Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 334 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cicilia Sulastri
Abstrak :
Salah satu tujuan dari penggantian dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah peningkatan efektivitas penegakan hukum lingkungan. Berdasarkan hasil pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup, sampai saat penelitian ini dilakukan, efektivitas penegakan hukum lingkungan di DKI Jakarta belum efektif. Hal ini dapat dilihat dari indikator-indikator sebagai berikut: 1. Pelaksanaan penegakan hukum lingkungan melalui sarana administratif maupun keperdataan di Propinsi DKI Jakarta kurang didayagunakan sehingga memberikan peluang untuk didayagunakannya instrumen penegakan hukum lingkungan melalui sarana kepidanaan terhadap pelaku pencemaran lingkungan; 2. Penegakan hukum lingkungan melalui sarana kepidanaan kurang didayagunakan. Indikator dari hal ini terlihat dari: a. Dari 32 pengaduan kasus pencemaran lingkungan yang diajukan kepada Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta dan BPLHD Kotamadya Jakarta Barat, Utara, Pusat, Timur selama Tahun 2001 tidak ada satu kasuspun yang ditindaklanjuti dengan langkah penegakan hukum pidana (Laporan Program Penegakan Hukum Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta Tahun 2002); b. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sampai digantikannya dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sampai sekarang (21 tahun), hanya 2 kasus pencemaran lingkungan di Propinsi DKI Jakarta yang diproses melalui penegakan hukum pidana; c. Kondisi kualitas lingkungan (misalnya air sungai) di Propinsi DKI Jakarta tidak membaik tetapi makin memburuk, misalnya kualitas sungai di Jakarta pada Tahun 2000 lebih buruk dari pada kualitas air sungai di Jakarta Tahun 1995 (Laporan Prokasih DKI Jakarta Tahun 1995 dan Tahun 2000). Sehubungan dengan hal tersebut, pertanyaan timbul dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perbandingan efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup di propinsi DKI Jakarta berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997; 2. Faktor-faktor apa yang secara signifikan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup di Propinsi DKI Jakarta. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, maka penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Mengetahui pengertian penegakan hukum lingkungan, pengertian, ruang lingkup dan pelaksana penegakan hukum lingkungan melalui sarana kepidanaan serta teori-teori yang mendukung mengenai indikator efektivitas penegakan hukum pidana dan faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup. 2. Menentukan tindak pidana pencemaran lingkungan hidup yang akan diteliti, penentuan lokasi penelitian, menentukan responden penelitian secara purposif, menyusun pedoman wawancara, melakukan penelitian awal, memperbaiki pedoman wawancara, melakukan penelitian lapangan dengan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dengan responden, membaca data dan dokumen-dokumen yang terkait dengan pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap PT. Menara Jaya dan UD. Kurnia. Langkah-langkah tersebut dilakukan untuk menguji pendugaan mengenai perbandingan efektivitas penegakan hukum pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif dan menggunakan metode analisis komparatif bertahap dan Penjumlahan (Scoring) yang didukung dengan penggunaan simbol (+) dan (-). Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa: 1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 ( kasus Munjul) lebih efektif dibandingkan dengan efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 (kasus PT. Menara Jaya) , yaitu dengan kategori cukup efektif dengan jumlah 5 simbol (+) atau 55,6% dan kategori kurang efektif dengan 3 simbol (+) atau 33,3%. Adapun 4 indikator dari efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup adalah kasus ini adalah: a).Pendayagunaan instrumen penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup; b).Kelancaran proses penegakan hukum pidana; c).Pelaksanaan penegakan hukum pidana dan dampaknya pada peningkatan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup; dan d).Dampak pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup. 2. Penegakan hukum pidana terhadap PT. Menara Jaya kurang efektif . Hal ini ditunjukkan dengan indikator: a). Daya tanggap pejabat penerima pengaduan lamban, instrumen penegakan hukum pidana digunakan, tetapi masih berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan; b). Proses penegakan hukum pidana selesai, tetapi kurang lancar baik dari aspek waktu maupun teknis lingkungan hidup; c). Putusan pengadilan tidak sesuai dengan fakta-fakta hukum, kepentingan umum dan misi pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak meningkatkan ketaatan terdakwa terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup; d). Pelaksanaan penegakan hukum pidana meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lokasi pencemaran. 3. Penegakan hukum pidana terhadap UD. Kurnia (kasus Munjul) cukup efektif, hal ini ditunjukkan dengan indikator: a). Daya tanggap pejabat penerima pengaduan lamban, instrumen penegakan hukum pidana telah digunakan, tetapi masih berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan; b). Proses penegakan hukum pidana selesai, cukup lancar baik dari aspek waktu maupun teknis lingkungan hidup; c). Putusan pengadilan sesuai dengan fakta-fakta hukum, kepentingan umum dan misi pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak meningkatkan ketaatan terdakwa terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup; d). Pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lokasi pencemaran. 4. Faktor Aparat Penegak Hukum dan Aparat Penerima Pengaduan yang terdiri dari sub-faktor Kapasitas Aparat Penegak Hukum dan Aparat Penerima Pengaduan, Komitmen Aparat Penegak Hukum dan Aparat Penerima Pengaduan, Koordinasi antara Aparat Penegak Hukum dan antara Aparat Penegak Hukum dengan Instansi Teksnis Terkait merupakan faktor (sub-sub faktor) signifikan yang mempengaruhi kurang efektivitas penegakan hukum pidana terhadap PT. Menara Jaya (kasus PT. Menara Jaya) dan terhadap UD. Kurnia (Kasus Munjul), yaitu memiliki angka signifikasi terbesar yaitu 88,3% dan 75%. 5. Faktor-faktor berikutnya yang cukup signifikan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap kasus PT. Menara Jaya adalah Faktor Peran Kontrol Legislatif dan Masyarakat dan Faktor Budaya Hukum dengan angka signifikasi 50%, disusul dengan Faktor Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 dan Peraturan-peraturan Terkait Lainnya yaitu dengan angka signifiknasi 33,3% dan yang terakhir adalah Faktor Sarana dan Fasilitas dengan angka signifikasi pengaruh terendah yaitu 20%. 6. Faktor-faktor berikutnya yang cukup signifikan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap kasus Munjul adalah Faktor Budaya Hukum dengan angka signifikasi pengaruh sebesar 50%. Berikutnya secara berurut adalah Faktor Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 dan Peraturan-peraturan Terkait Lainnya serta Faktor Peran Pengawasan Masyarakat dan Legislatif dengan angka signifikasi pengaruh 33,3% dan 25%. Selanjutnya yang terakhir adalah Faktor Sarana dan Fasilitas dengan angka signifikasi pengaruh terendah yaitu 20%. ......An objective of alteration of Act Number 4 of 1982 concerning Basic Provisions For The Management of The Living Environment by Act Number 23 of 1997 concerning The Management of Living Environment is to improve effectiveness of environmental law enforcement. According to the monitoring of Ministry of Environment, until right now implementation of environmental law enforcement in Province of Jakarta is uneffective. As shown by following indicators: 1. 32 cases environmental complaints to Environmental Management Agency of Province of Jakarta and Environmental Management Agency of West, Central, North, East and south Jakarta in 2001, were not handled by criminal law enforcement; 2. Since of enactment Act No.4 of 1982 concerning Basic Provisions For The Management of The Living Environment until changed by Act No23 of 1997 concerning The Management of Living Environment until right now (21 years), only 2 environmental pollution cases which be handled by Criminal Law Enforcement: 3. Environmental condition (air, water dan land) in Province of Jakarta in 2000 more bad than environmental condition of Jakarta in 1995 (Report of Prokasih Programme of 1995 and 2000). According of above condition, the problems that rised in this research are: 1. How are the comparation of effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters in Province of of Jakarta based on Act Number 4 of 1982 with based on Act Number 23 of 1997; 2. What are significant factors that influences the effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters in Jakarta Province. To answer the research questions, the research is conducted by following processes: 1. To understand the meaning of environmental law enforcement, definition, scopes and actors of environmental law enforcement by criminal sanction and theories of the effectiveness and significant factors that influences of the effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters. 2. To determinate environmental pollution cases that be researched, to determinate of research location, to determinate the purposive repondent, to create the guidelines of interview, act the preliminary research, to improve the guidelines of interview, act the field research by qualitative methodology by dept interview with respondents, read of data and documents linked with the implementation of criminal law enforcement for PT. Manara Jaya and UD. Kurnia. The above actions be done for examine the hypothesis of comparation of the effectiveness of criminal law enforcement based on Act Number 4 of 1982 concerning Basic Provisions For The Management of The Living Environment and Act Number 23 of 1997 concerning The Management of The Living Environment. 