis Pengawas Daerah. Pengambilan surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris harus seizin Majelis Pengawas Daerah. Pemanggilan notaris harus seizin Majelis Pengawas Daerah. Notaris hadir dalam pemeriksaan pidana sebagai: ahli atau saksi atau tersangka. Pengawasan Notaris dilakukan oleh Menteri. Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Notaris diawasi oleh Majelis Pengawas Notaris. Majelis Pengawas Notaris terdiri dari : Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, dan Majelis Pengawas Pusat.
Notary is Public officials who has a right and authorization to construct an Authentic Act. Notary Act is an Authentic Act. Authentic Act is composed by/or before notary. The Authentic Act is designed in accordance with Notary`s forms and procedure Career of Laws. Authentic Act is merely a perfect testimonial subject. Notary Act has a testimonial power as an illegal act or deny by law if it breach Notary`s Careers of Law. Notary is liable to compensation. Notary shall be a suspect if the Act consist of felony and illegal action. The correlation between notary of law and party emerged since Act is signed initially. Correlation of law results notary law responsibility under other loss party. This correlation of law come up in civic scopes. Act of Minute copy is available is provided by Regional House Supervisor`s authority. The request is proposed by Regional House Supervisor`s authority. Notary Summons shall be issued by Regional House Supervisor`s authorization. Notary monitoring is conducted by minister. The minister is composed a Notary House Supervisor. This Notary is controlled by House of Notary Supervisor which are consist of a House of Regional Supervisor, House of Area Supervisor and House of Central Monitoring. The summons shall follow authorization by House of Regional Supervisor.
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27453
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Purry Wulandari B.
Abstrak :
Direksi PT Y telah memberikan kuasa secara lisan kepada manajer pemasaran PT Y tersebut untuk melaksanakan impor High Speed Diesel (HSD), mencari pembeli dan melakukan pengiriman HSD tersebut. Namun manajer pemasaran tersebut menandatangani perjanjian jual beli atas nama PT Y dengan PT X sebagai pembeli tanpa persetujuan PT Y. Manajer pemasaran tersebut gagal mendapatkan sumber HSD sehingga lalai untuk melakukan pengiriman. Sedangkan PT X telah menyediakan fasilitas dengan mengeluarkan biaya besar. Atas kerugian tersebut, PT X menuntut ganti rugi kepada PT Y melalui penyelesaian sengketa alternatif Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Dalam Arbitrase tersebut, PT Y diputus untuk membayar ganti rugi sebesar kerugian yang diderita PT X. Sedangkan manajer pemasaran PT Y tidak menanggung biaya apapun.
The Director of PT Y Limited Liability Company (LLC) gave verbal empowerment to his sales manager to do this deal; seek for High Speed Diesel (HSD) source, find the buyer then, make the delivery. The sales manager found PT X LLC as the buyer. The sales purchase agreement was signed. However, it was signed without PT Y`s director`s consent. On the promised delivery date HSD was not available due to the sales manager`s negligence in finding source of HSD that could be trusted. Therefore, PT X pressed charges against PT Y through alternative dispute resolution of Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI ordered PT Y to pay the amount suffered by PT X while Y?s sales manager walked away without having to pay anything.
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27456
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>