Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Matondang, M.H.
Abstrak :
Terdapat beberapa dasar pemikiran yang melatar belakangi mengapa orang Batak meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Pulau Jawa dan sebagian memilih lapangan kerja di bidang angkutan umum di kota Metropolitan Jakarta, cukup penting dan menarik dipelajari secara sistematik dan mendalam. Dari beberapa sudut tinjauan, ternyata kedudukan dan peranan orang Batak dalam penyelenggaraan kegiatan angkutan umum di kota Metropolitan Jakarta, baik sebagai pengusaha, pemilik, pengelola, sopir,kondektur, dan sebagainya, cukup menonjol dan dianggap penting. Apalagi mengingat bahwa sektor transportasi sangat vital dan strategic dalam menunjang Pembangunan Nasional. Ditinjau dari kedudukan kota Metropolitan Jakarta sebagai ibukota Negara R.I., pusat perekonomian dan pemerintahan mempunyai daya tarik yang kuat bagi pendatang baru. Jumlah penduduk Jakarta setiap tahunnya bertambah rata-rata 300.000 jiwa, umumnya berasal dari daerah-daerah dengan perlbagai suku bangsa. Mereka pindah ke Jakarta meninggalkan kampung asal dan menjadi urban dikota Metropolitan Jakarta. Ditinjau dari latar belakang perpindahan penduduk dari daerah asal ke Jakarta ternyata ada perbedaan antara suku Batak dengan suku bangsa lain. Perpindahan etnis Batak dari tanah leluhurnya ke berbagai daerah di Indonesia khususnya ke kota Jakarta didorong oleh dua faktor utama yaitu: (1) keinginan melanjutkan pendidikan dan emansipasi bagi angkatan pertama (1915-1950) dan kedua (1950-1965), (2) keinginan untuk memperbaiki kondisi ekonomi bagi angkatan ketiga (1965-1980) dan keempat (1980-1995). Masing-masing mempunyai sikap, perilaku, dan strategi adaptif yang berbeda-beda dalam kehidupan kota Jakarta. Mereka melihat dan memanfaatkan peluang pekerjaan didasarkan pada sikap, perilaku, dan pengetahuan budaya yang dimilikinya. Angkatan pertama faktor pendorongnya adalah pengaruh misi agama Kristen dan emansipasi, angkatan kedua faktor pendorongnya adalah kebutuhan melanjutkan sekolah dan mencari lapangan pekerjaan, dan tahap ketiga dan keempat faktor pendorongnya adalah tekanan ekonomi dan memanfaatkan peluang atas keberhasilan pembangunan secara materiil di Jakarta. Etnis Batak di Jakarta dari angkatan pertama dan kedua membentuk asosiasi Klan dengan tujuan untuk melestarikan tradisi Batak ("Agama Adat"), memelihara identitas, membentuk sarana interaksi ekonomi dan social, dan bertujuan sebagai sarana pendidikan. Tetapi dari angkatan ketiga dan keempat pembentukan Klan bertujuan sebagai sarana interaksi ekonomi khususnya memperoleh kesempatan kerja. Klan-klan dari angkatan pertama berciri religi (rohaniawan) dan pendidikan (keilmuan); klan-klan angkatan kedua berciri kewiraswastaan, birokrasi, dan pendidikan (keilmuwan); klan-klan angkatan ketiga dan keempat berciri untuk mencari nafkah atau perbaikan kondisi ekonomi, misalnya klan sopir, kenek, pedagang kecil, dll. Bagi angkatan ketiga dan keempat ada kecocokan antara watak, sikap, kemauan, dan perilaku keras suku Batak dari hasil penempaan lingkungann asal mereka (Tanah Batak) dengan kondisi obyektif kota Jakarta khususnya dalam peluang kerja bidang angkutan umum. Di samping itu bidang pekerjaan angkutan umum merupakan bidang kerja yang cepat mengahasilkan uang atau alat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagi angkatan pertama dan kedua lebih fleksibel menyesuaikan diri dengan kondisi Jakarta khususnya dan daerah-daerah lainnya, karena mereka telah memiliki pengetahuan yang lebih luas. Klan suku Batak di Jakarta secara evolusi berubah dan berkembang menjadi "Simbol" saja, karena pengaruh gerak masyarakat Jakarta yang semakin individualistis dan ekonomistik. Hubungan kesukuan yang awal mulanya merupakan hubungan adat yang penuh religius dan hubungan kekerabatan, berubah menjadi hubungan yang bersifat ekonomis, terutama pada angkatan ketiga dan keempat. Ada warisan budaya yang tidak dapat hilang