Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diah Savitri
Abstrak :
Di Indonesia, upaya memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender (KKG) bagi perempuan mulai memperlihatkan arah lebih jelas dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan. Strategi pengarusutamaan gender bertujuan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya mencapai maksud akan dilihat dari keseriusan dan konsistensi pemerintah dalam mengadopsi konsep-konsep yang relevan dengan KKG. Penelitin ini menggunakan studi dokumen sebagai metodologi. Dokumen yang diteliti adalah GBII 199-2000, Propenas 2000-2004 dan Renstra 2000-2004 dari empat bidang pembangunan, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan perempuan dan perencanaan pembangunan. Analisis dilakukan dengan menggunakan skala pengukuran yang ditetapkan berdasarkan pengadopsian konsep-konsep yang relevan dengan GAD, PUG, WID dan Nilai Dasar KKG di setiap dokumen. Selain itu, juga dianalisis konsistensi di dalam setiap dokumen (internal) dan antar dokumen (eksternal) dalam mengadopsi konsep-konsep tersebut. Hasil analisa berupa uraian yang bersifat deskriptif dan kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa pembangunan pendidikan terlihat cukup serius mengupayakan pencapaian KKG. Hal ini dapat dilihat dari perhatian terhadap relasi gender laki-laki dan perempuan sebagai faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendidikan dan tindak lanjut dalam bentuk affirmative action, seperti beasiswa dan kelompok belajar untuk perempuan buta huruf. Namun demikian, tidak ditemukan strategi PUG. Pembangunan pemberdayaan perempuan terlihat memenuhi semua ide dan pemikiran yang diperlukan dalam upaya mencapai KKG, namun letaknya parsial yakni di bawah pembangunan sosial budaya. Keterbatasan kedudukan dan peran serta kewenangan Kementrian Pemberdayaan Perempuan akan membuat upaya pencapaian KKG melalui strategi PUG ke dalam seluruh proses pembangunan berpotensi menghadapi kendala di masa datang. Pembangunan kesehatan terlihat cukup serius dengan kecenderungan WID cukup kuat, khususnya kesehatan reproduksi, anemia ibu hamil, KB dan sebagainya. Hal menarik berkaitan dengan pengarusutamaan gender adalah pemberian kesempatan kepada perempuan dalam pengambilan keputusan alokasi dana. DaIam upaya KKG, peran pembangunan yang dilakukan Bappenas dituangkan dalam dokumen Propenas masih terbatas di tingkat konsep dasar seperti demokrasi, akuntibilitas, transparansi, penegakan hukum dan pemerintahan yang baik. Sementara konsep efisiensi dan efekt1fitas merupakan landasan penting bagaimana melakukan perencaan pembangunan. Secara umum dapat dikatakan bahwa seluruh dokumen memperlihatkan konsistensi internal dalam mengadopsi konsep-konsep yang relevan dengan KKG. Sementara konsistensi eksternal di masing-masing bidang pembangunan bervariasi. The Government's Efforts to Promote Gender Equity and Equality in DevelopmentDewayani Attempts to promote gender equity and equality (GEE) for women in Indonesia by the Government have just started to be more apparent since the issuance of Presidential Decree No. 9 Year 2000 regarding Gender Mainstreaming in Development. Gender Mainstreaming strategy aims at ensuring planning, implementation and monitoring, evaluation as well as taking consideration on gender perspectives in order to promote gender equality and equity within family, society and nation. The objective of the study is to evaluate the government's consistency in adopting concepts relevant to GEE into the related policies. Using document study as a method, the study investigates documents of GBHN (National Development Guidance). Propenas (Five Years Development Plan) and Renstra (Strategic Plan) of four sectors of development, which are of education, health, women empowerment, and development plan. Analysis of the level of seriousness is carried out by using measurement scale based on the adopted concepts relevant to GAD, PUG (Gender Mainstreaming), W ID and the basic value of GEE in each document. The consistency in each document (internal) and between documents (external) in adopting concepts is also analyzed. The result of the analysis is presented in descriptive and qualitative manner. In the area of education, findings show that the government has extensively adopted concepts relevant to GEE as seen from the identification of gender