Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bohlman, K. J.
Hawthorn House: Dickson Price Publishers, 1987
621.381 BOH e (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Ramadhanti
Abstrak :
E-commerce merupakan suatu contoh dari kemajuan teknologi informasi di mana transaksi bisnis tidak dilakukan secara konvensional. PPN akan dikenakan jika terdapat penyerahan dan boleh tidak terjadi pembayaran tetapi setiap penyerahan akan dikenakan PPN. Muncul kekeliruan terkait pengenaan PPN PMSE ini atas pembayaran atau penyerahan karena dalam transaksi sistem elektronik ini konsumen melakukan pembayaran terlebih dahulu sebelum adanya penyerahan BKP karena pada prinsipnya berdasarkan Pasal 4 UU PPN, PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak. Oleh karena itu penulis membahas pengaturan mengenai PPN PMSE dan pengawasan DJP terkait pengenaan PPN PMSE. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan mengenai PPN PMSE dan pengawasan DJP terkait pengenaan PPN PMSE dan dilakukan dengan metode yuridis normatif. Pemberlakuan PMK No 60/PMK.03/2022 tersebut tidak selaras dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 di mana pada pasal 23A menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Peraturan PerUUan. Oleh karena itu diperlukan perubahan Undang-Undang PPN karena perkembangan ekonomi saat ini yang sangat dinamis. Peran pengawasan DJP dalam menghimpun PPN dari PMSE adalah untuk memastikan bahwa proses pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN PMSE telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan menerapkan prinsip keadilan dan harus lebih ditingkatkan. ......E-commerce is an example of advances in information technology where business transactions are not carried out conventionally. VAT will be charged if there is a delivery and there may be no payment but every submission will be subject to VAT. Therefore, the author discusses the regulation regarding TTES VAT and DGT supervision regarding the imposition of TTES VAT. This writing aims to analyze the regulation regarding PMSE VAT and DGT supervision regarding the imposition of TTES VAT and is carried out using a normative juridical method. The enactment of PMK No. 60/PMK.03/2022 is not in line with the provisions of Article 23A of the 1945 Constitution where states that taxes and other levies that are coercive for state purposes are regulated by a law. Therefore, it is necessary to amend the VAT Law because of the current very dynamic economic development. The role of DGT's supervision in collecting VAT from TTES is to ensure that the process of collecting, depositing, and reporting TTES VAT is in accordance with applicable regulations by applying the principle of justice and must be further improved.depositing, and reporting TTES VAT is in accordance with applicable regulations by applying the principle of justice and must improved.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifan Niffari
Abstrak :
ABSTRAK
Penyelenggara sistem elektronik dalam menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektroniknya memiliki implikasi terhadap penggunanya yang tentunya memanfaatkan barang, jasa, atau fasilitas sistem elektronik tersebut. Implikasi tersebut dapat bersifat positif dan negatif bagi pengguna. Resiko yang mungkin ditimbulkan dapat berupa kerugian atau bahkan mengancam jiwa pengguna sistem elektronik tersebut. Perizinan menjadi sarana Pemerintah dalam mengendalikan dan mengawasi penyelenggaraan sistem elektronik agar tetap andal, aman dan bertanggungjawab. Dalam pelaksanaan perizinan tersebut, pengendalian oleh pemerintah dilakukan dengan mewajibkan pemenuhan persyaratan dan komitmen bagi penyelenggara sistem elektronik yang akan melakukan aktivitasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendaftaran sebagai bagian dari perizinan juga diwajibkan bagi penyelenggara sistem elektronik dengan cara penerbitan tanda daftar apabila penyelenggara sistem elektronik telah memenuhi standar dan persyaratan terhadap sistem elektroniknya. Penulis menelaah sejauh mana perizinan tersebut telah diterapkan dan efektifitasnya dalam mengendalikan perilaku penyelenggara sistem elektronik melalui pemberian sanksi administratif sehingga patuh pada norma hukum positif.