dalam proses evolusi budaya Batak di Jakarta, yaitu "Dalihan Natolu", merupakan tiga pilar utama adat Batak sebagai kesatuan religi, kesatuan sosial, dan kesatuan kekerabatan. Dalihan Natolu sebagai "Ideologi" suku Batak tidak akan bisa dihancurkan oleh mekanisme masyarakat modern Jakarta, karena Dalihan Natolu merupakan inti atau hakekat dari interaksi orang Batak dengan lingkungan hidupnya yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Tetapi dari sudut perilaku upacara-upacara adat, sebagian dari Dalihan Notolu ada yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan masyarakat Jakarta, misalnya upacara-upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dilihat dari sisi ekonomi, peranan Dalihan Natolu sangat besar bagi suku Batak di Jakarta, yaitu dalam hal penciptaan lapangan kerja dan pembinaan tenaga kerja, misalnya seperti yang dilakukan oleh M. Hutagalung pemilik perusahaan bus kota "Arian". Etnis Batak pendatang Baru yang belum memiliki pekerjaan ditampung, dibina, dan diberi pekerjaan sebagai sopir, kenek, montir, dan pekerjaan-pekerjaan lain sesuai dengan kemampuannya. Dari segi angkutan penumpanng umum yang menjadi pilihan pekerjaan sebagian suku Batak di Jakarta dari angkatan ketiga dan keempat, sampai saat ini belum sempurna. Hal itu bukan disebabkan oleh kelemahan suku Batak yang bekerja dalam bidang tersebut, tetapi disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: (a) lemahnya disiplin masyarakat baik sebagai pemakai jasa angkutan umum, petugas lalu lintas, pengusaha, maupun para pekerja (sopir, kernet, dll.), (b) jumlah kendaraan penumpang umum yang tidak seimbang (lebih kecil) di-banding kebutuhan pemakai jasa, (c) kebijakan pemerintah dalam hal pemilikan kendaraan pribadi belum dibatasi, sehingga kendaraan pribadi lebih banyak daripada kendaraan penumpang umum, (d) sikap dan perilaku para petugas yang terkait dengan kepentingan angkutan umum yang kurang mendukung kepentingan umum. Kekerabatan etnis Batak di Jakarta dari angkatan pertama dan kedua sangat akrab dan merasa berkepentingan pada pembangunan tanah leluhur di Tapanuli Berta masih setia mempertahankan adat, karena mereka pada umumnya memiliki status sosial-ekonomi yang mapan. Tetapi sebaliknya kekerabatan etnis Batak di Jakarta dari angkatan ketiga dan keempat kurang berkepentingan terhadap tanah leluhur dan sebagian tata cara adat telah disederhanakan khususnya dalam praktek upacara-upacara adat perkawinan dan kematian, karena mereka masih bergulat untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Kehidupan di Jakarta mempunyai pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku etnis Batak Jakarta. Hubungan kekerabatan dalam konsep "Dalihan Natolu" secara utuh sudah tidak dapat dipertahankan karena perubahan sikap , perilaku, dan pengetahuan mereka. Kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi, politik, dan budaya kota Jakarta sangat mempengaruhi bahkan menentukan pola pikir, sikap dan perlaku etnis Batak Jakarta khususnya dan etnis-etnis lainnya yang hidup di Jakarta.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lily Sontani Halim
Abstrak :
Interaksi yang terjadi antara individu yang paling kenal maupun yang tidak biasanya mengikuti pola tertentu. Pola perilaku antar individu ini ditentukan oleh peraturan sosial yang dimiliki masyarakat tersebut. Bila seorang individu berinteraksi dengan individu lain, ia harus dapat menyesuaikan perilakunya (termasuk perilaku bahasanya) terhadap keadaan sekitarnya. Perilaku berbahasa ditentukan oleh tingkat keakraban antara dua individu, tempat (setting), jenis kelamin, status, dan lain sebagainya. Seorang individu harus memperhatikan hal-hal ini bila ia ingin berpartisipasi dalam suatu kehidupan sosial dan juga supaya ia dapat diterima oleh anggota masyarakat yang lain (Bailey, 1971). Pousaaint (1967), orang dewasa dan bergelar doktor, merasa tersinggung ketika ia disapa dengan sapaan boy oleh seorang polisi lalu lintas pada