relation as significant factor responsible for women's lack of education with affirmative action as a remedy. However, no PUG strategy has been identified. The improvement of women's empowerment seems to fulfill all of the ideas and opinion, needed to achieve GEE. Yet because it is positioned only as a partial component of socio-cultural development, and also because of the Iimited role, position and authority of the State Ministry of Women Empowerment, the efforts in achieving the GEE in all development process through PUG strategy are potentially facing constraints in the future. In the health sector the government demonstrates moderate efforts in adopting concepts relevant to GEE. On the other hand, a significant emphasis on WID is apparent, especially in the issues of reproduction health, anemia of pregnant women, and else. A positive finding for promoting GEE is opportunities for women in decision-making and budget allocation. In terms of development planning, only basic concepts relevant to GEE is adopted, such as democracy, accountability, transparency, legal enforcement and good governance, while efficiency and affectivity become fundamental concepts in planning activity. In general, it can be concluded that while each document has show internal consistency in adopting concepts relevant to GEE, it demonstrates that external consistency in each sector of development is at variance.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eneng Darol Affiah
Abstrak :
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, salah satu gejala sosial yang menarik untuk dicermati adalah mengenai pengaruh perspektif gender terhadap ajaran Islam dan gerakan organisasi perempuan Islam. Pengaruh tersebut dapat diamati dengan maraknya diskusi, pendidikan dan pelatihan serta penerbitan buku yang mensosialisasikan gagasan keadilan gender ke dalam berbagai komunitas Islam. Berdasarkan pada fenomena sosial di atas, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan: faktor-faktor apa yang melatarbelakangi diadopsinya analisis gender ke dalam organisasi perempuan Islam dan dalam bentuk apa pengaruh tersebut terhadap gerakan organisasi? Penelitian menunjukkan bahwa analisis gender dan pengaruhnya terhadap gerakan organisasi perempuan Islam dengan organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama sebagai kasus dilatarbelakangi oleh adanya pertarungan wacana dan kebijakan terhadap pendekatan Woman In Development (WID) dari mereka yang menggunakan pendekatan Gender and Development (GAD). Pendekatan terakhir ini menjadi titik pandang bagi sejumlah individu dan organisasi-organisasi LSM perempuan untuk melakukan counter culture dalam menggugat dan menantang nilai-nilai yang dibakukan oleh masyarakat dan negara. Bentuk penggugatan tersebut antara lain dengan membentuk organisasi yang memunculkan perspektif tanding mengenai ideologi gender dan melakukan proses penyadaran terhadap komunitas perempuan pada tingkat akar rumput. Oranisasi-organisasi ini melahirkan arah dan gerakan baru bagi perempuan Indonesia yang sering disebut gerakan yang berwawasan gender. Gerakan yang sama dilakukan oleh kelompok perempuan Muslim yang dikategorikan sebagai kelompok "Muslim Transformatif'?. Dengan analisis gender, mereka membedah teks-teks keagamaan Islam, terutama al-Quran, Hadis dan berbagai literatur hukum Islam serta menafsirkan ulang (reinterpretasi) sejumlah tema-tema keagamaan seperti tema kepemimpinan perempuan, hak waris bagi perempuan, nilai kesaksian perempuan, hak-hak reproduksi perempuan, hak menentukan pasangan hidup bagi perempuan, poligami, sunat bagi perempuan (mutilasi), aborsi, dan lain-lain. Sejumlah literatur agama yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah ditinjau kembali dan aksi kongkret pun telah dilakukan, seperti upaya amandemen terhadap undang-undang negara yang memiliki bias gender, terutama yang didasarkan pada perspektif hukum Islam, seperti UU Perkawinan tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Disamping itu telah berdiri pusat-pusat penanganan perempuan korban kekerasan yang berbasis pada lembaga-lembaga keagamaan, seperti yang dibentuk oleh Puan Amal Hayati di beberapa pesantren, seperti Pesantren Nurul Islam, Jember, Pesantren Al-Ishlahiah, Malang, Pesantren Aqidah Usmaniah, Madura, dan lain-lain. Pengaruh yang paling terlihat dari analisis gender terhadap gerakan perempuan Islam adalah pada organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, hampir semua program organisasi ini berbasis pada analisis gender. Program yang telah dilakukannya antara lain membentuk crisis center untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi (PIKER). Hal yang jauh lebih penting dari pengaruh tersebut adalah membuka perspektif baru yang bergerak pada tiga tataran utama, yaitu: (1) dari eksklusif ke inklusif; (2) dari kejumudan ke pencerahan dan pemberdayaan; dan (3) dari kekangan ke pembebasan dan demokrasi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14047