ABSTRACT
Providers of electronic systems in providing, managing, and / or operating electronic systems have implications for users who naturally utilize the goods, services, or facilities of the electronic system. These implications can be positive and negative for users. Possible risks can be in the form of losses or even life-threatening for electronic system users. Licensing is intended to be a means of the Government in controlling and overseeing the implementation of electronic systems to remain reliable, safe and responsible. In the implementation of these licenses, government control is carried out by requiring the fulfillment of requirements and commitments for electronic system operators who will carry out their activities in accordance with statutory regulations. Registration as part of licensing is also required for electronic system providers by issuing a registration certificate if the electronic system provider meets the standards and requirements of the electronic system. The author examines the extent to which these licenses have been applied and their effectiveness in controlling the behavior of electronic system providers through administrative sanctions so that they comply with positive legal norms.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Raihanah
Abstrak :
Skripsi ini membahas hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet setelah berlakunya PM Kominfo 5/2020. Landasan penelitian ini ialah pemutusan akses terhadap beberapa situs dan aplikasi PSE Lingkup Privat oleh Kemenkominfo, kondisi kebebasan menggunakan internet di Indonesia yang bebas setengah, dan pembatasan hak kebebasan berekspresi di internet yang marak dilakukan, baik oleh pemerintah ataupun individu. Perlindungan atas hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet merupakan amanat UUD NRI 1945, kemudian dijelaskan lebih lanjut di dalam UU HAM dan UU Kemerdekaan Berpendapat. Tidak hanya di skala nasional, hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet juga dilindungi oleh instrumen HAM internasional, baik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia seperti ICCPR maupun yang berbentuk rekomendasi dari para pakar hukum. Meski hak ini sudah diatur secara tegas, pasal – pasal di PM Kominfo 5/2020 terkait moderasi dan pemutusan akses terhadap informasi dan dokumen elektronik yang tidak memiliki standar jelas dan subjektif berpotensi melanggar hak kebebasan berekspesi pengguna sistem elektronik di internet. Dengan demikian, rumusan masalah yang diangkat di dalam penelitian ini ialah lingkup pengaturan dan konsep hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet menurut instrumen hukum secara internasional serta nasional, dan implikasi hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet setelah berlakunya PM Kominfo 5/2020. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa PM Kominfo 5/2020 melanggar hak kebebasan berekspresi pengguna sistem elektronik di internet. ......This thesis discusses the right to freedom of expression of electronic system users on the internet after the enactment of PM Kominfo 5/2020. The research's basis is access termination to several Electronic System Providers in the Private Sector by the Ministry of Communication and Informatics, freedom to use the internet in Indonesia, and restrictions on the right to freedom of expression on the internet which are widely practiced, both by the government and individuals. Protection of the right to freedom of expression for users of electronic systems on the internet is a mandate of the 1945 Constitution, which is further explained in the Human Rights and the Freedom of Opinion Law. Not only on a national scale, the rights to freedom of expression of electronic systems users on the internet are also protected by international human rights instruments that Indonesia has ratified, such as the ICCPR and recommendations from legal experts. Albeit this right has been strictly regulated, articles in PM Kominfo 5/2020 regarding moderation and terminating access to electronic information and/or documents that do not have clear and subjective standards potentially violate the right to freedom of expression of electronic systems users on the internet. Thus, the problem raised in this study is the regulation and the concept of the right to freedom of expression of electronic systems users on the internet according to international as well as national legal instruments and the implications of it after the enactment of PM Kominfo 5/2020. This research is qualitative, using a descriptive method. This research found that PM Kominfo 5/2020 violated the right to freedom of expression of electronic system users on the internet.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halderman, James D.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1994
621.3 HAL a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Amalia Cahya Eka Putri
Abstrak :