salah satu jalan di Amerika. Hal ini terjadi karena polisi tersebut telah melanggar peraturan sapaan yang berlaku di masyarakat Amerika. Hal ini juga yang menyebabkan Dr. Poussaint merasa terhina. Penggunaan istilah sapaan yang salah dapat menyinggung perasaan kawan bicara dan juga menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman ini dapat disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial budaya dari kedua interlokutor dalam berinteraksi. Di Indonesia banyak bahasa dan kelompok masyarakat yang memberikan makna penting untuk etika sapaan. Menurut sensus penduduk 1980 distribusi bahasa yang dipakai sehari-hari di Indonesia adalah sebagai berikut: Bahasa Minangkabau merupakan bahasa keenam terbanyak penuturnya di Indonesia. Pada tesis ini akan dibahas istilah sapaan dan istilah kekerabatan bahasa Minangkabau ini. Pemilihan jatuh pada bahasa ini karena diasumsikan bahasa Minangkabau akan menarik untuk diteliti mengingat masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat matrilineal, berbeda dengan masyarakat-masyarakat lain di Indonesia yang kebanyakan paterilineal atau bilateral. 1.2. Masalah Penelitian Tulisan ini memusatkan perhatian pada sebagian aspek kebudayaan masyarakat Minangkabau. Aspek kebudayaan yang akan dibahas di sini terbatas pada peraturan dan pemakaian bentuk istilah sapaan bahasa Minangkabau saja. Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu golongan etnik yang utama di Indonesia. Terdapat lebih kurang 3.698.767 atau sekitar 2.52 persen dari penduduk Indonesia tahun 1980 yang menggunakan bahasa Minangkabau sebagai bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Daerah Minangkabau kira-kira seluas propinsi Sumatera Barat dan terdiri dari daerah darek (darat), pasisie (pesisir) atau rantau (Yunus, 1979). Secara tradisional daerah darek terbagi dalam tiga luhak (kurang lebih sama dengan kabupaten), yaitu, Tanah Datar, Agam, dan Limo Pulueh Kato; kadang-kadang .ditambah dengan Solok?
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parkin, Robert
Oxford: Blackwell Publishers, 1997
306.83 PAR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Keesing, Roger M.
New York: Holt, Rinehart and winston, 1975
301.421 Kee k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Chicago: Aldine Publishing company, 1971
306.83 KIN (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Needham, Rodney
London: Tavistock Publications, 1974
306.83 NEE r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Nurhayati Anwar
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sipin Putra
Abstrak :
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan hasil penelitian mengenai Orang Rimba Rombong Tumenggung Nggrip di Taman Nasional Bukit Duabelas. Politik kepemimpinan seorang tumenggung Nggrip dapat dianalisa dari silsilah kekerabatan di komunitasnya. Aturan adat “Jenton Turun Jenton” menjadi sebuah pembenaran bahwa pimpinan politik di Komunitas Orang Rimba berdasarkan garis keturunan seorang pemimpin sebelumnya. Secara politis Tumenggung Nggrip diuntungkan karena mempunyai seorang ayah yang merupakan mantan tumenggung. Seorang tumenggung diharuskan mempunyai beberapa keahlian menonjol dibandingkan lainnya. Kemampuan memimpin dan pemahaman tentang hukum adat yang telah diwariskan oleh orang tua Tumenggung Nggrip menjadi keunggulan dibandingkan dengan individu lainnya. Jabatan kepenghuluan di bawahnya kemudian dipegang oleh kerabat dekat dari tumenggung. Silsilah kekerabatan dalam politik kepemimpinan ini mampu mengukuhkan posisi tumenggung sebagai seorang yang terhormat dan mempunyai power dalam akses sumber daya ekonomi, sosial dan hubungan dengan pihak luar. Politik tingkat komunitas ini dapat dianalisa sebagai bentuk kehidupan demokrasi namun pada prakteknya cenderung dipengaruhi oleh sikap seorang pemimpinnya dalam menegakkan hukum adat. Organisasi sosial dan politik Orang Rimba dibangun atas dasar konsep keluarga, hubungan perkawinan dan kekerabatan.