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michala
Abstrak :
Tulisan ini membahas pengukuhan peran gender tradisional yang terdapat pada film The Proposal 2009. Tulisan ini berusaha membuktikan bahwa meskipun peran gender Margaret sebagai atasan membuatnya memiliki kedudukan tinggi atas laki-laki di ruang publik, hal tersebut hanyalah pretensi untuk mengukuhkan peran gender tradisonal serta menegaskan bahwa perempuan tidak dibenarkan untuk meninggalkan ruang domestik. Tulisan ini dianalisa melalui metode qualitatif dengan menggunakan teori peran gender dari Kate Millett. ......This paper discusses the reinforcement of tradisional gender roles in the movie The Proposal 2009. This paper tries to prove that even when Margaret's gender role as a superior puts her position above men in public space, it is actually only a pretense to reinforce the traditional gender roles and to strenghten the believe that women are not supposed to leave domestic space. This paper is analyzed through qualitative method, using Kate Millett's gender roles theory.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
T47216
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masthuriyah Sa'dan
Yogyakarta: Suka Press, 2022
305.3 MAS s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Wisudantari Parthami
Abstrak :
Penelitian tentang identitas jender laki-laki dalam kerangka psikologi ulayat juga masih sangat minim jumlahnya. Pengaplikasian teori psikologi barat secara utuh pada fenomena budaya tentu dapat menimbulkan bias. Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali merupakan salah satu desa Bali asli yang mengelompokan peran pemuda dan gadis desanya berdasarkan organisasi khusus, sekeha teruna (untuk pemuda) dan sekeha deha (untuk gadis). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran pemahaman subjek terhadap identitas jender laki-laki mereka dan proses pembentukan identitas jender laki-laki mereka. Penelitian ini menggabungkan berbagai macam teori mengenai identitas jender laki-laki serta teori belajar sosial?termasuk sosialisasi dan skema jender-sebagai kerangga acuan dalam menganalisis. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan wawancara dan studi pustaka sebagai teknik pengambilan data. Wawancara dilakukan pada tiga pemuda desa adat Tenganan Pegringsingan yang berada pada tahap perkembangan dewasa muda. Hasil penelitian menunjukan ketiga subjek memiliki pemahaman bahwa identitas jender laki-laki mereka terpisah antara 'teruna' dan 'laki-laki'. 'Teruna' adalah identitas jender mereka dalam konteks adat. Sedangkan 'lakilaki' merupakan identitas jender laki-laki mereka di luar konteks adat. Pemahaman identitas jender laki-laki mereka dihayati dari sisi fisik, karakter, dan perilaku mereka sebagai laki-laki. Ketiga subjek memahami ada banyak pihak yang membentuk mereka menjadi laki-laki dan atau teruna. Eka memandang keluarga sebagai faktor utama dalam proses pembentukan identitas jender lakilakinya. Dwi merasa pengaruh adat yang paling besar membentuk identitas jender laki-lakinya. Sedangkan Tri menekankan peran teman-teman laki-lakinya. ...... It is still few study of male gender identity on indigenous psychology perspective. Straight forward applied of western theories on local phenomena could lead bias. Tenganan Pegringsingan Village, Karangasem, Bali, is an ancient Balinese Village at the present moment, which is classifying its young men and women based on special organization called sekeha teruna (for young men) dan sekeha deha (for young women). Objectives of this study are to describe subject's understanding about their male gender identity and the process of their male gender identity construction. These studies used eclectic approach by composing many theories of male gender identity and social learning theory?including ocialization and gender schema theory-as base theory. Research is conducted with qualitative method, using indepth interview and study literature as data collection technique. Three young adult from Tenganan Pegringsingan Village were chosen purposively as participants. Research findings show participants distinct their concept between 'teruna' and 'man'. 