Dalam beberapa tahun terakhir, cloud computing telah berkembang menjadi salah satu TI yang tumbuh paling cepat. Saat ini beberapa instansi pemerintahan di Indonesia sudah mengimplementasikan layanan teknologi tersebut. Diantara semua keunggulan dan manfaat yang ditawarkan cloud computing, muncul tantangan-tantangan baru terhadap manajemen keamanan pada cloud computing, seperti kebocoran data. Sebagai salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mencapai keamanan dalam transisi cloud computing adalah klasifikasi data. Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2019 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik di Indonesia, khususnya pada Pasal 20 ayat (6) dan ayat (7) juga menyebutkan bahwa dalam hal Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Publik yang menggunakan layanan pihak ketiga, Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Publik wajib melakukan klasifikasi data sesuai risiko yang ditimbulkan, namun ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi data tersebut akan diatur dengan Peraturan Menteri terpisah. Berdasarkan penyataan tersebut diketahui bahwa hingga saat ini belum ada Peraturan Menteri atau standar baku terpusat lainnya yang membahas tentang klasifikasi data untuk PSE di Indonesia, sehingga sebagian besar PSE yang sudah mengimplementasikan cloud computing belum melakukan proses klasifikasi data. Oleh karena itu untuk memudahkan PSE dalam melakukan klasifikasi data sesuai tingkat risiko, maka perlu disusun suatu regulasi atau kebijakan yang dapat dijadikan pedoman bagi PSE lingkup publik dalam melakukan klasifikasi data. Penelitian ini dilakukan dengan metodologi penelitian kualitatif. Adapun perumusan kebijakan klasifikasi data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Soft System Methodology dengan mengacu kepada standar ISO / IEC 27001: 2013 dan NIST SP 800-60. Hasil penelitian ini berupa konsep dan rancangan kebijakan klasifikasi data yang menggunakan model dengan skema klasifikasi tiga tingkat yang terdiri dari rahasia, terbatas, dan biasa/terbuka. Masing-masing tingkat klasifikasi tersebut diberikan rekomendasi penanganan keamanan yang harus dilakukan yang terdiri dari pelabelan, penyimpanan, pemberian akses, pengiriman elektronik, pengiriman manual, penggandaan, dan metode penghancuran. Selanjutnya untuk melengkapi kebijakan tersebut, terdapat rancangan standar operasional prosedur (SOP) yang pendukung draf kebijakan tersebut yang dapat dijadikan panduan PSE dalam menentukan tingkat klasifikasi data dan pengamanan data tersebut. ......In recent years, cloud computing has developed into one of the fastest growing IT sectors. Currently, several government agencies in Indonesia have implemented these technology services. Among all the advantages and benefits offered by cloud computing, there are new challenges related to security management in cloud computing, such as data leakage. As one of the steps that can be take to achieve security in the cloud computing transition is data classification. Government Regulation of the Republic of Indonesia Number 71 of 2019, specifically Clause 20 Verse (6) and Verse (7) it also states that in the case of Public Sector Electronic System Operation using third party services, the Electronic System Operator (PSE) is required to classify data according to risks level, but further provisions regarding the classification of the data will be regulated by a separate Ministerial Regulation. Based on this statement, it is known that until now there is no Ministerial Regulation or other centralized standard that discusses data classification for PSE in Indonesia, so the most of PSE that have implemented cloud computing have not carried out the data classification process. Therefore, to facilitate PSE in classifying data according to risk level from the data, it is necessary to develop a regulation or policy that can be used as a guide for PSE in the public sector in classifying their data. This research was conducted with a qualitative research methodology. The development of the data classification policy in this study was carried out using the Soft System Methodology with reference to the ISO / IEC 27001: 2013 and NIST SP 800-60 standards. The results of this study are concept and design of data classification policiy using three-tier classification scheme consisting of confidential, limited, and public data. Each classification level is given recommendations for security that must be carried out which consist of labeling, storage, granting access, electronic delivery, manual delivery, copying, and destruction methods. Furthermore, to complete the policy, there is a standard operating procedure (SOP) that supports the policy which can be used as a guide for PSE in determining the level of data classification and data security.
2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Prawito
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang adanya fenomena konvergensi di sektor telekomunikasi dan teknologi informasi yang berupa layanan Over-the-Top OTT . OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan diatas jaringan milik operator. Data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia APJII menyatakan hampir 90 trafik lari keluar negeri untuk mengakses data. Dari sisi konektivitas, karena harus melayani trafik keluar negeri, operator pun harus membeli bandwidth internasional seharga US 218 juta per tahun. Dari sisi pajak malah ada potensi yang tak bisa diraup dari pemain asing sekitar Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun. Hal ini terasa memberatkan bagi operator telekomunikasi di Indonesia dan diwaktu yang bersamaan terdapat potensi pendapatan negara yang hilang. Karenanya Pemerintah berupaya membuat regulasi untuk mengatur layanan OTT dengan menerapkan tanggungjawab yang tepat bagi penyelenggara OTT tersebut untuk menjaga industri telekomunikasi di Indonesia agar tetap kondusif karena OTT dapat disalurkan karena adanya infrastruktur penyelenggara telekomunikasi, dan diwaktu yang bersamaan dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang baik pula bagi penyelenggaraan OTT di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa RPM OTT tersebut adalah hasil kompromi dari dua Undang-Undang yang ada yaitu UU Telekomunikasi dan UU ITE. Pengaturan yang terdapat dalam RPM tersebut sudah selaras dengan kedua Undang-Undang tersebut hanya saja belum komprehensif. Sehingga Pemerintah perlu mengambil langkah strategis lebih lanjut.