3. The collected data will be analysed descriptively by The Stage Comparation Analysis Methodology and Scoring that use symbol (+) and (-). According of the result of the data analysis, it can be concluded that: 1. The effectiveness of criminal law enforcement based on Act Number 23 of 1997 (a case study UD.Kurnia) is more effective than the effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters based on Act Number 4 of 1982 (a case study PT.Menara Jaya), with sufficiently effective category with 5 symbol (+) or 55,6,3% and lack of effective with 3 symbol (+) or 33,3%. Four (4) of indicators are: a. Use the instrument of crminal law enforcement for environmental polluters; b. The fluent the process of criminal law enforcement; c. Implementation old criminal law enforcement and its impact for the improvement of the compliance of environmental regulation; and d. The impacts of implementation of criminal law enforcement for the improvement of environment quality. 2. Criminal law enforcement for PT. Menara Jaya are lack of effective. As shown by indicators: a). Responsibility of officials to handle the received public complaints officials is indolent, the instrument of Criminal law enforcement be used, but based on the complaints of the victim; b). The process of criminal law enforcement has finished, but lack of fluent, timely as well as environmental technics; c). Court decision are not suitable with the legal facts, the public interest and the mission of environmental sustainability and implementation of criminal law enforcement does not improved the suspected compliance; d). Implementation of criminal law enforcement has improved environmental quality in the criminal law location. 3. Criminal Law Enforcement for UD. Kurnia (Munjul case) is sufficiently effective. As shown by following indicators: a). Responsibility of officials to handle the received public complaint is indolent, instrument of criminal law enforcement be used, but based on the complaints of the victim; b). The Process of criminal law enforcement has finished, sufficiently fluent, timely as well as environmental technics; c). Court decision are suitable with the legal facts, the public interest and the mission of environmental sustainability and implementation of criminal law enforcement does not improved the suspected compliance; d). Implementation of criminal law enforcement has not improved the environmental quality in the criminal law location. 4. Factors of The Law Enforcement Apparatus and The Complaint Received Apparatus , which consist of sub factors of the The Law Enforcement Apparatus and The Complaint Received Apparatus capacity and commitment and coordination among the Law Enforcement Apparatus and between The Law Enforcement Apparatus with The Relevanced of Technical Agencies are the significant factors that influences effectiveness of criminal law enforcement for PT. Menara Jaya (PT. Menara Jaya case) and UD. Kurnia (Munjul case), that has biggest signification cipher of 88,3% and 75%. 5. The next factors that sufficiently significant influences the effectiveness of criminal law enforcement for PT. Menara Jaya are Control Role of Public and Legislative and Public Law Culture Factors with signification chipper of 50%, continued by significantless influenced factors are Act Number 4 of 1982 and The Relevant Regulations Factors and Tools and Facilities Factor with signification chipper 33,3% and 20%. 6. The next factors that influences the effectiveness of criminal law enforcement for UD. Kurnia are Public Law Culture Factors with signification chipper of 50%, continued by significantless influenced factors are Act Number 23 of 1997 and the Relevant Regulations and Tools and Facilities with signification chipper of 33,3% and 25% and Control Role of Public and Legislative Factor with lowest signification chipper of 20%;
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aminah
Abstrak :
ABSTRAK Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Pekalongan merupakan salah satu daerah yang ditetapkan sebagai pusat wilayah pengembangan industri nasional. Salah satu potensi Industri yang cukup menonjol di wilayah ini adalah industri batik, yang dikategorikan sebagai industri sekunder dan dilakukan oleh industri kecil dan menengah. Secara keseluruhan dalam wilayah Dati II Pekalongan terdapat 783 perusahaan industri batik skala kecil dan menengah. Pada tahun 1994, kelompok industri ini menghasilkan total produksi senilai Rp. 164,95 milyar dan mampu menyerap 32,42% dari seluruh angkatan kerja. Di samping sebagai penyerap tenaga kerja terbesar, industri batik juga memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap devisa, sebab sebagian dari hasil produksinya juga telah dipasarkan ke luar negeri. Dari total industri batik di atas, pada industri batik skala kecil memilki jumlah yang lebih banyak dibanding dengan skala menengah yaitu 507 (64,75%) yang tersebar dalam beberapa sentra indusri kecil. Adapun Penyerapan tenaga kerjanya sebesar 13,67% dart total angkatan kerja. Pada satu sisi perkembangan industri batik yang cukup pesat di Kodya Dati II Pekalongan, memberikan dampak positif berupa penyedia lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, memberikan sumbangan terhadap laju pertumbuhan ekonomi daerah seta memberikan kontribusi terhadap devisa negara. Namun pada sisi lain juga memberikan dampak negatif, memberikan kontribusi terhadap pencemaran di beberapa sungai yang mengalir di wilayah Kodya Dati II Pekalongan yaitu Kali Loji, Kali Banger dan Kali Bremi. Sebab hampir keseluruhan pengusaha industri batik (khususnya skala kecil) membuang limbah tanpa pengolahan terlebih dahulu langsung ke badan air penerima antara lain ke beberapa sungai tersebut di atas. Pencemaran terutama bersumber dari limbah cair yang berupa zat wama yang dihasilkan sisa bahan pewama, proses pencucian dan pembilasan kain batik. Wama menipakan indikator pencemaran air. Pembuangan air limbah berwama tidak hanya merusak estetika badan air penerima tapi juga meracuni biota air. Di samping itu kepekatan wama dapat menghalangi tembusnya sinar matahari sehingga akan mengurangi proses fotosintesis di dalam air, sehingga oksigen yang dibutuhkan untuk kehidupan biota air akan berkurang. Penyebab lain kondisi pencemaran tersebut di atas antara lain upaya peningkatan kesadaran hukum dan penegakan hukum sulit dilaksanakan, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain antara lain faktor peraturannya (hukum) , aparat penegak hukum dan pengusaha . Pada faktor peraturannya terlihat terdapat beberapa peraturan hukum yang memberi pengecualian terhadap industri batik yaitu perkecualian terhadap kewajiban AMDAL berdasarkan KEP-12/MENLH/3/1994 tentang Jenis Usaha yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL dan pengecualian khusus terhadap industri kecil batik antara lain perkecualian terhadap ijin (Pasal 13 (3) Uu No.5 tahun 1984), perkecualian terhadap kewajiban melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumberdaya alam serta pencegahan kerusakan dan pencemaran akibat kegiatan industri (pasal 21 ayat (3) Uu No.5 tahun 1984). Pada aparat penegak hukumnya masih belum adanya kesiapan yang matang dalam melaksanakan penegakan hukum dan pada pengusahanya masih rendahnya kesadaran hukumnya pengusaha. Penelitian bertujuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan mekanisme penegakan hukum terhadap pengusaha industri kecil batik di Pekalongan, mengetahui bagaimana kesadaran hukum pengusaha yang dilihat dari indikator pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap terhadap hukum dan pola perilaku hukum pengusaha. Mengetahui apakah faktor pendidikan, informasi dan pendapatan dapat mempengaruhi kesadaran hukum pengusaha. Dan mengetahui hubungan antara penegakan hukum dengan kesadaran hukum pengusaha. Untuk mendukung penelitian ini dipergunakan dua hipotesis, antara lain kesadaran hukum pengusaha dipengaruhi oleh pendidikan, informasi serta pendapatan dan terdapat hubungan antara kesadaran hukum dengan penegakan hukum lingkungan. Untuk menganalisis dan membuktikan hipotesis di atas, maka dalam penelitian ini akan diukur dan dianalisis sejumlah variabel antara lain: (1) untuk pembuktian hipotesis I, terdiri variabel bebas: tingkat pendidikan; tingkat Informasi yang diperoleh; tingkat pendapatan. variabel terikat: pengetahuan hukum; pemahaman hukum; sikap terhadap hukum; pola perilaku hukum, (2) untuk pembuktian hipotesis II, terdiri Bari tingkat keberhasilan penegakan hukum (variabel bebas) dan bngkat kesadaran hukum pengusaha (variabel bebas). Penentuan sampel dilakukan secara purposive dengan kriteria pengusaha yang berada Sentra industri kecil batik yang berdekatan dengan sungai yang limbahnya diperkirakan dapat mempengaruhi perairan sungai (Kali Loji, Kali Banger dan Kali Bremi). Besarnya sampel ditentukan berdasarkan proporsi sebanyak 60 orang pengusaha (10,5% dari populasi). Penelitlan ini merupakan penelitian deskriptif dengan mengunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan penyebaran kuisioner kepada responden (pengusaha) dan melakukan wawancara secara mendalam untuk meiengkapi kuesioner. Data Sekunder diperoleh dari staff kepustakaan, laporan dari Instansi yang terkait antara lain Dinas Perindustrian, Kantor Statistik, Bagian Hukum dan Bagian Perekonomian Kodya Pekalongan). Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan komputer dengan Program SPSS 6.0 for Window. Dengan mengunakan pendekatan deskriptif analitis, maka digunakan distribusi frekuensi dan persentil untuk mengidentifikasi karakteristik Industri batik yang meliputi keadaan sosial ekonomi responden, kegiatan produksi batik, kondisi kesadaran hukum responden dan keberhasilan penegakan hukumnya. Untuk melihat hubungan antara faktor yang diperidrakan mempengaruhi kesadaran hukum (pendidikan, informasi dan pendapatan) dan penegakan hukum dengan kesadaran hukum digunakan Chi Square, dan untuk melihat keeratannya dilihat dari koefisien kontingensinya. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Penegakan hukum lingkungan telah dilakukan terhadap pengusaha industri kecil batik di Pekalongan baik secara preventif maupun represif. Secara preventif dilakukan melalui upaya-upaya: (i) sosialisasi hukum (melalui penyuluhan, pembinaan, media massa dan media elektronik ); (II) perijinan dan (iii). kerjasama dalam upaya pengelolaan lingkungan, yaitu dengan pembuatan IPAL terpadu. Secara represif masih terbatas penerapan sanksi berdasarkan PERDA No. 8 tahun 1991 terhadap pelanggaran pembuangan limbah cair. Secara menyeluruh penegakan hukum belum berhasil jika dilihat dari rendahnya ketaatan hukum sebagian besar pengusaha. 