'Teruna' they define as their male gender identity in indigenous context. Otherwise, 'man' is their male jender identity out side indigenous context. They find their male gender identity in term masculine physic, trait, and behavior. Participants have recognize many factor have construct them become a man or teruna. Eka put his family as the main factor of his male gender identity construction. Dwi thought Tenganan Pegringsingan give biggest influence to himself. Meanwhile, Tri sees his friends are the main factor.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
305.3 PUT k
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erica Christiana
Abstrak :
Berdasarkan konsep transitivitas Halliday, studi ini bertujuan untuk menganalisis perdebatan antara Senator Hawley dan Profesor Bridges yang dilakukan pada 12 Juli 2022. Perdebatan ini berfokus pada topik people with the capacity for pregnancy yang berujung pada pandangan tentang identitas gender. Kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi distribusi keenam proses konsep transitivitas dan hubungannya dengan klausa yang dipilih masing-masing partisipan untuk menampilkan ideologi mereka. Analisis menemukan bahwa Senator Hawley secara dominan menggunakan proses mental dalam klausa-klausanya yang terdiri dari proses keinginan, proses kognitif, dan proses emosi. Sedangkan, Profesor Bridges seringkali menunjukkan penggunaan proses relasional dalam klausanya yang terdiri dari proses atribusi dan proses identifikasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa proses yang digunakan dalam klausa berfungsi untuk mengedepankan perbedaan ideologi gender antara Senator Hawley dan Profesor Bridges. Proses relasional yang digunakan oleh Profesor Bridges menunjukkan identifikasi gender Senator Hawley yang kaku dengan cara mengidentifikasi dan menyadari keragaman gender. Senator Hawley melawan pernyataan Profesor Bridges menggunakan proses mental dengan meminta klarifikasi untuk menyelaraskan kesadaran mereka tentang gender. Hal ini menampilkan pemahahaman Senator Hawley terkait polarisasi gender, yang mengarah kepada transphobia. ......Based on Halliday’s transitivity concept, this paper aims to analyze the debate between Senator Hawley and Professor Bridges conducted on July 12, 2022. The debate focuses on the topic of people with a capacity for pregnancy which led to views of gender identity. A combination of quantitative and qualitative method is used to explore the distribution of the six processes within the transitivity concept and its relation to the clause chosen to showcase each of the participants’ ideologies. The analysis has found that Senator Hawley dominantly uses the mental process within his clauses consisting of the desideration process, cognition process, and emotion process. In comparison, Professor Bridges shows high use of relational process within her clauses consisting of the attribution process and identification process. The analysis shows that the used processes in the clause do hold function to put forward the different ideologies on gender between Senator Hawley and Professor Bridges. The relational processes used by Professor Bridges points out Senator Hawley's rigid identification of gender by identifying and valuing the variety of genders. Senator Hawley counters Professor Bridges' allegations using mental processes by asking clarification to align their awareness on gender, which also displays his gender polarization, leading to transphobia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Clarissa Diantha Azzahra