ABSTRACT
This paper is the result of research about Tumenggung Nggrip on Community Orang Rimba in Bukit Duabelas National Park. Political leadership can be analyzed from the Tumenggung Nggrip kinship system in this community. Custom rules "Jenton Turun Jenton" justify the political leadership in community based lineage previous leader. Politically Tumenggung Nggrip is the benefit of having a father who was a former Tumenggung. Tumenggung required to have some expertise prominent than the other. Ability to lead and understanding of custom that has been passed on by parents. Tumenggung Nggrip be superior compared with other individuals. Leadership understanding then held by close relatives of the Tumenggung. Kinship system in the political leadership in politics is able to confirm the position of Tumenggung as a respected and has the power of access to economic resources, social and relationship with outsiders. Political level as community can be analyzed as a form of democracy, but in practice it tends to be influenced by the attitude of a leader in custom enforce. Social system and political organization Orang Rimba is built on the concept of family, marriage and kinship system.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London, New York: Tavistock Publications, 1971
306.8 RET
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jendrius
Abstrak :
Tesis ini mencoba melihat bagaimana pola jaringan sosial antar kerabat perempuan dalam masyarakat matrilineal Minangkabau, khususnya di perkotaan dan sejauh mana variabel kedekatan geografis, status sosial ekonomi, dan keberadaan perempuan senior, berpengaruh terhadap pola jaringan sosial antar kerabat perempuan tersebut. Penelitian ini didasarkan atas beberapa pemikiran, pertama, bahwa keluarga luas dan ikatan kekerabatan masih memiliki fungsi yang signifikan; kedua, perempuan memainkan peran yang dominan dalam jaringan kekerabatan dibandingkan dengan laki-laki; ketiga, jaringan sosial antar kerabat dipengaruhi oleh berbagai variabel seperti jarak (kedekatan geografis), status sosial ekonomi dan dalam kasus Minangkabau, juga dipengaruhi oleh keberadaan perempuan senior. Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, melalui penelitian survei terhadap 120 orang responden perempuan Minangkabau yang tinggal di Kelurahan Purus Atas dan Kelurahan Padang Baru, Kecamatan Padang Barat, Kotamadya Padang, ditemukan bahwa, jaringan sosial antar kerabat perempuan tersebut sengaja dikembangkan dan dipelihara oleh perempuan dikarenakan memiliki makna yang sangat strategis bagi mereka, baik secara ekonomis, sosio-kultural maupun politis. Dilihat dari aspek ekonomis, jaringan sosial antar kerabat perempuan tersebut merupakan aset sekaligus "social capital? yang dapat diandalkan untuk menjaga subsistensi dan kebutuhan mereka. Dari aspek sosial-kultural jaringan sosial tersebut menunjukkan kepada "orang luar" bahwa sebuah keluarga/kaum itu merupakan kesatuan yang kompak sekaligus sarana untuk menunjukkan moral and social responsibilities dan komitmen kesetiaan kepada kerabat. Sementara itu, secara politis jaringan sosial tersebut dimaksudkan untuk dapat mencapai tujuan-tujuan politis serta menaikkan posisi tawar-menawar mereka terhadap kerabat laki-laki bahkan, adakalanya ditujukan untuk ?menundukkan" kerabat laki-laki mereka, hal mana mustahil dapat mereka lakukan secara sendiri-sendiri. Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa pada dasarnya relasi antar kerabat perempuan ini melibatkan kerabat dalam lingkup "samande" dan secara umum tidak ada perbedaan pola jaringan sosial yang terdapat dalam kedua kelompok responden. Hal ini menunjukkan bahwa kerabat perempuan memiliki peran dan makna yang penting dalam masyarakat Minangkabau dari kelompok manapun, begitu juga jarak tempat tinggal kerabat serta Status Sosial Ekonomi tidak secara langsung mempengaruhi hubungan antara kerabat. Begitu juga dengan keberadaan perempuan senior terutama ibu, masih menduduki peran sentral dan turut mempengaruhi pola jaringan sosial antar kerabat perempuan. Temuan menarik lainnya adalah tidak terlihat kecenderungan adanya unequal power relations antara kerabat yang memiliki status sosial berbeda, dikarenakan adanya "rules? dan keyakinan bahwa mereka yang lebih beruntung sudah sepantasnya membantu kerabat yang tengah kesulitan dan adanya kesadaran serta keyakinan bahwa apa yang diperoleh seseorang tidak terlepas dari bantuan kerabatnya. Satu hal lagi ternyata, dalam kenyataannya kerabat perempuan mempunyai andil yang besar terhadap kerabat laki-laki mereka baik membantu secara materil maupun non materil. Satu hal lagi, meskipun variabel Kedekatan geografis, Status Sosial Ekonomi, serta keberadaan perempuan senior ini sangat dibutuhkan dalam menjelaskan relasi antara kerabat perempuan, akan tetapi nampaknya belum cukup memadai (necessary but not sufficient) untuk menjelaskan secara komprehensif relasi antar kerabat perempuan dimaksud. Faktor-faktor seperti proses sosialisasi besar/kecilnya anggota keluarga/kerabat, ?sejarah keluarga', serta peran suami, tampaknya perlu diperhatikan untuk dapat memahami persoalan jaringan sosial antar kerabat perempuan ini secara lebih baik.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>