2. Secara umum pengusaha industri kecil batik Pekalongan memiliki tingkat kesadaran hukum yang rendah. Hal ini terlihat dari indikator kesadaran hukum yang rendah yaitu: (i) pengetahuan terhadap perilaku yang diatur oleh hukum rendah; (ii) pemahaman terhadap isi peraturan hukum yang rendah; (iii) sikap terhadap hukum yang kurang favorabel dan (iv) perilaku yang kurang sesuai dengan hukum. 3. Tingkat pendidikan pengusaha kurang berpengaruh terhadap kesadaran hukum pengusaha, jika dilihat dari indikator kesadaran hukum. Dalam kaitan ini tingkat pendidikan yang pernah diperoleh oleh pengusaha (dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi) ternyata tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan hukum; tingkat pemahaman hukum; dan sikap terhadap hukum. Khusus untuk pola perilaku hukum pengusaha, temyata dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Implikasi dari hal tersebut, bahwa pengusaha yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah mempunyai kecenderungan berperilaku yang kurang sesuai dengan ketentuan hukum, demikian sebaliknya, pengusaha yang berpendidikan tinggi akan cenderung berperilaku yang sesuai dengan ketentuan hukum. Dalam kaitan ini secara tidak langsung tingkat pendidikan pengusaha akan menjadi faktor pendorong dalam berusaha. Bagi pengusaha yang berpendidikan tinggi akan terdorong dan termotivasi untuk melanggengkan usahanya antara lain dengan mentaati dan mematuhi segenap ketentuan yang hukum yang berlaku khususnya yang terkait dengan bidang usahanya. 4. Informasi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kesadaran hukum pengusaha. Hal tersebut dapat dilihat darti adanya pengaruh antara tingkat Informasi yang didapatkan pengusaha dengan seluruh indikator kesadaran hukum, yaitu berpengaruh terhadap pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap terhadap hukum dan pola perilaku hukum. Pada kenyataannya tingkat informasi yang diperoleh pengusaha masih rendah, sehingga tingkat kesadaran hukum pengusaha juga rendah, dan sebailknya tingkat Informasi yang tinggi diperoleh sebagian kecil pengusaha menyebabkan kesadaran hukum yang tinggi. 5. Dihnjau dari keseluruhan indikator kesadaran hukum pengusaha temyata tingkat pendapatan Adak berpengaruh secara nyata, yaltu tingkat pendapatan tidak berpengaruh terhadap pengetahuan hukum. pemahaman hukum, sikap terhadap hukum dan pola perilaku hukum. Orientasi pengusaha batik pada dasamya memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder rumah tangganya. 6. Tingkat kesadaran hukum pengusaha temyata berhubungan dengan keberhasilan penegakan hukum dengan derajat hubungan yang kurang kuat, yaitu salah satu sebab ketidakberhasilan penegakan hukum terhadap industri kecil batik karena adanya kesadaran hukum yang rendah dari sebagian besar pengusaha. E. Daftar Pustaka : 56 (1977 -1996)
ABSTRACT Kotamadya Pekalongan is one of many areas decided to be the local area center for national industry development. One of the industrial potentials that is prominent in this area is the batik industry. It is categorized as secondary industry which is carried out by small and medium scale industries. Kotamadya Pekalongan has in total 783 small and medium scales batik industrial enterprises. In 1994, this industrial group produced a total of Rp. 164.95 billion and capable of accommodating 32.42 % of the total work force. Besides accommodating the largest number of work force, the batik industry also contributed towards foreign exchange, the amount of which is not small, because part of the produce is marketed abroad. Some of the small scale ones area greater in number compared to the medium scale industry, namely 507 (64.75 %) scattered In several small industrial centers. The absorption of the work force by them is 13.67 % of the total. On the one hand, the batik Industry's rapid development in the second level city of Pekalongan have a positive impact in the form of providing work, promoting community income, contributing towards regional economic growth as well as contributor towards foreign exchange. However, on the other side of the coin It gave a negative impact, particularly towards Increasing the pollution of several rivers that flow in the second level city of Pekalongan, namely Loll river, Banger and Bremi river. This Is due to the fact that almost the entire batik industry entrepreneurs (specially the small scale ones) released their waste without subsequent processing but directly into the recipient water body instead. Pollution, particularly came from liquid waste in the form color substances, washing processes and rinsing of batik material. Color constitutes and indicator of water pollution. Disposal of colored liquid waste not only destroyed the recipient water body esthetics but Intoxicate the water biotic as well. In addition, the intensity of color can hamper the penetration of sun light so those photosynthesis processes In the water and oxygen needed by water biotic life became reduced. Other causes of pollution i.e. legal awareness promotion and law enforcement are difficult to be carried out due to the influence of several factors like regulation itself, the law enforcement apparatus and the entrepreneurs. In the case of the regulation itself it can be seen that several regulations provided exemptions towards the batik industry, namely exemption towards the duty of environmental Impact assessment/AMDAL based on KEP-39/MENLH/8/1996 on the type of enterprise that must be completed with AMDAL and special exception towards batik small scale industry, among others: exemption towards towards batik small scale industry, among others: exemption towards permit (article 13 (3) Act No. 5 year 1984), exception towards the duty carrying out balancing and conservation endeavors of natural resources as well as preventing damage and pollution as a result of industrial activities (article 21 clausule (3) Act No. 5 year 1984). The law enforcing apparatus is still not yet ready in carrying out law enforcement and entrepreneur is still entertaining low level legal awareness. The study has as objectives to know the procedures and law enforcement mechanism towards batik small scale industry's entrepreneurs in Pekalongan; to know the entrepreneur's legal awareness seen from the aspects of legal knowledge, legal comprehension, attitude towards the law and legal behavior pattern of the entrepreneur. Finally to know relationship between law enforcement and legal awareness of the entrepreneur. To support this study two hypotheses were formulated, namely : the entrepreneurs legal awareness influenced by education, information and income. And, there is interaction between legal awareness and environmental law enforcement. To analyze and proved the hypothesis, hence, in this study the following were measured and analyzed, namely: Independent variables consisting of: level of education, level of information obtained and income level. Dependent variables, namely: legal awareness with the following indicators: knowledge towards law, comprehension towards the contents of laws and appropriate behavioral pattern with the law. Sample determination was carried out purposively with the criteria that the entrepreneur is staying at the batik small scale industry center that is near by the river which wastes was estimated to influence the river waters (Loji, Banger and Bremi rivers). The samples were determined. This study is a descriptive research by using primary as well as secondary data. The primary data was obtained by distributing questioners to respondents (entrepreneurs) and conducting In-depth Interviews to supplement the questioners. The secondary data was obtained by conducting literature study, reports of related Institutions like Industrial service, office of statistics, legal and economic department of the Pekalongan city administration. The data obtained was analyzed using a computer with SPSS Program for Window. By using the analytic descriptive approach, hence, frequency distribution was used to identity characteristics of the batik industry covering respondent's sodo-economic condition, batik production activities, legal awareness of respondents and law enforcement achievement. To see the relationship between factors expected to influence legal awareness (education, Information and income) and law enforcement with legal awareness, thence, the Chi Square test was used. Considering the results of the study, hence, several conclusions can be drawn, namely that 1. Environmental law enforcement has been undertaken towards small scale batik industrial entrepreneurs in Pekalongan, both, preventive as well as repressive. Preventive measures were undertaken by way of legal socialization (by way of CIE, guidance, mass and electronic media), cooperation in integrated IPAL formulation and permits. Repressively, it is still limited to the field of administrative law, namely PERDA no. 8 year 1991 enforcement against liquid waste disposal. in its entirety it could be said that the law enforcement cannot as yet be considered as successful as can be seen from the low legal loyalty of the majority of entrepreneurs be considered as successful as can be seen from the low legal loyalty of the majority of entrepreneurs. 2. In general, Pekalongan small scale industry entrepreneurs have a low level legal awareness. This can be seen from the several law enforcement indicators, namely: (i) legal knowledge of entrepreneurs is low; (ii) low level comprehension of contents of legal regulations; (iii) attitude towards the law which is not yet favorable and (iv) behavior pattern that is not yet in line with the law. 3. Entrepreneur's educational level has lithe influence on this legal awareness, if viewed from the legal awareness indicator aspect. In this connection, the level of general education ever obtained (from the primary up to tertiary education) turned out to have no influence on the level of legal knowledge; level of comprehension on the contents of legal regulations; legal attitude. In general, the important determinant factor is the fact that general education curriculum, do not contain environmental legal aspects. But, in the case of entrepreneur's legal behavior pattern, it turned out to be influenced by the level of education. The implication is that entrepreneurs who are of low educational level tend to behave less in accordance to legal stipulations. The reverse is true, namely entrepreneurs oh high educational level will become the driving force in entrepreneurship. Entrepreneurs of high educational level will be pushed and motivated to conserve their enterprise by, among others, observing all existing legal stipulations, particularly those related to their field of trade. 