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk membahas performativitas gender pada tokoh Nagisa dalam film Midnight Swan (2020) karya Uchida Eiji serta menganalisis pandangan masyarakat Jepang terhadap performativitas gender yang ditampilkan oleh Nagisa dalam film tersebut. Penelitian ini menerapkan dua teori dalam kerangka analisis, yaitu performativitas gender oleh Judith Butler (1990) dan teori kode-kode televisi John Fiske (1999) yang terbagi dalam tiga level, yaitu realitas, representasi, dan ideologi. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis teks dan visual dalam film Midnight Swan. Ditemukan delapan data yang menunjukkan performativitas gender Nagisa dan lima data yang menggambarkan pandangan masyarakat terhadap performativitas gender Nagisa. Temuan ini menunjukkan bahwa tokoh Nagisa tidak hanya ditunjukkan melalui karakternya sebagai transgender, tetapi juga ditunjukkan dengan menjadi seorang ibu dan penari kabaret. Pandangan masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu menerima dan menolak performativitas gender Nagisa. Meskipun penolakan akibat budaya patriarki yang telah terinternalisasi pada masyarakat Jepang kerap ditampilkan dalam film, ada sebagian masyarakat Jepang yang masih memberikan pandangan terbuka terhadap performativitas gender yang ditunjukkan Nagisa. Film Midnight Swan menunjukkan bahwa tidak mudah bagi individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai transgender untuk menjalani hidup di lingkungan masyarakat yang bersifat heteronormatif dengan beragam perspektif terkait isu gender. ......This study aims to discuss the gender performativity on the character Nagisa in Uchida Eiji's film Midnight Swan (2020) and analyze the perception of Nagisa's gender performativity within Japanese society as depicted in the movie. This study utilizes two theories in the analytical framework: Judith Butler's concept of gender performativity (1990) and John Fiske's theory of television codes (1999). Fiske's theory is further categorized into three levels: actuality, representation, and ideology. The research method used is text analysis and visual analysis in the Midnight Swan movie. A total of eight data points were identified to assess Nagisa's gender performativity, while five data points were used to analyze society's perspectives on Nagisa's gender performativity. These findings show that Nagisa's character is not solely defined by her transgender identity but also shown through her roles as a mother and cabaret dancer. Society's perspectives on Nagisa's gender performativity can be categorized into two distinct groups: accepting and rejecting Nagisa's gender performativity. Despite the frequent rejection portrayal of internalized patriarchal culture in the film, liberal society nevertheless maintains an open perspective towards Nagisa's gender performativity. The Midnight Swan movie portrays the challenges faced by people who identify themselves as LGBT, including those who are transgender to live their lives in a society with diverse perspectives regarding gender issues.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Nauly
Abstrak :
Perspektif laki-laki perlu dicermati dalam konteks ketidakadilan jender sebab komunitas inipun ternyata bagian dari korban ketidakadilan jender tersebut. Peningkatan kemampuan ekonomi, emosi dan sosial dari perempuan di satu sisi memerlukan pengembangan identitas baru laki laki, antara lain memperbesar bagiannya dalam hal pengasuhan dan perawatan. Sehingga perempuan tidak dibebani berlebihan dan laki-laki memiliki kebanggaan akan peran sebagai ayah. Menghadapi pengembangan identitas ini, laki-laki cenderung menghadapi dilema. Di satu sisi harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru seperti pengasuhan anak, di sisi lain masih dituntut dengan nilai-nilai tradisional yang bertentangan. Kondisi ini dapat menjadi sumber konflik peran jender bagi laki·laKi. Teori yang menjelaskan mengenai konflik peran jender dan keterkaitannya dengan kondisi masyarakat yang seksis dan patriarkhal adalah teori konllik peran jender dari O'Neil. Konflik peran jender adalah suatu keadaan psikologis, dimana sosialisasi peran jender memiliki konsekuensi negatif terhadap orang tersebut maupun orang lain. Konflik peran jender ini terdiri dari 4 aspek. yaitu (1) sukses, kekuasaan dan kompetisi, yaitu konflik dan tekanan yang berlebihan di antara berbagai peran yang berkaitan dengan sukses kekuasaan dan kompetisi; (2) restrictive emotionality, (3) restrictive affectionate behavior betweeo men; (4) konflik antara pekerjaan dan keluarga. Umumnya di Indonesia kondisi masyarakat masih patriarkhat, namun tuntutan untuk perubahan ke arah kesamaan (equality) perempuan dan laki-laki cukup bergema, sehingga perlu meneliti konllik peran jender