ABSTRACT
This thesis discussed the phenomenon of convergence in the telecommunications sector and information technology services such as Over the Top OTT . OTT is a player that is identical as filler of operator rsquo s data pipe. OTT players is regarded as a latent danger for operators because it doesn rsquo t emit huge investment, but achieve profit above operator rsquo s network. The Association of Indonesian Internet Service Provider APJII said nearly 90 of traffic to run out of the country, the operator must purchase international bandwidth for US 218 million per year. On the tax revenue side, instead there is potency that cannot be scooped from foreign players around Rp 10 trilion to Rp 15 trilion. It feel burdensome for telecom operators in Indonesia and the same time there is a potential state revenue loss. Government therefore working to make regulations to regulate OTT services with implementing appropriate responsibilities for the OTT organizers to maintain telecommunications industry in Indonesia in order to remain conducive for OTT channeled for their infrastructure telecommunication providers, and in the same time can create a good competition climate for the implementation of OTT in Indonesia. This study is a normative legal research using legislation approach. Result of this study is that the Draft of OTT Regulation is the result of a compromise of the two laws that exist, namely the Telecommunication Act and ITE Law. The arrangements contained in the Draft of the Regulation is already aligned with the both the Act but not yet comprehensive. So, the government needs to take a strategic step further.
2017
T47202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Inggrid Puspaningrum
Abstrak :
Perkembangan digital membuat aktivitas ekonomi masyarakat semakin mudah. Lalu lintas perdagangan barang dan jasa semakin cepat dan tak hanya berbentuk fisik, melainkan juga berupa produk digital. Indonesia berupaya memajaki barang dan/atau jasa digital luar negeri dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020. Sama halnya dengan Vietnam yang berupaya memajaki produk digital luar negeri dengan menerbitkan Decree No. 126/2020/ND-CP. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis implementasi kebijakan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia pasca diterbitkannya PMK No. 48 Tahun 2020 ditinjau dari asas ease of administration dan membandingkannya dengan kebijakan PPN digital luar negeri milik negara Vietnam. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif-post positivisme dengan operasionalisasi konsep dan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan PPN PMSE atas barang dan/atau jasa digital luar negeri Indonesia telah memenuhi asas ease of administration dari sisi asas kepastian, asas efisensi, asas kemudahan dan kenyamanan, serta asas kesederhanaan walaupun masih banyak ketentuan mengenai sanksi dan penggalian potensi yang dapat diperbaiki. Bila dibandingkan dengan Vietnam, sistem pemungutan PPN PMSE atas barang dan/atau jasa digital luar negeri Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Sistem pemungutan PPN PMSE Indonesia telah dirancang secara sederhana dan mudah bagi fiskus dan Pemungut PPN PMSE, sementara sistem pemungutan PPN digital luar negeri Vietnam lebih kompleks namun tegas dalam pelaksanaannya. ......Digital developments make people's economic activities easier. The traffic of trade in goods and services is getting faster and not only in physical form but also in digital products. Indonesia seeks to tax foreign digital goods and services by issuing Minister of Finance Regulation Number 48/PMK.03/2020. Likewise, Vietnam taxes foreign digital products by issuing Decree No. 126/2020/ND-CP. This research was conducted to analyze the VAT policy on Trading Through Electronic Systems (PMSE) in Indonesia after the issuance of PMK No. 48 of 2020 is viewed from the ease of administration principle and compares it with Vietnam's foreign digital VAT policy. The research was conducted using a quantitative-post-positivism approach, operationalizing concepts and data collection techniques through library research and field studies. This study indicates that Indonesia's PMSE VAT policy on foreign digital goods and services has fulfilled the ease of administration principle in terms of certainty, efficiency, the convenience of payment, and simplicity. However, there are still many provisions regarding sanctions and potential exploration that can be improved. Compared to Vietnam, the PMSE VAT collection system for foreign digital goods and services in Indonesia has advantages and disadvantages. Indonesia's PMSE VAT collection system has been designed to be simple and easy for tax authorities and PMSE VAT Collectors. In contrast, Vietnam's foreign digital VAT collection system is more complex but firm in its implementation.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimopoulos, Hercules G.
Abstrak :
This textbook introduces basic concepts and methods and the associated mathematical and computational tools employed in electronic filter theory, synthesis and design.
Dordrecht, Netherlands: [Springer, ], 2012
e20397895
eBooks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>