4. If viewed from the respective legal awareness indicators, namely: (i) educational level towards environmental legal stipulations; (ii) comprehension level of environmental legal stipulations; (iii) attitude towards environmental legal stipulations and (iv) legal behavior pattern, it turned out that the role of information Is very influential. In fact, the converse is true namely that high information level obtained will lead to high legal awareness. 5. Viewed from the entire entrepreneur's legal awareness indicator, it turned out that income level has no Influence factually. Basically, the batik entrepreneur's orientation is to get the biggest profit to meet their primary and secondary household needs. 6. The entrepreneurs legal awareness level turned out to have relationship with law enforcement achievement. The failure of law enforcement towards small scale batik industry is due to the presence of low legal awareness among the majority of the entrepreneurs. E. Total of references : 54 (1977 until 1996)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susiani
Abstrak :
Kasus sengketa lingkungan hidup pada umumnya diselesaikan melalui pengadilan, baik secara perdata, maupun secara pidana yang diatur diadalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 Undang-undang Nomor : 4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH). Namun jarang sekali kasus sengketa lingkungan hidup yang menang di pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui Pengadilan memerlukan waktu yang tidak sedikit, sementara itu pencemaran terus berlangsung. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar proses sidang pengadilan relatif lebih menguntungkan, karena waktu yang diperlukan lebih singkat, para pihak dapat bermusyawarah dan bermufakat sehingga dapat menghasilkan keputusan yang bersifat win-win dalam arti tidak ada pihak yang menang ataupun yang kalah. UULH tidak mengatur tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar proses sidang pengadilan. Namun di dalam Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup (RUULH) yang akan datang diatur tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar proses sidang pengadilan. Bahkan RUULH secara tegas membuka peluang bagi tumbuh dan berkembangnya mediator swasta disamping mediator yang berasal dari aparat pemerintah. Hal itu tercermin dalam Pasal 28 RUULH. Sebagai alternatif penyelesaian sengketa lingkungan, arbitrase banyak mempunyai kelebihan yaitu, cepat, murah dan efektif. Pada umumnya arbitrase dipakai dalam penyelesaian sengketa komersial (perdagangan) baik dalam negeri maupun luar negeri. Arbitrase karena sifatnya yang menjurus kepada privatisasi penyelesaian sengketa dapat mengarah kepada situasi win-win dan bukan win-lose. Meskipun lebih menguntungkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbitrase masih kalah populer dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Hal ini terbukti belum satu pun sengketa lingkungan hidup yang diselesaikan melalui Arbitrase. Kurang populernya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbitrase, karena kurang dikenalnya lembaga tersebut di dalam negeri sendiri.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Yuzad Fiddian
Abstrak :
Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik sekarang maupun masa yang akan datang. Unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, maka Pemerintah dan masyarakat mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi. Pada tahun 1982 disahkan dan diundangkan UU No. 4 Tabun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH), yang berfungsi sebagai payung bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada. Lebih lanjut UULH ini menyatakan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu ditetapkan dengan undang-undang, yang kegiatannya mencakup 3 aspek : 1. perlindungan sistem penyangga kehidupan; 2. pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara; 3. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. (Pasal 12 & Penjelasannya) Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan jenis-jenis biota perairan yang dilindungi, agar tidak mengalami kepunahan (Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972, No. 35/Kpts/Um/1/1975, No. 327/Kpts/Um/5/1978, No. 716/Kpts/Um/10/1980, dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987). Namun, beberapa jenis satwa yang dilindungi menurut beberapa Keputusan Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan di atas, oleh UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (UUP) dinyatakan dapat dimanfaatkan secara komersial (Pasal 1 Angka 2 & Penjelasannya). Kemudian pada tahun 1990 diberlakukan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKH) yang merupakan realisasi amanat Pasal 12 UULH tersebut di atas. UUKH ini menyatakan konservasi sumber daya alam hayati merupakan pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Selanjutnya, dalam Pasal 20 UUKH ditetapkan, untuk melindungi spesies perlu ditetapkan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi baik karena dalam bahaya kepunahan maupun karena populasinya jarang. Sehubungan dengan ketentuan di atas, Menteri Kehutanan mengeluarkan 2 Surat Keputusan, yakni Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-1I/1991 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts-II/92. Sebagai konsekuensi dari ketentuan itu, setiap orang tidak boleh melakukan penangkapan atau tindak perbuatan lain yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 21 ayat (2) UUKH. Apabila ada orang yang melakukan tindak perbuatan dimaksud, maka orang tersebut dapat dipidana (Pasal 40 ayat (2) & ayat (4) UUKH), dan tumbuhan & satwa tersebut dirampas oleh negara untuk dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan (Pasal 24 UUKH). Pengecualian terhadap hal di atas dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, penyelamatannya, dan atau membahayakan kehidupan manusia (Pasal 22 UUKH). Sesuai dengan sifat penelitian ini deskriptif-preskriptif, maka penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan dan mencari jawab atas masalah-masalah yang ada tersebut. Dengan demikian diperoleh saran-tindak dalam menghadapi permasalahan itu, agar tercapainya kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sehubungan dengan hal di atas, pengamatan dan pembahasannya memakai metode ilmiah analitis-struktural, dengan menerapkan tata pendekatan dan metode kajian berdasarkan aspek wadah dan aspek isi yang terkandung di dalamnya serta aspek tata laku yang merupakan perpaduan antara kedua aspek terdahulu, untuk makin mendekati hakekat kenyataan, agar dapat memperoleh cara penyelesaian masalah dengan berlandaskan pengertian (comprehension) dan tidak hanya sekedar.pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa para aparatur hukum yang memproses perundang-undangan yang menjadi obyek penelitian ini, kurang memahami UULH sebagai Umbrella Act yang merupakan makro sistem di dalam pengelolaan lingkungan. Kondisi ini menunjukkan lemahnya tingkat kesadaran hukum di Indonesia, karena : - kurangnya kepastian yang diberikan oleh hukum yang berlaku; dan - lemahnya komitmen dari pihak penguasa dalam pembangunan hukum itu. Apabila keadaan ini dihubungkan dengan asas-asas legalitas dari Fuller, maka dapat dinyatakan bahwa situasi perundangundangan sedemikian itu tidak memenuhi : - asas suatu sistem tidak boleh mengandung peraturanperaturan yang bertentangan satu sama lain; - asas harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Berdasarkan hal ini dapat dikemukakan, sistem hukum lingkungan di Indonesia belum tercipta secara baik. Menghadapi permasalahan ini teori ilmu hukum mengharapkan para aparatur hukum untuk melakukan interpretasi teleologis atau interpretasi sistematis berdasarkan konsep, asas, norma, lembaga dan sistematika UULH demi kepentingan masyarakat hukum dan lingkungan yang menuntut penilaian yang sama secara harmoni. Hal ini sesuai dengan asas kepastian hukum, asas kemanfaatan dan asas keadilan di dalam pembangunan hukum. Untuk menjamin terlaksananya nilai-nilai dasar hukum itu, perlu dipacu operasionalisasi Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum secara nasional sebagai unsur pendukung fungsi hukum, sehingga semua aparatur hukum dapat mengumpulkan data dan informasi hukum yang selengkap-lengkapnya secara cepat, mudah dan akurat. dengan demikian terhindarkan, tidak teramatinya peraturan-peraturan hukum yang berkaitan satu sama lain dalam tata hukum Indonesia dan ketidaktaatan terhadap tertib hukum Indonesia, agar terciptanya budaya hukum nasional yang kondusif bagi kehidupan hukum pada khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya. Di samping itu, Pemerintah sudah saatnya untuk merealisasi amanat Pasal 3 TAP MPR No. V/MPR/1973 yang antara lain menyatakan perlu dilakukan penyempurnaan terhadap TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum bagi Keppres yang dibentuk oleh Presiden dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) DUD 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan, Amanat Presiden RI kepada Ketua DPR No. 2826/Hk/60 dalam sumber Tertib Hukum Indonesia. Daftar Kepustakaan : 50 (1971-1994)