laki-laki ini di Indonesia. Konflik peran jender erat kaitannya dengan budaya melalui proses sosialisasi penanaman peran jender. Salah satu faktor pembeda budaya adalah prinsip keturunan yaitu patrilineal, matrilineal dan bilateral, yang digunakan pada penelitian ini. Prinsip keturunan ini berperan dalam menentukan peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan di suatu masyarakat. Kelompok masyarakal matrilineal menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih tingi dibandingkan bilateral dan patrilineal. Pada penelitian ini kelompok masyarakat patrilineal diwakili suku bangsa Batak, matrilineal suku bangsa Minang dan bilateral suku bangsa Jawa. Menghadapi pengaruh luar seperti tuntutan keadilan jender, yang cenderung bertolak belakang dengan nilai-nilai Budaya Batak dan Jawa. Laki-laki ke dua suku bangsa ini diduga mengalami konflik peran. Sedangkan pada laki-laki Minang, dimana peran dan posisi laki-laki dan perempuan lebih egaliter, dan sosialisasi peran jender tidak terlalu menekan dibandingkan ke dua masyarakat Batak dan Jawa, peneliti berasumsi menghadapi pengaruh akan tuntutan keadilan bangsa terdiri dari 100 orang laki-laki suku bangsa Batak, Minang dan Jawa. Penelitian di laksanakan di Medan. Pengolahan data menggunakan anova 1 arah untuk permasalahan 1 dan 2 serta multiple regression untuk masalah 3, dengan bantuan program SPSS versi 11.00. Hasil penelitian adalah (1) terdapat perbedaan secara signifikan dalam hal konflik peran jender di ketiga kelompok suku bangsa. Konllik peran jender laki-laki Salak secara signilikan lebih tinggi dari konllik peran jender laki-laki Jawa, yang secara signilikan lebih tinggi dari konflik peran jender laki-laki Minang: (2) Terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal seksisme diantara ketiga kelompok: (3) Terdapat peran yang signifikan dari seksisme dan suku bangsa lerhadap konflik peran jender pada ketiga kelompok suku bangsa. Diskusi mengenai : (1) hasil perbandingan konflik peran jender, yaitu adanya pengaruh budaya dalam konflik peran jender, dikaitkan dengan pendapat dan hasil penelitian dari Ihromi, 1975, Sipayung, 1986 dan Rodgers, 1990 untuk budya Salak. Sedangkan pendapal dan hasil penelitian Hatley (1990) digunakan untuk menguraikan konflik peran jender dan budaya Jawa serta Navis (1985). Prindiville (1980) dan Ok-Kyung Pak mengenai budaya Minang. Didiskusikan mengenai hasil penelitian pada masing-masing aspek, seperti budaya "Batak" dibandingkan budaya Minang dan Jawa berperan meningkatkan konflik pada aspek sukses, kekuasaan dan kompetisi. Sedangkan budaya 'Minang' dibandingkan budaya Batak dan Jawa berperan menurunkan konflik peran jender pada aspek homphobia. Juga didiskusikan penelitian dari Kim (1990) mengenai kemungkinan variabel tingkatan akullurasi berperan meningkatkan konflik pada aspek sukses, kekuasaan dan kompetisi serta menurunkan konflik diantara pekerjaan dan hubungan keluarga: (2) mengenai seksisme yaitu perbedaan yang signifikan dalam hal seksisme di antara ketiga kelompok suku bangsa. Didiskusikan pengaruh budaya dengan pendapat dan penelitian dari Ihromi (1980) mengenai suku Batak; Sawitri (1987) untuk suku Minang dan Tjirosubono (19::38): Hatley (1990) dan Kayam (1998) mengenai suku Jawa: (3) adanya peran yang signi!ikan dari suku bangsa dan seksisme terhadap konflik peran jender. Didiskusikan peran yang cukup besar berkaitan dengan hasil penelitian dan teori Konflik peran jender dari O'Neil (1994). Ada pun saran yang diutarakan antara lain: perlunya pendekatan kualitatif, penelitian banding pada lingkungan asal budaya, penambahan variabel yang lain, seperti tingkat akulturasi dan kesehatan mental, serta saran aplikatif perlunya penelitian konllik peran jender pada kasus­ kasus laki-laki yang berhubungan dengan jender seperti kenakatan remaja laki-laki, kekerasan di rumah tangga dan lain-lain serta pelibatan laki-laki dalam perbincangan mengengai permasalahan anak dan keluarga.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T4938
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Natalia