The Different Regulated Provision In The Field Of Environmental Law In Indonesia (Case Study Act No. 9 Of 1985 And Act No. 5 Of 1990)Biological natural resources of Indonesia and it's ecosystem have an important role and status in the livelihood of national development. Therefore, it has to be managed and exploited in a harmonious and balanced manner for the sake of the Indonesian community's welfare in particular and mankind in general, both today as well as the coming years to come. The elements of biological natural resources and it's ecosystem, in essence, are inter-dependent and influencing one another, so that damage and extermination of any one of the element will result in ecosystem disturbance. Thus, conservatory steps are needed so that the biological natural resources' and it's ecosystem are always maintained and able to realize the balance and stuck with development itself. Considering the importance of biological natural resources and it's ecosystem for the promotion of community welfare and quality of man's livelihood, hence the government and it's society the duty and responsibility in conservation activities. In 1982 was done and promulgated the Act No. 4 of 1982 on Basic Provisions for The Management of The Living Environment (EMA), which functions as an umbrella for the formulation of others Acts and Regulations related to the living environment and for the adaptation of the already existing laws and regulations. In addition, this EMA stated that conservation of biological natural resources and it's ecosystem need to be stipulated with an Act, the activities of which encompass 3 aspects: 1. protection of life support system; 2. conservation and maintenance of the varieties of plant and animal species and their ecosystem, in the sphere of earth, water and air; 3. sustained utilization of organic natural resources and their ecosystems. (Article 12 & it's Elucidation) In the framework of species conservation, the protected waters biota species are determined, in order to prevent them from extinction (The Letter of Decision of the Minister for Agriculture No. 327/Kpts/Um/7/1972, No. 35/Kpts/Um/1/1975, No. 327/Kpts/Um/5/1978, No 716/Kpts/Um/10/1980, and Letter of Decision of Minister for Forestry No. 12/Kpts-II/1978). Nevertheless, some animal species, protected in accordance with some Decision of the Minister for Agriculture and the Minister for Forestry mentioned above, are permitted to be commercially utilized base on Act No. 9 of 1985 on Fishery (UUP, Article 1 Number 2 & it's Elucidation). Then, in 1990, Act No. 5 of 1990 on the Conservation of Biological Natural Resources and it's Ecosystem (UUKH) is promulgated, which is the realization of the massage in Article 12 EMA mentioned above. This UUKH stated that the Conservation of Biological Natural Environment constitute Conservation of Biological Natural Resources, the exploitation of which is carried out wisely to guarantee the sustainable reserves by consistently maintaining and promoting biodiversity quality and their values. In addition, in Article 20 UUKH it was stated that, to protect the species, the kinds of plants and animals that are protected both because of in danger of extinction as well as due to their rare population need be stipulated. Related to the above stipulations, the Minister of Forestry issued 2 decrees, namely The Minister of Forestry Decree No. 301/Kpts-II/1991 and the Decree No. 882/Kpts-1I/92. As a consequence of those stipulations, every person may not capture or other measures which has been stipulated limitatively in Article 12 paragraph (2) UUKH. Should there be a person who carried out that action as meant, then the person in question can be punished (Article 40 paragraph (2) and paragraph (4) UUKH), and plants and animals in question are confiscated by the State to be returned to their respective habitats or entrusted to those institutions that operate in the field of conservation of plants and animals, except when the condition is such that it is impossible to be of use, so that it is considered better to be destroyed (Article 24 UUKH). Exception to the above can be undertaken for purposes of research, science, survival and or endangering human life (Article 22 UUKH). In accordance with in this study, which is descriptive﷓prescriptive, hence this study has as objectives to finalize and search for answers of issued that are present. In doing so, recommendations for actions in facing the issue for the sake of achieving human and other living creatures welfare can be obtained. In connection with the above statement, observations and it's discussion are carried out by using the structural-analytical scientific method, by applying the approach and study method based on content and container aspects inherent in it's as well as behavioral aspects which constitute the integration of the previous two aspects, to approach closer the essence of reality, so that problem solving method is obtained based on comprehension and not merely knowledge only. The results of the study showed that the legal apparatus that processed the laws that became the study object, lack comprehension of EMA as an Umbrella Act, which constitutes the macro system in environmental management. This condition showed the weakness of the legal awareness level in Indonesia, due to: - uncertainty that is provided by the valid law; and - commitment weakness shown by the authorities in the legal development. When this situation is related to the legal principles of Fuller, thence, it can be stated that the legal situation as such does not comply with: - the principle that a system must not contain regulations that is contradicting one another; - the principle that there must be harmony between regulations enacted with the daily implementation. Based on those, then, it can be stated that, the environmental legal system in Indonesia is not yet realized properly. Facing this issue, the legal science theory hoped that the legal apparatus carried out teleological interpretation or systematic interpretation based on concept, principles, norms, institutional and EMA systematic for the sake of the legal community interests and the environment that demand similar evaluation harmoniously. This is in accordance with the legal certainty principle, benefit principle and justness principle within the legal development. To guarantee the realization of those legal principles values, the operationalization of the Documentation Network System and Legal Information need be stimulated nationally as a legal function support element, so that all legal apparatus can collect legal data and information as completely as possible rapidly, easily and accurately. Hence, it could be avoided, the unobserved legal regulations that are related one to another in the Indonesian Legal System and the non-adherence towards Indonesian Legal Order, so that the National Legal Culture is realized which is conducive for the legal life in particular and national development in general. In addition, it is time for the government to realize the message of Article 3 TAP MPR No. V/MPR/1973 which, among others, stated the need to carry out the finalization of TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. This is meant to guarantee the legal certainty of KEPPRES which is issued by the President within the framework of carrying out the task and function of governance in accordance with Article 4 paragraph (1) UUD 1945 and matters pertaining to form of government convention, the Republic of Indonesia Presidential Message to the Chairman of DPR No. 2826/Hk/60 in the Indonesian Legal Order Source. Number of References: 50 (1911-1994)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T1809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Poedjiono
Abstrak :
ABSTRAK Peternakan sapi perah merupakan salah satu usaha peternakan dengan tujuan untuk memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak. Namun demikian peternakan sapi perah juga, merupakan salah satu kegiatan yang potensial menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu tata cara penyelenggaraannya harus didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, agar usaha tersebut tidak merugikan alam dan atau manusia itu sendiri. Berdasarkan sifat yang bertentangan tersebut, kiranya nenarik bila dilakukan penelitian-penelitian, antara lain mengenai pelaksanaan ketentuan hukum lingkungan pada peternakan sapi perah. Masalah pokok yang diteliti adalah: Bagaimana pelaksanaan ketentuan hukum lingkungan pada peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan pada peternakan rakyat yang mendapat bantuan ternak sapi perah dari Penerintah di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Tujuan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan ketentuan hukum lingkungan pada peternakan sapi perah bantuan Pemerintah di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Adapun yang dimaksud hukum lingkungan adalah jenis hukum yang berorientasi kepada kepentingan lingkungan hidup dan yang memerintahkan manusia untuk melindungi dan memelihara lingkungan hidup secara serasi, selaras dan seimbang dengan sistim ekologi. Hukum lingkungan dapat diartikan juga sebagai perangkat norma yang mengatur tindakan orang dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu suatu pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Digunakannya metode ini, karena penelitian ini bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai pelaksanaan ketentuan hukum lingkungan pada peternak sapi perah rakyat di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling) dengan intensitas 107 terhadap persebaran populasi, sehingga dari 765 peternak, didapat contoh sebanyak 77 peternak. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, dan wawancara yang disertai dengan observasi di lapangan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sarana yang dimiliki peternak, kesadaran dan kemampuan peternak mempunyai hubungan dengan pelaksanaan ketentuan hukum lingkungan pada peternakan sapi perah. Artinya jika sarana yang dimiliki memadai, didukung adanya kesadaran dan kemampuan peternak, maka ketentuan hukum yang berlaku bagi usahanya akan dilaksanakan atau ditaati. Diketahui juga bahwa sanksi merupakan pengukuh atau pendukung bagi dilaksanakannya ketentuan hukum lingkungan pada peternakan sapi perah. Artinya sanksi baru diterapkan kepada peternak, jika sarana yang dimiliki memadai, mempunyai kesadaran dan kenampuan untuk melaksanakan ketentuan hukum itu, tetapi usaha peternakan yang diselenggarakan, tidak sesuai dengan ketentuan hukum tersebut. Dari hasil penelitian diketahui perlunya penyuluhan hukum pada umumnya dan hukum lingkungan pada khususnya bagi peternak, juga perlunya pembentukan kelompok ternak atau desa ternak yang menempati lokasi khusus dengan jarak sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku.