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan Gender Diversity pada Dewan Direksi dan Dewan Komisaris dan Komisaris Independen dengan pengungkapan informasi. Adanya keragaman gender (gender diversity) dalam Dewan Direksi dan Dewan Komisaris diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengungkapan informasi kepada masyarakat melalui pengawasan yang lebih baik. Untuk menguji hubungan tersebut digunakan metode regresi linier berganda dengan menggunakan sampel sebanyak 53 perusahaan manufaktur tahun 2008, 2009 dan 2010. Penelitian menyimpulkan bahwa jumlah Dewan Direksi, ukuran perusahaan yang diukur dengan total aset, dan struktur modal yang diukur dengan rasio leverage secara bersama-sama mempengaruhi pengungkapan informasi secara keseluruhan. Persentase jumlah wanita pada dewan direksi dan dewan komisaris ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan informasi. ......This study aims to examine the relationship Gender Diversity on the Board of Directors and Board of Commissioners. The existence of gender diversity in Board of Directors and Board of Commissioners is expected to improve the quality of disclosure through a better supervision. To examine the relationship, this study uses multiple linear regression method using 53 samples manufacturing companies in 2008, 2009, dan 2010. This research concludes that size of BOD, company size measured by total aset and capital structure influence the overall disclosure. Percentage number of women on Board of Directors and Board of Commissioners not significantly has influence on disclosure of information.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T34662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poetri Primagita
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara positive gender identity, patriarchal belief, dan importance of gender identity dengan konflik identitas pada pemimpin wanita di Indonesia. Penelitian ini terdiri dari dua studi. Studi pertama merupakan survei dilakukan dalam dua tahap pengumpulan data yang melibatkan 151 pemimpin wanita di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan positive gender identity dengan konflik identitas pemimpin/wanita. Ditemukan pula hubungan positif signifikan patriarchal belief dengan konflik identitas pemimpin/wanita. Namun, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara importance of gender identity dengan konflik identitas pemimpin/wanita. Studi kedua merupakan studi kuasi eksperimen dua kelompok, yang bertujuan untuk melihat perbedaan konflik identitas pemimpin/wanita yang dirasakan oleh partisipan dalam kelompok positive gender identity dan kelompok kontrol. Sampel studi kedua berbeda dari sampel studi pertama, namun masih dalam populasi yang sama N=70 . Manipulasi dilakukan dengan menyajikan stimulus tertulis, kemudian partisipan diberikan self-report berisi item-item konflik identitas pemimpin/wanita dan positive gender identity. Hasil penelitian studi dua menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan konflik identitas pemimpin/wanita yang dirasakan oleh partisipan dalam kelompok positive gender identity dengan partisipan dalam kelompok kontrol.
ABSTRACT
This study aimed to determine whether there are a significant relationship between positive gender identity, patriarchal belief, and importance of gender identity with identity conflict in women leaders in Indonesia. This study consist of two studies. The first study was a survey with two stage of data collection involving 151 women leaders in Indonesia. The result shows that there is a negative significant relationship between positive gender identity with woman leader identity conflict. We also found there is a positive significant relationship between patriarchal belief with woman leader identity conflict. In contrast, there is no significant relationship between importance of gender identity with woman leader identity conflict. The second study was a quasi experimental between subject design, aiming to examine the differences of woman leader identity conflict perceived by participant in positive gender identity group and control group. Sample in the second study is not overlap with the sample in the first study, but they came from the same population N 70 . Manipulation is done by presenting written stimulus, then participants are given self report contained woman leader identity conflict and positive gender identity items. The result of the second study indicated that there is no significant differences woman leader identity conflict perceived by participants in positive gender identity group and control group.
2017
T47834
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>