ABSTRACT Dairy farm is one of farming business aimed at improving income and welfare of dairy farmers. However, it has to be admitted that dairy farming is a kind of activity which is potential to generate environment pollution. Therefore, it has to be organized based on the valid regulators. So that it will not be harmful either to the natural environment or to the people them selves. The two opposing charateristics above, encouraged the writer to conduct the research to find out the environmental law implemented to dairy farming. The main problems being investigated are: How are the environmental law implemented to dairy farming? The research was conducted to investigate the people's dairy farm having grant of dairy cattle from the government in Banyumas regency, Central Java. The objectives of research are to find out the environmental law implemented to dairy farming. The method used in the research is descriptive, that is fact finding based on appropriate interpretation. The reason for using this method is that the writer wanted to make a factual, accurate and systematic description about the environmental law implemented to dairy farming. Sampling was done in a random way with intensity of 10 X. So that out of 765 dairy farmers 77 person are taken as sample. The data were collected based on review of literature, interview and field observation. The result of research shows that facilities used to ability to carry out the law have correlation with environmental law implemented to dairy farming. 5o sanction is finally alternative to enforcement law. The result tell us further, that information guiding of law in general and environmental law in particular should be given to dairy farmers, and setting up farmer group in certain areas.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barlin
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini merupakan hasil penelitlan mengenai Persepsi Masyarakat Jakarta Pusat Tentang Penegakan Peraturan Perundang-undangan Lingkungan, dengan jumlah sampsl yang ditarik 160 orang atau 10% dari 1612 orang.

Pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan akan dapat menimbulkan masalah lingkungan. Untuk mencegah timbulnya masalah ini maka diperlukan hukum sebagai sarana pengendali, tetapi hukum sebagai instrumen yurldls dalam pengelolaan lingkungan tldak bekerja sendlrl, melalnkan perlu mellbatkan dlslplln Ilmu lainnya.

Hukum sebagai instrumen yuridis dalam pengelolaan lingkungan mengandung arti, bahwa setiap kegiatan pembangunan harus mengacu kepada kebijaksanaan lingkungan. Dengan demikian diharapkan bahwa sejak awal perencanaan kegiatan telah dapat dipsrtimbangkan berbagai macam kemungkinan dampak yang akan terjadi. Dan sekaligus dapat diteotukan alternatif penanganannya, sehingga pada gilirannya tujuan pembangunan berwawasan lingkungan akan dapat terlaksana. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa meskipun UULH telah diundangkan pada tahun 1982, namun pencemaran lingkungan tetap terjadi seakan-akan UULH tidak mampu mencegahnya atau kurang efektif di dalam penerapannya.

Dalam kaitan efektifitas penerapan UULH ini setidak-tidaknya ada tiga hal yang penting, yaitu kemampuan aparat penegak hukum, alat bukti yang akurat, dan saksi ahli yang perlu diperhatikan agar dapat berhasil mengajukan suatu kasus lingkungan ke pengacilan. Pengamatan penulis kegagalan dari beberaoa kasus lingkungan yang diajukan ke pengadilan adalah disebabkan oleh kelemahan ketiga hal tersebut di atas. Dalam pengajuan kasus lingkungan sering dipertanyakan ' tentang adanya korban. Pengerti an korban menurut pandangan hukum pidana dimaksudkan adalah manusia, aan pandangan ini berbeda dengan pandangan di dalam hukum 1ingkungan. Korban dalam kasus lingkungan adalah "lingkungan i tu sendiri, terlepas dari pertanyaan siapa yang menjadi korban. Menurut pandangan hukum lingkungan adanya orang sebagai korban bukanlah prasyarat tentang adanya kejahatan dalam bidang lingkungan. Pencemaran Tingkungan terjadl apabila Baku Mutu Lingkungan dilampaui.

Bertitiktolak dari perbedaan pandangan ini, maka kamudian lahirlah pertanyaan "apakah ada perbedaan persepsi masyarakat tentang penegakan peraturan perundang-undangan 1ingkungan". Berdasarkan ilustrasi dari beberapa putusan Pengadilan Negeri, kenyataan menunjukkan adanya perbedaan persepsi. Akan tetapi hal yang mendasar ingin dijawab dalam penelitian ini adalah faktor apakah yang menyebabkan perbedaan persepsi ?. Dalam kaitan ini penuli s beranggapan bahwa tingkat pendidlkan dan pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi persepsi tentang oenegakan peraturan perundang-undangan TIngkungan. Atas dasar anggapan ini disusun hipotesi's sebagai berikut :
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nank Kusna Buchari
Abstrak :
Kegiatan pembangunan industri sebagai salah satu penunjang pembangunan nasional harus memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh Peraturan PerUndang-Undangan. Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, dinyatakan bahwa pembangunan industri diarahkan untuk menuju kemandirian perekonomian nasional, meningkatkan kemampuan bersaing dan menaikkan pangsa pasar dalam negeri dan luar negeri dengan selalu memelihara kelestarian flmgsi lingkungan hidup. Penegakan Hukum Lingkungan Industri yang dilaksanakan oleh aparat Kepolisian baik sebagai individu, sebagai fungsi dan sebagai organ sangat penting dalam mencegah dan menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup baik sebagai akibat pembangunan industri maupun akibat limbah dan kegiatan usaha industri, dalam mewujudkan pembangunan industri berwawasan lingkungan sebagai diatur antara lain dalam Undang-undang No.4 Tahun 1982, PP No 13 Tahun 1987 Tentang Izin Usaha Industri jo PP No 51 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan jo SK. Menteri Penndustnan No. 291/M/SK/10/1989 Tentang Tata Cara Perizinan dan Standar Teknis Kawasan Industri jo SK. Menteri Perindustrian No.l34/M/4/1988 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Sebagai Akibat Kegiatan Usaha Industro jo KEPPRES No. 77 Tahun 1994 Tentang BAPEDAL jo Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang dan jo Undang-Undang Kepolisian RI No. 13 Tahun 1961 jo Undang-Undang HAP No. 8 Tahun 1981. Pencegahan pencemaran yang meliputi antara lain pemilihan lokasi sesuai RUTR, pembuatan AMDAL, pengolahan dan lain-lain serta penanggulangan, seperti penetapan kualitas limbah dan nilai ambang batas bagi lingkungan, penanganan limbah melalui daur ulang dengan mengikuti prosedur Administrasi Pemerintah Daerah setempat. Adanya kemungkinan perusahaan kawasan industri diberikan batas waktu tiga tahun untuk tidak menyusun RKL, RPL setelah persetujuan prinsip dikeluarkan, sebagaimana dimaksud SK. Menteri Perindustrian No. 291/M/SK/10/1989, dan hanya adanya kewajiban menyusun ANDAL, RKL dan RPL apabila ada dampak penting pada tingkat izin tetap sebagaimana diatur di dalam PP No. 51 Tahun 1993 tentang ANDAL, maka memberi peluang pada tingkat persetujuan prinsip bag! perusahaan industri terjadinya pencemaran dan kerusakan Hngkungan hidup, sebab pencemaran dan kerusakan itu dapat terjadi tidak saja setelah usaha industri itu beroperasi, tapi dapat juga pada tahap persiapan dan usaha pembangunan industri. Keadaan ini menjadikan tidak efektifnya peratuaran Izin Usaha Industri dalam rangka usaha pencegahan dan penanggulangan pencemaran industri terhadap lingkungan hidup. Di sinilah diperlukan suatu kebijakan yang merupakan suatu strategi penegak hukum dalam rangka menunjang pembangunan berwawasan lingkungan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kualitas kebijakan dalam Penegakan Hukum Lingkungan dan tingkat kesadaran lingkungan para pengusaha dan masyarakat lingkungan industri. Di samping itu, dengan penelitian ini juga ingin diketahui (1) Perbedaan persepsi antara kelompok Pengusaha, Pengelola Lingkungan, dan pandangan Masyarakat Lingkungan Industri mengenai kualitas kebijakan dalam Penegakan Hukum Lingkungan (penyidikan di lingkungan industri). (2) Perbedaan persepsi antara kelompok Pengusaha, Pengelola Lingkungan dan Masyarakat Lingkungan Industri mengenai tingkat kesadaran lingkungannya. (3) Hubungan antara kualitas Kebijakan Penegakkan Hukum Lingkungan dengan Tingkat Kesadaran Masyarakat Lingkungan Industri menurut persepsi Kelompok Pengusaha, Pengelola Lingkungan, dan Masyarakat Lingkungan Industri itu sendiri. Pelaksanaan penelitian ini di wilayah hukum POLDA JABAR dan khususnya di daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung sepanjang Sungai Citarum dari mulai Desa Sapan sampai dengan Bandung Selatan dengan memakan waktu selama (enam) bulan (dari mulai April sampai dengan September Tahun 1996). Metode penelitian ini digunakan metode survei dengan besar sampel seluruhnya 100 Responden untuk kelompok Pengelola Lingkungan 37 orang, kelompok Pengusaha 27 orang dan Masyarakat Lingkungan Industri 36 orang. Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner, baik untuk kelompok Pengusaha, kelompok Pengelola Lingkungan, dan kelompok Masyarakat Lingkungan Industri. Jumlah pertanyaan seluruhnya ada 181 butir. Untuk kelompok Pengusaha terdiri atas 80 butir mengenai materi kebijakan manajemen Penegakan Hukum Lingkungan, dan 39 butir untuk tingkat Kesadaran Lingkungan Industri, 62 butir untuk Administrasi Penegakkan Hukum Lingkungan. Sedangkan kelompok Pengelola Lingkungan jumlah butir instrumennya sebanyak 80 butir pernyataan tentang materi Kebijakan dalam Penegakkan Hukum Lingkungan, 39 butir tentang Tingkat Kesadaran Lingkungan. Sementara itu untuk kelompok Masyarakat Lingkungan Industri instrumennya adalah 80 butir tentang materi Kebijakan dalam Penegakkan Hukum Lingkungan dan 39 butir materi tentang tingkat Kesadaran Lingkungan Industri. Dari jumlah butir masing-masing instrumen, seluruhnya tidak diujicobakan, tetapi telah diperhitungkan tentang tingkat validitas dan reabilitasnya. Teknik analsis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, ANOVA satu jalan dan korelasi sederhana pada taraf signifikansi a = 5%.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isharyanto
Abstrak :
ABSTRAK
Upaya menegakkan hukum dilakukan dengan gencar tanpa memperhitungkan sifat UULH sebagai "kaderwet" yang perlu penjabaran lebih lanjut dalam seperangkat peraturan per- undang-undangan lingkungan. Di samping itu, menghadapi masalah lingkungan yang relatif baru, kemampuan aparat penegak hukum kurang pula dipersiapkan. Kenyataan bahwa aparat penegak hukum yang bergelar Sarjana Hukum pada masa studinya di Fakultas Hukum belum pernah mendapat bekal mata kuliah Hukum Lingkungan tidak disadari sebagai kendala, apalagi penegakan hukum terhadap UULH lebih ditekankan kepada aspek pidananya (represif). Masalah lingkungan yang kompleks yang memerlukan persyaratan pembuktian ilmiah (scientific proof) dalam prosedur perkara belum pula dipahami oleh penegak hukum.

Mudah dipahami apabila kemampuan yang ?kurang" akan menjadi kendala bagi penegakan hukum pidana lingkungan. Apalagi masalah lingkungan yang kompleks memerlukan per- syaratan pembuktian ilmiah (scientific proof) yang menun- tut pemahaman dan penguasaan oleh pihak aparat penegak hukum yang bertugas dalam bidang penegakan hukum pidana lingkungan.

Tujuan penelitian ini adalah menemukan jawaban dari permasalahan sebagaimana telah dirumuskan di atas, yaitu di samping mengetahui sejauh manakah peranan sanksi pidana yang ada dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1982 dan sampai sejauh manakah penerapan sanksi pidananya, juga untuk mengetahui hambatan-hambatan apakah yang ada dalam proses penerapan sanksi pidana dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut.

Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif dengan menggunakan tinjauan literatur dan penelitian lapangan. Penentuan daera sampel dilakukan dengan purposive random sampling dengan subyek penelitian Kejaksaan Agung RI, MABES POLRI, Pengadilan Negeri Sidoarjo. Analisis data secara kualitatif.

1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pekei, Titus
Abstrak :
Masyarakat Indonesia dalam kenyataannya lebih akrab dengan lingkungan alamnya daripada penerapan teknologi. Perkembangan teknologi yang mengelola sumber daya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya sehingga tetap bermanfaat bagi generasi-generasi mendatang. Dengan memperhatikan kualitas lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi sebagai komoditi masyarakat setempat yang tersubsistem. Hanya tindakan manusia yang membuat seolah-olah mampu menguasai alam sehingga hampir semua lingkungan hidup sudah tersentuh oleh kehidupan manusia. Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola pula dari sistem tersebut. Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk melakukan pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusaha dapat dimintakan .pertanggungjawaban jika dia lalai dalam menjalankan kewajibannya. Dengan hal tersebut, aspek perdata penegakan hukum terpadu lingkungan hidup atas kasus Teluk Buyat oleh NMR, merupakan upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan penerapan asas tanggung jawab mutlak membayar ganti rugi dan pemulihan lingkungan hidup sekitarnya. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui upaya penegakan hukum lingkungan hidup dan secara khusus bertujuan untuk mengetahui: (1) mengetahui proses penyelesaian litigasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; (2) Mengetahui kedudukan hukum dan kepentingan penggugat; (3) Mengetahui petitum dan optimalisasi penggugat terhadap tergugat I (PT.NMR) dan Tergugat 11 (Direktur PT.NMR) hingga putusan. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (a) Evaluasi aspek perdata penegakan hukum lingkungan terhadap kasus PT.NMR, Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup terkait dapat implementasikan instrumen penegakan hukum lingkungan untuk mencapai tujuan namun kenyataannya tidak efektif; (b) Kurangnya kapasitas dan komitmen aparat penegakan hukum dalam melaksanakan penegakan hukum lingkungan hidup untuk merealisasikan pelaksanaan satuan tugas tim penegakan hukum lingkungan hidup sebagai gabungan satuan tugas penelitian dan pengembangan melakukan serangkaian kegiatan terhadap dampak besar dan penting untuk mengembangkan sistem penegakan hukum lingkungan hidup terpadu (satu atap) atap ke depan; (c) Keterbatasan kuantitas dan kualitas aparat penegakan hukum lingkungan hidup dalam hal -penanganan litigasi dan non-litigasi kasus Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat - Sulawesi Utara. Penelitian ini digunakan penelitian kualitatif dengan penyajian data menggunakan metode deskriptif analitis, terhadap proses litigasi aspek perdata penegakan hukum terpadu lingkungan terhadap kasus PT.NMR. Dimana pemerintah (KLH) sebagai penggugat terhadap PT.NMR dan Direktur NMR, Sulawesi Utara sebagai tergugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Implementasi kaidah-kaidah hukum perdata dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, pada hakikatnya memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan termasuk ruang lingkup hukum lingkungan keperdataan. Dalam hubungannya dengan sengketa lingkungan hidup, akan membedakan adanya tiga fungsi dari penegakan hukum perdata, yaitu: (1) dengan melalui hukum perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-norma hukum lingkungan baik yang bersifat hukum privat maupun hukum publik. (2) dapat memberikan penentuan norma-norma dalam masalah lingkungan hidup, (3) memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atas pencemaran lingkungan terhadap pihak yang menyebabkan timbulnya pencemaran tersebut, yang biasanya dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum. Hasil analisis penelitian sebagai teknik penegakan hukum melalui upaya-upaya yang bersifat persuasif-edukatif (preventif) dan teknik penegakan hukum yang bersifat represif, yang disebut penindakan hukum bagi para perusak/pencemar lingkungan melalui peran, para pihak yang terlibat secara langsung, meliputi Penggugat, Hakim, Saksi, Ahli, maupun peran para pihak yang tidak terlibat secara langsung, meliputi Instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup, legislatif, media massa. Kesimpulan penelitian aspek perdata penegakan hukum terpadu lingkungan hidup merupakan pengelolaan dan pengawasan untuk mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup maka dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: (1). Gugatan KLH melawan PT.NMR dan Direktur PT.NMR merupakan proses menguji atau uji coba Standi in Judicio. 2. Kedudukan pemerintah sebagai pelaksana instrumen maka tuntutan ganti-kerugian harus konkrit - nyata. 3. Pemerintah sebagai penggugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, nampak tidak tegas dan aktual sesuai kondisi dan desakan masyarakat korban untuk mendorong proses penegakan hukum melalui proses class action terdahulu tanpa Standi in Judicio untuk mengukur posisi gugatan litigasi dengan kekuatan proses hukum acara perdata. Adapun saran Standi in Judicio dimana penulis menyarankan, bahwa saatnya untuk merevisi. UUPLH (UU No.2311997), yakni: 1. instrumen administrasi, perdata, pidana, dan upaya alternatif harus diatur proses beracara, 2. valuasi ekonomi atas kerugian lingkungan hidup dan kerugian sosial-budaya masyarakat dilegalkan, 3. penaatan peraturan internal maupun eksternal harus menigkatkan kemampuan agar supaya proaktif, preventif, represif. 4. dimensi social control dan sarana social engineering kurang efektif maka ke depan diprioritaskan. ......In fact, the Indonesian people know better their nature environment than the technology aspects. The development of technology that manage natural resource should bring people to reach their welfare as great as possible but still concern to natural conservation and equilibrium so that it is useful continually to our next generation. Only human actions sign as if they are able to manage the nature whole after which giving the effects that almost all natural environment aspects have been explored by them. Human is a part of ecosystem, human also one who manage this ecosystem. Human actions also give the effect of environment damage when they want to reach their goals connected with the environment aspect itself. The ambiguities of human action result in the environment damage. Assuasive instrument. The entrepreneur has the obligation in controlling environmental pollution which it is one of the requirements of giving permission of venture processing so that he could be asked for the responsibility in case he derelict in his obligation. Based on that fact, civil aspect on integrated law enforcement of life environment on NMR of Teluk Buyat environment pollution case is an effort to solve legal action of Buyat's life environment by implementing the total responsibility term with pay the compensation and restore the environment to normal condition. This research has generally purpose to know how life environmental law efforts are enforced and has specifically purpose to know : (1) The Court session process of civil aspect on integrated law enforcement of life environment on pollution impact and/or life environmental damage of Teluk Buyat, Minahasa Province of South Sulawesi. (2) The decisive factor of civil aspect on integrated law enforcement of life environment in fulfill the duty and authority in remanding or handling pollution and/or damaging of Teluk Buyat's life environment case and how is the mechanism the government agencies law enforcement process which they responsible for live environment section which stand for the interest of life environment and local people management. (3) Petitum and the optimal of government development as the litigant which has submitted the claim to accused I (PT. NMR) and Accused II (PT. NMRDirector) until the verdict of the judge of court of first instance in North of Jakarta which connected with UUPLH and other regulations. The hypothesis used in this research are : (1) Civil aspect on integrated law enforcement of life environment to NMR case based on UUPLH, AMDAL, B3 License and other life environment regulation could represents of life environment law enforcement to reach its goal. (2) The institution of law enforcement commitment in bringing about their integrated life environment civil duty by the form of PT. NMR case handling team work, by the goal to bring about the life environment law enforcement task team Minister of Life environment decree as the combination of developing and researching task team for bringing about a series of activities to integrally important and extensive impact to develop the integrated system of life environment law enforcement for furthermore. (3) By limitedness of quality and quantity of civil aspect on life environment law enforcement of PT. NMR case, it should capable. In this research the writer use qualitative research by providing the data using analytic descriptive method to litigation process of civil aspect on law enforcement of life environment in PT. NMR case. The government, represented by Life Environment Ministerial (KLH), as the litigation to PT. NMR and the director of PT. NMR as the accused in North Jakarta court of first instance. In fact, the implementation of legal norms in solving of life environment legal action case would expand law enforcement efforts from various constitution regulations include within environment civil law scope. Related to life environment legal action, there are three civil law enforcement functions: (1) By civil law, one subject could be enforced to obey environment law norms; either in private law or public law. (2) By civil law, it could determine the norms inside the life environment terms. (3) It gives the opportunity for someone or corporation to submit the compensation claim to the party which carry out pollution in life environment, it is usually implemented by a claim of against the law. The result of research analyze as the law enforcement technique by the persuasive-educative (preventive) efforts and also repressive law enforcement technique, which also called a legal action for those who carry out the pollution through roles of directly involved parties- such; Litigant, Judge, Witness, Expert and also roles of indirectly involved party such; Government Instance which is responsible in life environmental matters; organizations, legislative and mass media. The conclusion of this research is that the civil aspect on integrated law enforcement of life environment connecting to manage and sustain the function of environmental conservation completed with various instruments, they are : 1. KLH against PT. NMR and Director of PT NMR is an examination process or standi judicio try-out, 2. The position of .government _ party as instrument organizer so the compensation claim submitted properly and concretely, 3. Government as litigant party seems unclear and actual in accordance with people pressure as the victim to enforce the law enforcement by class action claim without standi judicio to measure litigation claim position by the power of civil law process. The Standi In Judicio suggestion, the writer suggest that it is time to make a revision of UUPLH (UU No.2311997). Consist of : I. The Criminal, Civil , Administration instrument and also other alternative efforts must be set up in procedure, 2. Economic valuation upon the detriment of life environment and social-culture detriment of people should be determined in regulations, 3. The obedience of internal and external regulations should increase the capability in order to be preventive, reactive, and repressive, 4. The social control and social engineering dimensions are still ineffective; for furthermore they should be a priority. The instrument of next life environment law enforcement should be bringing out gradually; the stage is: (a) Preparation. (b) Initiation. (c) Development. (d) Program adoption. (e) The Implementation or realization of program. (f) Completing and consolidation.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T17930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Emmi Frasiska
Abstrak :
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya, wajib disyukuri. Karunia yang diberikanNya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan hares diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penulisan tesis "Penegakan Hukum Lingkungan terhadap Illegal Logging dalam Upaya Perlindungan Hutan di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi", didasarkan karena hutan sebagai modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang, sehingga diperlukan suatu langkah dan upaya guna menanggulangi maraknya illegal logging di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi. Bahwa para pelaku illegal logging di kabupaten Bungo yang tertangkap adalah masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar hutan, dan para sopir-sopir truk yang mengangkut kayu hasil illegal logging tanpa disertai SKSHH, sementara para cukongnya tidak tertangkap seakan-akan tidak bias tersentuh oleh hukum. Beberapa penyebab illegal logging semakin marak terjadi di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi yang menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap illegal logging di karenakan : (1) Lemahnya koordinasi antar penegak hukum, kurangnya kapasitas dan integritas penegak hukum, serta minimnya jumlah aparat polisi kehutanan yang bertugas di lapangan dalam rangka melindungi hutan produksi di kabupaten Bungo yang tidak sebanding dengan luas hutan; (2) Rumusan sanksi pidana yang tidak mengatur batasan minimal masa hukuman pidana minimal bagi para pelaku illegal logging sehingga menimbulkan disparitas hukuman pidana yang dituntut oleh jaksa dengan masa hukuman yang diputus oleh hakim; (3) Tidak adanya pasal yang mengatur mengenai kerugian ekologis yang harus ditanggung oleh pelaku illegal logging karena kerugian yang dialami oleh pemerintah bukan saja kerugian secara ekonomi, namun juga kerugian ekologis yaitu rusaknya ekosistem hutan, punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa, terjadinya bencana banjir dan erosi; (4) Bahwa pemerintah masih cenderung sentralistik dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dengan memberikan kepada pengusaha-pengusaha untuk mengelola hutan produksi tanpa memperhatikan nasib masyarakat di sekitar hutan yang mengakibatkan masyarakat sekitar hutan tidak ragu-ragu melakukan illegal logging dan bahkan meskipun sudah tahu bahwa hutan produksi tersebut telah kembali pengelolaannya kepada pemerintah, mereka tetap melakukan penebangan bahkan melakukan perambahan; (5) keterbatasan sarana dan prasarana juga merupakan kendala bagi aparat hukum dalam menangkap pelaku-pelaku illegal logging karena hutan yang diawasai begitu lugs dan kondisi jalan yang juga tidak bisa dilalui oleh kendaraan; (6) keterbatasan dana; (7) Tidak adanya tindakan tegas oleh aparat penegak hokum terhadap sawmil-sawmil yang tidak resmi yang dibiarkan beroperasi dan siap menerima order untuk memotong-motong dan mengolah menjadi kayu meskipun diketahui dari hasil illegal logging. Melihat betapa rumitnya permasalahan illegal logging yang terjadi di kabupaten Bungo upaya-upaya yang tegas dari pemerintah ( dinas kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) bekerjasama dengan aparat desa, LSM, pemuka-pemuka agama, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemuda-pemuda desa yaitu mengadakan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat lokal tentang pentingnya arti hutan, menyampaikan informasi kepada masyarakat lokal bahwa perbuatan illegal logging adalah perbuatan tindak pidana yang hukumannya lebih berat dari tindak pidana umum lainnya (melakukan pendekatan sosial budaya dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dengan mengadakan kegiatan hutan kemasyarakatan, padat karya, hutan rakyat, HPH bina desa, atau dengan memberikan modal kerja (home industry) pembuatan batu bata, tahu, tempe dan kerajinan tangan lainnya, menjadikan pengetahuan dan pengertian tentang peranan dan fungsi hutan sebagai mata kuliah dalam kurikulum pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Langkah tindakan yang serupa juga dilakukan melalui penyuluhan dan ditujukan bagi masyarakat luas dengan menggunakan media cetak maupun media elektronik serta kunjungan ke lapangan. Upaya selanjutnya adalah perlu diberlakukannya Perpu Pemberantasan Illegal Logging, yang diharapkan masyarakat dapat melaporkan kejadian-kejadian illegal logging dengan data informasi, gambar foto, dan rekaman kepada LSM maupun Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo. Di samping usaha-usaha yang disebut di atas, guna menegakkan hukum yang seadil-adilnya dan menumpas habis para pelaku illegal logging, perlu adanya kesatuan pandangan pars jaksa penuntut umum yang melakukan tuntutan hukuman pidana terhadap terdakwa pelaku-pelaku illegal logging dan hakim yang memberi putusan berupa hukuman pidana, sehingga masa hukuman pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidak terlalu jauh rendahnya dengan pidana yang dituntut oleh jaksa penuntut umum. Walaupun diakui, masing-masing instansi memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman pidana (tuntutan pidana bagi kejaksaan dan putusan pidana bagi hakim) namun dasar menetapkan hukuman pidana tersebut adalah sama yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang salah satu pasalnya mangatur tentang sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku illegal logging.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>